Tag Archives: Mark Ruffalo

Review: Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021)

Dengan kesuksesan yang mampu diraih oleh Black Panther (Ryan Coogler, 2018) yang diiringi dengan semakin membesarnya tuntutan sosial agar Marvel Studios (serta rumah produksi Hollywood lainnya) memberikan ruang yang lebih besar bagi karakter-karakter berkulit warna, Marvel Cinematic Universe memperkenalkan sosok pahlawan super barunya bernama Shang-Chi yang menjadi sosok pahlawan super dengan latar Asia pertama bagi seri film tersebut. Shang-Chi sendiri bukanlah sosok karakter baru dalam barisan buku komik yang dirilis oleh Marvel Comics. Juga dikenal sebagai Master of Kung Fu dan Brother Hand, karakter yang diciptakan oleh Steve Englehart dan Jim Starlin tersebut muncul pertama kali dalam Special Marvel Edition yang diterbitkan pada tahun 1973. Semenjak tahun 1980an, karakter Shang-Chi bahkan sempat berulang kali akan difilmkan dengan melibatkan sejumlah sutradara seperti Stephen Norrington (Blade, 1998) dan Yuen Woo-ping (Fist of Legend, 1994) namun selalu menemui kegagalan sebelum akhirnya, tentu saja, deretan kisah maupun karakter garapan Marvel Comics dikelola oleh Marvel Studios bersama dengan Walt Disney Studios. Continue reading Review: Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021)

Review: Dark Waters (2019)

Sebagai sebuah film, presentasi cerita yang dihadirkan Dark Waters mungkin akan mengingatkan banyak penontonnya pada sebuah film lain yang memiliki persamaan tema cerita. Bukan, film ini tidak memiliki pengisahan yang serupa dengan (atau bahkan merupakan sekuel dari) film horor yang dibintangi Jennifer Connelly, Dark Water (Walter Selles, 2005). Alur cerita Dark Waters yang berkisah tentang seorang pengacara yang berusaha untuk menuntut sebuah perusahaan industri raksasa akibat keteledoran mereka dalam menangani limbah yang lantas menyebabkan pencemaran lingkungan sekaligus penyakit pada masyarakat yang bersinggungan langsung dengan limbah tersebut jelas akan menghadirkan nostalgia dari pengisahan Erin Brockovich (Steven Soderbergh, 2000) yang dahulu berhasil memenangkan Julia Roberts kategori Best Actress in a Leading Role di ajang The 73rd Annual Academy Awards. Juga mendasarkan naskah ceritanya pada sebuah kisah nyata, layaknya Erin Brockovich, Dark Waters juga akan memaparkan bagaimana sifat tamak manusia telah menjadi senjata yang tidak hanya mematikan diri sendiri namun juga merusak orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah. Continue reading Review: Dark Waters (2019)

Review: Avengers: Endgame (2019)

Lima tahun setelah Thanos (Josh Brolin) menjentikkan jarinya dan menghapus separuh peradaban manusia dari atas permukaan Bumi – seperti yang dikisahkan pada Avengers: Inifinity War (Anthony Russo, Joe Russo, 2018), para anggota Avengers yang tersisa, Tony Stark/Iron Man (Robert Downey, Jr.), Steve Rogers/Captain America (Chris Evans), Bruce Banner/Hulk (Mark Ruffalo), Thor (Chris Hemsworth), Natasha Romanoff/Black Widow (Scarlett Johansson), Clint Barton/Hawkeye (Jeremy Renner), dan James Rhodes/War Machine (Don Cheadle), masih berupaya melupakan kepedihan hati mereka atas kekalahan di medan peperangan sekaligus hilangnya orang-orang yang mereka cintai. Di saat yang bersamaan, para anggota Avengers yang tersisa tersebut juga masih terus mencari cara untuk menemukan keberadaan Thanos dan membuatnya memperbaiki segala kerusakan yang telah ia sebabkan ketika menggunakan Infinity Stones. Harapan muncul ketika Scott Lang/Ant-Man (Paul Rudd) yang ternyata selamat dari tragedi yang disebabkan jentikan jari Thanos dan kemudian mendatangi markas Avengers dengan sebuah ide yang dapat menghadapkan kembali para Avengers dengan  musuh besar mereka. Continue reading Review: Avengers: Endgame (2019)

