Tag Archives: Channing Tatum

Review: Bullet Train (2022)

Sutradara Atomic Blonde (2017), Deadpool 2 (2018), dan Fast & Furious Presents: Hobbs & Shaw (2019), David Leitch, kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk mengarahkan Bullet Train, sebuah film aksi komedi yang diadaptasi dari novel berjudul Maria Beetle yang ditulis oleh Kōtarō Isaka. Fokus pengisahannya berada pada sosok pembunuh bayaran yang dikenal dengan sebutan Ladybug (Brad Pitt) yang mendapatkan tugas untuk mencuri tas berisi uang sejumlah US$10 juta yang sedang dibawa oleh duo pembunuh bayaran asal Inggris yang dikenal dengan sebutan Tangerine (Aaron Taylor-Johnson) dan Lemon (Brian Tyree Henry) dalam perjalanan kereta api dari kota Tokyo menuju Kyoto. Ladybug dapat dengan mudah menjalankan tugas tersebut. Namun, di saat yang bersamaan, keberadaannya di kereta api tersebut ternyata mencuri perhatian “sejumlah orang” yang berprofesi dan memiliki niatan yang sama dengan Ladybug. Kekacauan yang jelas akan menjanjikan simbahan darah. Continue reading Review: Bullet Train (2022)

Review: The Lost City (2022)

The Lost City jelas memiliki premis yang akan mengingatkan penontonnya pada sejumlah film aksi-petualangan-romansa popular dari masa lampau – Raiders of the Lost Ark (Steven Spielberg, 1981), Romancing the Stone (Robert Zemeckis, 1984), atau bahkan The Mummy (Stephen Sommers, 1999), Knight and Day (James Mangold, 2010) dan Jungle Cruise (Jaume Collet-Serra, 2021). Diarahkan oleh Adam Nee dan Aaron Nee (Band of Robbers, 2015) berdasarkan naskah cerita yang ditulis keduanya bersama dengan Oren Uziel (Mortal Kombat, 2021) dan Dana Fox (Cruella, 2021), film ini berkisah tentang seorang penulis novel romansa dewasa, Loretta Sage (Sandra Bullock), yang diculik oleh seorang miliarder eksentrik, Abigail Fairfax (Daniel Radcliffe), karena menduga Loretta Sage mengetahui cara untuk menafsirkan peta kuno yang akan menunjukkan lokasi keberadaan sebuah harta karun. Kejadian penculikan Loretta Sage disaksikan secara langsung oleh Alan Caprison (Channing Tatum), pria tampan yang selama ini menjadi model bagi sampul depan novel-novel romansa dewasa karangan Loretta Sage. Alan Caprison, yang secara diam-diam memendam perasaan suka pada Loretta Sage, dengan segera mencari pertolongan dan bahkan terlibat langsung untuk menyelamatkan wanita idamannya. Continue reading Review: The Lost City (2022)

Review: Free Guy (2021)

Menjadi film cerita panjang pertama yang diarahkan oleh Shawn Levy semenjak mengarahkan Night at the Museum: Secret of the Tomb (2014), bercerita tentang sesosok karakter non-pemain dalam sebuah permainan video aksi-petualangan yang dikenal dengan sebutan Guy (Ryan Reynolds). Guy dan karakter-karakter non-pemain lain yang berada dalam permainan video bernama Free City tersebut tidak menyadari bahwa mereka adalah sekelompok karakter latar dalam permainan video yang memiliki tugas dan kegiatan yang sama dan terus berulang setiap harinya. Namun, pertemuan Guy dengan Molotovgirl – yang merupakan sesosok karakter pemain yang di dunia nyata dimainkan oleh seorang perempuan bernama Millie Rusk (Jodie Comer) – mengubah cara dirinya dalam memandang lingkungan sekitarnya. Guy masih belum menyadari dirinya hanyalah karakter non-pemain dalam sebuah permainan video namun Guy mulai memiliki hasrat untuk melakukan berbagai hal yang berbeda dalam kesehariannya. Guy juga merasakan bahwa dirinya telah jatuh cinta dengan sosok karakter Molotovgirl. Continue reading Review: Free Guy (2021)

Review: The LEGO Movie 2 (2019)

