Tag Archives: Jajang C Noer

Review: Abracadabra (2020)

Sutradara Habibie & Ainun (2012), Faozan Rizal, menghadirkan sebuah presentasi cerita yang baru dan cukup berbeda dalam film terbarunya, Abracadabra. Berdasarkan naskah cerita yang juga ditulisnya, Abracadabra berkisah mengenai seorang pesulap ternama bernama Lukman (Reza Rahadian) yang memutuskan untuk mundur dari profesi yang digelutinya selama ini. Dalam pertunjukan terakhirnya, Lukman telah menyusun rencana agar trik sulap yang ia tunjukkan gagal. Trik yang ia tampilkan adalah trik untuk melenyapkan seseorang setelah ia memasuki kotak yang dibawa Lukman. Sebuah trik sulap yang cukup familiar. Abracadabra! Sosok yang dipilih Lukman untuk masuk ke dalam kotak tersebut ternyata benar-benar menghilang. Sialnya, Lukman sendiri tidak mengetahui kemana orang itu pergi atau menghilang serta bagaimana cara mengembalikan keberadaannya. Jelas saja Lukman kemudian menjadi buruan pihak kepolisian yang menuduhnya telah melakukan tindak penculikan orang. Continue reading Review: Abracadabra (2020)

Review: Rumah Kentang: The Beginning (2019)

Masih ingat dengan Rumah Kentang (2012)? Film horor garapan Jose Poernomo yang mendasarkan kisahnya pada urban legend mengenai rumah yang selalu beraroma kentang bernuansa mistis di malam hari? Mungkin tidak banyak yang (masih mau) mengingat film yang juga menandai kali pertama Shandy Aulia terlibat dalam sebuah film horor tersebut – Aulia kemudian melanjutkan karirnya sebagai aktris dengan membintangi sederatan film horor yang mendominasi filmografinya. Ketika dirilis, Rumah Kentang mendapatkan sambutan yang kurang begitu hangat dari banyak kritikus film yang memberikan sorotan tajam pada kualitas penulisan naskah ceritanya. Meskipun begitu, film yang juga menjadi film pertama yang diproduksi oleh Hitmaker Studios tersebut tetap mampu mengumpulkan lebih dari 400 ribu penonton dan menjadikannya sebagai salah satu film horor dengan jumlah penonton terbanyak di tahun 2012. Berkaca dari kesuksesan minor tersebut, tujuh tahun semenjak perilisan Rumah Kentang dan terlepas dari fakta bahwa tidak ada seorang pun yang menginginkan sekuel bagi film tersebut, Hitmaker Studios merilis Rumah Kentang: The Beginning yang kali ini menempatkan Rizal Mantovani (Kuntilanak 2, 2019) di kursi penyutradaraannya. Continue reading Review: Rumah Kentang: The Beginning (2019)

Review: Makmum (2019)

Dengan naskah cerita yang digarap oleh Alim Sudio (Kuntilanak 2, 2019) dan Vidya Talisa Ariestya berdasarkan film pendek berjudul sama karya Riza Pahlevi, Makmum berkisah tentang Rini (Titi Kamal) yang diminta oleh kepala asrama tempat dirinya dahulu menuntut ilmu, Kinanti (Jajang C. Noer), kembali dan membantunya di asrama tersebut. Sesampainya disana, Rini bertemu dengan kepala asrama baru, Rosa (Reny Yuliana), dan tiga siswi, Nurul (Tissa Biani), Nisa (Bianca Hello), dan Putri (Adila Fitri), yang tidak diperbolehkan keluar dari asrama selama masa liburan akibat nilai mereka yang rendah. Dari penuturan ketiga siswi tersebut, Rini mengetahui bahwa para penghuni asrama tersebut belakangan sering diganggu oleh sosok supranatural yang disebut sebagai Hantu Makmum karena keberadaannya muncul saat mereka sedang melaksanakan ibadah shalat. Setelah usahanya untuk menyampaikan masalah tersebut pada Rosa ditanggapi dengan dingin, Rini kini berusaha mencari solusi sendiri agar ketiga siswi tersebut tidak lagi mendapatkan gangguan. Continue reading Review: Makmum (2019)

Review: Jaga Pocong (2018)