Review: Captain Marvel (2019)

Sebelas tahun semenjak perilisan Iron Man (Jon Favreau, 2008) dan sembilan belas film lain yang dirilis guna mengisi linimasa pengisahan Marvel Cinematic Universe, Marvel Studios merilis Captain Marvel yang menandai kali perdana dimana sosok pahlawan super perempuan menjadi karakter utamanya. Seperti halnya film-film pertama para pahlawan super buatan Marvel Studios sebelumnya, Captain Marvel juga merupakan sebuah origin story yang akan memperkenalkan pada penonton mengenai sosok sang pahlawan super, kekuatan yang dimilikinya, hingga berbagai masalah yang menghampirinya ketika ia berusaha untuk mengenal sekaligus mengendalikan kekuatan yang ia miliki tersebut. Sebuah plot pengisahan yang cukup mendasar bagi sebuah film yang berasal dari semesta cerita tentang kehidupan para pahlawan super. Namun, terlepas dari berbagai elemen familiar dari penceritaan tersebut, garapan duo sutradara Anna Boden dan Ryan Fleck (It’s Kind of a Funny Story, 2010) berhasil mengemas Captain Marvel tetap menjadi sajian yang terasa segar dan sangat, sangat menyenangkan untuk diikuti. Continue reading Review: Captain Marvel (2019)

Review: Avengers: Infinity War (2018)

Bayangkan beban yang harus diemban oleh Anthony Russo dan Joe Russo. Tidak hanya mereka harus menggantikan posisi Joss Whedon yang telah sukses mengarahkan The Avengers (2012) dan Avengers: Age of Ultron (2015), tugas mereka dalam menyutradarai Avengers: Infinity Warjuga akan menjadi penanda bagi sepuluh tahun perjalanan Marvel Studios semenjak memulai perjalanan Marvel Cinematic Universe ketika merilis Iron Man (Jon Favreau, 2008) sekaligus menjadi film kesembilan belas dalam semesta penceritaan film tersebut. Bukan sebuah tugas yang mudah, tentu saja, khususnya ketika mengingat The Russo Brothers juga harus bertugas untuk mengarahkan seluruh (!) karakter pahlawan super yang berada dalam Marvel Cinematic Universe dalam satu linimasa yang sama. Namun, The Russo Brothers sendiri bukanlah sosok yang baru bagi seri film ini. Dengan pengalaman mereka dalam mengarahkan Captain America: The Winter Soldier (2014), dan Captain America: Civil War (2016), keduanya telah memiliki modal yang lebih dari cukup untuk menjadikan Avengers: Infinity War menjadi sebuah presentasi kisah pahlawan super yang mampu tampil mengesankan.

Continue reading Review: Avengers: Infinity War (2018)

Review: Thor: Ragnarok (2017)

Masih ingat dengan Thor: The Dark World (Alan Taylor, 2013)? Well… tidak akan ada yang menyalahkan jika Anda telah melupakan sepenuhnya mengenai jalan cerita maupun pengalaman menonton dari sekuel perdana bagi film yang bercerita tentang Raja Petir dari Asgard tersebut. Berada di bawah arahan Taylor yang mengambil alih kursi penyutradaraan dari Kenneth Branagh, Thor: The Dark World harus diakui memang gagal untuk melebihi atau bahkan menyamai kualitas pengisahan film pendahulunya. Tidak berniat untuk mengulang kesalahan yang sama, Marvel Studios sepertinya berusaha keras untuk memberikan penyegaran bagi seri ketiga Thor, Thor: Ragnarok: mulai dari memberikan kesempatan pengarahan pada sutradara Taika Waititi yang baru saja meraih kesuksesan lewat dua film indie-nya, What We Do in the Shadows (2014) dan Hunt for the Wilderpeople (2016), menghadirkan naskah cerita yang menjauh dari kesan kelam, hingga memberikan penampilan-penampilan kejutan dalam presentasi filmnya. Berhasil? Mungkin. Continue reading Review: Thor: Ragnarok (2017)

