Ketika pertama kali dirilis pada tahun 2003, buku Jakarta Undercover karangan Moammar Emka berhasil menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan pecinta literatur Indonesia, khususnya karena buku tersebut berisi kumpulan cerita yang dengan berani mengangkat berbagai sisi kehidupan seksual warga Jakarta yang selama ini masih belum banyak diketahui atau malah dianggap tabu untuk dibicarakan. Emka kemudian melanjutkan kesuksesan bukunya dengan menerbitkan dua seri Jakarta Undercover lainnya, Jakarta Undercover 2: Karnaval Malam yang dirilis pada tahun 2006 serta Jakarta Undercover 3: Forbidden City yang hadir setahun setelahnya. Layaknya banyak novel sukses lainnya, Jakarta Undercover menarik perhatian produser Erwin Arnada yang berniat untuk mengadaptasi buku tersebut menjadi sebuah film layar lebar. Dengan bantuan penulis naskah Joko Anwar, versi film dari Jakarta Undercover yang diarahkan oleh Lance dan dibintangi Luna Maya, Lukman Sardi, Fachri Albar serta Christian Sugiono akhirnya dirilis pada awal tahun 2007. Sayang, terlepas dari banyaknya perhatian yang diberikan pada versi film dari Jakarta Undercover akibat deretan permasalahan yang harus dihadapi film tersebut ketika berhadapan dengan Lembaga Sensor Film, Jakarta Undercover mendapatkan reaksi yang tidak begitu menggembirakan, baik dari banyak kritikus film maupun para penonton film Indonesia. Continue reading Review: Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017)
Tag Archives: Agus Kuncoro
Review: Cinta Laki-Laki Biasa (2016)
Setelah sebelumnya bekerjasama dalam Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (2016), sutradara Guntur Soeharjanto kembali bekerjasama dengan penulis Asma Nadia dan Alim Sudio untuk Cinta Laki-Laki Biasa. Well… Judul film ini mungkin akan membuat beberapa orang lantas memandang sebelah mata. Atau malah premis yang dijual tentang kisah cinta segitiga dalam balutan nuansa reliji yang, harus diakui, telah terlalu sering “dieksploitasi” oleh banyak pembuat film Indonesia. Namun, jika Anda mampu melepas segala prasangka dan memberikan film ini sebuah kesempatan, Cinta Laki-Laki Biasa adalah sebuah drama romansa yang tergarap dengan cukup baik, mulai dari penataan naskah dan ritme penceritaan hingga chemistry yang terasa begitu hangat dan meyakinkan antara dua bintang utamanya, Deva Mahenra dan Velove Vexia. Continue reading Review: Cinta Laki-Laki Biasa (2016)
Review: Comic 8: Casino Kings – Part 1 (2015)
Comic 8: Casino Kings – Part 1 adalah bagian pertama dari dua bagian film yang telah direncanakan sebagai sekuel dari film Comic 8 yang berhasil meraih predikat sebagai film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak ketika dirilis pada awal tahun 2014 lalu. Seperti layaknya sebuah sekuel, Anggy Umbara merancang Comic 8: Casino Kings – Part 1 sebagai sebuah sajian yang lebih mewah dan megah jika dibandingkan dengan pendahulunya. Berhasil? Well… Comic 8: Casino Kings – Part 1 memang mampu tampil dengan deretan guyonan yang beberapa kali berhasil mengundang tawa penonton. Jajaran pemerannya yang berisi (sangat) banyak wajah familiar di industri film Indonesia juga tampil menyenangkan dalam peran komikal mereka. Namun, terlepas dari penampilannya yang lebih mewah, Comic 8: Casino Kings – Part 1 masih gagal untuk menghindar dari kesalahan yang telah dibuat oleh film pendulunya. Hal ini masih ditambah dengan keberadaan sindrom film yang jalan ceritanya dibagi menjadi dua bagian yang kemudian membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 terasa berjalan begitu bertele-tele khususnya di bagian akhir pengisahannya.
Dengan naskah cerita yang masih digarap oleh Anggy Umbara bersama dengan Fajar Umbara, Comic 8: Casino Kings – Part 1 melanjutkan kisah seri pendahulunya ketika delapan agen rahasia yang berada dibawah pimpinan Indro Warkop untuk menyamar menjadi komika demi mencari seorang komika yang menjadi penghubung ke seorang pemilik kasino terbesar di Asia yang sering disebut dengan sebutan nama The King. Jelas bukan sebuah tugas yang mudah. Kedelapan agen rahasia tersebut masih harus dikejar-kejar pihak kepolisian akibat tindakan perampokan bank yang telah mereka lakukan di seri sebelumnya. Mereka juga harus menghadapi sederetan kelompok penjahat yang berusaha menghalangi agar tugas mereka gagal untuk terselesaikan.
