Tag Archives: Joehana Sutisna

Review: Madu Murni (2022)

Diarahkan oleh Monty Tiwa (Layla Majnun, 2021) berdasarkan naskah garapan Musfar Yasin (Alangkah Lucunya (Negeri Ini), 2010), Madu Murni memulai linimasa pengisahannya dengan memperkenalkan sang karakter utama, Mustaqim (Ammar Zoni), seorang mantan guru mengaji yang kini bekerja sebagai penagih hutang bersama dengan rekannya, Rojak (Tanta Ginting), demi mendapatkan penghasilan lebih banyak. Sayang, profesi barunya tersebut ditentang oleh sang istri, Murni (Irish Bella). Sebanyak apapun uang yang dibawa pulang oleh Mustaqim, Murni enggan untuk menerima. Kesal dengan perlakuan Murni, Mustaqim memutuskan untuk mencari sosok pendamping yang lebih dapat menerima dirinya. Sosok tersebut ia temukan pada diri Yati (Aulia Sarah), seorang janda muda yang selama ini memang sebenarnya telah menaruh perhatian pada sosok Mustaqim yang memiliki penampilan fisik rupawan. Sial, di malam pertama pernikahan mereka, Mustaqim tidak mampu untuk memberikan kepuasan biologis pada Yati. Hal yang kemudian justru menambah pelik permasalahan dalam kehidupan Mustaqim. Continue reading Review: Madu Murni (2022)

Review: Keluarga Cemara 2 (2022)

Tiga tahun setelah perilisan Keluarga Cemara – adaptasi dari serial televisi berjudul sama garapan Arswendo Atmowiloto yang selama masa rilisnya berhasil mendatangkan lebih dari 1,7 juta penonton serta memenangkan dua dari enam kategori yang dinominasikan dari ajang Festival Film Indonesia 2019, sekuelnya akhirnya datang untuk menyapa. Terjadi sejumlah perubahan di balik layar Keluarga Cemara 2 yang kini menempatkan Ismail Basbeth (Arini, 2018) untuk duduk di kursi penyutradaraan dan mengarahkan naskah cerita yang dituliskan oleh M. Irfan Ramly (Generasi 90an: Melankolia, 2020). Kehadiran Basbeth tak ayal memang memberikan warna baru bagi tata penceritaan film ini. Jika film pertama terasa bertutur layaknya drama keluarga ringan yang mengalir hangat dan cenderung emosional, arahan Basbeth membuat Keluarga Cemara 2 tak lagi (terlalu) lantang dalam menyentuh sisi emosional penontonnya dengan penuturan yang minim konflik besar dan sentuhan simbolisasi yang acap ditemukan dalam karya-karya Basbeth. Continue reading Review: Keluarga Cemara 2 (2022)

Review: Pretty Boys (2019)

Selain menjadi seorang penyanyi dan dokter – dan aktor, jika Anda turut memperhitungkan penampilan singkatnya pada Trinity, The Nekad Traveler (Rizal Mantovani, 2017), Tompi menambah gelar sutradara untuk namanya dengan mengarahkan film layar lebar yang berjudul Pretty Boys. Dengan naskah yang digarap oleh Imam Darto (Coblos Cinta, 2008), Pretty Boys berkisah mengenai perjuangan dua orang pemuda, Rahmat (Deddy Mahendra Desta) dan Anugerah (Vincent Rompies), untuk menggapai mimpi mereka guna menjadi sosok yang terkenal di industri hiburan Indonesia. Kesempatan untuk mewujudkan mimpi tersebut tiba-tiba datang ketika Rahmat dan Anugerah ditawari untuk menjadi pembawa acara pendamping bagi sebuah program bincang-bincang di saluran televisi terkenal. Namun, kesempatan tersebut datang dengan sebuah syarat: Produser meminta Rahmat dan Anugerah untuk tampil layaknya para waria. Dengan penampilan tersebut, dan kemampuan berguyon mereka, Rahmat dan Anugerah secara perlahan mulai meraih popularitas mereka. Sayang, di saat yang bersamaan, popularitas tersebut lantas menghadirkan ruang pada hubungan persahabatan mereka. Continue reading Review: Pretty Boys (2019)

Review: Yowis Ben II (2019)