Review: Begin Again (2014)

Salah satu rilisan terbaik Hollywood di sepanjang tahun 2014 lalu akhirnya mendapatkan kesempatan untuk disaksikan lebih banyak mata penikmat film di Indonesia pada tahun ini. Pertama kali diputar di ajang Toronto International Film Festival pada akhir tahun 2013 dengan judul Can a Song Save Your Life?, Begin Again kemudian dirilis di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 2014 dengan kisah yang mungkin akan mengingatkan banyak orang dengan film musikal arahan John Carney sebelumnya, Once (2007), namun dengan pengarahan Carney yang jauh, jauh lebih matang. Kematangan pengarahan Carney tersebut jelas sangat dapat dirasakan pada kemampuannya dalam mengalirkan jalan cerita, kualitas tata produksi yang begitu memikat serta, tentu saja, dukungan deretan lagu-lagu indie pop yang begitu catchy dan akan bertahan lama di kepala setiap penonton jauh setelah mereka menyaksikan film ini. Kombinasi yang membuat Begin Again terasa sederhana dalam bercerita namun sangat kuat dalam mempermainkan emosi penontonnya.

Dengan jalan cerita yang juga digarap oleh Carney, Begin Again berkisah tentang pertemuan dua karakter, seorang eksekutif perusahaan rekaman bernama Dan Mulligan (Mark Ruffalo) yang sedang mencoba untuk mempertahankan karirnya serta seorang penyanyi dan penulis lagu bernama Gretta James (Keira Knightley) yang baru saja mengalami patah hati akibat ditinggal pergi sang kekasih, Dave Kohl (Adam Levine). Pertemuan yang tidak disengaja pada sebuah bar tersebut kemudian berlanjut dengan penawaran yang dilakukan Dan kepada Gretta untuk bergabung dengan perusahaan rekamannya setelah mendengar kemampuan musik gadis yang berasal dari Inggris tersebut. Meskipun awalnya menolak, kesungguhan Dan akhirnya mampu meluluhkan hati Gretta. Segera, keduanya mulai mengumpulkan para musisi muda berbakat dari New York untuk memproduksi debut album musik Gretta yang tidak hanya akan berisi berbagai keluh kesah Gretta tentang patah hatinya namun juga memiliki konsep suara lingkungan kota New York dalam setiap lagu-lagunya.

Harus diakui, meskipun memiliki atmosfer penceritaan yang serupa dengan Once, Carney terlihat memiliki kepercayaan diri dan kematangan pengarahan yang lebih kuat pada Begin Again. Karakter-karakter yang tersaji dalam film ini dihadirkan dengan karakteristik yang begitu membumi namun kuat sekaligus mudah untuk disukai setiap penonton. Lihat bagaimana Carney mampu merangkai karakter Dan dan Gretta sebagai dua karakter yang sedang mencoba untuk memperjuangkan diri mereka dengan tanpa kehadiran dramatisasi yang berlebihan. Tidak hanya dari dua karakter utama yang diperankan Ruffalo dan Knightley, namun juga dari karakter-karakter pendukung yang hadir di sepanjang penceritaan film. Carney mampu menghindar dari berbagai penceritaan klise tentang seorang puteri yang sedang beranjak dewasa dalam menuliskan karakter puteri tunggal Dan, Violet (Hailee Steinfeld). Atau bagaimana karakter Dave Kohl tidak pernah digambarkan sebagai sosok yang harus benar-benar dibenci oleh karakter Gretta James meskipun ia telah berselingkuh dari dirinya. Atau persahabatan yang tulus yang mampu tergambar dari karakter Steve (James Corden). Hal inilah yang kemudian membantu jalan penceritaan Begin Again yang begitu sederhana mampu menjadi terasa nyaman sekaligus hangat untuk diikuti.

