Tag Archives: Scoot McNairy

Review: A Quiet Place Part II (2020)

Pencapaiannya dalam mengarahkan A Quiet Place (2018) berhasil menempatkan nama John Krasinski sebagai salah satu sutradara yang patut untuk ditunggu dan diperhatikan karya-karyanya. Setelah mengarahkan dua film dengan genre drama komedi, Brief Interviews with Hideous Men (2009) dan The Hollars (2016), yang mendapatkan reaksi tidak begitu cemerlang baik dari kalangan kritikus film maupun para penikmat film, A Quiet Place yang bernada horor dengan tegas menunjukkan insting pengarahan Krasinski yang cerdas sekaligus kuat dalam mengelola ritme cerita filmnya guna menghasilkan banyak momen horor nan menegangkan yang jelas akan membuat setiap penonton berpegangan erat di kursi mereka. Film yang turut dibintangi Krasinski bersama dengan Emily Blunt, Millicent Simmonds, dan Noah Jupe tersebut juga sukses mengumpulkan pendapatan sebesar lebih dari US$350 juta dari masa perilisannya di seluruh dunia. A Quiet Place Part II, yang merupakan kelanjutan penceritaan dari A Quiet Place yang direncanakan Krasinski akan dibentuk menjadi sebuah trilogi, kembali memamerkan kelihaian Krasinski dalam mengarahkan penuturan kisah horornya sekaligus mengembangkannya untuk memberikan ruang bagi kehadiran sejumlah konflik dan karakter baru. Continue reading Review: A Quiet Place Part II (2020)

Review: Once Upon a Time in… Hollywood (2019)

Bahkan semenjak merilis film layar lebar pertama yang diarahkannya, Reservoir Dogs (1992), Hollywood beserta seluruh isi dan pemujanya telah mengetahui bahwa Quentin Tarantino memiliki caranya sendiri untuk menyampaikan setiap kisah yang ingin diceritakannya. Pilihan untuk menggunakan barisan dialog yang cenderung padat, adegan bernuansa kekerasan yang dieksekusi dengan kesan yang begitu nyata, struktur cerita yang seringkali jauh dari kesan teratur, hingga penggunaan lagu-lagu yang banyak berasal dari era ‘60an hingga ‘70an untuk mengisi banyak adegan filmnya memang membuat film-film arahan Tarantino tidak mudah diakses oleh kalangan penikmat film dalam skala yang lebih besar. Namun, di saat yang bersamaan, kejeniusan Tarantino dalam menggarap setiap filmnya telah membuat berbagai elemen pengisahan yang cenderung tidak biasa tersebut menjadi sebuah ciri khas yang mendorong nama Tarantino untuk dikenal sebagai salah satu sutradara dengan filmografi paling mengesankan di Hollywood. Well… kualitas filmografi yang mengesankan tersebut semakin solid dengan kehadiran film terbarunya, Once Upon a Time in… Hollywood. Continue reading Review: Once Upon a Time in… Hollywood (2019)

Review: Destroyer (2018)

Layaknya film-film yang telah ia arahkan terdahulu seperti Girlfight (2000), Æon Flux (2005), dan Jennifer’s Body (2009), film terbaru arahan Karyn Kusama, Destroyer, juga menampilkan sosok perempuan sebagai karakter utama yang menguasai sekaligus mendominasi linimasa penceritaan. Dalam Destroyer, karakter tersebut adalah Erin Bell yang diperankan oleh Nicole Kidman. Erin Bell adalah sosok polisi perempuan yang akibat torehan masa lalu yang kelam membuatnya kini sepertinya tidak lagi mampu menjaga hubungan apapun dengan orang lain – baik dalam skala personal maupun profesional. Suatu hari, di tempat kerjanya, Erin Bell menerima sebuah amplop yang berisi uang US$100 yang telah terkena noda tinta pada lembarannya. Sebuah kiriman yang misterius namun Erin Bell menyadari bahwa kiriman tersebut berhubungan dengan tragedi yang pernah ia alami di masa lampau yang sepertinya hadir kembali untuk menghantui kehidupannya. Continue reading Review: Destroyer (2018)

