Tag Archives: Liam Neeson

Review: Star Wars: The Rise of Skywalker (2019)

Rasanya cukup sukar untuk tidak menyinggung “kericuhan” yang disebabkan oleh Star Wars: The Last Jedi (Rian Johnson, 2017) sebelum membicarakan Star Wars: The Rise of Skywalker. Meskipun mendapatkan ulasan yang sangat positif dari banyak kritikus film, pilihan Johnson untuk menghadirkan linimasa pengisahan film dengan warna plot, karakter, konflik, dan humor yang sedikit berbeda serta lebih progresif jika dibandingkan dengan film-film dalam seri Star Wars lainnya membuat Star Wars: The Last Jedi ditanggapi cukup dingin oleh banyak penggemar berat seri film yang kini telah berusia lebih dari 40 tahun tersebut. Ketidaksukaan para penggemar setia Star Wars terhadap film garapan Johnson tersebut – yang ditandai dengan membanjirnya penilaian dan komentar negatif tentang Star Wars: The Last Jedi di berbagai situs internet – terasa begitu kental sehingga beberapa kali mendapatkan tanggapan langsung baik dari aktor, produser, bahkan Johnson sebagai sang sutradara film. Ketidakmampuan Johnson untuk memuaskan para penggemar berat Star Wars itu pula yang dikabarkan menjadi penyebab mengapa Johnson tidak kembali dilibatkan oleh Walt Disney Studios ketika Colin Trevorrow – yang awalnya didapuk untuk mengarahkan Star Wars: The Rise of Skywalker – kemudian memilih untuk meninggalkan proyek film tersebut. Continue reading Review: Star Wars: The Rise of Skywalker (2019)

Review: Men in Black: International (2019)

They’re back! Tujuh tahun semenjak perilisan Men in Black 3 arahan Barry Sonnenfeld, kisah mengenai petualangan para agen rahasia Men in Black yang berpakaian, tentu saja, dalam atribut serba berwarna hitam serta bertugas untuk mengamankan Bumi dari ancaman makhluk angkasa luar kini hadir kembali dalam format pengisahan yang (tidak terlalu) baru. Jika tiga seri Men in Black sebelumnya menghadirkan duo Agent K (Tommy Lee Jones) dan Agent J (Will Smith), Men in Black: International mengalihkan fokusnya pada pasangan agen rahasia baru dengan latar belakang lokasi pengisahan yang baru dan berbeda pula. Dengan naskah cerita yang digarap oleh Art Marcum dan Matt Holloway yang sebelumnya juga menuliskan naskah cerita untuk film-film seperti Iron Man (Jon Favreau, 2008) dan Transformers: The Last Knight (Michael Bay, 2017), Men in Black: International, sayangnya, terasa kesulitan untuk memberikan pengisahan yang menarik dan setidaknya mampu mengimbangi kualitas pengisahan tiga film pendahulunya. Hambar. Continue reading Review: Men in Black: International (2019)

Review: Cold Pursuit (2019)

Seperti halnya Michael Haneke yang di tahun 2007 membuat ulang kembali filmnya, Funny Games (1997), untuk konsumsi Hollywood, Cold Pursuit juga merupakan versi buat ulang dari film asal Norwegia, In Order of Disappearance (2014), dengan sutradara aslinya, Hans Petter Moland, kembali duduk di kursi penyutradaraan. Alur ceritanya sendiri sangat familiar dengan barisan film-film yang sebelumnya telah dibintangi oleh pemeran utama film ini, Liam Neeson. Dikisahkan, kehidupan tenang Nels Coxman (Neeson) sebagai seorang pembersih salju di sebuah resor ski di sebuah kota bersalju bernama Kehoe di Colorado, Amerika Serikat, tiba-tiba terusik setelah putranya, Kyle (Micheál Richardson), ditemukan tewas akibat penyalahgunaan heroin. Istrinya, Grace (Laura Dern), lantas memilih untuk meninggalkan Nels Coxman akibat tidak mampu menahan rasa dukanya. Nels Coxman juga hampir melakukan tindakan bunuh diri… sebelum akhirnya dia mengetahui bahwa kematian putranya bukan disebabkan oleh penyalahgunaan heroin namun akibat dibunuh oleh kartel narkotika dan obat-obatan terlarang. Nels Coxman yang dikenal seluruh warga Kehoe sebagai sosok yang tenang dan bersahabat kemudian berubah menjadi sosok pria penuh dendam yang bersiap untuk membunuh siapapun yang terlibat atas kematian anaknya. Continue reading Review: Cold Pursuit (2019)