Sebagai sebuah musikal, Begin Again jelas juga terasa jauh lebih matang jika dibandingkan dengan Once. Bekerjasama dengan penyanyi sekaligus penulis lagu Gregg Alexander, Begin Again mampu dihadirkan dengan deretan lagu-lagu pop ringan dengan lirik lagu dan melodi yang tidak akan dengan mudah untuk dilupakan oleh penontonnya. Carney juga berhasil menempatkan setiap lagu dalam rangkaian pengadeganan yang tepat sehingga setiap lagu mampu mendukung sisi emosional dari setiap adegan dimana mereka ditampilkan. Sejujurnya, adalah cukup sulit untuk menemukan film dengan deretan lagu pengisi film yang mampu terkonsep lebih baik dari Begin Again dalam beberapa tahun terakhir. Lagu-lagu dalam film ini mampu menjadi jiwa dari penceritaan film sebanding dengan kekuatan setiap dialog yang ditulis Carney untuk keluar dari mulut para karakter dalam jalan cerita Begin Again.

Dengan tanpa adanya dramatisasi yang berlebihan bagi deretan konflik yang hadir dalam jalan cerita film, Begin Again mungkin tidaklah terlihat sebagai ajang untuk menyajikan penampilan akting yang kuat bagi para pemerannya. Meskipun begiu, deretan pengisi departemen akting film ini, yang berisi nama-nama seperti Mark Ruffalo, Keira Knightley, Adam Levine, James Corden, Hailee Steinfeld hingga Catherine Keener, mampu menyajikan penampilan akting mereka yang begitu sederhana namun sangat memikat. Chemistry yang terjalin antara sesama pemeran juga tampil meyakinkan. Carney juga berhasil menghadirkan filmnya dengan kualitas produksi yang berkelas. Tata sinematografi dari Yaron Orbach berhasil menangkap keindahan kota New York dan menjadikannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari alur penceritaan Begin Again. Begitu pula dengan tata kostum yang dihadirkan dengan deretan warna-warna cerah yang sangat sesuai dengan atmosfer penceritaan Begin Again yang manis sekaligus hangat. Sebuah presentasi yang tidak akan jenuh disaksikan untuk berulang kali. [B]

begin-again-posterBegin Again (2014)

Directed by John Carney Produced by Anthony Bregman, Tobin Armbrust, Judd Apatow Written by John Carney Starring Keira Knightley, Mark Ruffalo, Adam Levine, Catherine Keener, Hailee Steinfeld, James Corden, CeeLo Green, Yasiin Bey Music by Gregg Alexander Cinematography Yaron Orbach Editing by Andrew Marcus Studio Sycamore Pictures/Exclusive Media/Likely Story/Apatow Productions Running time 104 minutes Country United States Language English

Review: Avengers: Age of Ultron (2015)

avengers-age-of-ultron-posterSetelah kesuksesan luar biasa dari The Avengers (2012) – yang tidak hanya berhasil meraih pujian luas dari banyak kritikus film dunia namun juga mampu menarik perhatian penonton dan menjadikannya sebagai film dengan kesuksesan komersial terbesar ketiga di dunia setelah Avatar (2009) dan Titanic (1997) – kumpulan pahlawan dari Marvel Comics kembali hadir lewat Avengers: Age of Ultron. Masih disutradarai oleh Joss Whedon, Avengers: Age of Ultron memberikan sedikit perubahan radikal dalam warna penceritaannya. Berbeda dengan The Avengers yang menghadirkan banyak sentuhan komedi melalui deretan dialognya, film yang juga menjadi film kesebelas dalam rangkaian film dari Marvel Cinematic Universe ini tampil dengan deretan konflik yang lebih kompleks sekaligus kelam dari pendahulunya – atau bahkan dari seluruh film-film produksi Marvel Studios sebelumnya. Sebuah pilihan yang cukup beresiko dan, sayangnya, gagal untuk dieksekusi secara lebih dinamis oleh Whedon.