Bagian awal penceritaan Comic 8: Casino Kings – Part 1 jelas merupakan bagian terbaik dari film ini. Anggy Umbara memulai filmnya dengan tampilan visual berteknologi tinggi yang akan mampu memuaskan setiap penonton yang menginginkan lebih banyak adegan aksi dari film ini. Para pemeran film, mulai dari delapan komika yang berperan sebagai agen rahasia hingga para pemeran pendukung lain seperti Boy William, Prisia Nasution, Dhea Ananda hingga Gita Bhebita, juga berhasil mengeksekusi dialog-dialog penuh komedi mereka dengan sangat baik. Anggy Umbara sendiri mengemas Comic 8: Casino Kings – Part 1 sebagai satuan potongan-potongan cerita dan kemudian seperti mengacak linimasa penceritaan sehingga tidak lantas berjalan linear. Sayang, pengacakan linimasa yang dihadirkan dalam film ini terkesan sebagai gimmick belaka tanpa pernah benar-benar terasa sebagai sebuah hal yang esensial maupun berpengaruh pada kualitas penceritaan secara keseluruhan.
Memasuki pertengahan penceritaan, seiring dengan semakin banyaknya karakter yang memenuhi garis pengisahan film, Comic 8: Casino Kings – Part 1 mulai terasa kehilangan arah. Banyak diantara karakter yang hadir tampil tanpa peran penceritaan yang kuat. Begitu juga dengan plot penceritaan yang hadir dengan konflik yang terkesan sengaja ditahan untuk disimpan dan disimpan pada bagian film berikutnya. Hasilnya jelas membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 terasa tidak maksimal dalam presentasinya. Setelah dimulai dengan berbagai keberhasilan untuk tampil menghibur, paruh kedua dan ketiga penceritaan film serasa berjalan melamban tanpa pernah sekalipun mampu menghasilkan kualitas hiburan yang sama seperti paruh penceritaan pendahulunya. Cukup disayangkan mengingat Comic 8: Casino Kings – Part 1 memiliki potensi yang sangat kuat untuk menjadi film aksi komedi yang cukup fantastis.
Adalah mudah untuk mengetahui bahwa Anggy Umbara memiliki konsep yang sangat megah untuk sekuel Comic 8. Sayangnya, sebagai sebuah film yang diniatkan untuk hadir dalam dua bagian film, Comic 8: Casino Kings – Part 1 jelas masih memiliki garis penceritaan yang cukup rapuh. Berbagai plot dan konflik yang sengaja ditampilkan setengah matang untuk kemudian diselesaikan pada bagian film selanjutnya justru membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 kehilangan banyak momen emasnya. Jajaran pemeran film ini memang masih sangat mampu memberikan banyak hiburan kepada para penonton. Namun, lebih dari itu, Comic 8: Casino Kings – Part 1 gagal untuk menjadi sebuah sajian yang kuat secara keseluruhan. Mudah-mudahan saja Comic 8: Casino Kings – Part 2 yang rencananya dirilis awal tahun mendatang dapat tampil lebih baik dari bagian pertamanya ini. [C]
Comic 8: Casino Kings – Part 1 (2015)
Directed by Anggy Umbara Produced by Frederica Written by Fajar Umbara Starring Mongol Stres, Ernest Prakasa, Kemal Palevi, Bintang Timur, Babe Cabiita, Fico Fachriza, Arie Kriting, Ge Pamungkas, Indro Warkop, Sophia Latjuba, Prisia Nasution, Nikita Mirzani, Pandji Pragiwaksono, Hannah Al Rashid, Yayan Ruhian, Cak Lontong, Joehana Sutisna, Boy William, Ence Bagus, Donny Alamsyah, Agung Hercules, Agus Kuncoro, Candil, Barry Prima, George Rudy, Willy Dozan, Lydia Kandou, Sacha Stevenson, Soleh Solihun, Dhea Ananda, Bagus Netral, Ray Sahetapy, Arief Didu, Adjis Doaibu, Isman HS, Gilang Bhaskara, Akbar Kobar, Asep Suaji, Awwe, Uus, Temon, Boris Bokir, Lolox, Bene Rajagukguk, Gita Bhebhita, Mo Sidik, Jovial da Lopez, Andovi da Lopez, DJ Karen Garrett Music by Indra Q Cinematography by Dicky R. Maland Editing by Andi Mamo Studio Falcon Pictures Running time 104 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: Cinta Selamanya (2015)
Cinta Selamanya adalah sebuah film drama romansa arahan Fajar Nugros yang jalan ceritanya diadaptasi dari novel berjudul Fira dan Hafez karya Fira Basuki. Fira dan Hafez sendiri bukanlah sebuah novel percintaan biasa. Novel yang dirilis pertama kali pada tahun 2013 tersebut merupakan catatan cinta dari sang penulis novel yang merangkum kisah nyata kehidupan rumah tangganya bersama sang suami, Hafez Agung Baskoro, mulai dari awal pertemuan mereka hingga akhirnya sang suami meninggal dunia tidak lama selepas pernikahan mereka. Dalam pengarahan cerita yang kurang sesuai, Fira dan Hafez dapat saja diterjemahkan menjadi sebuah sajian penceritaan film yang sentimental nan mendayu-dayu. Beruntung, Cinta Selamanya kemudian digarap sebagai sebuah drama kehidupan yang bertutur secara sederhana namun berhasil tampil memikat terutama berkat chemistry yang sangat apik dari kedua pemeran utamanya, Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto.