Diarahkan oleh Hadrah Daeng Ratu (Mars Met Venus, 2017) berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Aviv Elham (Alas Pati, 2018), pengisahan Jaga Pocong dimulai ketika seorang perawat bernama Mila (Acha Septriasa) mendapatkan tugas untuk melakukan kunjungan medis ke rumah seorang pasien bernama Sulastri (Jajang C. Noer). Sial, setibanya di lokasi, sang pasien justru telah meninggal dunia. Oleh putra Sulastri, Radit (Zack Lee), Mila kemudian dimintai bantuan untuk memandikan sekaligus mengkafani jenazah Sulastri serta menjaga adik Radit, Novi (Aqilla Herby), selagi pria tersebut pergi untuk mengurus pemakaman sang ibu. Walau awalnya merasa sungkan, seluruh permintaan Radit tersebut dapat dilakukan Mila dengan baik dan lancar. Namun, seiring dengan berjalannya waktu yang dihabiskan Mila untuk menunggu kembalinya Radit, Mila mulai dihantui oleh berbagai kejadian aneh bernuansa mistis yang sepertinya berusaha menunjukkan Mila bahwa ada hal yang lebih buruk yang akan terjadi jika dirinya tetap berada di rumah tersebut. Continue reading Review: Jaga Pocong (2018)

Review: Hoax (2018)

Telah menyelesaikan proses produksinya beberapa tahun yang tahun lalu, film arahan Ifa Isfansyah (Pesantren Impian, 2016) tersebut kemudian dihadapkan pertama kali ke muka publik melalui penayangannya pada Jogja-NETPAC Asian Film Festival di bulan Desember 2012 dengan menggunakan judul Rumah dan Musim Hujan. Oleh para produsernya, film yang memiliki judul internasional One Day When the Rain Falls tersebut kemudian dibawa berkelana ke berbagai festival film dunia sebelum akhirnya menghilang dan tak terdengar lagi kabar keberadaannya – walau, sebenarnya, adalah hal yang wajar bagi para pembuat film untuk menghasilkan film yang kemudian hanya dirilis untuk ditayangkan di berbagai ajang festival film. Kini, setelah melalui proses penataan gambar ulang yang dikabarkan mengubah beberapa susunan ceritanya, Rumah dan Musim Hujan atau One Day When the Rain Falls dirilis secara luas di bioskop Indonesia dengan menggunakan judul yang baru… Hoaxa not so convincing title, eh? Continue reading Review: Hoax (2018)

Review: Hujan Bulan Juni (2017)

Diadaptasi dari buku kumpulan puisi berjudul sama karya Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni berkisah mengenai hubungan asmara antara dua orang dosen, Pingkan (Velove Vexia) dan Sarwono (Adipati Dolken). Sebelum Pingkan berangkat ke Jepang untuk melanjutkan pendidikannya, Sarwono meminta bantuan gadis tersebut untuk menemaninya menyelesaikan sebuah tugas di kota Manado, Sulawesi Utara – yang juga merupakan kota kelahiran Pingkan. Kepulangan Pingkan kembali ke kampung halamannya jelas disambut dengan senang hati oleh keluarganya. Namun, di saat yang bersamaan, kedatangan Pingkan juga disambut oleh sepupu tirinya, Benny (Baim Wong), yang semenjak lama telah menaruh hati pada Pingkan. Ditambah dengan deretan pertanyaan yang hadir dari keluarga Pingkan mengenai perbedaan kepercayaan yang mereka nilai tidak dapat menyatukan Pingkan dengan dirinya, membuat Sarwono mulai mempertanyakan kekuatan hubungan asmara yang ia jalin selama ini. Continue reading Review: Hujan Bulan Juni (2017)

Review: Bid’ah Cinta (2017)

Art imitates life. Dan film, sebagai salah satu bentuk produk kesenian, seringkali merefleksikan kondisi politik, sosial maupun budaya yang pernah atau sedang dialami para pembuatnya. Film terbaru arahan Nurman Hakim, Bid’ah Cinta, sepertinya berusaha menjadi cermin mengenai kondisi sosial masyarakat Indonesia yang sedang menghangat belakangan ini, khususnya dari kalangan pemeluk agama Islam. Kondisi sosial dimana beberapa kelompok merasa bahwa ajaran Islam yang mereka peluk lebih “murni” dan “kuat” dibandingkan dengan ajaran Islam yang dipeluk dan dipraktekkan oleh beberapa kelompok lain sehingga membuat mereka berusaha keras agar kelompok yang berbeda tersebut mau untuk “bertobat” dan kemudian mengikuti ajaran Islam mereka yang lebih “murni” dan “kuat” tersebut. Tentu, sebuah bahasan yang cukup kompleks untuk dijabarkan dalam sebuah jalan pengisahan yang berdurasi 128 menit. Namun, dengan kelihaiannya bercerita, Hakim mampu menggarap Bid’ah Cinta dengan ritme yang tepat sehingga filmnya tetap tajam dalam berkisah dan tidak pernah terasa membosankan dalam pemaparannya. Continue reading Review: Bid’ah Cinta (2017)