Dalam Avengers: Age of Ultron, Tony Stark (Robert Downey, Jr.) bekerjasama dengan Bruce Banner (Mark Ruffalo) untuk menghasilkan sebuah teknologi kecerdasan buatan yang awalnya ditujukan untuk membantu The Avengers dalam melaksanakan setiap tugas mereka. Sial, program yang diberi nama Ultron (James Spader) tersebut justru berbalik arah. Dengan tingkat kecerdasan tinggi yang diberikan kepadanya, Ultron justru merasa bahwa The Avengers adalah ancaman bagi kedamaian dunia dan akhirnya memilih untuk memerangi mereka. Dibantu dengan pasangan kembar Pietro (Aaron Taylor-Johnson) yang memiliki kecepatan super dan Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen) yang memiliki kemampuan untuk memanipulasi jalan pemikiran orang lain, Ultron memberikan sebuah tantangan berat yang tidak hanya mengancam keberadaan The Avengers namun juga keberadaan seluruh umat manusia yang ada di atas pemukaan Bumi.

Pilihan untuk tampil “lebih dewasa” lewat jalan penceritaan lebih kompleks dan kelam yang dituliskan oleh Joss Whedon sendiri sebenarnya bukanlah sebuah pilihan yang buruk untuk Avengers: Age of Ultron. Namun, dengan banyaknya karakter serta beberapa konflik personal lain yang masih tetap ingin diberikan ruang penceritaan khusus oleh Whedon, Avengers: Age of Ultron akhirnya justru terasa dibebani terlalu banyak permasalahan dengan ruang yang lebih sempit bagi konflik-konflik tersebut untuk berkembang dan hadir dengan porsi cerita yang memuaskan. Ketiadaan fokus yang kuat bagi setiap masalah yang dihadirkan inilah yang membuat Avengers: Age of Ultron terasa bertele-tele dalam mengisahkan penceritaannya dan akhirnya turut mempengaruhi pengembangan kisah personal beberapa karakter yang sebelumnya justru menjadi salah satu poin terbaik dari pengisahan The Avengers.

Berbicara mengenai Ultron, karakter antagonis yang satu ini harus diakui gagal tersaji secara lebih menarik jika dibandingkan dengan karakter antagonis dari seri sebelumnya, Loki. Terlepas dari kecerdasan luar biasa yang ia miliki, Ultron terasa hanyalah sebagai sebuah variasi karakter antagonis standar dalam film-film bertema sejenis yang berniat untuk memberikan ujian fisik dan mental bagi para karakter utama hingga akhirnya dapat menemukan jalan untuk mencapai tujuan hidup mereka: menjadi penguasa dunia. Vokal James Spader sendiri mampu memberikan warna karakteristik dingin yang sangat sesuai bagi Ultron namun hal tersebut tetap saja tidak mampu membuat Ultron tampil lebih menarik lagi.

Terlepas dari beberapa kelemahan tersebut, Avengers: Age of Ultron sendiri masih mampu dengan beberapa sentuhan humanis dalam penceritaannya. Beberapa plot pendukung seperti hubungan romansa yang sepertinya mulai terbangun antara karakter Bruce Banner dan Natasha Romanoff serta latar belakang keluarga yang dimiliki oleh karakter Clint Barton membuat sisi drama dari film ini tampil dengan kualitas yang cukup istimewa. Whedon, sayangnya, gagal memberikan porsi pengisahan yang sesuai untuk dua karakter baru, Pietro dan Wanda Maximoff, sehingga kehadiran keduanya seringkali terasa tidak lebih dari sekedar karakter tambahan tanpa esensi cerita yang cukup kuat untuk tampil lebih menarik.

