Terlepas dari kesuksesan megah yang berhasil diraih oleh The Raid (2012) – baik sebagai sebuah film Indonesia yang mampu mencuri perhatian dunia maupun sebagai sebuah film yang bahkan diklaim banyak kritikus film dunia sebagai salah satu film aksi terbaik yang pernah diproduksi dalam beberapa tahun terakhir – tidak ada yang dapat menyangkal bahwa film garapan sutradara Gareth Huw Evans tersebut memiliki kelemahan yang cukup besar dalam penataan ceritanya. Untuk seri kedua dari tiga seri yang telah direncanakan untuk The Raid, Evans sepertinya benar-benar mendengarkan berbagai kritikan yang telah ia terima mengenai kualitas penulisan naskahnya. Menggunakan referensi berbagai film aksi klasik seperti The Godfather (1972) dan Infernal Affairs (2002), Evans kemudian memberikan penggalian yang lebih mendalam terhadap deretan karakter maupun konflik penceritaan sekaligus menciptakan jalinan kisah berlapis yang tentu semakin menambah kompleks presentasi kisah The Raid 2: Berandal. Lalu bagaimana Evans mengemas pengisahan yang semakin rumit tersebut dengan sajian kekerasan nan brutal yang telah menjadi ciri khas dari The Raid?
Tag Archives: Thriller
Review: House at the End of the Street (2012)
Jennifer Lawrence dapat saja berkilah bahwa keterlibatannya dalam House at the End of the Street adalah murni hanyalah sebuah usaha untuk memperluas jangkauan aktingnya dengan membintangi banyak film dari genre yang bervariasi. Sayangnya, siapapun yang telah menyaksikan House at the End of the Street yang diarahkan oleh Mark Tonderai ini jelas tidak akan dapat menyangkal bahwa Lawrence telah melakukan kesalahan besar dengan memilih untuk terlibat dalam proses produksi film ini. Walau dirinya masih mampu menampilkan kemampuan aktingnya yang sangat tidak mengecewakan, namun dengan eksekusi naskah cerita yang begitu datar, House at the End of the Street tetap saja akan gagal untuk mampu tampil sebagai sebuah thriller yang menarik.
Continue reading Review: House at the End of the Street (2012)
Review: The Expatriate (2013)

Dirilis dengan judul Erased di wilayah Amerika Serikat, film yang diarahkan oleh Philipp Stölzl berdasarkan naskah cerita yang digarap oleh Arash Amel ini berkisah mengenai seorang warga Amerika Serikat bernama Ben Logan (Aaron Eckhart) yang bekerja di sebuah anak perusahaan besar yang memproduksi berbagai produk keamanan di Antwerp, Belgia. Ben tidak tinggal sendirian di negara tersebut. Puteri tunggalnya, Amy (Liana Liberato), baru saja turut pindah untuk tinggal bersamanya sekaligus berusaha memperbaiki kembali hubungan mereka yang mulai meregang semenjak istrinya meninggal dunia. Sebagai seorang ayah, Ben jelas berusaha melakukan apapun untuk dapat membahagiakan puterinya. Meskipun begitu, dengan berbagai kesibukan yang selalu menyita waktunya, hubungan Ben dengan Amy seringkali harus menemui banyak kendala untuk dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Review: Non-Stop (2014)

Sama seperti halnya dengan nama Meryl Streep yang justru mulai menjadi jaminan kesuksesan komersial sebuah film ketika ia menginjak usia 57 tahun setelah membintangi The Devil Wears Prada (2006), transformasi karir Liam Neeson menjadi seorang bintang film aksi dimulai setelah ia membintangi Taken (2008) tepat ketika ia berusia 52 tahun. Setelah itu, Neeson tercatat menjadi bintang utama bagi film-film aksi seperti The A-Team (2010), Unknown (2011), The Grey (2012) serta sekuel bagi Taken, Taken 2 (2012), yang meskipun tidak seluruhnya meraih pujian dari kritikus film dunia namun terus berhasil menarik minat penonton sekaligus semakin memperkuat citra Neeson sebagai seorang aktor laga yang dapat dihandalkan. Kharisma Neeson yang kuat, dingin dan begitu mengintimidasi bahkan mampu melebihi daya tarik yang dihasilkan nama-nama aktor spesialis laga seperti Arnold Schwarzenegger dan Sylvester Stallone dalam film-film teranyar mereka.
Review: Magic Magic (2013)
Setelah sukses lewat La Nana (atau The Maid, 2009) yang berhasil memenangkan beberapa penghargaan di The 25th Annual Sundance Film Festival sekaligus dinominasikan di kategori Best Foreign Language Film pada ajang The 25th Annual Independent Spirit Awards dan The 67th Annual Golden Globe Awards, sutradara asal Chili, Sebastián Silva, kembali hadir dengan film terbarunya, Magic Magic. Berbeda dengan kesan yang diberikan oleh judul film ini, Magic Magic sama sekali tidak akan menghadirkan sebuah kisah yang bernuansa magis kepada para penontonnya. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Silva berdasarkan sebuah urban legend yang berasal dari Brazil, Magic Magic adalah sebuah psychological thriller dengan atmosfer penceritaan yang akan mengingatkan penontonnya pada film-film sejenis arahan Roman Polanski seperti Repulsion (1965) dan Rosemary’s Baby (1968). Sebuah perbandingan yang cukup tegas namun benar-benar mampu ditangani dengan baik oleh Silva.
Review: Killers (2014)