Cinta Selamanya memulai kisahnya dengan gambaran kehidupan seorang Fira Basuki (Atiqah Hasiholan). Dengan kesibukannya sebagai orang tua tunggal bagi seorang puteri yang tengah beranjak dewasa, Syaza (Shaloom Razade), sekaligus perannya sebagai seorang pemimpin redaksi bagi salah satu majalah lifestyle terbesar di Indonesia, Cosmopolitan, yang juga masih menyempatkan waktunya untuk menulis beberapa novel, romansa jelas bukanlah lagi sebuah prioritas utama dalam kehidupan Fira Basuki. Namun, pertemuannya dengan Hafez Agung Baskoro (Rio Dewanto) dalam sebuah acara pencarian bakat mengubah kehidupannya. Meskipun semenjak awal telah berusaha untuk menolak kehadiran Hafez, khususnya karena perbedaan usia mereka yang terpaut 11 tahun, namun Fira akhirnya luluh dengan kesungguhan Hafez untuk merebut hatinya. Sayang, kebahagiaan yang berlanjut dengan pernikahan tersebut tidak berlangsung lama. Ketika Fira sedang mengandung bayi pertamanya bersama Hafez, kisah percintaan mereka berakhir ketika sang suami meninggal dunia akibat sebuah penyakit yang telah lama bersembunyi dalam tubuhnya.
Cinta Selamanya sendiri bukannya hadir tanpa masalah. Keterlibatan social media dalam kehidupan kedua karakter utama yang kemudian turut dihadirkan dalam jalan cerita film ini seringkali tampil sebagai gimmick belaka tanpa pernah menyajikan esensi yang kuat bagi jalan cerita utama. Fajar Nugros sendiri mungkin berniat untuk menampilkan deretan tweet yang berisi kata-kata puitis yang dikirimkan karakter Fira dan Hafez satu sama lain sebagai sebuah catatan kecil bagi perjalanan romansa kedua karakter tersebut. Sayang, pada kebanyakan bagian, sajian tersebut justru terasa sebagai jalan pintas atas ketidakmampuan untuk menyajikan pengisahan yang lebih mendalam atas hubungan kedua karakter utama dalam film ini. Masalah juga dapat dirasakan pada beberapa konflik yang tersaji kurang matang dan terkesan berlalu begitu saja. Cinta Selamanya jelas akan hadir lebih padat dan efisien jika beberapa konflik pendukung yang kurang esensial dalam jalan ceritanya dihilangkan begitu saja.
Walaupun dengan beberapa kelemahan dalam penyajian ceritanya, sebagai sebuah romansa, Cinta Selamanya mampu tampil begitu emosional. Sebagai seorang sutradara, Fajar Nugros terasa mengenal betul konten cerita yang ingin ia bawakan. Cinta Selamanya berhasil disajikan dengan ritme penceritaan yang tepat sehingga penonton diberikan kesempatan yang cukup luas untuk mengenal karakter Fira Basuki serta kehidupan dan kisah romansa yang tersaji selama rentang waktu penceritaan film ini. Sentuhan akan kehadiran budaya Jawa yang kental dalam presentasi film juga memberikan warna penceritaan tersendiri yang sangat menyenangkan – meskipun keputusan untuk menghadirkan lagu Kangen Kowe milik Didi Kempot dalam aransemen modern secara berulang kali dalam banyak bagian film jelas memberikan efek kejenuhan bagi pendengarnya. Cinta Selamanya jelas berada dalam jajaran film terbaik yang pernah diarahkan oleh Fajar Nugros.
Keunggulan utama dari Cinta Selamanya jelas datang dari penampilan akting dari jajaran pemerannya. Berada di jajaran paling depan, Atiqah Hasiholan mampu menghidupkan karakter Fira Basuki sebagai sosok wanita yang begitu modern dalam jalan pemikirannya namun juga tetap memegang teguh sisi tradisional dalam cara bersikap. Penampilan prima Atiqah Hasiholan juga mampu diimbangi dengan baik oleh Rio Dewanto yang sekaligus berhasil menyajikan chemistry yang luar biasa mengikat antara kedua karakter yang mereka perankan — dan jelas jauh lebih baik dari apa yang mereka tampilkan dalam Bulan di Atas Kuburan (Edo WF Sitanggang, 2015) beberapa waktu yang lalu. Tidak lupa, dukungan dari jajaran pemeran pendukung yang berisi nama-nama seperti Widi Mulia Sunarya, Dewi Irawan, Tio Pakusadewo hingga Joanna Alexandra, Shaloom Razade hingga Amanda Soekasah tampil solid dalam memperkuat kualitas departemen akting film ini.