Review: Widows (2018)

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Steve McQueen (Shame, 2011) bersama dengan Gillian Flynn (Gone Girl, 2012) berdasarkan buku karya Lynda La Plante yang berjudul sama, Widows memulai kisahnya dengan kematian yang dialami oleh Harry Rawlings (Liam Neeson) ketika ia sedang melakukan sebuah perampokan bersama dengan rekan-rekannya, Carlos Perelli (Manuel Garcia-Rulfo), Florek Gunner (Jon Bernthal), dan Jimmy Nunn (Coburn Goss). Sial, kematian Harry Rawlings ternyata tidak hanya meninggalkan duka yang mendalam kepada sang istri, Veronica Rawlings (Viola Davis). Beberapa hari setelah pemakaman jenazah sang suami, Veronica Rawlings didatangi oleh seorang politisi yang juga merupakan pemimpin sebuah kelompok kejahatan bernama Jamal Manning (Brian Tyree Henry) yang meminta agar uangnya yang telah dirampok oleh Harry Rawlings bersama dengan rekan-rekannya untuk dikembalikan. Veronica Rawlings yang sama sekali tidak terlibat kejahatan yang dilakukan oleh sang suami jelas  tidak memiliki sejumlah uang seperti yang diminta oleh Jamal Manning. Dengan tenggat waktu satu bulan yang diberikan oleh Jamal Manning untuk mengembalikan uangnya, Veronica Rawlings akhirnya mengajak para janda dari rekan-rekan suaminya, Linda Perelli (Michelle Rodriguez), Alice Gunner (Elizabeth Debicki), dan Amanda Nunn (Carrie Coon), untuk mengikuti jejak para almarhum suami mereka dan melakukan sebuah perampokan guna mendapatkan uang yang diinginkan oleh Jamal Manning. Continue reading Review: Widows (2018)

Review: The Commuter (2018)

Dalam film teranyarnya bersama sutradara Jaume Collet-Serra (The Shallows, 2016), The Commuter, Liam Neeson berperan sebagai sosok pria paruh baya yang terjebak dalam situasi sulit yang membuatnya seringkali harus terlibat dalam banyak adegan adu fisik yang intens. Yes. You’ve been here before. Sosok karakter yang terdengar familiar karena Neeson pada dasarnya memerankan karakter yang hampir serupa dengan karakter-karakter yang dahulu ia perankan dalam Unknown (2011), Non-Stop (2014), dan Run All Night (2015) yang juga diarahkan oleh Collet-Serra. So what makes The Commuter different then? Tidak banyak. Bahkan, meskipun tetap didampingi penampilan prima dari Neeson, The Commuter gagal untuk hadir dengan pengarahan yang mampu membuat laju penceritaan film ini mengikat kuat para penontonnya. Continue reading Review: The Commuter (2018)

Review: Silence (2016)

Di tahun 1988, Vatikan memberikan Martin Scorsese sebuah buku berjudul Silence yang ditulis oleh Shūsaku Endō. Buku tersebut diberikan Vatikan kepada Scorsese setelah sebelumnya pihak Vatikan dilaporkan merasa kecewa dengan penggambaran kehidupan Yesus Kristus oleh Scorsese pada The Last Temptation of Christ (1988). Meskipun telah difilmkan sebelumnya oleh Masahiro Shinoda pada tahun 1971 dengan menggunakan judul yang sama, Scorsese kemudian terobsesi dengan buku karangan Endō tersebut dan berhasrat untuk mengadaptasi Silence sebagai film berikutnya. Perjalanan proses adaptasi Silence menjadi sebuah film dimulai Scorsese semenjak tahun 1990. Sayangnya, berbagai hambatan yang merintangi jalan Scorsese – mulai dari naskah cerita yang tak kunjung dirasakan memuaskan, jajaran pemeran yang silih berganti hingga beberapa tuntutan hukum yang kemudian muncul akibat molornya proses produksi film – membuat Silence gagal untuk diselesaikan. Akhirnya, setelah menyelesaikan proses produksi The Wolf of Wall Street (2013) dan lebih dari dua dekade berusaha mengadaptasi Silence, Scorsese memilih untuk berkonsentrasi pada film yang telah menjadi hasrat pribadinya tersebut. Dan sebagai film yang telah menunggu hampir 30 tahun untuk dirilis, Scorsese mampu membuktikan bahwa Silence adalah sebuah mahakarya yang patut untuk diperjuangkan. Continue reading Review: Silence (2016)