Terlepas dari barisan dialognya yang didominasi oleh Bahasa Jawa, perilisan Yowis Ben (Fajar Nugros, Bayu Skak, 2018) mampu memberikan kejutan ketika film tersebut berhasil mencuri perhatian banyak penikmat film Indonesia. Secara perlahan, film komedi yang juga menjadi debut penyutradaraan bagi Skak tersebut menyaingi keberadaan film-film lokal dan internasional lain yang dirilis di saat yang bersamaan, bertahan cukup lama di banyak layar bioskop – khususnya yang berada di Pulau Jawa, untuk kemudian sukses mengumpulkan lebih dari sembilan ratus ribu penonton selama masa tayangnya. Dengan ukiran prestasi tersebut, tidak mengherankan bila Nugros dan Skak kembali bekerjasama dan berusaha untuk mengulang (atau malah memperbesar) kesuksesan mereka dengan merilis sebuah sekuel bagi Yowis Ben. Dan dengan formula cerita dan guyonan yang masih setia dengan film pendahulunya, Yowis Ben 2 dipastikan akan tetap dapat menghibur para barisan penggemarnya – dan bahkan mungkin akan mampu mendapatkan beberapa penggemar baru. Continue reading Review: Yowis Ben II (2019)

Review: Dilan 1990 (2018)

Seperti halnya Galih dan Ratna (Galih & Ratna, 2017), Nathan dan Salma (Dear Nathan, 2017), serta Yudhis dan Lala (Posesif, 2017), Dilan 1990 berkisah mengenai romansa remaja yang terbentuk antara seorang remaja pria, Dilan (Iqbaal Ramadhan), dengan seorang remaja wanita yang baru saja pindah ke sekolahnya, Milea (Vanesha Prescilla). Meskipun mengemban jabatan sebagai “panglima tempur” di sebuah geng motor, memiliki jiwa pemberontak, dan sanggup untuk bertarung secara fisik dengan orang-orang yang memusuhi dirinya, namun Dilan berubah menjadi sosok yang begitu romantis ketika berada di dekat Milea. Milea sendiri sebenarnya telah mengetahui reputasi kurang menyenangkan yang dimiliki Dilan. Meskipun begitu, dengan usaha Dilan yang teramat gigih, tembok pertahanan hati Milea secara perlahan mulai dapat diruntuhkan. Benih-benih cinta mulai tumbuh diantara keduanya. Continue reading Review: Dilan 1990 (2018)

Review: Insya Allah Sah (2017)

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Benni Setiawan (Toba Dreams, 2015) berdasarkan buku yang berjudul sama karya Achi TM, Insya Allah Sah berkisah tentang pertemuan yang tidak disengaja antara Silvi (Titi Kamal) dengan Raka (Pandji Pragiwaksono) ketika mereka terjebak di dalam sebuah lift yang sedang bermasalah. Dalam kepanikannya, Silvi lantas bernazar bahwa jika ia dapat keluar dengan selamat maka ia akan berubah menjadi sosok muslimah yang lebih taat akan aturan dan perintah Tuhan. Tidak lama setelah ia mengucapkan nazar tersebut, pintu lift pun terbuka dan Silvi dapat bertemu kembali dengan kekasihnya, Dion (Richard Kyle). Kejadian tersebut bahkan mendorong Dion untuk segera melamar Silvi. Tanpa disangka-sangka, Raka, seorang sosok pemuda yang lugu dan religius, kemudian menghubungi Silvi dan terus mengingatkannya akan nazar yang telah ia ucapkan. Dorongan Raka agar Silvi segera menjalankan nazarnya secara perlahan mulai mengganggu kehidupan Silvi dan rencana pernikahannya dengan Dion. Continue reading Review: Insya Allah Sah (2017)

Review: Sweet 20 (2017)

Diarahkan oleh Ody C. Harahap (Kapan Kawin?, 2015), Sweet 20 berkisah tentang kehidupan seorang nenek berusia 70 tahun, Fatmawati (Niniek L. Kariem), yang berubah drastis setelah dirinya secara magis bertransformasi menjadi seorang gadis berusia 20 tahun. Untuk menutupi identitasnya, Fatmawati lantas menggunakan nama Mieke (Tatjana Saphira) sesuai dengan nama artis idolanya, Mieke Wijaya. Dengan identitas barunya tersebut, Mieke merasa mendapatkan kesempatan sekali lagi untuk meraih berbagai mimpi terdahulunya yang belum sempat ia wujudkan. Di saat yang bersamaan, dengan penampilan, sikap dan bakatnya yang bersinar, Mieke berhasil menarik perhatian dua orang pemuda, Juna (Kevin Julio) dan Alan (Morgan Oey), sekaligus membuat sahabatnya, Hamzah (Slamet Rahardjo), yang sedari dulu telah meyimpan perasaan suka pada dirinya kembali jatuh hati kepada dirinya. Continue reading Review: Sweet 20 (2017)

