Tag Archives: Idris Elba

Review: Thor: Love and Thunder (2022)

Rasanya tidak mengherankan jika Marvel Studios mendapuk Taika Waititi untuk kembali duduk di kursi penyutradaraan bagi film keempat Thor, Thor: Love and Thunder. Setelah racikan Alan Taylor untuk Thor: The Dark World (2013) gagal untuk mengikuti standar tinggi yang telah diterapkan Kenneth Branagh dalam Thor (2011) – yang bahkan menjadikan film tersebut sebagai salah satu produk dengan kualitas terlemah dalam linimasa pengisahan Marvel Cinematic Universe, Waititi sukses memberikan penyegaran bagi tata penuturan seri film Thor ketika ia menghadirkan Thor: Ragnarok (2017) dengan sentuhan komedi yang begitu menyenangkan sekaligus begitu berbeda dengan tuturan komedi yang sebelumnya pernah ditampilkan oleh film-film yang tergabung dalam semesta pengisahan sinematik milik Marvel. Bekerjasama dengan penulis naskah Jennifer Kaytin Robinson (Unpregnant, 2020), Waititi berusaha untuk mengulang kembali penuturan komikal Thor: Ragnarok sekaligus memadukannya dengan sejumlah paparan dramatis yang bernilai emosional. Dan lumayan berhasil. Continue reading Review: Thor: Love and Thunder (2022)

Review: Sonic the Hedgehog 2 (2022)

Dengan biaya produksi sebesar US$90 juta yang kemudian menghasilkan pendapatan komersial sebesar lebih dari US$319 juta di sepanjang masa perilisannya di seluruh dunia, tidak mengherankan jika Paramount Pictures dengan segera menyetujui pembuatan sekuel bagi Sonic the Hedgehog (Jeff Fowler, 2020). Fowler masih duduk di kursi penyutradaraan. Begitu pula dengan duo penulis naskah dari film sebelumnya, Pat Casey dan Josh Miller, yang kali ini mendapatkan sokongan dari John Whittington (Dolittle, 2020). Continue reading Review: Sonic the Hedgehog 2 (2022)

Review: The Suicide Squad (2021)

Masih ingat dengan Suicide Squad (David Ayer, 2016)? Well… mungkin cukup bijaksana memilih untuk melupakan berbagai hal buruk yang menyangkut penampilan Jared Leto sebagai Joker ataupun kualitas buruk secara keseluruhan yang ditampilkan oleh film ketiga dalam seri DC Extended Universe tersebut. Namun, dengan raihan komersial sebesar lebih dari US$700 juta di sepanjang masa rilisnya – dan penghargaan Best Makeup and Hairstyling dari ajang The 89th Annual Academy AwardsWarner Bros. Pictures tentu memiliki sejuta alasan untuk mengenyampingkan berbagai reaksi negatif yang datang dari sejumlah kritikus maupun penonton dan kembali memproduksi versi teranyar dari Suicide Squad. James Gunn (Guardians of the Galaxy Vol. 2, 2017) kemudian dipilih untuk duduk di kursi penyutradaraan sekaligus menjadi penulis naskah bagi The Suicide Squad – judul yang diberikan bagi film yang dimaksudkan menjadi standalone sequel bagi Suicide Squad. Menghadirkan beberapa karakter serta pemeran baru dan memadukannya dengan nada pengisahan khas Gunn yang brutal namun menyenangkan, The Suicide Squad tidak mampu menjadi penyetel ulang kualitas linimasa penceritaan seri Suicide Squad namun juga berhasil tampil sebagai salah satu film terbaik bagi DC Extended Universe. Continue reading Review: The Suicide Squad (2021)

Review: Cats (2019)

Menyusul kesuksesan adaptasi layar lebar Les Misérables (2012) yang berhasil meraih pendapatan komersial sebesar lebih dari US$441 juta selama masa tayangnya serta mendapatkan delapan nominasi di ajang The 85th Annual Academy Awards dan memenangkan tiga diantaranya, Tom Hooper kembali ke ranah musikal melalui Cats. Seperti halnya Les Misérables, Cats diadaptasi dari sebuah drama panggung berjudul sama yang diciptakan oleh komposer Andrew Lloyd Webber – yang juga bertugas sebagai penata musik di film ini – berdasarkan buku kumpulan puisi berjudul Old Possum’s Book of Practical Cats yang ditulis oleh T. S. Eliot. Dengan naskah cerita yang digarap Hooper bersama dengan Lee Hall (War Horse, 2011), versi film dari Cats masih menuturkan kisah yang sama seperti drama panggungnya: Tentang sekelompok kucing yang menyebut diri mereka sebagai kelompok Jellicle yang di satu malam khusus kemudian berkumpul dan memilih salah satu diantara mereka untuk dikirimkan ke Heaviside Layer – sebuah istilah yang digunakan untuk proses kelahiran kembali guna menjalani sebuah kehidupan yang baru. Continue reading Review: Cats (2019)