Review: Entourage (2015)

Empat tahun setelah masa tayangnya berakhir di saluran televisi kabel HBO, kreator serial televisi Entourage, Doug Ellin, akhirnya membawa kisah persahabatan antara lima orang pria dalam usaha mereka untuk bertahan dalam kerasnya kehidupan serta persaingan di Hollywood ke layar lebar. Kembali bekerjasama dengan Mark Wahlberg dan Stephen Levinson yang turut memproduseri serial televisi yang sempat tayang selama delapan musim tersebut, Ellin menyajikan Entourage dalam formula penceritaan familiar yang jelas akan sangat mampu mengobati kerinduan para penggemar kepada kelima karakter utama dalam serial televisi tersebut. Apakah hal tersebut berarti bahwa versi film dari Entourage akan mengalienasi mereka yang sama sekali belum familiar dengan serial pemenang Emmy Awards tersebut? Tidak. Ellin cukup cerdas untuk merangkai naskah cerita Entourage untuk menjadi sebuah kisah intrik dunia perfilman Hollywood yang mampu bercerita dalam skala yang cukup luas. Continue reading Review: Entourage (2015)

Review: Run All Night (2015)

run-all-night-posterUntuk kali ketiga setelah Unknown (2011) dan Non-Stop (2014) yang berhasil meraih kesuksesan komersial sekaligus memantapkan posisinya sebagai seorang bintang film-film aksi, Liam Neeson kembali berada di bawah arahan sutradara Jaume Collet-Serra untuk film teranyarnya, Run All Night. Layaknya peran yang ia sajikan selama tujuh tahun terakhir setelah membintangi Taken (2008), Run All Night juga menampilkan Neeson sebagai sosok pria paruh baya yang memiliki kekuatan fisik dan mental luar biasa dalam menghadapi bahaya yang mengancam diri dan orang-orang yang ia sayangi. Apakah Run All Night memiliki kejutan yang berarti dalam penuturan kisahnya? Tidak juga. Mereka yang telah mengikuti petualangan Neeson dalam film-film aksi jelas telah tahu pasti apa yang ditawarkan oleh film yang juga dibintangi Joel Kinnaman dan Ed Harris ini. Meskipun begitu, daya tarik Neeson yang masih luar biasa kuat ditambah dengan kualitas penampilan dari departemen akting serta pengarahan aksi yang solid cukup mampu membuat Run All Night tampil begitu memikat.

Dengan naskah yang ditulis oleh Brad Ingelsby (Out of the Furnace, 2013), Run All Night berkisah mengenai Jimmy Conlon (Neeson), seorang mantan pembunuh bayaran yang kini lebih sering menghabiskan waktunya dengan mengkonsumsi minuman keras akibat dihantui rasa bersalah akan orang-orang yang telah dibunuhnya di masa lampau. Satu-satunya orang yang masih peduli pada Jimmy adalah Shawn Maguire (Harris), mantan kriminal yang dahulu pernah mempekerjakan Jimmy sekaligus merupakan sahabat Jimmy semenjak mereka kecil. Namun kisah persahabatan keduanya berada dalam situasi genting ketika di suatu malam Jimmy terpaksa menembak mati putra tunggal Shawn, Danny (Boyd Holbrook), akibat berusaha membunuh putra tunggal Jimmy, Mike (Kinnaman). Jelas saja Shawn dengan segera mengerahkan seluruh kaki tangannya untuk menemukan sekaligus membunuh Jimmy dan Mike.