Review: Toba Dreams (2015)

toba-dreams-posterDiangkat dari novel karya TB Silalahi yang berjudul sama, Toba Dreams memulai kisahnya ketika Sersan Tebe (Mathias Muchus) yang baru saja pensiun memutuskan untuk membawa keluarganya dari Jakarta untuk pulang kembali ke kampung halamannya di wilayah pinggiran Danau Toba, Sumatera Utara. Keputusan tersebut ditolak mentah-mentah oleh putera sulungnya, Ronggur (Vino G. Bastian) yang ingin menetap dan bekerja di Jakarta – serta selalu berada dekat dengan kekasihnya, Andini (Marsha Timothy). Ronggur lantas memilih untuk melarikan diri dari keluarganya. Sayang, setelah beberapa saat berusaha untuk mengubah nasib dan membuktikan kemampuan dirinya, kehidupan ibukota yang begitu keras secara perlahan mulai menekan Ronggur yang akhirnya menjebaknya untuk terlibat dalam perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang. Sebuah langkah yang jelas semakin memisahkannya jauh dari keluarga dan orang-orang yang dicintainya.

Naskah cerita Toba Dreams yang digarap bersama antara TB Silalahi dan sutradara Benni Setiawan memuat begitu banyak hal yang ingin disampaikan kepada penontonnya. Mulai dari naik turunnya hubungan antara ayah dan anak, romansa antara sepasang kekasih, mimpi untuk mencapai kehidupan yang lebih baik – kisah yang juga baru disampaikan Bulan di Atas Kuburan (Edo WF Sitanggang, 2015) yang juga menggunakan kehidupan suku Batak dan pemandangan Danau Toba dalam penceritaannya – hingga plot mengenai toleransi antar agama terpapar di sepanjang 144 menit durasi penceritaan Toba Dreams. Harus diakui, banyaknya sisi penceritaan yang ingin disajikan tersebut menjadi satu kelemahan tersendiri bagi film ini ketika banyak diantara plot tersebut gagal untuk dikembangkan dengan lebih baik. Toba Dreams jelas akan berkisah secara lebih padat dan efektif – serta dalam durasi yang lebih singkat – jika Benni Setiawan dan TB Silalahi mau memilih untuk menyingkirkan beberapa konflik yang sebenarnya tidak begitu berpengaruh banyak pada plot cerita serta karakter-karakter utama.

Terlepas dari beberapa momen lemahnya, naskah cerita Toba Dreams juga harus diakui mampu mengeksplorasi banyak sisi penceritaannya dengan sangat baik, khususnya ketika berfokus pada kisah drama keluarga yang diembannya. Penggarapan naskah cerita yang kuat pada tema tersebut sekaligus karakter-karakter yang mampu tampil mengikat penontonnya menjadi kunci utama bagi film ini untuk mampu tampil begitu emosional. Sentuhan-sentuhan komedi yang beberapa kali dihadirkan dalam jalan cerita film juga terasa begitu menyegarkan. Tentu saja, pengarahan Benni Setiawan yang begitu efektif dalam mengatur ritme penceritaan film mampu menjadikan Toba Dreams terasa nyaman untuk diikuti meskipun dengan berbagai kompleksitas yang dibawakan jalan ceritanya.

Keunggulan Toba Dreams juga sangat dapat dirasakan dari kualitas penampilan departemen aktingnya. Benni Setiawan berhasil merangkum dan mendapatkan penampilan akting terbaik dari seluruh jajaran pemeran filmnya. Nama-nama seperti Vino G. Bastian, Mathias Muchus, Jajang C. Noer, Marsha Timothy yang memang dikenal sebagai deretan penampil yang selalu dapat diandalkan kembali membuktikan kemampuan mereka dalam menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan dalam film ini. Chemistry ayah dan anak yang berhasil diciptakan Vino G. Bastian dan Mathias Muchus juga tampil begitu kuat sehingga penonton dapat dengan jelas merasakan setiap aliran emosi yang dihadirkan karakter-karakter yang mereka perankan ketika kedua pemeran tersebut sedang berada dalam satu adegan yang sama.

Penampilan akting yang solid tidak hanya datang dari jajaran pemeran utama film. Barisan pemeran pendukung film ini seperti Haykal Kamil, Ramon Y. Tungka, Tri Yudiman dan Vinessa Inez juga mampu hadir memperkuat kualitas keseluruhan dari Toba Dreams. Namun, adalah penampilan stand up comedian Boris Bokir yang akan mampu mencuri perhatian penonton ketika menyaksikan film ini. Penampilan komikal Boris Bokir dalam dialek Bataknya tampil begitu menghibur tanpa pernah sekalipun terasa berlebihan. Penampilan Boris Bokir-lah yang mampu menjadikan elemen komedi dalam jalan cerita Toba Dreams untuk hadir dan bekerja secara efektif.