Lima tahun setelah film pertamanya – dengan The LEGO Batman Movie (Chris McKay, 2017) dan The LEGO Ninjago Movie (Charlie Bean, Paul Fisher, Bob Logan, 2017) menjadi dua film sempalan yang dirilis diantaranya – The LEGO Movie 2 hadir sebagai sekuel langsung bagi The LEGO Movie (Phil Lord, Chris Miller, 2014). Walau masih bertanggung jawab sebagai produser sekaligus penulis naskah bagi film ini, Lord dan Miller sendiri menyerahkan kursi penyutradaraan pada Mike Mitchell (Trolls, 2016). Para penggemar The LEGO Movie sepertinya tidak akan mengeluhkan perubahan tersebut. Pengaruh besar Lord dan Miller jelas masih dapat dirasakan dalam alur pengisahan The LEGO Movie 2: film ini masih tampil dengan humor yang kuat dan penuh dengan referensi kultur pop teranyar, tampilan visual penuh warna yang memikat, serta disajikan dengan ritme pengisahan yang mengalun cepat. Tidak menawarkan sesuatu yang baru? Jangan khawatir. Lord dan Miller menyediakan ruang konflik yang lebih besar sehingga membuka celah yang cukup luas pula bagi beberapa sentuhan segar dalam pengisahan The LEGO Movie 2. Continue reading Review: The LEGO Movie 2 (2019)

Review: Kingsman: The Golden Circle (2017)

Can you believe there are actually five Academy Awards winnersWell yes of course that includes Sir Elton John – appear to support this sequel to 2015’s Matthew Vaughn-directed hit, Kingsman: The Secret Service? Bukan hal yang cukup mengejutkan sebenarnya. Dengan pendapatan komersial sebesar lebih dari US$414 juta dari bujet produksi yang “hanya” mencapai US$94 juta, Vaughn jelas memiliki kebebasan yang lebih besar untuk menarik nama-nama berkelas untuk mengisi departemen akting film kedua dari seri film Kingsman, Kingsman: The Golden Circle. Namun, tentu saja, penampilan akting terbaik sekalipun tidak akan cukup jika sebuah film tidak didukung oleh kualitas penulisan naskah cerita yang sama kuatnya. Hal itulah yang, sayangnya, terjadi pada Kingsman: The Golden Circle. Menampilkan penampilan apik dari nama-nama seperti Colin Firth, Julianne Moore, Jeff Bridges dan Halle Berry, Kingsman: The Golden Circle tidak mampu untuk tampil semenyenangkan film pendahulunya akibat kurangnya sentuhan maupun kejutan baru pada formula pengisahan film mata-mata yang digarap oleh Vaughn. Continue reading Review: Kingsman: The Golden Circle (2017)

Review: The LEGO Batman Movie (2017)

The LEGO Movie arahan Phil Lord dan Christopher Miller muncul menjadi salah satu film animasi terbaik yang dirilis pada tahun 2014 lalu dengan tampilannya yang begitu berwana, naskah cerita yang diisi dialog serta karakter yang jenaka serta sebuah lagu tema yang berhasil menempel di kepala setiap penontonnya – sekaligus membuahkan nominasi Best Original Song pada ajang The 87th Annual Academy Awards. Tahun ini, penonton mendapatkan sebuah subseri dari The LEGO Movie yang dibintangi oleh salah satu karakter pahlawan super yang sempat muncul di film tersebut, Batman. Diarahkan oleh Chris McKay – yang sebelumnya bertugas sebagai salah satu penata gambar pada The LEGO Movie, The LEGO Batman Movie menjanjikan pengalaman yang sama menyenangkannya dengan film pertama seri ini sekaligus kehadiran Batman serta rekan-rekan protagonis dan antagonisnya dalam nada penceritaan yang jauh dari kesan kelam seperti yang sering dibawakan film-film Batman selama ini. BecauseWhy so serious, right? Continue reading Review: The LEGO Batman Movie (2017)

Review: Jupiter Ascending (2015)

jupiter-ascending-posterAmbisius mungkin adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan setiap film yang dihasilkan oleh duo sutradara Lana dan Andy Wachowski. Bagaimana tidak. Dalam setiap film yang mereka hasilkan, The Wachowskis terlihat berusaha kuat untuk menembus berbagai batasan mengenai hal-hal apa yang dapat mereka lakukan dalam menghasilkan cerita yang dipenuhi kritikan sosial maupun filosofi hidup melalui tampilan efek khusus akan visual yang begitu megah. Tidak terkecuali dalam film terbaru mereka, Jupiter Ascending. Terlihat seperti paduan antara Star Wars (1977 – 2005) dan The Matrix (1999 – 2003), Jupiter Ascending sayangnya gagal untuk didukung dengan naskah cerita yang kuat. Lebih buruk, naskah cerita Jupiter Ascending bahkan terasa seperti hasil olahan kerja yang begitu terburu-buru dan terkesan amatir sehingga meninggalkan banyak kejanggalan serta kelemahan di berbagai bagian ceritanya. Berantakan.