Review: Fast & Furious Presents: Hobbs & Shaw (2019)

Suka atau tidak, sulit untuk membantah bahwa keterlibatan Dwayne Johnson pada Fast Five (Justin Lin, 2011) telah memberikan energi baru yang sangat dibutuhkan oleh seri film The Fast and the Furious. Setelah kesuksesan The Fast and the Furious (Rob Cohen, 2001), dua sekuel yang mengikutinya, 2 Fast 2 Furious (John Singleton, 2003) dan The Fast and the Furious: Tokyo Drift (Lin, 2006), tidak mampu menyamai raihan komersial yang didapatkan oleh film perdana dari seri film yang telah melambungkan nama Vin Diesel, Paul Walker, Michelle Rodriguez, dan Jordana Brewster ini. Film keempat, Fast & Furious (Lin, 2009), memang bernasib sedikit lebih baik dari dua film sebelumnya namun, tetap saja, masih terasa berada di bawah capaian The Fast and the Furious. Keberadaan Johnson di Fast Five dan tiga sekuel berikutnya terbukti mampu meningkatkan daya tarik seri film ini bagi banyak penikmat film dunia dengan raihan komersial yang terus meningkat di setiap film – dengan Fast & Furious 7 (James Wan, 2015) dan Fast & Furious 8 (F. Gary Gray, 2017) mampu meraih pendapatan sebesar lebih dari US$1 milyar – dan bahkan secara perlahan turut menarik hati para kritikus film yang mulai memandang seri film The Fast and the Furious sebagai salah satu seri film aksi paling menghibur di era modern Hollywood. Continue reading Review: Fast & Furious Presents: Hobbs & Shaw (2019)

Review: Avengers: Infinity War (2018)

Bayangkan beban yang harus diemban oleh Anthony Russo dan Joe Russo. Tidak hanya mereka harus menggantikan posisi Joss Whedon yang telah sukses mengarahkan The Avengers (2012) dan Avengers: Age of Ultron (2015), tugas mereka dalam menyutradarai Avengers: Infinity Warjuga akan menjadi penanda bagi sepuluh tahun perjalanan Marvel Studios semenjak memulai perjalanan Marvel Cinematic Universe ketika merilis Iron Man (Jon Favreau, 2008) sekaligus menjadi film kesembilan belas dalam semesta penceritaan film tersebut. Bukan sebuah tugas yang mudah, tentu saja, khususnya ketika mengingat The Russo Brothers juga harus bertugas untuk mengarahkan seluruh (!) karakter pahlawan super yang berada dalam Marvel Cinematic Universe dalam satu linimasa yang sama. Namun, The Russo Brothers sendiri bukanlah sosok yang baru bagi seri film ini. Dengan pengalaman mereka dalam mengarahkan Captain America: The Winter Soldier (2014), dan Captain America: Civil War (2016), keduanya telah memiliki modal yang lebih dari cukup untuk menjadikan Avengers: Infinity War menjadi sebuah presentasi kisah pahlawan super yang mampu tampil mengesankan.

Continue reading Review: Avengers: Infinity War (2018)

Review: Molly’s Game (2017)

Sebagai seorang penulis naskah, nama Aaron Sorkin jelas bukanlah nama yang asing bagi para penikmat film maupun serial televisi buatan Hollywood. Dikenal dengan ciri khas barisan karakter kuat yang hadir dengan dialog-dialog tajam yang disampaikan dengan cepat, Sorkin telah menuliskan beberapa  naskah cerita yang begitu mengesankan dalam beberapa tahun terakhir: mulai dari naskah cerita untuk serial televisi seperti The West Wing (1999 – 2006) dan The Newsroom (2012 – 2014) hingga naskah cerita untuk film-film seperti A Few Good Man (Rob Reiner, 1992), The Social Network (David Fincher, 2010), Moneyball (Bennett Miller, 2011), dan Steve Jobs (Danny Boyle, 2015). Sorkin bahkan telah mengoleksi beberapa penghargaan Primetime Emmy Awards (untuk The West Wing) dan sebuah Academy Awards (untuk The Social Network) untuk naskah-naskah cerita garapannya. Untuk Molly’s Game sendiri, Sorkin melangkah ke sebuah wilayah yang belum pernah ia jalani sebelumnya: selain bertugas sebagai penulis naskah, Sorkin juga bertugas sebagai sutradara bagi film ini. Lalu bagaimana kinerja Sorkin dalam debut pengarahannya? Continue reading Review: Molly’s Game (2017)