Review: Comic 8: Casino Kings – Part 1 (2015)

comic-8-casino-kings-part-1-posterComic 8: Casino Kings – Part 1 adalah bagian pertama dari dua bagian film yang telah direncanakan sebagai sekuel dari film Comic 8 yang berhasil meraih predikat sebagai film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak ketika dirilis pada awal tahun 2014 lalu. Seperti layaknya sebuah sekuel, Anggy Umbara merancang Comic 8: Casino Kings – Part 1 sebagai sebuah sajian yang lebih mewah dan megah jika dibandingkan dengan pendahulunya. Berhasil? WellComic 8: Casino Kings – Part 1 memang mampu tampil dengan deretan guyonan yang beberapa kali berhasil mengundang tawa penonton. Jajaran pemerannya yang berisi (sangat) banyak wajah familiar di industri film Indonesia juga tampil menyenangkan dalam peran komikal mereka. Namun, terlepas dari penampilannya yang lebih mewah, Comic 8: Casino Kings – Part 1 masih gagal untuk menghindar dari kesalahan yang telah dibuat oleh film pendulunya. Hal ini masih ditambah dengan keberadaan sindrom film yang jalan ceritanya dibagi menjadi dua bagian yang kemudian membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 terasa berjalan begitu bertele-tele khususnya di bagian akhir pengisahannya.

Dengan naskah cerita yang masih digarap oleh Anggy Umbara bersama dengan Fajar Umbara, Comic 8: Casino Kings – Part 1 melanjutkan kisah seri pendahulunya ketika delapan agen rahasia yang berada dibawah pimpinan Indro Warkop untuk menyamar menjadi komika demi mencari seorang komika yang menjadi penghubung ke seorang pemilik kasino terbesar di Asia yang sering disebut dengan sebutan nama The King. Jelas bukan sebuah tugas yang mudah. Kedelapan agen rahasia tersebut masih harus dikejar-kejar pihak kepolisian akibat tindakan perampokan bank yang telah mereka lakukan di seri sebelumnya. Mereka juga harus menghadapi sederetan kelompok penjahat yang berusaha menghalangi agar tugas mereka gagal untuk terselesaikan.

Bagian awal penceritaan Comic 8: Casino Kings – Part 1 jelas merupakan bagian terbaik dari film ini. Anggy Umbara memulai filmnya dengan tampilan visual berteknologi tinggi yang akan mampu memuaskan setiap penonton yang menginginkan lebih banyak adegan aksi dari film ini. Para pemeran film, mulai dari delapan komika yang berperan sebagai agen rahasia hingga para pemeran pendukung lain seperti Boy William, Prisia Nasution, Dhea Ananda hingga Gita Bhebita, juga berhasil mengeksekusi dialog-dialog penuh komedi mereka dengan sangat baik. Anggy Umbara sendiri mengemas Comic 8: Casino Kings – Part 1 sebagai satuan potongan-potongan cerita dan kemudian seperti mengacak linimasa penceritaan sehingga tidak lantas berjalan linear. Sayang, pengacakan linimasa yang dihadirkan dalam film ini terkesan sebagai gimmick belaka tanpa pernah benar-benar terasa sebagai sebuah hal yang esensial maupun berpengaruh pada kualitas penceritaan secara keseluruhan.

Memasuki pertengahan penceritaan, seiring dengan semakin banyaknya karakter yang memenuhi garis pengisahan film, Comic 8: Casino Kings – Part 1 mulai terasa kehilangan arah. Banyak diantara karakter yang hadir tampil tanpa peran penceritaan yang kuat. Begitu juga dengan plot penceritaan yang hadir dengan konflik yang terkesan sengaja ditahan untuk disimpan dan disimpan pada bagian film berikutnya. Hasilnya jelas membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 terasa tidak maksimal dalam presentasinya. Setelah dimulai dengan berbagai keberhasilan untuk tampil menghibur, paruh kedua dan ketiga penceritaan film serasa berjalan melamban tanpa pernah sekalipun mampu menghasilkan kualitas hiburan yang sama seperti paruh penceritaan pendahulunya. Cukup disayangkan mengingat Comic 8: Casino Kings – Part 1 memiliki potensi yang sangat kuat untuk menjadi film aksi komedi yang cukup fantastis.