Jupiter Ascending sebenarnya dimulai dengan cukup meyakinkan. Layaknya Cloud Atlas (2012), film yang naskah ceritanya juga dikerjakan oleh The Wachowskis ini juga memiliki paduan kisah yang berlatar belakang di Bumi dan angkasa luar. The Wachowskis mampu memulai kisahnya dengan memperkenalkan masing-masing karakter yang berasal dari Bumi maupun angkasa luar dengan cukup baik. Masalah dimulai ketika kedua dunia tersebut bertabrakan dan masing-masing karakter mulai membentuk jalinan hubungan dan konflik bersama. The Wachowskis seringkali terasa meninggalkan begitu banyak detil pada jalan cerita yang mereka ajukan. Detil-detil yang sebenarnya dapat dianggap kecil namun secara perlahan mulai menggunung dan mengakibatkan banyak bagian penceritaan Jupiter Ascending akhirnya gagal untuk memberikan sajian cerita yang lebih kuat.

Jupiter Ascending juga dihadirkan dengan deretan karakter yang begitu melimpah – yang kemudian juga menjadi salah satu sumber permasalahan dalam jalan cerita film ini. Adalah sangat mengecewakan untuk melihat duo sutradara sekaliber The Wachowskis menyajikan begitu banyak karakter dalam jalan cerita yang mereka hasilkan namun sama sekali tidak pernah mampu untuk mengendalikan fungsi maupun porsi penceritaan karakter-karakter tersebut. Dalam Jupiter Ascending, banyak karakter yang datang dan hilang begitu saja tanpa adanya penceritaan yang proporsional. Hal inilah yang menyebabkan setiap bagian cerita dari masing-masing karakter tidak pernah terasa benar-benar mampu tampil elegan dalam menarik perhatian penonton. Semua kisah berlalu dengan begitu saja. Tanpa kesan apapun.

Sebagai sebuah film yang dihasilkan oleh The Wachowskis, tentu saja, Jupiter Ascending telah diperkuat dengan tampilan efek visual yang benar-benar megah. Mengingat lemahnya jalan penceritaan film ini, The Wachowskis jelas terasa menghabiskan lebih banyak waktu mereka dalam menggarap berbagai detil visual film daripada berusaha menggali lebih dalam berbagai potensial yang terdapat dalam jalan cerita mereka. Tata musik arahan Michael Giacchino juga berhasil menemani berbagai tampilan visual The Wachowskis untuk menjadikannya terasa lebih megah.

Dari departemen akting, beruntung, The Wachowskis mendapatkan barisan pemeran yang cukup handal dalam memerankan karakter mereka – meskipun karakter yang mereka perankan harus tersaji dalam tata kostum yang cukup menggelikan. Nama-nama seperti Mila Kunis, Eddie Redmayne, Douglas Booth hingga Sean Bean dan James D’Arcy tampil meyakinkan dalam porsi penceritaan yang jelas tidak memuaskan. Channing Tatum juga semakin menunjukkan tajinya sebagai aktor. Penampilannya sebagai aktor utama dalam Jupiter Ascending mampu ia eksekusi dengan baik dan seringkali menjadi penampilan yang memberikan kehidupan bagi film yang terasa hadir tanpa sentuhan emosional ini. [C-]

Jupiter Ascending (2015)

Directed by The Wachowskis Produced by Grant Hill, The Wachowskis Written by The Wachowskis Starring Mila Kunis, Channing Tatum, Sean Bean, Eddie Redmayne, Douglas Booth, Tuppence Middleton, Gugu Mbatha-Raw, Terry Gilliam, David Ajala, James D’Arcy, Kick Gurry, Bae Doona, Charlotte Beaumont, Tim Pigott-Smith, Edward Hogg, Nikki Amuka-Bird, Vanessa Kirby, Maria Doyle Kennedy, Christina Cole Music by Michael Giacchino Cinematography John Toll Edited by Alexander Berner Production company Village Roadshow Pictures/Anarchos Productions Running time 127 minutes Country United States Language English

