Jailangkung: Sandekala jelas merupakan usaha teranyar untuk menghidupkan sekaligus memberikan penyegaran bagi seri film Jailangkung. Kini diarahkan oleh Kimo Stamboel (Ivanna, 2022), film yang naskah ceritanya ditulis oleh Stamboel bersama dengan Rinaldy Puspoyo (Dilema, 2012) sendiri tidak memiliki keterikatan kisah dengan film-film Jailangkung sebelumnya, baik dua film Jailangkung (2017 – 2018) arahan Jose Poernomo dan Rizal Mantovani – meskipun sebuah adegan dalam film ini memberikan rujukan kecil bagi kedua film tersebut – maupun Jelangkung (2001) garapan Poernomo dan Mantovani yang legendaris itu beserta film-film sekuel dan lepasannya yang dirilis hingga tahun 2007 serta melibatkan Dimas Djayadiningrat dan Angga Dwimas Sasongko untuk duduk di kursi penyutradaraan. Jailangkung: Sandekala bahkan dihadirkan dengan tata penuturan bernuansa misteri investigasi yang jelas cukup menjauh dari atmosfer horor supranatural yang dibawakan oleh film-film Jelangkung/Jailangkung sebelumnya.
Misteri dalam penceritaan Jailangkung: Sandekala dimulai dengan kisah hilangnya putra bungsu dari pasangan Adrian (Dwi Sasono) dan Sandra (Titi Kamal) yang bernama Kinan (Muzakki Ramdhan) ketika ia dan kakaknya, Niki (Syifa Hadju), sedang berkelana di seputar danau yang menjadi tempat peristirahatan keluarga mereka setelah melalui sebuah perjalanan darat yang panjang. Beberapa jam menghilang, bala bantuan yang dipimpin oleh seorang polisi, Madjid (Mike Lucock), datang untuk melakukan pencarian dan penyelamatan secara lebih intensif. Madjid juga menawarkan tempat menginap bagi Adrian, Sandra, dan Niki sembari menunggu hasil dari pencarian Kinan. Hilangnya Kinan tentu memberikan tekanan batin tersendiri bagi anggota keluarganya. Perasaan tersebut semakin memburuk ketika pihak kepolisian mulai menghubungkan hilangnya Kinan dengan deretan kasus yang belum terselesaikan akan hilangnya sejumlah anak di daerah tersebut.
Meskipun masih berkutat pada formula horor akan pemanfaatan urban legend dalam penuturannya, usaha dari naskah cerita garapan Stamboel dan Puspoyo untuk menghadirkan elemen tersebut dalam balutan kisah drama keluarga serta misteri investigasi cukup mampu memberikan warna tersendiri bagi linimasa cerita Jailangkung: Sandekala. Sayang, banyak potensi penceritaan tersebut kemudian gagal untuk dieksplorasi dengan matang. Konflik keluarga yang muncul antara karakter-karakter utama – khususnya antara karakter Sandra dan Niki – yang awalnya dihadirkan cukup intens, secara perlahan menghilang tanpa resolusi yang meyakinkan. Sejumlah mitos lokal bernuansa supranatural yang disinggung di sejumlah bagian cerita juga tidak mampu dikelola dengan baik maupun terasa digunakan lebih dari sekedar sebagai pemicu lonjakan ketakutan – termasuk penggunaan elemen kisah akan keberadaan jailangkung yang berkesan tempelan belaka agar film ini dapat memiliki keterkaitan dengan film-film terdahulu.
Harapan akan keberadaan kisah investigasi yang menarik juga pupus berkat pengelolaan kisah dan karakter yang benar-benar hambar. Stamboel sebenarnya mencoba untuk memberikan paparan yang seksama akan lapisan-lapisan kisah yang muncul dari usaha sejumlah karakter untuk memecahkan misteri yang sedang mereka hadapi. Namun, dengan pengelolaan tuturan cerita yang tergolong lamban serta garapan konflik yang buruk dan sering terasa menggelikan, Jailangkung: Sandekala gagal untuk tampil mengikat. Bahkan durasi penceritaan yang sebenarnya hanya berjalan selama 92 menit menjadi terasa begitu lama. Entah karena tersadar akan kualitas tuturan filmnya yang cenderung membosankan, Stamboel kemudian memilih untuk menggunakan elemen slasher untuk menutup penceritaan. Terasa cukup mendadak, namun – seperti yang ia pamerkan dalam Ratu Ilmu Hitam (2019) maupun Ivanna – Stamboel memiliki keistimewaan yang menonjol dalam mengelola adegan-adegan sadis nan menegangkan.
Walau jauh dari kesan istimewa, penampilan yang diberikan oleh barisan pengisi departemen akting film ini cukup membantu kualitas presentasi Jailangkung: Sandekala secara keseluruhan untuk tidak tenggelam semakin dalam. Tetap saja, lemahnya kemampuan naskah cerita untuk menyediakan pengembangan karakter yang mumpuni – yang berbanding lurus dengan buruknya kualitas pengembangan konflik dan cerita – membuat Jailangkung: Sandekala akan meninggalkan banyak memori buruk di ingatan di setiap penontonnya.
Jailangkung: Sandekala (2022)
Directed by Kimo Stamboel Produced by Wicky V. Olindo, Justin Kim Written by Kimo Stamboel, Rinaldy Puspoyo Starring Titi Kamal, Dwi Sasono, Syifa Hadju, Muzakki Ramdhan, Giulio Parengkuan, Teuku Rifnu Wikana, Yoga Pratama, Mike Lucock, Pipien Putri, Muhammad Abe, Jefri Nichol, Deva Mahenra, Riana Rizky, Gabby Andina, Afrian Aris Andi, Stenly, Taskya Namya, Daniel Ekaputra Music by Fajar Yuskemal Cinematography Patrick Tashadian Edited by Arifin Cu’unk Production company Sky Media/CJ ENM/Rapi Films/Legacy Pictures/Nimpuna Sinema Running time 92 minutes Country Indonesia Language Indonesian
One thought on “Review: Jailangkung: Sandekala (2022)”