Adalah mudah untuk mengetahui bahwa Anggy Umbara memiliki konsep yang sangat megah untuk sekuel Comic 8. Sayangnya, sebagai sebuah film yang diniatkan untuk hadir dalam dua bagian film, Comic 8: Casino Kings – Part 1 jelas masih memiliki garis penceritaan yang cukup rapuh. Berbagai plot dan konflik yang sengaja ditampilkan setengah matang untuk kemudian diselesaikan pada bagian film selanjutnya justru membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 kehilangan banyak momen emasnya. Jajaran pemeran film ini memang masih sangat mampu memberikan banyak hiburan kepada para penonton. Namun, lebih dari itu, Comic 8: Casino Kings – Part 1 gagal untuk menjadi sebuah sajian yang kuat secara keseluruhan. Mudah-mudahan saja Comic 8: Casino Kings – Part 2 yang rencananya dirilis awal tahun mendatang dapat tampil lebih baik dari bagian pertamanya ini. [C]

Comic 8: Casino Kings – Part 1 (2015)

Directed by Anggy Umbara Produced by Frederica Written by Fajar Umbara Starring Mongol Stres, Ernest Prakasa, Kemal Palevi, Bintang Timur, Babe Cabiita, Fico Fachriza, Arie Kriting, Ge Pamungkas, Indro Warkop, Sophia Latjuba, Prisia Nasution, Nikita Mirzani, Pandji Pragiwaksono, Hannah Al Rashid, Yayan Ruhian, Cak Lontong, Joehana Sutisna, Boy William, Ence Bagus, Donny Alamsyah, Agung Hercules, Agus Kuncoro, Candil, Barry Prima, George Rudy, Willy Dozan, Lydia Kandou, Sacha Stevenson, Soleh Solihun, Dhea Ananda, Bagus Netral, Ray Sahetapy, Arief Didu, Adjis Doaibu, Isman HS, Gilang Bhaskara, Akbar Kobar, Asep Suaji, Awwe, Uus, Temon, Boris Bokir, Lolox, Bene Rajagukguk, Gita Bhebhita, Mo Sidik, Jovial da Lopez, Andovi da Lopez, DJ Karen Garrett Music by Indra Q Cinematography by Dicky R. Maland Editing by Andi Mamo Studio  Falcon Pictures Running time 104 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Si Jago Merah 2: Air & Api (2015)

air-dan-api-posterMerupakan sekuel bagi film Si Jago Merah (Iqbal Rais, 2008), Si Jago Merah 2: Air & Api kini melanjutkan kisah perjalanan karir dua karakter dari seri sebelumnya, Gito (Deddy Mahendra Desta) dan Rojak Panggabean (Judika Sihotang), sebagai anggota petugas pemadam kebakaran. Dibawah kepemimpinan Komandan Dicky (Bucek Depp), keduanya kini ditugaskan untuk membina calon petugas pemadam kebakaran yang baru. Diantara pendatang baru tersebut terdapat Radit (Tarra Budiman) yang dipaksa sang ayah untuk bergabung dalam kelompok tersebut, Dipo (Dion Wiyoko) yang bergabung karena keinginannya untuk dapat menolong orang banyak meskipun hal tersebut mendapat larangan dari sang ayah (Ferry Salim) serta Sisi (Enzy Storia) yang ingin mengikuti jejak almarhum sang ayah sebagai seorang petugas pemadam kebakaran. Tentu saja, ada banyak tantangan dalam melatih para personel baru, mulai dari masalah cinta lokasi antara sesama petugas hingga keahlian masing-masing petugas ketika diturunkan dalam lokasi bencana.

Masalah terbesar yang dihadapi oleh Si Jago Merah 2: Air & Api sendiri harus diakui datang dari konten yang terkandung dalam naskah ceritanya. Sebagai sebuah film yang mengisahkan tentang para petugas pemadam kebakaran – karakter yang kisahnya masih sangat amat jarang ditemukan dalam jalan cerita film Indonesia, Si Jago Merah 2: Air & Api justru lebih banyak mengangkat masalah romansa yang terjadi antara para karakter yang hadir dalam jalan cerita film ini. Bukan masalah yang cukup besar jika garisan cerita romansa tersebut mampu dikemas menarik (dan berimbang). Sayangnya, kisah cinta segitiga yang tergambar antara karakter Radit, Sisi dan Dipo terasa begitu mengganggu akibat penggalian materi cerita yang dangkal sehingga terasa bertele-tele dalam penyampaiannya. Materi kisah cinta segitiga tersebut juga mengambil porsi yang (terlalu) luas sehingga seringkali menghalangi plot-plot kisah lain yang coba ditonjolkan oleh film ini. Hasilnya, meskipun Si Jago Merah 2: Air & Api berkisah mengenai kehidupan para petugas pemadam kebakaran, film ini sama sekali tidak pernah mampu menjadi sebuah film yang benar-benar dapat bercerita panjang kali lebar mengenai kehidupan para petugas pemadam kebakaran.