Kualitas produksi film ini juga tampil berkelas. Yadi Sugandi – yang juga turut berperan sebagai karakter ayah Hafez – berhasil menyajikan deretan gambar-gambar indah yang semakin menekankan unsur puitis dari Cinta Selamanya. Tata musik dengan orkestrasi megah garapan Tya Subiakto juga mampu mengiringi kisah cinta dari karakter Fira dan Hafez dengan begitu seksama. Sebagai sebuah film yang juga menyentuh dunia fashion dalam beberapa bagiannya, Cinta Selamanya juga mampu dihadirkan dengan pemilihan deretan kostum yang sangat menarik dan cukup mampu untuk tampil mencuri perhatian. Secara keseluruhan, Cinta Selamanya jelas tidak hadir sempurna. Meskipun begitu, dalam ketidaksempurnaan tersebut, Cinta Selamanya masih mampu tergarap sebagai sebuah drama romansa emosional dalam takaran yang sama sekali tidak pernah terasa berlebihan. [B-]
Cinta Selamanya (2015)
Directed by Fajar Nugros Produced by Susanti Dewi Written by Piu Syarif (screenplay), Fira Basuki (novel, Fira dan Hafez) Starring Atiqah Hasiholan, Rio Dewanto, Shaloom Razade, Tantry Agung Dewani, Janna Joesoef, Amanda Soekasah, Nungky Kusumastuti, Yadi Sugandi, Aira Sondang, Dewi Irawan, Tio Pakusadewo, Syazia, Surya Insomnia, Widi Mulia Sunarya, Muhadkly Acho, Joanna Alexandra, Patrick Alexandra, Agus Kuncoro, Dwi Sasono, Lukman Sardi Music by Tya Subiakto Cinematography Yadi Sugandi Editing by Aline Jusria Studio Wardah/Kaninga Pictures/Demi Istri Production Running time 106 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: Wewe (2015)
Mungkin, berdasarkan tiga film horor terakhir yang ia sutradarai – Air Terjun Pengantin (2009), Mati Suri (2009) dan Jenglot Pantai Selatan (2011), penikmat film horor Indonesia seharusnya sudah tersadar bahwa masa-masa Rizal Mantovani untuk menghasilkan karya-karya horor berkesan seperti Jelangkung (2001) atau bahkan Kuntilanak (2006) sepertinya sulit untuk terulang kembali. Jangan salah. Rizal memang masih selalu mampu untuk mengemas filmnya dengan kualitas desain produksi yang (kebanyakan) berada di atas kelas film-film horor Indonesia lainnya. Namun untuk penceritaan? Rizal sepertinya kesulitan untuk menemukan tandem yang pas untuk dapat memberikan kerangka cerita yang dapat ia bangun dengan kualitas yang tepat sekaligus memuaskan penontonnya.
Film horor terbaru arahan Rizal, Wewe, sayangnya kembali gagal untuk mematahkan kebenaran pernyataan tersebut. Dengan naskah cerita yang digarap oleh Anto Nugroho dan Bayu Abdinegoro, Wewe berkisah tentang pasangan suami istri, Jarot (Agus Kuncoro) dan Irma (Inong Nidya Ayu), yang bersama dengan kedua puterinya, Luna (Nabilah JKT48) dan Aruna (Khadijah Banderas), baru saja pindah ke sebuah rumah baru. Bisa ditebak, rumah yang terletak jauh dari lingkungan perkotaan tersebut kemudian menghadirkan begitu banyak misteri bagi para penghuni barunya. Puncak misteri hadir ketika puteri bungsu Jarot dan Irma, Aruna, tidak diketemukan keberadaannya. Tidak menyerah begitu saja, Jarot, Irma dan Luna lantas mengerahkan seluruh tenaga mereka untuk menemukan sekaligus merebut Aruna kembali dari makhluk mistis penghuni rumah tersebut yang mereka sebut sebagai wewe.
Tidak seperti Kuntilanak yang juga mengangkat urban legend tradisional Indonesia, Wewe dikemas dengan deretan formula khas horor Indonesia yang telah terasa begitu usang akibat terlalu sering disajikan dalam film-film sejenis dalam beberapa tahun terakhir. Jelas, banyak adegan yang harusnya mampu memberikan rasa menegangkan pada para penontonnya kemudian tampil datar tanpa adanya kesan apapun. Kisah drama keluarga yang menyertainya juga gagal untuk dikembangkan dengan seksama. Bagian yang seharusnya menghasilkan ikatan emosional kepada para penonton sekaligus menjadi jembatan bagi peningkatan intensitas penceritaan horor film ini justru seringkali terasa menganggu akibat porsinya yang terlalu besar namun tersaji dengan kedalaman cerita yang terasa terlalu dangkal. Hal ini juga semakin dipersulit dengan kehadiran karakter-karakter yang sulit untuk mendapatkan simpati penonton akibat penggambaran karakteristik mereka yang begitu hambar.