Review: 12 Years a Slave (2013)

12 Years a Slave (Regency Enterprises/River Road Entertainment/Plan B Entertainment/New Regency Pictures, Film4, 2013)
12 Years a Slave (Regency Enterprises/River Road Entertainment/Plan B Entertainment/New Regency Pictures, Film4, 2013)

Dengan naskah yang ditulis oleh John Ridley (Red Tails, 2012) berdasarkan memoir berjudul Twelve Years a Slave: Narrative of Solomon Northup, a Citizen of New-York, Kidnapped in Washington City in 1841, and Rescued in 1853 yang ditulis oleh Solomon Northup, 12 Years a Slave mencoba untuk berkisah mengenai seorang pria Afro-Amerika merdeka yang terjebak dalam tindak perbudakan di masa-masa ketika warga kulit hitam di Amerika Serikat masih dipandang sebagai warga kelas bawah. Kisahnya sendiri diawali dengan memperkenalkan Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor), seorang Afro-Amerika yang bekerja sebagai seorang tukang kayu dan pemain bola serta tinggal bersama istri, Anne (Kelsey Scott), dan kedua anak mereka, Margaret (Quvenzhané Wallis) dan Alonzo (Cameron Zeigler), di Saratoga Springs, New York, Amerika Serikat. Suatu hari, Solomon mendapatkan tawaran bekerja sebagai seorang musisi selama dua minggu di Washington DC oleh dua orang pria, Brown (Scoot McNairy) dan Hamilton (Taran Killam). Karena tertarik dengan sejumlah uang yang ditawarkan oleh kedua pria tersebut, Solomon akhirnya menerima tawaran mereka. Sial, begitu tiba di Washington DC, Solomon justru dijebak dan dijual sebagai seorang budak.

Continue reading Review: 12 Years a Slave (2013)

Review: Non-Stop (2014)

Non-Stop (Universal Pictures/StudioCanal/Silver Pictures/Anton Capital Entertainment/LOVEFiLM International, 2014)
Non-Stop (Universal Pictures/StudioCanal/Silver Pictures/Anton Capital Entertainment/LOVEFiLM International, 2014)

Sama seperti halnya dengan nama Meryl Streep yang justru mulai menjadi jaminan kesuksesan komersial sebuah film ketika ia menginjak usia 57 tahun setelah membintangi The Devil Wears Prada (2006), transformasi karir Liam Neeson menjadi seorang bintang film aksi dimulai setelah ia membintangi Taken (2008) tepat ketika ia berusia 52 tahun. Setelah itu, Neeson tercatat menjadi bintang utama bagi film-film aksi seperti The A-Team (2010), Unknown (2011), The Grey (2012) serta sekuel bagi Taken, Taken 2 (2012), yang meskipun tidak seluruhnya meraih pujian dari kritikus film dunia namun terus berhasil menarik minat penonton sekaligus semakin memperkuat citra Neeson sebagai seorang aktor laga yang dapat dihandalkan. Kharisma Neeson yang kuat, dingin dan begitu mengintimidasi bahkan mampu melebihi daya tarik yang dihasilkan nama-nama aktor spesialis laga seperti Arnold Schwarzenegger dan Sylvester Stallone dalam film-film teranyar mereka.