Layaknya seri pendahulunya, Whedon masih mampu merangkai Avengers: Age of Ultron dengan kualitas departemen produksi yang sangat memikat. Jajaran pengisi departemen akting film ini juga hadir dengan penampilan akting yang semakin dinamis dengan chemistry yang semakin menguat antara satu dengan yang lain. Seandainya Whedon mau menghilangkan beberapa plot pendukung yang kurang esensial dan memilih untuk mengembangkan konflik utama film dengan lebih tajam, Avengers: Age of Ultron mungkin mampu hadir menyaingi kualitas penceritaan The Avengers – meskipun dengan nada penceritaan yang tetap hadir lebih kelam dan serius. Avengers: Age of Ultron tetap mampu memberikan beberapa momen khas film-film karya Marvel Studios yang akan dapat dinikmati penggemarnya. Namun lebih dari itu, film ini terasa dibebani terlalu banyak konflik yang akhirnya justru membuatnya gagal untuk berkembang dengan penceritaan yang lebih baik. [C]

Avengers: Age of Ultron (2015)

Directed by Joss Whedon Produced by Kevin Feige Written by Joss Whedon (screenplay), Zak Penn, Joss Whedon (story), Stan Lee, Jack Kirby (comics, The AvengersStarring Robert Downey Jr., Chris Hemsworth, Mark Ruffalo, Chris Evans, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Don Cheadle, Aaron Taylor-Johnson, Elizabeth Olsen, Paul Bettany, Cobie Smulders, Anthony Mackie, Hayley Atwell, Idris Elba, Stellan Skarsgård, James Spader, Samuel L. Jackson,  Linda Cardellini, Thomas Kretschmann, Claudia Kim, Andy Serkis, Julie Delpy, Stan Lee Music by Brian Tyler, Danny Elfman Cinematography Ben Davis Editing by Jeffrey Ford, Lisa Lassek Studio Marvel Studios Running time 141 minutes Country United States Language English

Review: Foxcatcher (2014)

foxcather-posterMereka yang telah mengenal deretan film yang diarahkan oleh Bennett Miller seperti Capote (2005) dan Moneyball (2011) jelas telah familiar dengan teknik pengarahan Miller yang begitu mendalam ketika menggarap detil sebuah penceritaan, menyelami setiap sisi pemikiran karakter-karakternya namun tidak pernah membiarkan sisi emosional dari setiap plot cerita maupun karakter yang ia gali untuk hadir meluap dalam setiap adegan filmnya. Teknik eksekusi penceritaan itulah yang kembali dihadirkan Miller dalam Foxcatcher – sebuah kisah, yang seperti halnya Capote dan Moneyball, juga terinspirasi dari sebuah kejadian nyata.

Dengan naskah cerita yang digarap oleh E. Max Frye (Something Wild, 1986) dan Dan Futterman (Capote), Foxcatcher berkisah mengenai perjuangan dua orang pria dalam mempertahankan harga diri mereka: satu diantaranya berusaha keras untuk mengesankan sang ibu yang sepertinya selalu gagal untuk menghargai apapun yang ia lakukan sementara satu pria lainnya berusaha untuk keluar dari bayang-bayang kesuksesan sang kakak yang selalu menghantui kehidupannya. Tentu saja, premis tersebut adalah sebuah gambaran (terlalu) sederhana dari naskah arahan Frye dan Futterman yang sebenarnya begitu kompleks dan mengandung banyak lapisan kisah. Lebih dari itu, naskah cerita Foxcatcher dengan lihai menyinggung berbagai permasalahan sosial masyarakat modern dalam interaksi para karakternya: mulai dari perbedaan kelas, keserakahan, eksploitasi mimpi, kecemburuan sosial hingga ambisi yang seringkali menggelapkan mata orang yang memilikinya. Mungkin bukanlah deretan tema yang dapat dilihat secara kasat mata namun jelas tertanam kuat dalam penceritaan Foxcatcher.

Foxcatcher juga merupakan sebuah pembelajaran karakter yang kuat. Hadir dengan tempo penceritaan yang cenderung lamban, Miller memaparkan motif, aksi serta jalan pemikiran setiap karakternya dengan begitu seksama. Setiap karakter dibuat sedemikian kuat agar mampu tampil menonjol dan saling mempengaruhi satu sama lain. Penggambaran karakter yang begitu reaktif inilah yang berhasil membawa kereta penceritaan Foxcatcher untuk dapat terus berjalan lugas meskipun tanpa pernah datang dengan konflik maupun emosi yang begitu berapi-api. Dingin namun mampu dengan tegas secara perlahan menusuk perhatian para penontonnya.