Tidak hanya dari penceritaannya. Penggambaran karakter-karakter dalam film ini juga harus diakui terasa digambarkan cukup lemah. Kedangkalan sikap beberapa karakter dalam menghadapi masalah personal mereka jelas terasa berlawanan dengan tugas berat mereka sebagai petugas pemadam kebakaran. Si Jago Merah 2: Air & Api memanglah sebuah fiksi. Namun ketika sebuah jalan cerita film dihadapkan atau dikaitkan pada beberapa karakter yang memang telah familiar karakteristiknya, jelas hal tersebut harusnya menjadi pertimbangan tersendiri dalam pendalaman penulisan dari masing-masing karakter dalam cerita. Lemahnya penceritaan memang harus terasa cukup mengganggu. Meskipun begitu, arahan Raymond Handaya (I Love You Masbro, 2012) bagi film ini masih mampu terasa kekuatannya. Pemilihan alur penceritaan yang berjalan cepat setidaknya membuat Si Jago Merah 2: Air & Api tetap terasa lugas dalam perjalanannya. Raymond juga mampu memberikan arahan yang baik bagi tata teknikal film yang beberapa kali disajikan dengan tuntutan adanya efek visual pada gambarnya. Seluruh tatanan teknikal mampu dieksekusi dengan lancar dan terasa nyaman untuk dinikmati penonton.

Raymond Handaya juga rasanya beruntung diberkahi barisan pengisi departemen akting yang kuat dalam film ini. Mulai dari Tarra Budiman, Dion Wiyoko, Enzy Storia hingga pemeran pendukung seperti Bucek Depp, Ferry Salim dan Joehana Sutisna mampu memberikan kontribusi terbaik mereka dalam menghidupkan kehadiran setiap karakter. Namun, jelas adalah Deddy Mahendra Desta dan Judika Sihotang yang selalu berhasil menjadi pencuri perhatian utama dalam Si Jago Merah 2: Air & Api. Keduanya mampu menjalankan plot komedi dan drama yang diberikan pada karakter mereka dengan baik. Sejujurnya, mungkin Si Jago Merah 2: Air & Api akan menjadi lebih menarik jika saja fokus penceritaan tetap diberikan pada karakter yang diperankan Deddy Mahendra Desta dan Judika Sihotang seperti yang disajikan Iqbal Rais dalam seri sebelumnya. [C-]

Si Jago Merah 2: Air & Api (2015)

Directed by Raymond Handaya Produced by Chand Parwez Servia, Fiaz Servia Written by Raymond Handaya, Hilman Mutasi, Away Martianto (screenplay), Hilman Mutasi, Fajar Nugros (characters) Starring Judika Sihotang, Deddy Mahendra Desta, Dion Wiyoko, Tarra Budiman, Enzy Storia, Abdur Arsyad, Bucek Depp, Marissa Nasution, Girindra Kara, Joehana Sutisna, Putri Una, Ferry Salim, Meriam Bellina, Dwi Yan, Volland Humonggio, Lina Marpaung, Kezia Karamoy, Umar Lubis, Sacha Stevenson, Ingrid Widjanarko, Joshua Pandelaki, Mongol Stres, Laila Sari, Iranty Purnamasari Music by Andhika Triyadi Cinematography Yoyok Budi Santoso Editing by Wawan I. Wibowo, Dody Chandra Studio Starvision Running time 99 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Check-In Bangkok (2015)

check-in-bangkok-posterSetelah Jomblo Keep Smile (2014), sutradara Yoyok Sri Hardianto kembali bekerjasama dengan produser KK Dheeraj untuk memproduksi film komedi Check-In Bangkok. Filmnya sendiri berkisah mengenai hubungan asmara antara Renata (Mikha Tambayong) dan Krish (Saurabh Raj Jain) yang kini terjalin jarak jauh semenjak Krish dipindahtugaskan ke Bangkok, Thailand oleh perusahaan tempatnya bekerja. Suatu hari, Renata, yang ditemani sepupunya, Bejo (Bayu Skak), berkunjung ke Negara Gajah Putih tersebut untuk memberi kejutan pada sang kekasih. Sayang, kesibukan pekerjaan Krish yang begitu padat menghalangi Renata untuk mendatanginya. Renata dan Bejo akhirnya memutuskan untuk berliburan terlebih dahulu di kota tersebut. Dalam perjalanan itulah, Renata kemudian berkenalan dengan Don Glenn (Chris Laurent), seorang pembalap tampan asal Indonesia yang bersama sahabatnya, Quin (Ervan Naro), juga sedang berliburan disana. Dalam waktu singkat, hubungan Renata dan Don Glenn lantas semakin mendekat satu sama lain.