Chemistry antara Jaume Collet-Serra dengan Liam Neeson jelas menjadi salah satu faktor mengapa Run All Night dapat bekerja dengan baik. Collet-Serra tahu pasti bahwa Neeson adalah aktor yang ia butuhkan untuk mampu menghidupkan sekaligus membuat sosok karakter yang sebenarnya sulit untuk disukai akhirnya justru dapat menerima dukungan penuh dari penonton. Dan Neeson, tentunya, mampu memenuhi harapan Collet-Serra tersebut dengan baik. Tidak hanya Neeson, Run All Night juga mendapatkan dukungan penampilan yang begitu prima dari jajaran pengisi departemen akting lainnya, mulai dari Ed Harris, Joel Kinnaman, Vincent D’Onofrio bahkan hingga Nick Nolte dan Boyd Holbrook yang hadir dalam kapasitas penceritaan yang begitu terbatas. Jika ada keluhan yang cukup berarti dalam departemen akting film ini maka hal tersebut mungkin datang dari penampilan Common yang begitu datar. Bukan sepenuhnya salah dari sang aktor. Karakter pembunuh bayaran berdarah dingin yang diperankan Common mendapatkan porsi penceritaan dan penggalian karakter yang begitu minim sehingga kehadiran karakter tersebut dalam jalan cerita sering terasa sia-sia belaka.

Dan memang, penggalian cerita dari beberapa karakter yang hadir dalam jalan cerita Run All Night menjadi salah satu masalah dari naskah cerita garapan Brad Ingelsby. Naskah cerita Ingelsby seringkali mengabaikan keberadaan karakter-karakter pendukung yang sebenarnya, jika ingin dicerna lebih lanjut, memiliki peran yang vital dalam keseluruhan penceritaan. Hal ini yang membuat beberapa plot pendukung cerita terasa hadir tanpa pengembangan kisah yang kuat. Tidak hanya itu, Ingelsby juga terasa gagal untuk mengisi celah-celah dalam konflik utama film agar mampu membuatnya kuat untuk bercerita sepanjang hampir selama dua jam, khususnya di pertengahan paruh kedua dan ketiga film. Tidak buruk namun jelas memberikan beberapa celah hampa tersendiri di dalam penceritaan Run All Night.

Terlepas dari berbagai kelemahan di departemen penceritaan, Run All Night masih mampu dikemas sebagai sebuah film action popcorn yang benar-benar menarik. Collet-Serra berhasil mengeksekusi setiap adegan aksi dalam tampilan visual yang memukau dan menegangkan. Begitu pula dengan pengarahannya akan alur penceritaan yang sukses mengalirkan kisah film ini dengan baik kepada penontonnya. Jika Anda merupakan penggemar dari dua film kolaborasi Collet-Serra dan Neeson sebelumnya, maka Run All Night jelas tidak akan mengecewakan. [B-]

Run All Night (2015)

Directed by Jaume Collet-Serra Produced by Roy Lee, Michael Tadross, Brooklyn Weaver Written by Brad Ingelsby Starring Liam Neeson, Ed Harris, Joel Kinnaman, Boyd Holbrook, Bruce McGill, Génesis Rodríguez, Vincent D’Onofrio, Common, Holt McCallany, Malcolm Goodwin, Nick Nolte Music by Junkie XL Cinematography Martin Ruhe Edited by Craig McKay Production company Vertigo Entertainment/Energy Entertainment Running time 114 minutes Country United States Language English

Review: Tak3n (2015)

tak3n-posterKetika Liam Neeson akhirnya setuju untuk terlibat dalam pembuatan film action thriller Taken (Pierre Morel, 2008) yang diproduseri oleh Luc Besson, Neeson jelas tidak akan menduga bahwa film tersebut akan meraih kesuksesan luar biasa di seluruh belahan dunia. Tidak hanya berhasil meraih kesukesan komersial dan menjadi sebuah titik balik bagi karirnya sebagai seorang aktor – sebuah titik balik yang mengubah imej Neeson dari seorang aktor drama menjadi seorang bintang film aksi yang begitu menjual, kesuksesan Taken juga menyihir Hollywood untuk kembali melirik para aktor-aktornya yang telah berusia matang serta, layaknya Neeson, menjual mereka kembali sebagai seorang bintang film-film aksi (Halo, Sly! Halo, Arnie! Halo, Sly & Arnie!).

Enam tahun setelah perilisan film pertama, dan setelah merilis sebuah sekuel arahan Olivier Megaton di tahun 2012 yang bahkan berhasil meraih kesuksesan komersial lebih besar dari Taken, Neeson kembali melanjutkan petualangan aksinya lewat Taken 3 – bagian yang menurut Neeson akan menjadi penutup dalam seri film ini. Taken 3 masih menggunakan formula lama yang telah begitu familiar dengan Luc Besson masih bertanggung jawab sebagai produser sekaligus penulis naskah bersama Robert Mark Kamen serta jajaran pemerannya yang masih menampilkan Neeson bersama Maggie Grace dan Famke Janssen. Lalu apakah Taken 3 masih menarik perhatian sekuat dua seri pendahulunya?