Review: Thor: Ragnarok (2017)

Masih ingat dengan Thor: The Dark World (Alan Taylor, 2013)? Well… tidak akan ada yang menyalahkan jika Anda telah melupakan sepenuhnya mengenai jalan cerita maupun pengalaman menonton dari sekuel perdana bagi film yang bercerita tentang Raja Petir dari Asgard tersebut. Berada di bawah arahan Taylor yang mengambil alih kursi penyutradaraan dari Kenneth Branagh, Thor: The Dark World harus diakui memang gagal untuk melebihi atau bahkan menyamai kualitas pengisahan film pendahulunya. Tidak berniat untuk mengulang kesalahan yang sama, Marvel Studios sepertinya berusaha keras untuk memberikan penyegaran bagi seri ketiga Thor, Thor: Ragnarok: mulai dari memberikan kesempatan pengarahan pada sutradara Taika Waititi yang baru saja meraih kesuksesan lewat dua film indie-nya, What We Do in the Shadows (2014) dan Hunt for the Wilderpeople (2016), menghadirkan naskah cerita yang menjauh dari kesan kelam, hingga memberikan penampilan-penampilan kejutan dalam presentasi filmnya. Berhasil? Mungkin. Continue reading Review: Thor: Ragnarok (2017)

Review: The Dark Tower (2017)

Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Stephen King – dan merupakan salah satu dari lima tulisan King yang tahun ini diadaptasi menjadi film layar lebar dan serial televisi, The Dark Tower berkisah mengenai seorang anak laki-laki bernama Jake Chambers (Tom Taylor) yang mengalami serangkaian mimpi dimana ia dapat menyaksikan seorang penembak yang berusaha menghentikan usaha seorang pria berpakaian hitam dalam meruntuhkan sebuah menara yang selama ini dipercaya memiliki kekuatan untuk mencegah kekuatan jahat mengganggu kehidupan di dunia. Melalui petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan dalam mimpinya itu pula, Jake Chambers kemudian berhasil menemukan pintu gerbang berteknologi tinggi yang membawanya berpindah ke sebuah dunia yang dikenal dengan sebutan Mid-World. Disana, Jake Chambers akhirnya bertemu dengan sang penembak yang bernama Roland Deschain (Idris Elba) dan menceritakan bahwa dunia sedang berada dibawah ancaman seorang penyihir bernama Walter Padick (Matthew McConaughey) yang bersama dengan pasukannya sedang berusaha untuk menyebarkan kekuatan kegelapan di dunia. Continue reading Review: The Dark Tower (2017)

Review: Avengers: Age of Ultron (2015)

avengers-age-of-ultron-posterSetelah kesuksesan luar biasa dari The Avengers (2012) – yang tidak hanya berhasil meraih pujian luas dari banyak kritikus film dunia namun juga mampu menarik perhatian penonton dan menjadikannya sebagai film dengan kesuksesan komersial terbesar ketiga di dunia setelah Avatar (2009) dan Titanic (1997) – kumpulan pahlawan dari Marvel Comics kembali hadir lewat Avengers: Age of Ultron. Masih disutradarai oleh Joss Whedon, Avengers: Age of Ultron memberikan sedikit perubahan radikal dalam warna penceritaannya. Berbeda dengan The Avengers yang menghadirkan banyak sentuhan komedi melalui deretan dialognya, film yang juga menjadi film kesebelas dalam rangkaian film dari Marvel Cinematic Universe ini tampil dengan deretan konflik yang lebih kompleks sekaligus kelam dari pendahulunya – atau bahkan dari seluruh film-film produksi Marvel Studios sebelumnya. Sebuah pilihan yang cukup beresiko dan, sayangnya, gagal untuk dieksekusi secara lebih dinamis oleh Whedon.

