Review: Miracle in Cell No. 7 (2022)


Berbeda dengan adaptasi asal Turki berjudul sama (Mehmet Ada Öztekin, 2019) yang menggunakan premis serupa namun dengan sejumlah perubahan signifikan pada elemen cerita guna lebih menonjolkan unsur pengisahan drama, versi buat ulang teranyar dari Miracle in Cell No. 7 (Lee Hwan-kyung, 2013) yang diarahkan oleh sutradara Hanung Bramantyo (Satria Dewa: Gatotkaca, 2022) berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Alim Sudio (Sayap Sayap Patah, 2022) lebih memilih untuk tetap setia pada garis besar alur pengisahan drama komedi yang sebelumnya telah diterapkan oleh Lee. Linimasa ceritanya dimulai dengan usaha seorang pengacara bernama Kartika (Mawar de Jongh) untuk membuka kembali kasus kejahatan yang dahulu dituduhkan kepada ayahnya, Dodo Rozak (Vino G. Bastian), dan lantas membuat sang ayah yang merupakan penyandang disabilitas mental menerima hukuman mati. Mengumpulkan kembali orang-orang yang dahulu sempat mengenal sang ayah ketika dirinya berada di dalam penjara, mulai dari rekan-rekan satu selnya, Japra (Indro Warkop), Jaki (Tora Sudiro), Bewok (Rigen Rakelna), Atmo (Indra Jegel), dan Bule (Bryan Domani), hingga kepala sipir yang dahulu bertugas, Hendro Sanusi (Denny Sumargo), Kartika bertekad untuk membersihkan nama ayahnya dari tuduhan kejahatan yang tidak pernah dilakukannya.

Miracle in Cell No. 7 adalah sebuah presentasi film yang begitu teramat sangat menginginkan penontonnya untuk merasa haru atau bahkan menangis tersedu-sedu atas jalinan cerita yang disajikannya. Karenanya, tidak mengherankan jika tiap konflik maupun adegan dalam penceritaan film ini terasa mendapatkan dramatisasi yang seringkali berkesan berlebihan. Manipulatif, bahkan melampaui kadar manipulasi sentuhan emosi yang dahulu dihadirkan Miracle in Cell No. 7 garapan Lee. Hal ini begitu dapat dirasakan pada paruh akhir penuturan film dimana Bramantyo berusaha sekuat tenaga untuk menghasilkan tangisan dari mata tiap penonton filmnya – mulai dari usaha pembenturan linimasa dari masa lalu dengan masa sekarang di persidangan yang melibatkan perputaran kamera – yang dieksekusi terlalu lama sehingga cenderung memusingkan – dan tangisan dari karakter Kartika dewasa yang meledak-ledak hingga momen perpisahan antara karakter Dodo Rozak dan Kartika kecil (Graciella Abigail) yang diisi dengan teriakan dari karakter Dodo Rozak yang juga meledak-ledak dan dieksekusi juga terlalu lama (baca: dipanjang-panjangkan).

Miracle in Cell No. 7 sendiri bukanlah presentasi yang sepenuhnya buruk, khususnya mengingat sumber asal pengisahan ceritanya yang memang lebih mengedepankan pemakluman logika demi menghasilkan atmosfer emosi keharuan dalam cerita – elemen yang membuat jalan cerita film tidak pernah menyinggung tentang kondisi mental dari sang karakter utama maupun tindakan hukum dan peradilan yang diterapkan kepadanya. Naskah cerita garapan Sudio berusaha untuk mengisi sejumlah kekosongan tuturan cerita dari film garapan Lee dengan menambahkan sejumlah detil adegan serta barisan dialog untuk memperjelas beberapa konflik maupun karakter. Tidak selalu berhasil namun mampu memberikan nilai tambahan tersendiri bagi film ini. Miracle in Cell No. 7 justru terasa lebih efektif ketika bersentuhan dengan elemen komedinya. Keberhasilan Indro, Sudiro, Rakelna, dan Jegel dalam menghidupkan tiap dialog komikal mereka menjadikan presentasi komedi dari Miracle in Cell No. 7 terasa menyegarkan – bahkan sering menutupi elemen drama dari pengisahan film.

Berbeda dengan film aslinya yang menggunakan pewarnaan cerah, Bramantyo sepertinya ingin menekankan kesan “kumuh” dan “depresif” bagi alur pengisahan film ini yang ditonjolkan lewat pemilihan warna kekuningan yang, lagi-lagi, begitu berlebihan. Dramatisasi (baca: manipulasi) sentuhan emosi juga sering dilakukan Bramantyo dengan menggunakan adegan-adegan dalam gerak lambat. Mengganggu. Tidak ada masalah berarti dari penampilan para pengisi departemen akting – meskipun Bastian kadang sering terasa berlebihan dalam menampilkan sosok karakter penyandang disabilitas mental yang diperankannya. Dalam porsi pengisahan yang terbatas, Indro, de Jongh dan Sumargo berhasil mencuri perhatian dalam setiap kehadiran mereka. Bukan versi Miracle in Cell No. 7 yang buruk namun jelas tidak mampu untuk mendapat gelar capaian yang istimewa.

popcornpopcornpopcornpopcorn2popcorn2

miracle-in-cell-no-7-hanung-bramantyo-vino-g-bastian-movie-posterMiracle in Cell No. 7 (2022)

Directed by Hanung Bramantyo Written by Alim Sudio (screenplay), Lee Hwan-kyung, Yu Young-a, Kim Hwang-sung, Kim Young-seok (original screenplay, Miracle in Cell No. 7) Produced by Frederica Starring Vino G. Bastian, Graciella Abigail, Mawar de Jongh, Indro Warkop, Tora Sudiro, Rigen Rakelna, Indra Jegel, Bryan Domani, Denny Sumargo, Otig Pakis, Joshua Pandelaki, Teuku Rifnu Wikana, Iedil Dzuhrie Alaudin, Agla Artalidia, Nadila Ernesta, Makayla Rose Hilli, Marsha Timothy, Sheila Dara Aisha, Coki Pardede, Agoes Kencrot, Rukman Rosadi, Yati Surachman, Anggie Ang, Uli Herdinansyah, Tretan Muslim, Fredy Amin, Fuad Idris, Denny Sumlang, Dara Asvia, Asyafa Bilqis S., Avan Sanjaya, Vinessa Inez Cinematography Yunus Pasolang Edited by Sentot Sahid Music by Purwatjaraka Production company Falcon Pictures Running time 132 minutes Country Indonesia Language Indonesian

One thought on “Review: Miracle in Cell No. 7 (2022)”

Leave a Reply