Review: Foxcatcher (2014)

foxcather-posterMereka yang telah mengenal deretan film yang diarahkan oleh Bennett Miller seperti Capote (2005) dan Moneyball (2011) jelas telah familiar dengan teknik pengarahan Miller yang begitu mendalam ketika menggarap detil sebuah penceritaan, menyelami setiap sisi pemikiran karakter-karakternya namun tidak pernah membiarkan sisi emosional dari setiap plot cerita maupun karakter yang ia gali untuk hadir meluap dalam setiap adegan filmnya. Teknik eksekusi penceritaan itulah yang kembali dihadirkan Miller dalam Foxcatcher – sebuah kisah, yang seperti halnya Capote dan Moneyball, juga terinspirasi dari sebuah kejadian nyata.

Dengan naskah cerita yang digarap oleh E. Max Frye (Something Wild, 1986) dan Dan Futterman (Capote), Foxcatcher berkisah mengenai perjuangan dua orang pria dalam mempertahankan harga diri mereka: satu diantaranya berusaha keras untuk mengesankan sang ibu yang sepertinya selalu gagal untuk menghargai apapun yang ia lakukan sementara satu pria lainnya berusaha untuk keluar dari bayang-bayang kesuksesan sang kakak yang selalu menghantui kehidupannya. Tentu saja, premis tersebut adalah sebuah gambaran (terlalu) sederhana dari naskah arahan Frye dan Futterman yang sebenarnya begitu kompleks dan mengandung banyak lapisan kisah. Lebih dari itu, naskah cerita Foxcatcher dengan lihai menyinggung berbagai permasalahan sosial masyarakat modern dalam interaksi para karakternya: mulai dari perbedaan kelas, keserakahan, eksploitasi mimpi, kecemburuan sosial hingga ambisi yang seringkali menggelapkan mata orang yang memilikinya. Mungkin bukanlah deretan tema yang dapat dilihat secara kasat mata namun jelas tertanam kuat dalam penceritaan Foxcatcher.

Foxcatcher juga merupakan sebuah pembelajaran karakter yang kuat. Hadir dengan tempo penceritaan yang cenderung lamban, Miller memaparkan motif, aksi serta jalan pemikiran setiap karakternya dengan begitu seksama. Setiap karakter dibuat sedemikian kuat agar mampu tampil menonjol dan saling mempengaruhi satu sama lain. Penggambaran karakter yang begitu reaktif inilah yang berhasil membawa kereta penceritaan Foxcatcher untuk dapat terus berjalan lugas meskipun tanpa pernah datang dengan konflik maupun emosi yang begitu berapi-api. Dingin namun mampu dengan tegas secara perlahan menusuk perhatian para penontonnya.

Sebagai sebuah film yang mengedepankan pembelajaran karakter dalam alur kisahnya, Foxcatcher jelas menumpukan kualitas utamanya dari penampilan para pengisi departemen aktingnya. Kebrilianan Miller sekali lagi hadir lewat kemampuannya untuk memilih para aktor maupun aktris yang tepat sekaligus memandu mereka untuk menghidupkan setiap karakter yang ada dalam penceritaan Foxcatcher. Tiga aktor utamanya, Steve Carell, Channing Tatum dan Mark Ruffalo tampil dengan kekuatan penampilan yang begitu mengagumkan. Sebagai sosok John Eleuthère du Pont, Carell mampu menyajikan satu karakter dengan jiwa yang begitu kosong dalam setiap perbuatannya. Carell mampu menampilkan sosok penyendiri yang berusaha begitu kuat untuk mengesankan setiap orang yang ada di sekitarnya sekaligus terasa memendam kebencian serta menyalahkan dunia sekitarnya atas kondisi jiwa yang ia rasakan saat itu. Kompleks dan mampu dieksekusi dengan cerdas oleh Carell.