Dalam Avengers: Age of Ultron, Tony Stark (Robert Downey, Jr.) bekerjasama dengan Bruce Banner (Mark Ruffalo) untuk menghasilkan sebuah teknologi kecerdasan buatan yang awalnya ditujukan untuk membantu The Avengers dalam melaksanakan setiap tugas mereka. Sial, program yang diberi nama Ultron (James Spader) tersebut justru berbalik arah. Dengan tingkat kecerdasan tinggi yang diberikan kepadanya, Ultron justru merasa bahwa The Avengers adalah ancaman bagi kedamaian dunia dan akhirnya memilih untuk memerangi mereka. Dibantu dengan pasangan kembar Pietro (Aaron Taylor-Johnson) yang memiliki kecepatan super dan Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen) yang memiliki kemampuan untuk memanipulasi jalan pemikiran orang lain, Ultron memberikan sebuah tantangan berat yang tidak hanya mengancam keberadaan The Avengers namun juga keberadaan seluruh umat manusia yang ada di atas pemukaan Bumi.

Pilihan untuk tampil “lebih dewasa” lewat jalan penceritaan lebih kompleks dan kelam yang dituliskan oleh Joss Whedon sendiri sebenarnya bukanlah sebuah pilihan yang buruk untuk Avengers: Age of Ultron. Namun, dengan banyaknya karakter serta beberapa konflik personal lain yang masih tetap ingin diberikan ruang penceritaan khusus oleh Whedon, Avengers: Age of Ultron akhirnya justru terasa dibebani terlalu banyak permasalahan dengan ruang yang lebih sempit bagi konflik-konflik tersebut untuk berkembang dan hadir dengan porsi cerita yang memuaskan. Ketiadaan fokus yang kuat bagi setiap masalah yang dihadirkan inilah yang membuat Avengers: Age of Ultron terasa bertele-tele dalam mengisahkan penceritaannya dan akhirnya turut mempengaruhi pengembangan kisah personal beberapa karakter yang sebelumnya justru menjadi salah satu poin terbaik dari pengisahan The Avengers.

Berbicara mengenai Ultron, karakter antagonis yang satu ini harus diakui gagal tersaji secara lebih menarik jika dibandingkan dengan karakter antagonis dari seri sebelumnya, Loki. Terlepas dari kecerdasan luar biasa yang ia miliki, Ultron terasa hanyalah sebagai sebuah variasi karakter antagonis standar dalam film-film bertema sejenis yang berniat untuk memberikan ujian fisik dan mental bagi para karakter utama hingga akhirnya dapat menemukan jalan untuk mencapai tujuan hidup mereka: menjadi penguasa dunia. Vokal James Spader sendiri mampu memberikan warna karakteristik dingin yang sangat sesuai bagi Ultron namun hal tersebut tetap saja tidak mampu membuat Ultron tampil lebih menarik lagi.

Terlepas dari beberapa kelemahan tersebut, Avengers: Age of Ultron sendiri masih mampu dengan beberapa sentuhan humanis dalam penceritaannya. Beberapa plot pendukung seperti hubungan romansa yang sepertinya mulai terbangun antara karakter Bruce Banner dan Natasha Romanoff serta latar belakang keluarga yang dimiliki oleh karakter Clint Barton membuat sisi drama dari film ini tampil dengan kualitas yang cukup istimewa. Whedon, sayangnya, gagal memberikan porsi pengisahan yang sesuai untuk dua karakter baru, Pietro dan Wanda Maximoff, sehingga kehadiran keduanya seringkali terasa tidak lebih dari sekedar karakter tambahan tanpa esensi cerita yang cukup kuat untuk tampil lebih menarik.

Layaknya seri pendahulunya, Whedon masih mampu merangkai Avengers: Age of Ultron dengan kualitas departemen produksi yang sangat memikat. Jajaran pengisi departemen akting film ini juga hadir dengan penampilan akting yang semakin dinamis dengan chemistry yang semakin menguat antara satu dengan yang lain. Seandainya Whedon mau menghilangkan beberapa plot pendukung yang kurang esensial dan memilih untuk mengembangkan konflik utama film dengan lebih tajam, Avengers: Age of Ultron mungkin mampu hadir menyaingi kualitas penceritaan The Avengers – meskipun dengan nada penceritaan yang tetap hadir lebih kelam dan serius. Avengers: Age of Ultron tetap mampu memberikan beberapa momen khas film-film karya Marvel Studios yang akan dapat dinikmati penggemarnya. Namun lebih dari itu, film ini terasa dibebani terlalu banyak konflik yang akhirnya justru membuatnya gagal untuk berkembang dengan penceritaan yang lebih baik. [C]