Tidak lupa, Toba Dreams juga mampu disajikan dengan kualitas teknikal yang sangat memuaskan. Gambar-gambar yang dihasilkan Roy Lolang mampu tampil menenangkan ketika menangkap keindahan lingkungan Danau Toba sekaligus tampil keras ketika menelusuri kehidupan Jakarta. Tata musik arahan Viky Sianipar juga berhasil memasukkan elemen-elemen budaya Batak secara tepat guna dalam banyak bagian cerita film. Secara keseluruhan, meskipun masih memiliki beberapa bagian cerita yang terasa lemah, Benni Setiawan masih mampu mengemas Toba Dreams menjadi sebuah sajian drama keluarga yang begitu kuat dan emosional – dan sekaligus menjadikan film ini sebagai film arahannya dengan kualitas keseluruhan yang paling memuaskan hingga saat ini. [B-]

Toba Dreams (2015)

Directed by Benni Setiawan Produced by Rizaludin Kurniawan Written by Benni Setiawan, TB Silalahi (screenplay), TB Silalahi (novel, Toba Dreams) Starring Vino G. Bastian, Mathias Muchus, Marsha Timothy, Haykal Kamil, Boris Bokir, Jajang C. Noer, Tri Yudiman, Vinessa Inez, Ajil Ditto, Ramon Y. Tungka, Fadhel Reyhan, Paloma Kasia, Jerio Jeffry, JE Sebastian, Julian Kunto, Kodrat W. Saroyo, Judika Sihotang Music by Viky Sianipar Cinematography Roy Lolang Editing by Andhy Pulung Studio TB Silalahi Center/Semesta Production Running time 144 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Filosofi Kopi the Movie (2015)

filosofi-kopi-the-movie-posterDiadaptasi dari sebuah cerita pendek berjudul Filosofi Kopi karya Dee Lestari, Filosofi Kopi the Movie berkisah mengenai dua sahabat, Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto), yang kini mengelola sebuah kedai kopi yang mereka namakan Filosofi Kopi. Berbeda dengan kebanyakan tempat minum kopi lainnya, Filosofi Kopi menawarkan sebuah pengalaman meminum kopi yang maksimal dari biji kopi terbaik yang diolah dengan begitu seksama oleh Ben yang memang begitu terobsesi dengan kopi semenjak kecil. Sayang, hutang ratusan juta yang dimiliki oleh kedai kopi tersebut secara perlahan mulai memberikan kesulitan bagi Ben dan Jody untuk meneruskan usaha mereka. Sebuah kesempatan untuk terlepas dari lilitan utang muncul ketika seorang pengusaha (Ronny P. Tjandra) menawarkan uang Rp1 miliar kepada Ben dan Jody asalkan mereka dapat menghasilkan secangkir kopi paling enak bagi seorang penggila kopi yang juga akan menjadi calon investornya. Ben, yang selalu merasa bahwa ia adalah barista terbaik di Jakarta – bahkan Indonesia, jelas merasa tertantang akan tawaran tersebut. Namun, tawaran tersebut tidak hanya akan menguji kemampuan Ben dalam mengolah kopi. Secara perlahan, tawaran tersebut juga memberikan tantangan besar pada persahabatannya dengan Jody sekaligus kemampuannya dalam berhadapan dengan masa lalu yang semenjak lama telah ingin ia lupakan.

Berkaca dari Perahu Kertas (2012) – yang diadaptasi menjadi dua seri film, Rectoverso (2013), Madre (2013) serta Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh (2014), adalah tidak mudah untuk tetap mempertahankan berbagai filosofi pemikiran seorang Dee Lestari yang begitu personal sekaligus puitis dan kemudian membawanya untuk menjadi sebuah penceritaan audio visual yang lancar. Bahkan, berbagai penyesuaian yang dilakukan penulis naskah cerita film terhadap novel-novel Dee Lestari tersebut seringkali justru menghilangkan sebagian besar esensi utama tulisannya. Memang, ibaratnya menggarap secangkir kopi, tulisan-tulisan Dee Lestari adalah biji kopi dengan kualitas berkelas yang siap untuk diolah menjadi secangkir kopi nikmat. Namun, secangkir kopi nikmat tidak hanya hadir dari kualitas biji kopinya. Diperlukan tangan handal yang mengerti benar bagaimana kondisi dan kualitas biji kopi tersebut untuk kemudian dapat mengolahnya dengan tepat menjadi sajian yang dapat dinikmati banyak orang.