Karakter Mark Schultz yang diperankan Tatum – yang tampil dengan penampilan terbaiknya di dunia film hingga saat ini – juga kurang lebih menjadi refleksi bagi karakter John Eleuthère du Pont. Keduanya adalah sosok yang merasa bahwa mereka butuh untuk membuktikan keberadaan mereka di dunia. Dan chemistry yang tercipta ketika kedua karakter ini bersama dan saling mendukung satu sama lain dalam caranya masing-masing mampu dihadirkan dengan begitu meyakinkan. Dingin… dan seringkali terasa menakutkan. Walaupun hadir dalam porsi penceritaan karakter pendukung, karakter Dave Schultz yang diperankan Ruffalo jelas menjadi antitesis sendiri bagi karakter John Eleuthère du Pont dan Mark Schultz. Penampilan Ruffalo yang begitu hangat dan bersahabat jelas menjadi lawan tersendiri bagi penampilan dingin dan begitu gloomy dari Carell dan Tatum. Ketiga penampilan inilah yang kemudian berpadu dan menciptakan kedinamisan akting yang sempurna bagi Foxcatcher. Tidak lupa, dukungan penampilan dari Vanessa Redgrave dan Sienna Miller turut menambah kekuatan kualitas departemen akting Foxcatcher.

Meskipun sebuah sajian yang tidak dapat dibantah kecerdasannya, seperti layaknya Capote dan Moneyball, pendekatan Miller yang begitu dingin pada Foxcatcher jelas akan memberikan ruang yang cukup besar bagi banyak penonton untuk dapat menikmati film ini dengan lebih nyaman. Namun, meskipun perlahan, ketika Foxcatcher berhasil menangkap perhatian Anda, film ini akan memberikan sebuah pengalaman penceritaan yang begitu kuat lewat penampilan mengagumkan dari para pengisi departemen akting film, tata produksi yang hadir hampir tanpa cela serta kemampuan penceritaan Miller yang lugas dalam menggarap setiap detil sisi kisah yang ingin ia sampaikan. [B]

Foxcatcher (2014)

Directed by Bennett Miller Produced by Bennett Miller, Megan Ellison, Jon Kilik, Anthony Bregman Written by E. Max Frye, Dan Futterman Starring Steve Carell, Channing Tatum, Mark Ruffalo, Vanessa Redgrave, Sienna Miller, Anthony Michael Hall, Guy Boyd, Brett Rice, Samara Lee, Jackson Frazer, Jane Mowder, Daniel Hilt, Lee Perkins, David Bennett Music by Rob Simonsen, West Dylan Thordson Cinematography Greig Fraser Edited by Stuart Levy, Conor O’Neill, Jay Cassidy Production company Annapurna Pictures/Likely Story Running time 134 minutes Country United States Language English

Review: The LEGO Movie (2014)

The LEGO Movie (Warner Bros. Pictures/Village Roadshow Pictures/LEGO Systems A/S/Vertigo Entertainment/Lin Pictures/Animal Logic/RatPac-Dune Entertainment/Warner Animation Group, 2014)
The LEGO Movie (Warner Bros. Pictures/Village Roadshow Pictures/LEGO Systems A/S/Vertigo Entertainment/Lin Pictures/Animal Logic/RatPac-Dune Entertainment/Warner Animation Group, 2014)

Setelah seri film Dungeons & Dragons (2000 – 2011), Transformers (2007 – 2011), G.I. Joe (2009 – 2013) dan Battleship (2012), Hollywood kembali mencoba peruntungannya dalam memproduksi film yang diangkat dari sebuah permainan melalui The LEGO Movie. The LEGO Movie sendiri bukanlah film pertama yang jalan ceritanya didasarkan atas permainan susun bangun yang terbuat dari plastik tersebut. Sebelumnya, LEGO telah menginspirasi sejumlah film animasi yang kebanyakan langsung dirilis dalam bentuk DVD maupun ditayangkan melalui media televisi – menjadikan The LEGO Movie sebagai film LEGO pertama yang dirilis di layar lebar. Untungnya, dibawah arahan duo Phil Lord dan Chris Miller (Cloudy with a Chance of Meatballs, 2009), The LEGO Movie mampu dikembangkan menjadi sebuah film yang tidak hanya tampil kuat dalam kualitas visualnya, namun juga hadir dengan kualitas naskah yang begitu hangat dan menghibur.