Penggalian karakter yang kurang begitu mendalam jelas memberikan kesulitan bagi masing-masing pemeran untuk menghidupkan karakter yang mereka perankan. Baik Agus Kuncoro dan Inong Nidya Ayu telah memberikan kontribusi akting terbaik mereka bagi Wewe. Namun, dengan karakter yang memiliki gambaran sikap konstan yang dihadirkan semenjak awal film – kedua karakter mereka terus menerus digambarkan saling berseteru satu sama lain, jelas adalah sulit untuk melihat usaha akting terbaik tersebut. Sementara itu, Nabilah JKT48 dan Khadijah Banderas sendiri tampil tidak terlalu buruk meskipun harus diakui keduanya masih terlihat kaku dalam sajian akting mereka pada beberapa adegan.
Seperti yang telah ditekankan sebelumnya, meskipun dengan kelemahan yang cukup besar pada pengarahan cerita, Wewe tetap mampu dihadirkan dengan kualitas produksi yang sangat dinamis. Andi Rianto mampu menyajikan tata musik dengan nuansa yang mencekam – cukup mampu beberapa kali mengisi kekosongan atmosfer horor yang terasa hilang dari dalam jalan cerita. Rizal Mantovani juga mampu mengkreasikan wujud karakter wewe dengan tampilan yang cukup menyeramkan. Sayang memang jika kemudian dua keunggulan horor tersebut gagal untuk dimanfaatkan dengan lebih baik lagi akibat kualitas pengolahan jalan cerita yang sama sekali tidak memberikan ruang yang tepat bagi Wewe untuk menghasilkan atmosfer horor yang lebih berkesan bagi banyak penontonnya. [C-]
Wewe (2015)
Directed by Rizal Mantovani Produced by Gope T. Samtani Written by Anto Nugroho, Bayu Adinegoro (screenplay), Rizal Mantovani (story) Starring Agus Kuncoro, Nabilah JKT48, Inong Nidya Ayu, Khadijah Banderas, Yafi Tesa Zahara, Dian Nova Music by Andi Rianto Cinematography Rudy Novan Editing by Ganda Harta Studio Rapi Films Running time 100 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: Di Balik 98 (2015)
Dengan judul sebombastis Di Balik 98, jelas tidak salah jika banyak orang mengharapkan bahwa film yang menjadi debut penyutradaraan film layar lebar aktor watak Lukman Sardi ini akan memberikan sesuatu yang baru atau bahkan mengungkap fakta tersembunyi mengenai Kerusuhan Mei 1998. Sayangnya, hal tersebut sepertinya bukan menjadi tujuan utama dari dibuatnya film yang naskah ceritanya ditulis oleh Samsul Hadi dan Ifan Ismail ini. Tragedi yang menjadi catatan kelam masyarakat Indonesia di bidang keamanan/sosial/politik/budaya/hukum tersebut hanyalah menjadi latar belakang dari kisah perjuangan cinta dan pengorbanan cinta dari film ini. Atau itu justru yang menjadi arti dari judul Di Balik 98?
Sebenarnya tidak juga. Selain mengisi 106 menit durasi perjalanan filmnya dengan kisah dan karakter-karakter fiktif seperti Diana (Chelsea Islan), Daniel (Boy William), Bagus (Donny Alamsyah), Salma (Ririn Ekawati), Rachmat (Teuku Rifnu Wikana) dan Gandung (Bima Azriel), Di Balik 98 juga berisi karakter-karakter nyata seperti B.J. Habibie (Agus Kuncoro), Susilo Bambang Yudhoyono (Panji Pragiwaksono), Amien Rais (Eduwart Soritua) hingga Soeharto (Amoroso Katamsi) serta sekelumit kisah keberadaan mereka dalam tragedi tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah utama bagi film ini. Lukman sepertinya terlalu berusaha untuk menyeimbangkan kehadiran “kisah drama fiktif” dengan “intrik politik” dalam jalan cerita Di Balik 98. Akibatnya, tidak satupun dari kedua bagian kisah tersebut mampu tampil dengan eksplorasi yang mendalam.
Lihat saja bagaimana indikasi hubungan romansa antara karakter Diana dan Daniel yang terasa hambar karena karakter dan kisah mereka tersaji dalam kapasitas apa adanya. Atau bagaimana tidak pentingnya kehadiran kisah karakter ayah dan anak, Rachmat dan Gandung, dalam keseluruhan pengisahan Di Balik 98. Begitu pula dengan sekelumit kisah para mahasiswa aktivis maupun berbagai kegiatan yang terjadi di Istana Negara. Kesemuanya tampil setengah matang akibat penceritaan yang kurang mendalam. Datar tanpa meninggalkan kesan yang berarti.
Bukan berarti Di Balik 98 adalah sebuah film yang buruk. Sebagai seorang rookie, Di Balik 98 justru telah memperlihatkan bahwa Lukman memiliki mata yang jeli dalam materi cerita yang menarik, tata produksi yang apik – meskipun Di Balik 98 seringkali terasa terlalu bergantung pada footage–footage pemberitaan ataupun rekaman video usang mengenai tragedi tersebut di masa lampau, serta pengarahan atas para pengisi departemen aktingnya. Namun Di Balik 98 jelas akan lebih mampu tampil lebih kuat seandainya film ini mau memilih apa yang paling ingin dihantarkannya kepada penonton: menjadi sebuah film drama keluarga yang mengharu biru dengan latar Kerusuhan Mei 1998 atau tampil tegas sebagai drama politik yang mampu menyingkap berbagai kisah yang terjadi di masa itu.