Beruntung Filosofi Kopi the Movie kemudian memiliki Jenny Jusuf dan Angga Dwimas Sasongko yang menjadi pengolah dan pembuat kopi penceritaan dari biji kopi cerita berkualitas karya Dee Lestari. Sebagai seorang penulis naskah cerita, Jenny Jusuf berhasil menyelami setiap konflik serta karakter yang hadir dalam cerita Filosofi Kopi untuk kemudian memberikan penyesuaian yang tepat bagi kisah Filosofi Kopi the Movie. Setiap karakter dalam film ini mampu diberikan ruang penceritaannya sendiri yang secara perlahan berkembang menjadi penceritaan utuh namun sama sekali tidak bertabrakan satu sama lain. Deretan konflik dari tiap karakter tersebut justru saling melengkapi dan berlindung dalam satu tema penceritaan besar mengenai persahabatan serta hubungan antara anak dan orangtua yang akan mampu menyentuh setiap penontonnya. Bukan berarti naskah cerita arahan Jenny Jusuf hadir tanpa ada kelemahan apapun – durasi film ini rasanya dapat lebih dipersingkat dengan mengurangi beberapa konflik dan karakter minor, namun jika dibandingkan dengan film-film yang naskah ceritanya berasal dari adaptasi karya Dee Lestari sebelumnya, Jenny Jusuf mampu memberikan keadilan tersendiri bagi Filosofi Kopi the Movie dengan sama sekali tidak menghilangkan kesan berbagai pemikiran filosofis popular yang biasanya selalu terpancar dari tulisan seorang Dee Lestari namun tetap menghadirkannya dalam tatanan bahasa yang mudah dicerna.

Jika Jenny Jusuf merupakan sosok yang memberikan olahan awal pada biji kopi penceritaan Filosofi Kopi milik Dee Lestari maka Angga Dwimas Sasongko adalah sosok yang bertanggungjawab untuk mengeksekusi – menyeduh dan menyajikan – kopi Filosofi Kopi the Movie bagi para penikmatnya. Seperti pada Hari Untuk Amanda (2010) dan Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014), Filosofi Kopi the Movie kembali membuktikan kepiawaian seorang Angga Dwimas Sasongko dalam bercerita. Angga mampu menyajikan Filosofi Kopi the Movie dalam tempo penceritaan yang tepat – tidak terlalu lamban dan tidak pernah terasa terburu-buru. Sentuhannya tersebut mampu membuat Filosofi Kopi the Movie terasa begitu akrab, nyaman dan terasa hangat dalam berkisah. Pengarahan teknikal Filosofi Kopi the Movie juga sangat berkelas mulai dari tata sinematografi hingga aransemen musik yang mampu mendukung atmosfer penceritaan film.

Dan, tentu saja, Filosofi Kopi the Movie juga menghadirkan departemen akting dalam kualitas terbaik. Jajaran pemerannya yang berisikan nama-nama seperti Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Julie Estelle, Slamet Rahardjo hingga Jajang C. Noer berhasil memberikan penampilan yang begitu mampu menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Chemistry yang tercipta antara Chicco Jerikho dengan Rio Dewanto juga terasa begitu kuat yang semakin mengukuhkan kekuatan persahabatan yang terjalin antara karakter Ben dan Jody yang mereka perankan. Secara keseluruhan, Filosofi Kopi the Movie jelas menunjukkan kematangan dari setiap orang yang terlibat didalamnya, mulai dari konsep penceritaan yang matang hingga eksekusi yang benar-benar mampu menghantarkan citarasa terbaik dari cerita yang ingin disampaikan. Sajian yang jelas layak dan wajib dinikmati oleh setiap penikmat film. [B-]

Filosofi Kopi the Movie (2015)

Directed by Angga Dwimas Sasongko Produced by Anggia Kharisma, Handoko Hendroyono Written by Jenny Jusuf (screenplay), Dee Lestari (short story, Filosofi Kopi) Starring Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Julie Estelle, Jajang C. Noer, Slamet Rahardjo, Ronny P. Tjandra, Otig Pakis, Joko Anwar, Norman Akyuwen, Tara Basro, Verdi Solaiman, Tanta Ginting, Baim Wong Music by Glenn Fredly Cinematography Robie Taswin Editing by Ahsan Andrian Studio Visinema Pictures Running time 117 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Hijab (2015)

hijab-posterKemampuan untuk mengemas kritik maupun sindiran sosial dengan bahasa penyampaian yang renyah jelas adalah salah satu hal yang menjadi kelebihan tersendiri bagi setiap film yang diarahkan oleh Hanung Bramantyo. Lihat saja bagaimana Doa Yang Mengancam (2008) yang menyajikan sebuah satir tentang hubungan seorang umat manusia dengan Tuhan-nya atau Perempuan Berkalung Sorban (2009) yang memberikan sudut pandang lain tentang kehidupan di dalam sebuah pesantren atau Tanda Tanya (2011) yang mengangkat isu toleransi antar umat beragama yang memang sedang menghangat dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Dengan tutur bahasa yang lembut dan bersahaja, film-film Hanung seringkali mampu menyelam lebih dalam pada setiap isu sosial yang mungkin jarang berani diangkat oleh para pembuat film Indonesia lainnya.