Masalah terbesar yang dihadapi oleh penceritaan Check-In Bangkok jelas berasal dari penulisan naskah ceritanya yang ditangani oleh Yanto Prawoto, Dian Sukmawan dan Hilman Mutasi. Meskipun tidak istimewa, Check-In Bangkok sebenarnya dimulai tidak mengecewakan dalam mengenalkan karakter-karakter sekaligus konflik awalnya. Namun, ketika jalan cerita mulai berfokus pada perjalanan para karakter utama di Bangkok, Check-In Bangkok sepertinya kehilangan kendali atas apa yang sebenarnya ingin diceritakannya. Durasi penceritaan kemudian diisi dengan adegan para karakter mengunjungi berbagai lokasi wisata di Bangkok – yang sama sekali tidak relevan dengan jalan cerita utama film ini – serta guyonan-guyonan dangkal yang datang dari karakter Bejo dan Quin – yang kemudian terasa mengambil alih penceritaan dari para karakter utama.

Dan memang, kualitas penceritaan Check-In Bangkok tidak pernah kembali pulih kondisinya. Fokus penceritaan terus terbagi dua antara kisah cinta segitiga dari karakter Krish, Renata dan Don Glenn serta deretan guyonan yang hadir dari karakter Bejo dan Quin. Begitu terus menerus. Kedatangan karakter lain yang memperumit kisah cinta antara Krish dan Renata juga sama sekali tidak membantu. Karakter yang bernama Nabila tersebut justru terkesan membingungkan dengan digambarkan menjadi satu sosok karakter antagonis di satu bagian namun digambarkan dengan karakteristik berbeda pada bagian penceritaan lain. Hal tersebut masih ditambah keputusan para pembuat film ini untuk menyajikan sebuah monolog penutup tentang apa yang terjadi pada masing-masing karakter di akhir film. Tambahan yang sebenarnya sangat, sangat tidak diperlukan mengingat isi dari monolog tersebut yang juga terdengar begitu menggelikan.

Tidak ada masalah berarti dalam penampilan para pengisi departemen akting film ini. Mikha Tambayong, Chris Laurent, Sabrina Piscalia hingga Joehana Sutisna dan Sacha Stevenson yang tampil singkat dalam film ini memberikan penampilan yang tidak mengecewakan. Ervan Naro dan Bayu Skak sendiri dapat disebut sebagai pencuri perhatian utama dalam film ini jika saja naskah cerita film kemudian tidak mengeksploitasi karakter mereka secara berlebihan dan membuat karakter yang mereka perankan menjadi lebih terasa mengganggu daripada menghibur. Kehadiran aktor asal India, Saurabh Raj Jain, dalam film ini jelas untuk menggunakan kepopuleran serial televisi Mahabharata yang ia bintangi di kalangan penonton Indonesia. Perannya sendiri sebenarnya tidak begitu esensial, bahkan dapat digantikan oleh aktor mana saja. Pun begitu, Saurabh Raj Jain juga tampil dengan penampilan akting yang sesuai dengan kebutuhan karakter yang ia perankan. [D]

Check-In Bangkok (2015)

Directed by Yoyok Sri Hardianto Produced by KK Dheeraj Written by Yanto Prawoto, Dian Sukmawan, Hilman Mutasi Starring Saurabh Raj Jain, Mikha Tambayong, Chris Laurent, Bayu Skak, Ervan Naro, Joehana Sutisna, Sacha Stevenson, Sabrina Piscalia Music by Yovial Tripurnomo Virgi Cinematography Riski Dwipanca Edited by Andhy Pulung Production company K2K Production Running time 90 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: CJR The Movie (2015)

cjr-the-movie-posterJika Coboy Junior the Movie (2013) berkisah mengenai awal terbentuknya kelompok musik Coboy Junior dan bagaimana usaha mereka untuk memperkenalkan diri sekaligus menembus industri musik Indonesia, maka CJR the Movie justru berkisah bagaimana kelompok musik tersebut mencoba bertahan dan bangkit kembali setelah ditinggal oleh salah satu anggotanya, Bastian Simbolon. Diarahkan langsung oleh pendiri Coboy Junior, Patrick Effendy, CJR the Movie sebenarnya memiliki premis penceritaan yang lebih berisi dan dramatis jika dibandingkan dengan film pertama Coboy Junior yang diarahkan oleh Anggy Umbara. Sayangnya, potensi tersebut terasa disia-siakan oleh jalan cerita yang cenderung lemah dan seringkali terasa hanya sebagai variasi lain dari pengulangan jalan cerita yang telah dihadirkan dalam Coboy Junior the Movie.