Tugas pengarahan Lukman jelas sangat terbantu dengan kehandalan aktor dan aktris yang mengisi departemen akting filmnya. Nama-nama seperti Donny Alamsyah, Teuku Rifnu Wikana, Ririn Ekawati, Chelsea Islan – dan tata rias yang menghitamkan kulitnya guna meyakinkan setiap penonton bahwa ia adalah seorang aktivis kampus – hingga Alya Rohali, Amoroso Katamsi, Agus Kuncoro – meskipun akan lebih terasa sebagai tiruan Reza Rahadian yang berperan sebagai B.J. Habibie dalam Habibie & Ainun (2012) daripada sebagai sosok B.J. Habibie sendiri – dan Asrul Dahlan tampil dengan lugas terlepas dari karakter-karakter mereka yang begitu terbatas pengisahannya. Beberapa cameo yang hadir dalam memerankan tokoh-tokoh politik Indonesia juga hadir dalam film ini meskipun seringkali hanya menjadi distraksi terhadap jalan cerita daripada sebagai pelengkap kualitas penceritaan akibat peran mereka yang tampil selintas kedipan mata belaka.
Bukan sebuah debut yang buruk namun jelas akan mampu lebih berkesan jika Lukman Sardi mau memberikan kualitas penceritaan dan pengarahan yang jauh lebih tegas lagi. [C]
Di Balik 98 (2015)
Directed by Lukman Sardi Produced by Affandi Abdul Rachman Written by Samsul Hadi, Ifan Ismail Starring Chelsea Islan, Boy William, Donny Alamsyah, Ririn Ekawati, Teuku Rifnu Wikana, Bima Azriel, Verdi Solaiman, Alya Rohali, Fauzi Baadilla, Agus Kuncoro, Amoroso Katamsi, Marissa Puspitasasri, Elkie Kwee, Iang Darmawan, Zulkifli Nasution, Asrul Dahlan, Eduwart Soritua, Agus Cholid, Guntoro Slamet, Nursalim Mas, Rudie Purwana, Meulela Meurah, Gito Juwono, Panji Pragiwaksono, Nugraha Music by Thoersi Argeswara Cinematography Yadi Sugandi, Muhammad Firdaus Edited by Yoga Krispratama Studio MNC Pictures Running time 106 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: Garuda: The New Indonesian Superhero (2015)
Dalam industri yang dipenuhi dengan adaptasi novel, biopik tokoh-tokoh yang (dianggap mampu) menginspirasi, deretan drama romansa hingga komedi (yang seringkali dijual dengan menambahkan bumbu-bumbu adegan panas), pilihan untuk membuat dan merilis sebuah film Indonesia yang bertemakan superhero jelas adalah sebuah pilihan usaha yang (teramat) berani. Tidak hanya harus berhadapan dengan pertanyaan apakah film tersebut memiliki pangsa pasar yang mencukupi di kalangan penonton film Indonesia namun juga harus berhadapan langsung dengan ekspektasi bahwa film-film pahlawan super haruslah mampu setara (atau mendekati) kualitas film-film pahlawan super yang diadaptasi dari seri komik rilisan Marvel maupun DC. Singkatnya, membuat sebuah film Indonesia bertemakan pahlawan super adalah sebuah tantangan sangat besar yang sepertinya akan sulit (tidak mungkin?) ditaklukkan dalam industri film yang harus diakui kini dalam kondisi yang begitu lemah.
Terlepas dari berbagai tantangan tersebut, beberapa sineas Indonesia telah mendeklarasikan bahwa mereka sedang menggarap film-film bertemakan pahlawan super modern Indonesia dan siap untuk merilisnya tahun ini. Film bertemakan superhero pertama yang dirilis tahun ini adalah Garuda: The New Indonesian Superhero. Film karya sutradara debutan yang menyebut namanya x.Jo ini sebenarnya telah direncanakan rilis pada akhir tahun 2014 lalu. Namun, entah dengan alasan apa, perilisan film ini kemudian diundur menjadi awal tahun 2015. Berkaca dari apa yang dihasilkannya untuk Garuda: The New Indonesian Superhero, x.Jo sebenarnya telah memiliki visi dan usaha yang kuat untuk dapat membentuk sebuah film yang bertemakan pahlawan super yang layak diharapkan kehadirannya oleh para penonton film Indonesia. Sayangnya, visi dan usaha yang kuat tidak lantas menjadikan sebuah film memiliki kualitas unggul. Sebuah film yang layak tonton harusnya mampu digarap dengan kemampuan yang layak juga. Disinilah letak kelemahan terbesar dari Garuda: The New Indonesian Superhero.