Film terbaru arahan Hanung Bramantyo, Hijab, juga memberikan sebuah satir mengenai bagaimana hijab yang sejatinya merupakan sebuah identitas keteguhan hati kaum wanita Muslim dalam menganut kepercayaannya kini (seringkali) telah beranjak hanya menjadi (sekedar) fashion statement dalam keseharian banyak wanita Muslim di Indonesia. Terdengar sebagai sebuah isu yang berat dan serius? Jangan khawatir. Hanung tidak mengemas Hijab dengan nada penceritaan yang terlalu serius a la ketiga film arahannya yang telah disebutkan sebelumnya. Hanung justru mengemas Hijab dalam jalinan kisah persahabatan yang hangat seperti Catatan Akhir Sekolah (2004) dan Jomblo (2006) namun, tentu saja, tetap berisi deretan dialog dan plot penceritaan yang cukup tajam dalam mengupas tema cerita yang dibawakannya.

Dengan naskah cerita yang ditulis Hanung Bramantyo bersama dengan Rahabi Mandra (Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar, 2014), Hijab secara lantang mampu berbicara mengenai posisi hijab yang kini tidak lagi menjadi komoditas monopoli umat muslimah taat beragama di Indonesia serta beberapa isu sosial lain mulai dari dilema pernikahan, posisi wanita bekerja dalam sebuah rumah tangga atau tentang para “suami Arab” yang menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka hingga sentilan-sentilan kecil mengenai beberapa kelompok yang begitu mudahnya untuk melakukan demonstrasi terhadap beberapa hal yang tidak sesuai dengan kepercayaan mereka hingga kehidupan dunia selebritas di industri hiburan Indonesia. Disajikan dalam kumpulan dialog dan plot penceritaan yang cukup tajam namun mampu tampil manis dengan balutan komedi (yang benar-benar) segar dalam kisah persahabatan dan kehidupan keseharian karakter-karakternya. Cerdas!

Namun, Hijab tidak selalu berjalan mulus. Untuk kelantangan dalam mengupas berbagai isu sosial yang dihadirkan Hanung Bramantyo dan Rahabi Mandra pada dua bagian awal cerita film, Hijab kemudian terasa begitu mudahnya berkompromi untuk menemukan penyelesaian masalah di paruh akhir penceritaan. Kedua penulis naskah terasa kebingungan untuk memberikan solusi masalah yang tepat bagi masing-masing karakter dan akhirnya justru melawan kembali berbagai satir yang sejak awal mereka sajikan dengan memilih akhir cerita yang tergolong aman melalui sebuah senjata pamungkas: dialog khotbah yang secara otomatis kemudian membawa kembali karakter-karakter dalam cerita film ini ke jalan kehidupan yang benar. Tidak benar-benar buruk namun berbanding begitu jauh dengan apa yang sedari awal telah ditanamkan oleh Hijab kepada para penontonnya.

Layaknya sebuah kisah persahabatan yang mampu tampil hangat dan meresap kepada setiap penonton film, Hanung Bramantyo sukses mengumpulkan deretan pengisi departemen akting yang berhasil menghadirkan penampilan akting dan chemistry satu sama lain yang benar-benar meyakinkan. Carissa Puteri, Zaskia Adya Mecca, Tika Bravani, Natasha Rizky, Nino Fernandez, Mike Lucock, Ananda Omesh dan Dion Wiyoko hadir dengan penampilan akting yang benar-benar santai – sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan setiap karakter yang mereka perankan – dan saling melengkapi satu sama lain. Kehangatan hubungan antara setiap karakter dalam Hijab akan memberikan kesan yang lebih mendalam jauh setelah penonton selesai menyaksikan film ini. Kehadiran banyak wajah-wajah familiar yang tampil sebagai “bintang tamu” dalam jalan penceritaan Hijab juga mampu memberikan tambahan hiburan tersendiri – dan dimanfaatkan dengan efektif oleh Hanung Bramantyo dengan tanpa mencuri perhatian dari para bintang utama film.