Salah satu kelemahan utama dari naskah cerita CJR the Movie yang ditulis oleh Hilman Mutasi, Yanto Prawoto dan Arif Rahman adalah jalan cerita film ini seperti menghindar dari masa lalu yang dimiliki Coboy Junior dengan mantan anggotanya. Padahal, selain menjadi pemicu bagi bergeraknya konflik lain dalam jalan cerita film, konflik tersebutlah yang seharusnya menjadi alasan kuat mengapa film kedua ini dibuat. Daripada berdamai dengan masa lalu tersebut, CJR the Movie justru menyajikan permasalahan tersebut secara dangkal: penonton sama sekali tidak pernah diberikan penjelasan dari penyebab keluarnya Bastian Simbolon dari kelompok musik tersebut dan bahkan, pada beberapa bagian, gambar-gambar Bastian Simbolon justru dikaburkan begitu saja.

CJR the Movie kemudian memfokuskan penceritaannya pada kisah bagaimana tiga anggota kelompok musik tersebut yang tersisa berusaha bangkit kembali – dengan alur cerita yang terasa sebagai pengulangan plot dari film pertama mereka. Sayangnya, penceritaan di bagian tersbeut juga hadir dalam kualitas yang tidak terlalu memuaskan. Bagian kisah dimana tiga anggota Coboy Junior digambarkan berlatih keras demi mimpi mereka gagal mendapatkan eksplorasi cerita yang mendalam. Terasa terlalu instan dalam penyajian kisahnya. Deretan karakter pendukung yang awalnya menjadi elemen pendukung yang kuat di film pertama, seperti karakter-karakter keluarga, sama sekali tidak diberikan porsi penceritaan yang luas. Bahkan terasa hanya menjadi tempelan di awal dan akhir penceritaan. Beberapa kelemahan inilah, terlepas dari hadirnya beberapa lagu catchy di beberapa bagian film, yang membuat CJR the Movie terasa hambar dalam pengisahannya.

Hadir dalam kualitas cerita yang cukup medioker, CJR the Movie setidaknya mampu diolah dengan cukup baik oleh sutradara film ini, Patrick Effendy. Menggantikan posisi Anggy Umbara, Patrick harus diakui mampu mengolah jalan penceritaan dengan baik. Arahan yang ia berikan pada alur penceritaan film ini terasa mampu mengakomodasi materi penceritaan dengan layak. Tidak hadir dalam ritme yang terlalu cepat maupun terlalu lamban. Meskipun tidak istimewa, Iqbaal Dhiafakhri, Alvaro Maldini dan Teuku Ryzqi juga terasa semakin nyaman dalam penampilan akting mereka. Abimana Aryasatya juga hadir dalam kapasitas yang tidak mengecewakan. Sama halnya seperti Rio Dewanto – meskipun aksen Austalia yang ia gunakan kadang terasa sedikit berlebihan dan mengganggu. [C-]

CJR the Movie (2015)

Directed by Patrick Effendy Produced by Frederica Written by Hilman Mutasi, Yanto Prawoto, Arif Rahman Starring Teuku Ryzki, Alvaro Maldini, Iqbaal Dhiafakhri, Abimana Aryasatya, Arie Kriting, Rio Dewanto, Ernest Prakasa, Emmanuel Kelly, Surya Saputra, Brittany Rose Scrivner, Fico Fachriza, Astri Nurdin, Irgi Fahrezi, Joehana Sutisna, Ersa Mayori, Hera Helmy, Jono Bule, Adiba Khanza, Salshabilla Elovii Music by Indra Q Cinematography Dicky R. Maland Edited by Cesa David Luckmansyah Production company Falcon Pictures Running time 90 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Kacaunya Dunia Persilatan (2015)

kacaunya-dunia-persilatan-posterDikenal sebagai seorang penulis naskah untuk film-film Indonesia seperti Sehidup (Tak) Semati (2010), 5 cm (2012) dan Mama Cake (2012), Hilman Mutasi melakukan debut penyutradaraannya melalui film Kacaunya Dunia Persilatan – yang naskah ceritanya juga ditulis oleh Hilman sendiri. Seperti yang tergambar dari judul film, Kacaunya Dunia Persilatan adalah sebuah film komedi yang mencoba memparodikan beberapa karakter pendekar silat yang terdapat dalam film-film bertemakan martial arts khas Indonesia tersebut yang dahulu sempat popular di layar lebar Indonesia. Apakah Hilman mampu memberikan hiburan bagi penonton di masa sekarang dengan materi parodi yang berasal dari era keemasan dunia film Indonesia di masa lalu?