Sejujurnya, film-film bertemakan pahlawan super bukanlah sebuah film yang menuntut adanya naskah cerita yang benar-benar cerdas maupun kompleks – meskipun dua film superhero teranyar karya Marvel Studio, The Avengers (2011) dan Guardians of the Galaxy (2014), mampu membuktikan hal yang sebaliknya. Tetap saja, naskah cerita, merupakan tulang punggung paling esensial dalam sebuah film. Anda dapat melupakan fakta bahwa Indonesia masih memiliki sumber daya manusia dan teknologi animasi yang lemah dengan mudah untuk dapat memaafkan bahwa Garuda: The New Indonesian Superhero hadir dengan tampilan visual yang seringkali tampil… well… buruk. Namun ketika naskah cerita juga dihadirkan sama buruknya, berbagai kelemahan yang terdapat dalam Garuda: The New Indonesian Superhero benar-benar tidak dapat lagi diindahkan begitu saja. Naskah Garuda: The New Indonesian Superhero, yang juga ditulis oleh x.Jo hadir dengan tatanan cerita dan plot yang benar-benar kacau. Karakter-karakter dalam film ini seringkali muncul dan hilang begitu saja. Begitu pula dengan plot penceritaannya yang sama menyedihkan kondisinya.
Arahan x.Jo juga harus diakui terasa lemah dalam penceritaan film ini. Penonton, yang mungkin telah sering menyaksikan film-film superhero sejenis, dapat dengan mudah menangkap apa yang sebenarnya ingin disampaikan film ini. Sayangnya, kombinasi antara tata produksi, naskah cerita dan pengarahan x.Jo yang lemah membuat Garuda: The New Indonesian Superhero tampil begitu menyiksa untuk diikuti. Hal ini masih ditambah dengan penampilan aktor utama Rizal Al-Idrus yang berperan sebagai sang pahlawan yang tampil dengan kemampuan akting berkapasitas nol. Terlihat kaku dan awkward di banyak adegan plus daya tarik yang sama sekali tidak dapat diandalkan. Nama-nama besar seperti Agus Kuncoro, Slamet Rahardjo, Robby Sugara dan Rudy Salam yang melengkapi departemen akting film ini juga tersia-siakan kehadirannya.
Menyaksikan film ini secara keseluruhan adalah seperti melihat pemandangan seseorang yang begitu bertekad untuk maju ke medan perang dengan semangat menggebu-gebu namun dengan keahlian dan perlengkapan yang benar-benar minim. Sebuah usaha yang patut dihargai? Tentu saja. Namun tetap tidak akan mengubah fakta bahwa orang tersebut akan mati dengan sia-sia di medan perang dalam waktu yang tidak begitu lama. Itulah, sayangnya, yang terjadi pada Garuda: The New Indonesian Superhero. [D-]
Garuda: The New Indonesian Superhero (2015)
Directed by x.Jo Produced by H.R. Dhoni Al-Maliki Ramadhan Written by x.Jo Starring Rizal Al-Idrus, Slamet Rahardjo, Agus Kuncoro, Robby Sugara, Rudy Salam, Alexa Key, Kia Poetri, Inzalna Balqis, Jacob Maugeri, Roy Chunonk, Tya Arifin, Diaz Ardiawan, Panca Prakoso, Wiwing Dirgantara, Elkie Kwie, Pieter Gultom, Ivanka Suwandi, Linda Nirmala, Jefan Nathanio, Denny Baskar, Yusuf Mansur Music by Aghi Narottama Cinematography Yoyok Budi Santoso Edited by x.Jo, Aristo Pontoh, Yoga Krispratama Studio Putaar Films, Sultan Sinergi Indonesia, Garuda Sinergi Putaar Sinema Running time 85 minutes Country Indonesia Language Indonesian, English
Review: Comic 8 (2014)

Bahkan hanya dengan dua film layar lebar yang baru diarahkannya, Mama Cake (2012) dan Coboy Junior the Movie (2013), Anggy Umbara telah mampu mencuri perhatian para penikmat film Indonesia – kebanyakan karena kegemarannya untuk menampilkan visualisasi dari cerita filmnya dengan warna-warna benderang maupun tampilan a la komik yang begitu terkesan eksentrik. Kegemarannya tersebut kembali ia hadirkan dalam Comic 8, sebuah film aksi komedi yang menampilkan penampilan akting dari delapan pelaku stand up comedy – atau yang lebih akrab dikenal dengan sebutan komik – yang saat ini tengah meraih popularitas yang cukup tinggi di Indonesia. Momen-momen komedi memang mampu mengalir lancar dalam pilihan ritme penceritaan cepat yang dipilihkan Anggy untuk film ini. Namun, naskah yang terasa lemah dalam eksplorasi ceritanya seringkali membuat Comic 8 banyak menghabiskan durasi filmnya dalam atmosfer penceritaan yang cenderung datar daripada tampil benar-benar menghibur penontonnya.