Tidak, sayangnya. Setelah dua kali penampilan karakter Bryan Mills yang tangguh dan mampu menghadapi hambatan serta rintangan apapun tersebut, kali ini karakter tersebut telah kehilangan daya tariknya. Kejutan yang dulu datang ketika melihat seorang sosok karakter ayah dan suami (dalam usia yang tidak lagi muda) yang dalam segala keputusasaannya mampu berbuat apa saja dan melawan siapa saja demi menyelamatkan orang-orang yang begitu dicintainya kini telah terasa pudar. Penonton jelas telah memahami bahwa karakter Bryan Mills yang diperankan Neeson adalah karakter yang… well… tidak akan kalah oleh siapapun dalam setiap pertempurannya: mampu menghindar dari berbagai serangan senjata api, melawan dalam setiap pertarungan sekaligus menghilang dan bersembunyi dengan sempurna ketika dirinya berada dalam incaran. Even Superman got nothing compares to this old guy! Really! Hal inilah yang menjadi faktor utama mengapa menyaksikan perjuangan Bryan Mills dalam Taken 3 tidak lagi memberikan sensasi kesenangan yang sama seperti yang dahulu sempat mampu diberikan dua sekuel pendahulunya.

Usaha Besson dan Kamen untuk memberikan sedikit rekonstruksi cerita dalam Taken 3 – dimana kali ini karakter Bryan Mills turut menjadi karakter yang dikejar daripada murni hanya melakukan sebuah pengejaran – juga tidak memberikan pengaruh yang besar pada kualitas penceritaan film secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena minimnya pengembangan cerita dan karakter di luar dari cerita dan karakter personal Bryan Mills sendiri. Jelas tidak mengherankan jika kemudian penampilan aktor pemenang Academy Awards, Forest Whitaker, terlihat sia-sia kehadirannya dalam berperan sebagai Inspector Franck Dotzler. Begitu juga dengan Dougray Scott yang berperan sebagai Stuart, suami dari mantan istri Bryan Mills, yang memiliki plot cerita yang cukup menarik namun gagal untuk dikembangkan dengan baik sehingga justru menjadi terasa dipaksakan kehadirannya. Arahan Megaton juga tidak banyak memberikan pengaruh positif pada Taken 3. Banyak adegan aksi yang seharusnya dapat menjadi sisi-sisi kuat film justru terasa mentah akibat tata gambar maupun pengarahan yang begitu lemah.

To be fair, Taken 3 bukanlah sebuah presentasi yang buruk secara keseluruhan. Namun dengan perkembangan film aksi yang semakin kuat di sepanjang tahun lalu – The Raid 2: Berandal dan John Wick sebagai beberapa contoh kuatnya – formula statis yang dihadirkan Luc Besson dan Robert Mark Kamen jelas menjadi terasa basi untuk disaksikan sekarang. No longer fun. No longer thrilling. [C-]

Tak3n (2015)

Directed by Olivier Megaton Produced by Luc Besson Written by Luc Besson, Robert Mark Kamen Starring Liam Neeson, Forest Whitaker, Famke Janssen, Maggie Grace, Dougray Scott, Sam Spruell, Leland Orser, Jon Gries, Jonny Weston, Dylan Bruno Music by Nathaniel Méchaly Cinematography Eric Kress Edited by Audrey Simonaud, Nicolas Trembasiewicz Studio EuropaCorp Running time 109 minutes Country France Language English

Review: Non-Stop (2014)

Non-Stop (Universal Pictures/StudioCanal/Silver Pictures/Anton Capital Entertainment/LOVEFiLM International, 2014)
Non-Stop (Universal Pictures/StudioCanal/Silver Pictures/Anton Capital Entertainment/LOVEFiLM International, 2014)