Meskipun tidak sempurna, Hijab kembali membuktikan posisi Hanung Bramantyo sebagai salah satu dari sedikit sutradara film Indonesia yang begitu lihai dalam mengemas cerita yang ingin ia sampaikan. Hijab adalah sebuah drama komedi persahabatan yang segar dan mampu bekerja dengan baik untuk menghibur maupun menampar jalan pemikiran para penontonnya. [B-]

Hijab (2015)

Directed by Hanung Bramantyo Produced by Hanung Bramantyo, Zaskia Adya Mecca, Haykal Kamil Written by Hanung Bramantyo, Rahabi Mandra Starring Carissa Puteri, Zaskia Adya Mecca, Tika Bravani, Natasha Rizky, Nino Fernandez, Mike Lucock, Ananda Omesh, Dion Wiyoko, Marini Soerjosoemarno, Jajang C Noer, Rina Hassim, Meriam Bellina, Mathias Muchus, Sophia Latjuba, Slamet Rahardjo Djarot, Bobby Tince, Mayang Faluthamia, Sogi Indra Dhuaja, Delano Daniel, Rifqa Amalsyita, Andi Keefe Bazli Ardiansyah, Kana Sybilla Bramantyo, Kala Madali Bramantyo, Ingrid Widjanarko, Epy Kusnandar, Lily SP, Pieter Gultom, Ida Zein, Steven Sakari, Sri Hartini, Otiq Pakis, Rofida, Adi Bambang Irawan, Barmastya Bhumi Brawijaya, Mpok Atiek, Cici Tegal, Vito Januarto, Marsha Natika, Tasya Nur Medina, Thalita Vitrianne, Azizah Mouri, Deby Kusuma Arum, Jelita Ramlan, Anggia Jelita, Senandung Nacita, Urip Arphan, Muhammad Assad, Hany Sabrina, Elly Sugigi, Nurul Jamilah, Luddy S, Andi Bersama, Lulung Mumtaza, Alhabsyi, Sita Nursanti, Joseph Ginting, Boy Idrus, Lasuardi Sudirman, Alfie Alfandy, Fauzan Smith, Fitri Arifin, Haykal Kamil, Rizky Harisnanda, Randy Tanaya, Martua H Aritonang, Elkie Kwee, Marcella Zalianty, Indra Bekti Music by Hariopati Rinanto Cinematography Faozan Rizal Edited by Wawan I. Wibowo Production company Dapur Film/Ampuh Entertainment/MVP Pictures Running time 102 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Erau Kota Raja (2015)

erau-kota-raja-posterCukup sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Bambang Drias dalam debut penyutradaraannya, Erau Kota Raja. Awalnya, film yang naskah ceritanya ditulis oleh Endik Koeswoyo dan Rita Widyasari ini terlihat sebagai sebuah film drama yang mencoba untuk menggali keindahan alam dan budaya dari wilayah Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Hal ini banyak disampaikan melalui deretan dialog antara para karakternya hingga sajian gambar-gambar mengenai alam sekitar maupun kegiatan seni budaya di daerah tersebut – meskipun, sayangnya, tidak pernah dihadirkan dengan tata sinematografi yang lebih mampu untuk menangkap deretan momen tersebut.

Namun, secara perlahan, Erau Kota Raja kemudian memindahkan perhatiannya pada kisah cinta segi lima yang terbentuk antara kelima karakternya, Kirana (Nadine Chandrawinata), Reza (Denny Sumargo), Ridho (Herrichan), Donnie (Donnie Sibaranie) dan Alya (Sally Dewantara). Membingungkan? Sangat! Terlebih ketika naskah cerita Erau Kota Raja tidak pernah benar-benar mampu menggali bagaimana perasaan antara karakter Kirana dan Reza atau mengapa Alya begitu terobesesi untuk memiliki Reza atau mengapa Ridho mampu mengkhianati persahabatannya dengan Reza untuk mencuri perhatian Kirana (juga Alya?) atau bagaimana sebenarnya status hubungan asmara antara Kirana dengan Donnie. Deretan alur kisah tersebut saling tumpang tindih dihadirkan dalam jalan penceritaan Erau Kota Raja sehingga membuatnya gagal untuk berkembang menjadi jalinan cerita yang utuh sekaligus cukup melelahkan (dan mengganggu) untuk disimak.

Cukup? Belum. Erau Kota Raja juga turut membahas kisah hubungan antara orangtua dan anak yang tergambar dalam hubungan antara karakter Reza dan ibunya (Jajang C. Noer): bagaimana sang ibu bergitu berharap agar Reza menerima cinta Alya serta naik turun hubungan keduanya akibat sang ibu yang tidak menyetujui pilihan pekerjaan Reza. Konflik-konflik ini masih lagi dipersulit dengan kehadiran konflik minor lain yang berada di paruh ketiga penceritaan – ketika karakter Kirana dituduh mencoba untuk menjual adat kebudayaan Tenggarong kepada pihak asing. Sebuah konflik minor yang hadir tanpa dasar cerita yang kuat untuk kemudian menghilang begitu saja beberapa saat kemudian.