Sebagai sebuah film yang mengedepankan pembelajaran karakter dalam alur kisahnya, Foxcatcher jelas menumpukan kualitas utamanya dari penampilan para pengisi departemen aktingnya. Kebrilianan Miller sekali lagi hadir lewat kemampuannya untuk memilih para aktor maupun aktris yang tepat sekaligus memandu mereka untuk menghidupkan setiap karakter yang ada dalam penceritaan Foxcatcher. Tiga aktor utamanya, Steve Carell, Channing Tatum dan Mark Ruffalo tampil dengan kekuatan penampilan yang begitu mengagumkan. Sebagai sosok John Eleuthère du Pont, Carell mampu menyajikan satu karakter dengan jiwa yang begitu kosong dalam setiap perbuatannya. Carell mampu menampilkan sosok penyendiri yang berusaha begitu kuat untuk mengesankan setiap orang yang ada di sekitarnya sekaligus terasa memendam kebencian serta menyalahkan dunia sekitarnya atas kondisi jiwa yang ia rasakan saat itu. Kompleks dan mampu dieksekusi dengan cerdas oleh Carell.

Karakter Mark Schultz yang diperankan Tatum – yang tampil dengan penampilan terbaiknya di dunia film hingga saat ini – juga kurang lebih menjadi refleksi bagi karakter John Eleuthère du Pont. Keduanya adalah sosok yang merasa bahwa mereka butuh untuk membuktikan keberadaan mereka di dunia. Dan chemistry yang tercipta ketika kedua karakter ini bersama dan saling mendukung satu sama lain dalam caranya masing-masing mampu dihadirkan dengan begitu meyakinkan. Dingin… dan seringkali terasa menakutkan. Walaupun hadir dalam porsi penceritaan karakter pendukung, karakter Dave Schultz yang diperankan Ruffalo jelas menjadi antitesis sendiri bagi karakter John Eleuthère du Pont dan Mark Schultz. Penampilan Ruffalo yang begitu hangat dan bersahabat jelas menjadi lawan tersendiri bagi penampilan dingin dan begitu gloomy dari Carell dan Tatum. Ketiga penampilan inilah yang kemudian berpadu dan menciptakan kedinamisan akting yang sempurna bagi Foxcatcher. Tidak lupa, dukungan penampilan dari Vanessa Redgrave dan Sienna Miller turut menambah kekuatan kualitas departemen akting Foxcatcher.

Meskipun sebuah sajian yang tidak dapat dibantah kecerdasannya, seperti layaknya Capote dan Moneyball, pendekatan Miller yang begitu dingin pada Foxcatcher jelas akan memberikan ruang yang cukup besar bagi banyak penonton untuk dapat menikmati film ini dengan lebih nyaman. Namun, meskipun perlahan, ketika Foxcatcher berhasil menangkap perhatian Anda, film ini akan memberikan sebuah pengalaman penceritaan yang begitu kuat lewat penampilan mengagumkan dari para pengisi departemen akting film, tata produksi yang hadir hampir tanpa cela serta kemampuan penceritaan Miller yang lugas dalam menggarap setiap detil sisi kisah yang ingin ia sampaikan. [B]

Foxcatcher (2014)

Directed by Bennett Miller Produced by Bennett Miller, Megan Ellison, Jon Kilik, Anthony Bregman Written by E. Max Frye, Dan Futterman Starring Steve Carell, Channing Tatum, Mark Ruffalo, Vanessa Redgrave, Sienna Miller, Anthony Michael Hall, Guy Boyd, Brett Rice, Samara Lee, Jackson Frazer, Jane Mowder, Daniel Hilt, Lee Perkins, David Bennett Music by Rob Simonsen, West Dylan Thordson Cinematography Greig Fraser Edited by Stuart Levy, Conor O’Neill, Jay Cassidy Production company Annapurna Pictures/Likely Story Running time 134 minutes Country United States Language English