Sama seperti halnya dengan nama Meryl Streep yang justru mulai menjadi jaminan kesuksesan komersial sebuah film ketika ia menginjak usia 57 tahun setelah membintangi The Devil Wears Prada (2006), transformasi karir Liam Neeson menjadi seorang bintang film aksi dimulai setelah ia membintangi Taken (2008) tepat ketika ia berusia 52 tahun. Setelah itu, Neeson tercatat menjadi bintang utama bagi film-film aksi seperti The A-Team (2010), Unknown (2011), The Grey (2012) serta sekuel bagi Taken, Taken 2 (2012), yang meskipun tidak seluruhnya meraih pujian dari kritikus film dunia namun terus berhasil menarik minat penonton sekaligus semakin memperkuat citra Neeson sebagai seorang aktor laga yang dapat dihandalkan. Kharisma Neeson yang kuat, dingin dan begitu mengintimidasi bahkan mampu melebihi daya tarik yang dihasilkan nama-nama aktor spesialis laga seperti Arnold Schwarzenegger dan Sylvester Stallone dalam film-film teranyar mereka.

Continue reading Review: Non-Stop (2014)

Review: The LEGO Movie (2014)

The LEGO Movie (Warner Bros. Pictures/Village Roadshow Pictures/LEGO Systems A/S/Vertigo Entertainment/Lin Pictures/Animal Logic/RatPac-Dune Entertainment/Warner Animation Group, 2014)
The LEGO Movie (Warner Bros. Pictures/Village Roadshow Pictures/LEGO Systems A/S/Vertigo Entertainment/Lin Pictures/Animal Logic/RatPac-Dune Entertainment/Warner Animation Group, 2014)

Setelah seri film Dungeons & Dragons (2000 – 2011), Transformers (2007 – 2011), G.I. Joe (2009 – 2013) dan Battleship (2012), Hollywood kembali mencoba peruntungannya dalam memproduksi film yang diangkat dari sebuah permainan melalui The LEGO Movie. The LEGO Movie sendiri bukanlah film pertama yang jalan ceritanya didasarkan atas permainan susun bangun yang terbuat dari plastik tersebut. Sebelumnya, LEGO telah menginspirasi sejumlah film animasi yang kebanyakan langsung dirilis dalam bentuk DVD maupun ditayangkan melalui media televisi – menjadikan The LEGO Movie sebagai film LEGO pertama yang dirilis di layar lebar. Untungnya, dibawah arahan duo Phil Lord dan Chris Miller (Cloudy with a Chance of Meatballs, 2009), The LEGO Movie mampu dikembangkan menjadi sebuah film yang tidak hanya tampil kuat dalam kualitas visualnya, namun juga hadir dengan kualitas naskah yang begitu hangat dan menghibur.

Continue reading Review: The LEGO Movie (2014)

The 33rd Annual Razzie Awards Nominations List

27th Annual Razzie Awards - Worst Picture - "Basically, It Stinks, Too"Mengikuti prestasi seri-seri sebelumnya, seri terakhir The Twilight Saga, The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2, berhasil mendapatkan nominasi terbanyak di ajang The 33rd Annual Golden Raspberry Awards – atau yang lebih dikenal dengan nama Razzie Awards. The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2 bahkan mendapatkan nominasi di setiap kategori, termasuk Worst Picture, Worst Actress untuk Kristen Stewart (juga untuk perannya di Snow White and the Huntsman), Worst Actor untuk Robert Pattinson dan Worst Screenplay. Jangan khawatir, Team Jacob! Taylor Lautner juga berhasil meraih nominasi di kategori Worst Supporting Actor.

Continue reading The 33rd Annual Razzie Awards Nominations List

Review: Taken 2 (2012)

Tidak ada yang benar-benar tahu mengapa sekuel dari film Taken (2008) yang dibintangi oleh Liam Neeson diperlukan untuk diproduksi oleh Hollywood. Namun, mengingat film yang berdana produksi sebesar US$26 juta tersebut lalu sukses luar biasa selama masa perilisannya di seluruh dunia dan menghasilkan pendapatan sebesar US$226 juta… yahhh… jelas wajar saja jika kemudian Hollywood memutar otak mereka dan mencoba mengulangi kesuksesan yang tidak disengaja tersebut. Walau kali ini tidak lagi melibatkan sutradara seri pertamanya, Pierre Morel, Taken 2 masih dibintangi oleh Liam Neeson dengan dukungan Famke Janssen dan Maggie Grace. Naskah cerita Taken 2 juga masih ditulis oleh duo Luc Besson dan Robert Mark Kamen… yang kembali menghasilkan jalan cerita dengan formula yang benar-benar sangat familiar dengan seri pendahulunya. Easy money eh?

Continue reading Review: Taken 2 (2012)