Well… Sebagai sebuah film yang menandai kali pertama Hilman Mutasi duduk di kursi penyutradaraan, Kacaunya Dunia Persilatan harus diakui memiliki kualitas yang jauh dari kesan mengecewakan. Hilman memiliki kemampuan yang cukup handal dalam mengarahkan para pengisi departemen aktingnya – yang berisi nama-nama seperti Darius Sinathrya, Tora Sudiro, Amink hingga komedian senior seperti Joehana Sutisna dan Iang Darmawan dari kelompok komedi legendaris, Padhyangan Project. Selain itu, sebagai sebuah film komedi yang berkisah tentang dunia persilatan, Kacaunya Dunia Persilatan juga mampu dihadirkan dengan kualitas tata produksi yang meyakinkan. Tidak sampai pada tahapan mewah ataupun epik seperti layaknya Pendekar Tongkat Mas (Ifa Isfansyah, 2014) namun Kacaunya Dunia Persilatan jelas terasa benar-benar tergarap dengan serius.

Permasalahan utama muncul ketika menyinggung Kacaunya Dunia Persilatan sebagai sebuah film komedi. Naskah cerita film yang ditulis Hilman Mutasi sepertinya telah selesai dikerjakan bertahun-tahun lalu dengan kandungan guyonan semacam parodi Arya Wiguna atau Klinik Tong Fang atau Gangnam Style atau Harlem Shake yang jelas tidak akan dapat bekerja (terlalu) efektif ketika ditampilkan saat ini. Guyonan Hilman lainnya juga tidak lebih baik. Begitu mudah ditebak dan seringkali gagal untuk menggarisbawahi unsur komedi dalam film ini. Kehadiran Elly Ermawati dan Fendy Pradana — pemeran Mantili dan Brama Kumbara dalam beberapa seri film Saur Sepuh — yang sepertinya ditujukan sebagai sebuah tribut singkat kepada film-film martial arts Indonesia di akhir film juga kurang (tidak?) mampu bekerja dengan baik karena… welllet’s be frank. No one recognizes them anymore.

Dari departemen akting, Kacaunya Dunia Persilatan didukung dengan penampilan yang cukup memuaskan dari setiap aktor dan aktrisnya. Chemistry yang erat antar setiap pemeran jelas memberikan keunggulan tersendiri bagi kualitas film secara keseluruhan. Sementara itu, Tora Sudiro dan Amink juga mampu tampil mencuri perhatian lewat karakter mereka sebagai Si Buta Dari Gua Buat Elu dan Siluman Antik. Kedua karakter tersebut seringkali diberkahi dengan dialog-dialog komikal yang mampu dieksekusi kedua aktor dengan baik. [C-]

Kacaunya Dunia Persilatan (2015)

Directed by Hilman Mutasi Produced by Helfi Kardit Written by Hilman Mutasi Starring Tora Sudiro, Darius Sinathrya, Amink, Joehana Sutisna, Agung Saga, Vicky Monica, Ery Makmur, Guntur Nugraha, Iang Darmawan, Zahra Jasmine, Elly Ermawati, Fendy Pradana Music by Candil Cinematography Ophie Yophie Edited by Ryan Purwoko Production company SAS Film Running time 98 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Aku Cinta Kamu (2014)

Aku Cinta Kamu adalah sebuah omnibus yang berisikan empat film pendek yang diarahkan oleh empat sutradara berbeda. Persamaan antara keempat film pendek tersebut? Seluruh film pendek yang mengisi Aku Cinta Kamu naskah ceritanya ditulis oleh Cassandra Massardi (Slank Nggak Ada Matinya, 2013) berdasarkan lagu-lagu yang ditulis oleh Satriyo Yudi Wahono – sosok yang di blantika musik Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Piyu. Well… seperti yang mungkin dapat digambarkan banyak penonton dari judul film ini, Aku Cinta Kamu berniat untuk memberikan gambaran mengenai berbagai peristiwa besar nan dramatis yang dapat terjadi dalam kehidupan manusia akibat dipicu dari penggunaan kalimat sederhana “aku cinta kamu”. Sounds romantic? Mungkin saja. Sayangnya, kecuali Anda menganggap kedangkalan penceritaan, pengarahan yang lemah, akting yang kaku dan jauh dari meyakinkan adalah sesuatu hal yang romantis, maka Anda kemungkinan besar tidak akan menemukan satupun sentuhan romansa dalam jalan penceritaan Aku Cinta Kamu.

Continue reading Review: Aku Cinta Kamu (2014)