Apa yang ingin dihadirkan Erau Kota Raja sebenarnya bukanlah sebuah jalan cerita yang terlalu kompleks untuk dimengerti. Namun, perlakuan sang sutradara dan penulis naskahlah yang membuat film ini jauh dari kesan mudah untuk dinikmati dan bahkan, pada beberapa bagian, terasa membodoh-bodohi penontonnya. Plot demi plot cerita yang dihadirkan bertabrakan satu sama lain. Karakter-karakter yang memicu jalannya deretan plot cerita tersebut juga sama dangkal kualitasnya. Tak satupun dari karakter yang hadir dalam jalan cerita film ini terlihat menarik untuk diikuti kisahnya. Dangkal. Sangat disayangkan, khususnya ketika melihat penampilan Jajang C. Noer dan Ray Sahetapy yang begitu sia-sia dalam film ini. Penampilan akting lainnya juga tidak memberikan kontribusi kualitas berarti: Nadine Chandrawinata dan Denny Sumargo hadir dengan chemistry yang begitu minimalis, Herrichan tampil dengan kualitas seadanya sementara Sally Dewantara dan Donnie Sibarani seringkali terlihat kaku dalam melafalkan dialog serta usaha mereka dalam menghidupkan kedua karakter yang mereka perankan. Terlalu banyak yang ingin disampaikan namun dengan kualitas penceritaan yang terlalu lemah. [D]

Erau Kota Raja (2015)

Directed by Bambang Drias Produced by Bambang Drias Written by Endik Koeswoyo, Rita Widyasari Starring Nadine Chandrawinata, Denny Sumargo, Ray Sahetapy, Jajang C. Noer, Herrichan, Donnie Sibarani, Sally Dewantara Music by Yovial Tri Purnomo Virgi Cinematography Budi Utomo Edited by Aziz Natandra Studio East Cinema Running time 95 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Retak Gading (2014)

Retak Gading (Kakilangit Pictures, 2014)
Retak Gading (Kakilangit Pictures, 2014)

Retak Gading berkisah mengenai perjuangan seorang gadis bernama Gading (Chelsy Liven) dalam menghadapi berbagai permasalahan asmara yang menghampiri kehidupannya. Awalnya, Gading telah menemukan sosok pendamping yang begitu sempurna dalam diri seorang pria tampan dengan kepribadian baik yang bernama Bintang (Detri Warmanto). Sayang, beberapa bulan setelah menjalin hubungan asmara, Bintang secara tiba-tiba memutuskan jalinan kasih mereka tanpa alasan yang jelas. Parahnya, Bintang kemudian menghilang begitu saja dari kehidupan Gading. Jelas saja Gading menderita patah hati yang begitu mendalam. Hanya ibunya (Christine Hakim) seorang yang mampu mendamaikan jiwa Gading di tengah rundungan rasa sakit yang dirasakannya.

Continue reading Review: Retak Gading (2014)

Review: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013)

It’s a classic love story. Berlatar belakang kisah di tahun 1930an, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dimulai dengan kedatangan seorang pemuda keturunan Minang asal Makassar, Zainuddin (Herjunot Ali), ke Batipuh, Tanah Datar, Sumatera Barat, dengan tujuan untuk mengenal tanah kelahiran ayahnya sekaligus memperdalam pengetahuan agamanya disana. Kedatangan Zainuddin sendiri tidaklah mendapat sambutan baik dari masyarakat desa tersebut karena sejarah keturunan Zainuddin – yang berasal dari ayah yang berdarah Minang namun seorang ibu yang berdarah Bugis sementara struktur masyarakat Minang mengatur alur keturunan dari pihak ibu – tidak lagi dianggap memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarganya di Minangkabau. Meskipun begitu, Zainuddin meneguhkan hatinya untuk tetap tinggal di Batipuh, khususnya ketika ia telah mengenal seorang gadis cantik bernama Hayati (Pevita Pearce). Dengan segera, keduanya lantas saling jatuh cinta. Sayang, masalah asal-usul keturunan Zainuddin lagi-lagi menjadi penghalang kisah asmara mereka. Zainuddin bahkan terpaksa harus meninggalkan Batipuh karena hubungan tersebut dianggap tidak layak keberadaannya. Meskipun begitu, Zainuddin dan Hayati saling berjanji untuk tetap setia dan mencintai satu sama lain.

Continue reading Review: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013)