Dalam Killers, sebuah film thriller terbaru arahan duo Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel – atau yang lebih familiar dengan sebutan The Mo Brothers (Rumah Dara, 2010), garis kehidupan dua orang pria yang berasal dari dua negara dan latar kehidupan berbeda namun sama-sama menyimpan sebuah sisi gelap yang mengerikan di dalam diri mereka akan segera bertemu satu sama lain. Pria pertama bernama Nomura Shuhei (Kazuki Kitamura), seorang eksekutif muda asal Tokyo, Jepang yang meskipun memiliki wajah tampan dan mudah disukai banyak orang namun memiliki kegemaran untuk membunuh dan mendokumentasikan kegemarannya tersebut dalam bentuk video. Tidak berhenti disana, Nomura dengan giat mengunggah rekaman-rekaman video pembunuhannya ke internet demi mendapatkan kepuasan setelah mengetahui bahwa “mahakarya” yang ia hasilkan telah dilihat jutaan pasang mata.
Review: Dark Skies (2013)

Diarahkan oleh Scott Stewart (Priest, 2011) berdasarkan naskah cerita yang juga ia tulis sendiri, Dark Skies mengisahkan mengenai permasalahan yang dialami oleh pasangan Daniel (Josh Hamilton) dan Lacy Barrett (Keri Russell) beserta kedua putera mereka, Jesse (Dakota Goyo) dan Sammy (Kadan Rockett), ketika berbagai hal-hal aneh mulai terjadi di dalam rumah yang mereka tempati yang dimulai dengan ditemukannya dapur dalam kondisi yang berantakan serta munculnya beberapa simbol aneh di dalam rumah. Sammy kemudian mengungkapkan pada Lacy bahwa hal tersebut dilakukan oleh sesosok pria yang bernama Sandman – sesosok karakter fiktif dari buku cerita yang sering dibacanya. Mendengar hal tersebut, tentu saja, Lacy memilih untuk tidak menghiraukan dan menganggap Sammy tidak serius dengan perkataannya. Di saat yang bersamaan, hal-hal aneh tersebut semakin sering terjadi hingga mulai mengganggu kehidupan pernikahan Daniel dan Lacy.
Review: Haunter (2013)
![Haunter (Wild Bunch/Copperheart Entertainment/The Government of Ontario - The Ontario Film and Television Tax Credit/The Canadian Audio Visual Certification Office/The Canadian Film and Television Tax Credit/Haunter [Copperheart] Productions Inc., 2013)](https://amiratthemovies.files.wordpress.com/2014/01/haunter-poster.jpg?w=202&h=300)
Menyimak tiga film bernuansa thriller yang pernah diarahkannya, Cube (1998), Cypher (2002) dan Splice (2010), penonton pasti dapat merasakan bahwa Vincenzo Natali adalah seorang sosok sutradara yang gemar untuk mengekplorasi ide-ide baru, segar sekaligus provokatif dalam setiap filmnya. Sayangnya, juga berdasarkan kualitas dari tiga film yang diarahkannya tersebut, Natali terkesan selalu terjebak atas ide besar yang dimiliki oleh jalan cerita film yang ia arahkan untuk kemudian gagal memberikan pengembangan lebih luas dari ide cerita brilian tersebut. Film terbaru Natali sendiri, Haunter, mungkin tidak menawarkan sebuah premis cerita yang akan dianggap banyak orang sebagai sesuatu yang orisinil – para penikmat film pasti akan segera menggambarkan Haunter sebagai sebuah kompilasi ide dari Groundhog Day (1993), The Sixth Sense (1999) sekaligus The Others (2001). Berbagai lapisan tersebut jelas membuat Haunter menjadi sebuah film dengan struktur cerita yang kaya. Namun, apakah Natali mampu mengolah lapisan-lapisan tersebut sehingga Haunter dapat tampil sebagai sebuah presentasi cerita yang solid?
Review: Paranormal Activity: The Marked Ones (2014)