The 87th Annual Academy Awards Nominations List

The nominations are in! Dan hasilnya… film arahan Alejandro González Iñárritu, ‘Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance)’ dan film arahan Wes Anderson, ‘The Grand Budapest Hotel’, sama-sama memimpin daftar nominasi The 87th Annual Academy Awards dengan meraih sembilan nominasi. Keduanya akan bersaing dalam memperebutkan gelar Best Picture bersama dengan American Sniper, Boyhood, The Imitation Game, Selma, The Theory of Everything dan Whiplash. Raihan sembilan nominasi yang diraih Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) dan The Grand Budapest Hotel diikuti oleh The Imitation Game yang meraih delapan nominasi serta American Sniper dan Boyhood yang masing-masing meraih enam nominasi.

Continue reading The 87th Annual Academy Awards Nominations List

Review: Now You See Me (2013)

now-you-see-me-header

Diarahkan oleh Louis Leterrier (Clash of the Titans, 2010), Now You See Me membuka pengisahannya dengan memperkenalkan empat karakter pesulap yang masing-masing memiliki keahlian yang berbeda: J. Daniel Atlas (Jesse Eisenberg), Henley Reeves (Isla Fisher), Jack Wilder (Dave Franco) dan Merritt McKinney (Woody Harrelson). Sebuah undangan dari sosok misterius kemudian membawa mereka ke satu tempat dan akhirnya memperkenalkan mereka satu sama lain. Linimasa jalan penceritaan kemudian berpindah ke masa satu tahun kemudian, dimana keempatnya kini telah tergabung dalam sebuah kelompok bernama The Four Horsemen dan memiliki pertunjukan yang begitu popular di Las Vegas dengan bantuan sokongan dana dari milyuner, Arthur Tressler (Michael Caine).

Continue reading Review: Now You See Me (2013)

Review: Iron Man 3 (2013)

iron-man-3-header

Sowhat’s next for Marvel Studios after the huge success of that little movie called The Avengers (2012)? It’s the return of the Iron Man, apparently. Dan di bagian ketiga penceritaannya – yang masih dibintangi oleh Robert Downey, Jr., Gwyneth Paltrow dan Don Cheadle namun kini disutradarai oleh Shane Black (Kiss Kiss Bang Bang, 2005) yang menggantikan posisi Jon Favreau, Iron Man terkesan menyerap secara seksama pola penceritaan yang diterapkan Joss Whedon dalam The Avengers yakni dengan memasukkan lebih banyak unsur komedi ke dalam jalan penceritaannya. Hasilnya mungkin akan menghasilkan pendapat yang beragam dari banyak penggemar franchise ini. But then again… jelas sama sekali tidak ada salahnya untuk mengambil rute penceritaan yang berbeda ketika Anda sedang menangani sebuah tema yang telah begitu familiar. Khususnya ketika Anda mampu menanganinya dengan baik dan berhasil muncul dengan sebuah presentasi cerita yang benar-benar cerdas dan menghibur.

Continue reading Review: Iron Man 3 (2013)

Review: The Avengers (2012)

Ketika berhubungan dengan film-film yang dirilis pada masa musim panas, Hollywood tahu bahwa mayoritas para penikmat film dunia menginginkan film-film dengan kualitas penceritaan yang sederhana namun dengan pengemasan yang super megah. Film-film yang murni dibuat dengan tujuan hiburan semata. The Avengers – sebuah film yang menempatkan para pahlawan Marvel Comics seperti Captain America, The Black Widow, Iron Man, Hawkeye, Thor dan Hulk berada pada satu jalan penceritaan yang sama – jelas adalah salah satu film musim panas dengan nilai hiburan yang pastinya tidak dapat diragukan lagi. Namun, di bawah pengarahan Joss Whedon (Serenity, 2005), yang bersama dengan Zak Penn (The Incredible Hulk, 2008) juga menulis naskah cerita film ini, The Avengers berhasil tampil lebih dari sekedar sebuah summer movie. Fantastis dalam penampilan, tetapi tetap mampu tampil membumi dengan kisah yang humanis nan memikat.

Continue reading Review: The Avengers (2012)