Review: Soekarno (2013)
Setelah menggarap Sang Pencerah (2011) serta membantu proses produksi film Habibie & Ainun (2012), Hanung Bramantyo kembali hadir dengan sebuah film biopik yang bercerita tentang kehidupan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno. Berbeda dengan sosok Ahmad Dahlan – yang kisahnya dihadirkan dalam Sang Pencerah – atau Habibie yang cenderung memiliki kisah kehidupan yang lebih sederhana, perjalanan hidup Soekarno – baik dari sisi pribadi maupun dari kiprahnya di dunia politik – diwarnai begitu banyak intrik yang jelas membuat kisahnya cukup menarik untuk diangkat sebagai sebuah film layar lebar. Sayangnya, banyaknya intrik dalam kehidupan Soekarno itu pula yang kemudian berhasil menjebak Soekarno. Naskah cerita yang ditulis oleh Hanung bersama dengan Ben Sihombing (Cinta di Saku Celana, 2012) seperti terlalu berusaha untuk merangkum kehidupan Soekarno dalam tempo sesingkat-singkatnya – excuse the pun – sehingga membuat Soekarno seringkali kehilangan fokus penceritaan dan gagal untuk bercerita serta menyentuh subyek penceritaannya dengan lebih mendalam.
Review: Sang Kiai (2013)
Rako Prijanto makes a really bold move with Sang Kiai. Sutradara yang sebelumnya lebih banyak mengarahkan film-film drama romansa serta komedi seperti Ungu Violet (2005), Merah Itu Cinta (2007) hingga Perempuan-Perempuan Liar (2011) ini mencoba untuk keluar dari zona nyamannya dengan mengarahkan sebuah film biopik mengenai Hasyim Asy’ari yang merupakan salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan sekaligus pendiri organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Again, it’s a really bold move… dan Rako jelas terlihat memiliki visi yang kuat mengenai jalan cerita yang ingin ia hantarkan. Namun sayangnya, naskah arahan Anggoro Saronto (Malaikat Tanpa Sayap, 2012) justru kurang berhasil untuk tampil kuat dalam bercerita, kehilangan fokus di banyak bagian dan, yang terlebih mengecewakan, menyia-nyiakan kesempatan untuk dapat mengenalkan dengan lugas sosok besar Hasyim Asy’ari kepada penonton modern.
Review: Gending Sriwijaya (2013)
In case you’ve been living under the rock lately, Hanung Bramantyo telah menguasai layar bioskop Indonesia semenjak bulan Agustus 2012 lalu. Dimulai dengan merilis Perahu Kertas – dan sekuelnya pada bulan Oktober, memproduseri Habibie & Ainun yang dirilis pada awal Desember dan menjadi film dengan pendapatan terbesar sepanjang tahun lalu serta bersama Hestu Saputra menyutradarai Cinta Tapi Beda yang dirilis pada akhir Desember dan menjadi perbincangan masyarakat luas akibat tema ceritanya yang dinilai kontroversial hingga saat ini. Tahun 2012 jelas adalah salah satu tahun keemasan Hanung. Di awal tahun 2013 ini, Hanung kembali merilis sebuah film baru, Gending Sriwijaya, yang kali ini berusaha untuk menampilkan kemampuannya dalam menggarap sebuah film kolosal. Akankah film ini mampu mencapai kesuksesan layaknya film-film drama yang diarahkan oleh Hanung Bramantyo sebelumnya?
Review: Cinta Tapi Beda (2012)
Cinta Tapi Beda mengisahkan hubungan percintaan berliku antara dua karakter yang berasal dari latar belakang agama dan kepercayaan yang berbeda, Cahyo (Reza Nangin) dan Diana (Agni Pratistha). Cahyo, yang berasal dari keluarga Muslim yang taat di Yogjakarta, adalah seorang juru masak berbakat yang bekerja di salah satu restoran paling populer di Jakarta. Sementara itu, Diana, yang berasal dari keluarga dengan latar belakang kepercayaan Katolik di Padang, merupakan seorang mahasiswi jurusan tari yang saat ini sedang akan menghadapi ujian akhirnya. Keduanya secara tidak sengaja bertemu di sanggar tari yang dikelola oleh bibi Cahyo, Dyah Murtiwi (Nungky Kusumastuti). Pertemuan tersebut kemudian secara perlahan berlanjut menjadi hubungan percintaan yang akhirnya tidak dapat memisahkan keduanya.
Review: Jakarta Hati (2012)
Seperti halnya Jakarta Maghrib (2010) – film yang menjadi debut penyutradaraan bagi Salman Aristo, Jakarta Hati juga merupakan sebuah film yang terdiri dari beberapa potong kisah dengan menjadikan Jakarta sebagai latar belakang lokasi ceritanya. Terdiri dari enam kisah yang tidak saling berkaitan satu sama lain, Jakarta Hati dibuka dengan kisah berjudul Orang Lain yang menceritakan mengenai kisah pertemuan seorang lelaki yang berusia di pertengahan 30-an (Surya Saputra) dengan seorang gadis muda (Asmirandah) di sebuah pub malam. Keduanya telah menjadi korban pengkhianatan cinta dari pasangannya masing-masing. Bersama, keduanya kemudian menyusuri kelamnya malam di kota Jakarta sambil berusaha menjawab pertanyaan mengapa mereka bisa menjadi korban atas rasa cinta mereka terhadap pasangan masing-masing.