Continue reading Review: Non-Stop (2014)

Review: Argo (2012)

Diadaptasi oleh Chris Terrio dari buku The Master of Disguise (Antonio J. Mendez, 2000) dan artikel majalah Wired, Escape from Tehran: How the CIA Used a Fake Sci-Fi Flick to Rescue Americans from Iran (Joshuah Bearman, 2007), Argo bercerita tentang kisah nyata mengenai Revolusi Iran yang terjadi pada tahun 1979. Saat itu, hubungan diplomatik antara Iran dan Amerika Serikat sedang berada di ujung tanduk akibat keputusan pemerintah Amerika Serikat yang memberikan suaka politik bagi mantan pemimpin Iran yang dianggap telah memberikan banyak kesengsaraan bagi rakyat negaranya, Mohammad Reza Pahlavi. Puncaknya, pada tanggal 4 November 1979, ribuan demonstran anti pemerintahan Amerika Serikat menyerbu masuk ke dalam gedung kedutaan besar Amerika Serikat di Tehran, Iran. Lebih dari 50 pegawai kedutaan besar Amerika Serikat kemudian dijadikan sebagai tawanan. Namun, enam orang diantaranya berhasil melarikan diri dan kemudian bersembunyi di kediaman Duta Besar Kanada untuk Iran, Ken Taylor (Victor Garber).

Continue reading Review: Argo (2012)

Review: Killing Them Softly (2012)

Killing-Them-Softly-header

Membutuhkan waktu lima tahun bagi sutradara asal Australia, Andrew Dominik, untuk memproduksi dan merilis film ketiganya, Killing Them Softly, untuk mengikuti kesuksesan kritikal The Assasination of Jesse James by the Coward Robert Ford yang dirilis pada tahun 2007 lalu. Sama seperti film keduanya tersebut – maupun film perdananya, Chopper (2000) – Killing Them Softly masih memiliki alur penceritaan yang berfokus pada karakter-karakter yang hidup dalam kelamnya dunia kriminal. Diadaptasi sendiri oleh Dominik dari novel karya George V. Higgins yang berjudul Cogan’s Trade (1974), Killing Them Softly jelas masih akan mampu memuaskan mereka yang memang menggemari cara Dominik dalam mengarahkan sebuah cerita yang dipenuhi dengan dialog-dialog tajam, meskipun, harus diakui, Killing Them Softly tidak memiliki plot cerita sekuat The Assasination of Jesse James by the Coward Robert Ford yang fenomenal tersebut.

Continue reading Review: Killing Them Softly (2012)

Review: Promised Land (2012)

Dengan naskah yang ditulis oleh dirinya sendiri bersama John Krasinski, berdasarkan susunan cerita karya Dave Eggers (Where the Wild Things Are, 2009), Promised Land sebenarnya direncanakan akan menjadi debut penyutradaraan bagi aktor Matt Damon. Sayangnya, kesibukan dan komitmennya dengan film-film lain kemudian memaksa Damon untuk melepas posisinya sebagai sutradara – walaupun ia masih tetap akan berperan sebagai aktor utama sekaligus produser bagi film ini. Damon lalu menghubungi Gus Van Sant – yang sebelumnya pernah mengarahkannya dalam film Good Will Hunting (1997) – untuk menggantikan posisinya. Singkat cerita, Van Sant menyetujui permintaan Damon dan akhirnya memulai proses produksi Promised Land pada April 2012 yang lalu.

Continue reading Review: Promised Land (2012)

Review: Monsters (2010)

Kesuksesan luar biasa Cloverfield (2008) dan District 9 (2009) ternyata mampu membuat sebuah standar tersendiri dalam proses pembuatan film, khususnya terhadap film-film ber-genre science fiction yang menggunakan makhluk extraterrestrial sebagai bagian dari penceritaannya. Para pembuat film ini, mampu belajar banyak bahwa dengan dana yang ‘seadanya,’ mereka mampu memaksimalkan penceritaan, termasuk dengan tetap menyediakan special effects yang tentunya tidak dapat dipandang sebelah mata begitu saja. Namun, tentu saja, dengan standar kualitas tinggi yang telah ‘diterapkan’ oleh kedua film tersebut, film-film science fiction dengan bujet kecil yang dirilis setelah Cloverfield dan District 9 mau tidak mau harus menerima untuk dibandingkan dengan kedua film tersebut.

Continue reading Review: Monsters (2010)