“Because this is Hollywood, and if something kind of works, they’ll just keep doing it until everybody hates it!”
Kutipan tersebut berasal dari Tina Fey yang menyinggung mengenai dirinya dan Amy Poehler yang kembali diundang oleh Hollywood Foreign Press Association untuk kembali membawakan ajang penghargaan Golden Globes beberapa waktu yang lalu. And it’s fucking true! Hollywood, saudara-saudara, tidak akan berhenti mengeksploitasi sebuah produk jika produk tersebut masih terus digemari (baca: digilai) oleh para konsumennya. They’re all about the money after all. Mungkin hal tersebut adalah satu-satunya alasan rasional yang dapat menjelaskan keberadaan setiap seri terbaru dari franchise Paranormal Activity (2009 – 2012). Para kritikus film dunia jelas telah merasa kelelahan dengan formula horor yang terus menerus diulang di setiap seri franchise ini. Pun begitu, apa mau dikata, penonton sepertinya terus saja rela menghabiskan uang dan waktu mereka untuk mendapatkan sensasi ketakutan yang sama dari setiap seri Paranormal Activity.
Continue reading Review: Paranormal Activity: The Marked Ones (2014)
Review: Jack Ryan: Shadow Recruit (2014)
Seperti halnya Casino Royale (2006) bagi seri film James Bond, Jack Ryan: Shadow Recruit adalah sebuah film yang menandai dimulainya proses reboot untuk seri film Jack Ryan yang dahulu telah dimulai dengan The Hunt for Red October (1990) dan kemudian berlanjut dengan Patriot Games (1992), Clear and Present Danger (1994) serta The Sum of All Fears (2002) – yang juga dimaksudkan sebagai sebuah reboot namun kemudian gagal untuk mendapatkan pengembangan lebih lanjut. Sebagai sebuah seri yang akan menjadi dasar bagi kelanjutan kisah Jack Ryan berikutnya, Jack Ryan: Shadow Recruit harus diakui mampu memberikan kesempatan yang begitu luas bagi penonton untuk mengenal karakter yang diadaptasi dari seri novel karya Tom Clancy tersebut secara lebih dekat. Sayangnya, pengembangan cerita serta beberapa karakter pendukung yang dilakukan secara minimalis membuat Jack Ryan: Shadow Recruit terasa begitu medioker dan gagal tampil istimewa dalam penyampaian ceritanya.
Review: Hours (2013)
Sebagai seorang aktor, Paul Walker memang tidak pernah dikenal sebagai sosok yang memiliki jangkauan dramatikal yang kuat. Semenjak berperan sebagai Brian O’Conner dalam The Fast and the Furious (2001) – film aksi yang berhasil mengangkat namanya ke jajaran aktor papan atas Hollywood serta kemudian berkembang menjadi rangkaian seri film karena kesuksesannya dan terus ia perankan hingga Fast and Furious 6 yang dirilis tahun lalu – nama Walker memang lebih identik dengan film-film pemacu adrenalin yang (sepertinya) memang tidak memberikan tantangan yang begitu berarti bagi kemampuan akting Walker. Meskipun begitu, penampilannya dalam film-film seperti Varsity Blues (1999), Eight Below (2006) dan Running Scared (2006), cukup berhasil membuktikan bahwa dirinya memiliki kapabilitas berperan yang cukup kuat jika diberikan wilayah penceritaan yang memadai.
Review: Isyarat (2013)
Isyarat adalah sebuah film omnibus yang terdiri atas empat film pendek yang sama-sama mencoba berkisah mengenai kekuatan istimewa yang dimiliki oleh empat karakter utamanya. Disutradarai oleh Asmirandah, Monty Tiwa, Reza Rahadian dan Adhyatmika serta didukung dengan nama-nama seperti Ifa Isfansyah sebagai produser serta Garin Nugroho yang bertindak sebagai produser eksekutif, Isyarat jelas hadir begitu menjanjikan untuk tampil lebih baik dari kebanyakan film omnibus yang dirilis oleh industri film Indonesia. Sayangnya… Isyarat justru tampil begitu mengecewakan. Naskah cerita yang ditulis oleh Jujur Prananto dan Titien Wattimena benar-benar terlalu dangkal untuk dapat tampil menarik. Lebih buruk lagi, setiap film tampil dengan eksekusi cerita yang begitu lemah sehingga hampir terlihat tidak begitu layak untuk dirilis sebagai sebuah film layar lebar.
Review: The Counselor (2013)
Setelah sebelumnya bekerjasama lewat Prometheus (2012), Michael Fassbender kini kembali berada di bawah arahan Ridley Scott untuk film terbaru yang diarahkannya, The Counselor. Dalam film ini, Fassbender berperan sebagai seorang pengacara tampan dan sukses yang dalam kesehariannya dipanggil dengan sebutan sang konselor – dan nama karakternya sama sekali tidak pernah diungkap hingga akhir film. Atas saran sahabatnya, seorang pengusaha – sekaligus pengedar obat-obatan terlarang, Reiner (Javier Bardem), yang selalu menilai bahwa sang konselor kurang mampu mengembangkan harta dan posisi yang dimilikinya saat ini, sang konselor lalu memutuskan untuk turut terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang yang menjanjikan keuntungan sangat besar. Meskipun menguntungkan, rekan bisnis sang konselor, Westray (Brad Pitt), mengingatkan bahwa bisnis haram tersebut sangat beresiko tinggi mengingat sang konselor akan berhubungan langsung dengan kartel obat-obatan terlarang asal Meksiko yang dikenal tidak ragu untuk mengambil tindakan kekerasan jika mereka merasa dirinya terancam. Tetap saja, sang konselor memilih untuk terjun dan terlibat dalam bisnis perdagangan gelap tersebut.