Avengers: Age of Ultron (2015)

Directed by Joss Whedon Produced by Kevin Feige Written by Joss Whedon (screenplay), Zak Penn, Joss Whedon (story), Stan Lee, Jack Kirby (comics, The AvengersStarring Robert Downey Jr., Chris Hemsworth, Mark Ruffalo, Chris Evans, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Don Cheadle, Aaron Taylor-Johnson, Elizabeth Olsen, Paul Bettany, Cobie Smulders, Anthony Mackie, Hayley Atwell, Idris Elba, Stellan Skarsgård, James Spader, Samuel L. Jackson,  Linda Cardellini, Thomas Kretschmann, Claudia Kim, Andy Serkis, Julie Delpy, Stan Lee Music by Brian Tyler, Danny Elfman Cinematography Ben Davis Editing by Jeffrey Ford, Lisa Lassek Studio Marvel Studios Running time 141 minutes Country United States Language English

Review: The Gunman (2015)

the-gunman-posterDalam The Gunman, Sean Penn mencoba peruntungannya untuk menambah panjang daftar deretan aktor senior yang mencoba menyegarkan kembali karir mereka dengan bermain dalam sebuah film aksi – daftar yang telah diisi oleh nama-nama seperti Liam Neeson, Colin Firth, Tom Cruise, Harrison Ford bahkan Helen Mirren. Dan jelas tidak mengejutkan jika kemudian film aksi Penn tersebut diarahkan oleh Pierre Morel – sutradara yang sebelumnya pernah mengarahkan Neeson dalam film aksi perdananya, Taken (2009). Kabar buruk: Penn tidak akan mengalami nasib sebaik Neeson. Kharismanya sebagai seorang aktor laga masih (sangat) jauh jika dibandingkan dengan aktor asal Irlandia tersebut. Oh. Dan The Gunman juga adalah sebuah film yang akan menemui kesulitan besar dalam mengesankan para penontonnya.

Diadaptasi oleh Penn bersama dengan Don Macpherson dan Pete Travis dari novel berjudul The Prone Gunman karya Jean-Patrick Manchette, The Gunman berkisah mengenai Jim Terrier (Penn) yang bekerja sebagai anggota pasukan keamanan khusus di Kongo yang bersama dengan teman-temannya kemudian direkrut untuk menjalankan sebuah misi rahasia. Usai melaksanakan tugasnya, Jim terpaksa harus meninggalkan kekasihnya, Annie (Jasmine Trinca), di negara tersebut untuk menghilangkan segala jejak perbuatannya. Sayang, delapan tahun kemudian, masa lalu Jim yang kelam kembali hadir menghantuinya dan bahkan hampir saja merenggut nyawanya. Tidak tinggal diam, Jim akhirnya memulai pencariannya akan siapa orang yang bertanggungjawab atas hadirnya kembali masa lalu yang sebenarnya telah ia tinggalkan tersebut.

Sebagai aktor yang pernah memenangkan dua Academy Awards, penampilan akting Penn memang tidak perlu diragukan lagi – termasuk dalam menyajikan adegan laga dalam banyak adegan. Namun, untuk perannya dalam film ini, penampilan Penn terasa begitu datar. Bukan salah Penn sepenuhnya memang. Naskah cerita film ini menyajikan terlalu banyak intrik dalam penceritaan yang seringkali membuat karakter-karakternya menjadi tenggelam. Berbeda dengan film-film aksi yang dibintangi oleh Neeson, The Gunman harus diakui memiliki sentuhan sosial, hukum dan politik dalam penyajian kisahnya. Karakter Jim Terrier yang diperankan Penn juga dihadirkan dengan sebuah penyakit parah yang dikisahkan dapat kapan saja mengambil nyawanya. Sayangnya, dengan penataan kedalaman cerita yang kurang memadai, sentuhan-sentuhan tersebut justru menjadi terasa kompleks tanpa pernah mampu menjadi bagian esensial film. Rumit sehingga sulit untuk dinikmati dan mudah terlupakan begitu saja.