Continue reading Review: The LEGO Movie (2014)

Review: Don Jon (2013)

Mengikuti jejak Clint Eastwood, Mel Gibson, Ben Affleck, James Franco dan puluhan aktor yang kemudian melanjutkan karir mereka dengan menjadi seorang sutradara, Joseph Gordon-Levitt mencoba kemampuannya dalam mengarahkan sebuah film layar lebar lewat Don Jon. Don Jon sendiri bukanlah kali pertama Gordon-Levitt duduk di kursi penyutradaraan mengingat ia sebelumnya pernah mengarahkan dua film pendek, Morgan M. Morgansen’s Date with Destiny dan Morgan and Destiny’s Eleventeenth Date: The Zeppelin Zoo, yang keduanya sempat dirilis pada tahun 2010. Dengan naskah cerita yang juga ia tulis sendiri, Gordon-Levitt menghadirkan Don Jon sebagai sebuah film drama komedi ringan namun tetap sarat dengan beberapa sindiran terhadap kondisi sosial manusia di era modern. Sebuah debut pengarahan yang cukup menarik, khususnya berkat kemampuan Gordon-Levitt untuk mengarahkan para aktor yang memerankan para karakter di dalam jalan ceritanya.

Continue reading Review: Don Jon (2013)

Review: White House Down (2013)

Dengan naskah yang ditulis oleh James Vanderbilt (The Amazing Spider-Man, 2012), White House Down berkisah mengenai John Cale (Channing Tatum), seorang anggota kepolisian ibukota Amerika Serikat yang kini bertugas sebagai salah seorang pengawal dari ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Eli Raphelson (Richard Jenkins). Demi untuk menyenangkan puterinya, Emily (Joey King), yang begitu menggemari dunia politik, John kemudian berusaha untuk bergabung bersama dengan Dinas Rahasia Amerika Serikat. Sayang, sesi wawancara bersama Agent Carol Finnerty (Maggie Gyllenhaal) kemudian mengubur impian tersebut ketika John dinyatakan masih belum dapat memenuhi kualifikasi pegawai yang sedang dibutuhkan oleh Dinas Rahasia Amerika Serikat. Tidak ingin mengecewakan puterinya yang turut hadir dalam proses wawancara tersebut, John lalu mengajak Emily untuk mengikuti tur mengelilingi White House.

Continue reading Review: White House Down (2013)

Review: G.I. Joe: Retaliation (2013)

Disutradarai oleh Jon M. Chu (Justin Bieber: Never Say Never, 2011) – yang menggantikan sutradara di seri sebelumnya, Stephen Sommers – atas naskah cerita yang ditulis oleh Rhett Reese dan Paul Wernick (Zombieland, 2009), G.I. Joe: Retaliation berkisah pada latar belakang waktu beberapa bulan setelah deretan kejadian yang digambarkan pada G.I. Joe: The Rise of Cobra (2009). Kini, G.I. Joe dipimpin oleh Duke (Channing Tatum) yang mengendalikan pasukan tersebut bersama sahabatnya, Roadblock (Dwayne Johnson), serta beberapa prajurit terlatih seperti Flint (D.J. Cotrona) dan Lady Jaye (Adrianne Palicki). Oleh pemerintah Amerika Serikat, G.I. Joe terus dipercaya sebagai pasukan penjaga perdamaian yang selalu dapat diandalkan untuk melakukan tugas-tugas negara. Namun, sebuah pengkhianatan besar siap untuk menghancurkan mereka.

Continue reading Review: G.I. Joe: Retaliation (2013)

Review: Magic Mike (2012)

Magic Mike, yang merupakan film terbaru karya sutradara pemenang Academy Awards, Steven Soderbergh (Erin Brockovich, 2000), merupakan sebuah film drama yang berkisah mengenai kehidupan para penari telanjang… pria. Terkejut? Tidak perlu. Dalam beberapa tahun terakhir – terlepas dari pernyataannya bahwa dirinya akan mengundurkan diri dari profesinya sebagai seorang sutradara, Soderbergh terus menerus mengeksplorasi berbagai tema cerita yang harus diakui cukup menantang (baca: aneh). Dan lewat Magic Mike, Soderbergh sekali lagi membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pencerita handal yang mampu menangani berbagai topik penceritaan yang mungkin telah sangat familiar menjadi sebuah presentasi yang sangat berkelas.

Continue reading Review: Magic Mike (2012)