Plot cerita yang berisi lebih banyak dialog dan konflik yang sedikit lebih rumit sepertinya menjadi penghalang tersendiri bagi Morel untuk dapat bercerita secara lancar. The Gunman seringkali terasa terbata-bata dalam pengisahannya. Terbentur antara penyajian adegan laga dengan beberapa dialog panjang mengenai permasalahan yang dihadirkan dalam film. Untungnya, Morel cukup berhasil dalam merangkai film ini dengan sajian tatanan teknis yang unggul sehingga The Gunman masih terlihat sangat layak untuk disaksikan dalam sepanjang 115 menit durasinya.

Hadir dengan departemen akting yang diisi nama-nama seperti Javier Bardem, Idris Elba, Ray Winstone hingga Mark Rylance juga tidak banyak membantu pesona film ini. Karakter-karakter yang mereka perankan tidak pernah terusung secara sempurna. Meskipun begitu, kualitas akting yang ditampilkan para aktor tersebut memang hadir dalam skala yang memuaskan. Karakter antagonis yang diperankan Bardem hadir meyakinkan. Begitu pula chemistry antara Penn dengan Trinca yang terasa hangat dalam setiap kehadirannya pada adegan cerita. Meskipun sangat singkat – dan karakter yang benar-benar dangkal penulisan kisahnya, Elba tetap mampu tampil mencuri perhatian. [C-]

The Gunman (2015)

Directed by Pierre Morel Produced by Adrián Guerra, Sean Penn, Peter McAleese, Andrew Rona, Joel Silver Written by Don Macpherson, Pete Travis, Sean Penn (screenplay), Jean-Patrick Manchette (novel, The Prone Gunman) Starring Sean Penn, Jasmine Trinca, Javier Bardem, Ray Winstone, Mark Rylance, Idris Elba, Peter Franzén, Billy Billingham, Daniel Adegboyega, Ade Oyefeso Music by Marco Beltrami Cinematography Flavio Martinez Labiano Edited by Frédéric Thoraval Production company Anton Capital Entertainment/Canal+/Nostromo Pictures/Silver Pictures/TF1 Films Production Running time 115 minutes Country United States, France, Spain Language English

The 71st Annual Golden Globe Awards Nominations List

golden-globesHollywood Foreign Press Association baru saja mengumkan daftar peraih nominasi untuk The 71st Annual Golden Globe Awards. Untuk barisan film layar lebar, berada di garda depan sebagai peraih nominasi terbanyak adalah film terbaru arahan Steve McQueen, 12 Years a Slave, serta film American Hustle arahan David O. Russell yang sama-sama meraih tujuh nominasi. Pun begitu, 12 Years a Slave dan American Hustle hanya akan sama-sama bersaing di dua kategori, Best Director dan Best Screenplay, mengingat Golden Globe Awards memberikan penghargaan yang terpisah bagi film dengan genre Drama (12 Years a Slave) dan Comedy or Musical (American Hustle). Di kategori Best Motion Picture – Drama sendiri, 12 Years a Slave akan bersaing dengan Captain Phillips, Gravity, Philomena dan Rush. Sementara American Hustle akan bersaing dengan Her, Inside Llewyn Davies, Nebraska dan The Wolf of Wall Street di kategori Best Motion Picture – Comedy or Musical.

Continue reading The 71st Annual Golden Globe Awards Nominations List

Review: Thor: The Dark World (2013)

Let’s do a little recap. Terlepas dari pengalamannya yang lebih banyak mengarahkan film-film adaptasi dari karya sastra William Shakespeare, Marvel Studios memberikan kekuasaan pada Kenneth Branagh untuk mengarahkan Thor (2011) yang diadaptasi dari komik superhero berjudul sama karya Stan Lee, Larry Lieber, Jack Kirby yang diproduksi oleh Marvel Comics. Dengan kelihaiannya dalam merangkai cerita sekaligus mengarahkan para jajaran pemerannya, Branagh berhasil menggarap Thor menjadi sebuah presentasi yang tidak hanya menghibur selayaknya film-film karya Marvel Studios lainnya namun juga tetap memiliki sisi penuturan drama yang kuat a la film-film Shakespeare yang pernah diarahkannya. Tidak mengherankan, Thor kemudian mampu meraih kesuksesan secara komersial, mendapatkan banyak pujian dari para kritikus film dunia sekaligus menjadi film produksi Marvel Studios terbaik hingga saat ini.

Continue reading Review: Thor: The Dark World (2013)