Tag Archives: Matt Damon

Review: Thor: Love and Thunder (2022)

Rasanya tidak mengherankan jika Marvel Studios mendapuk Taika Waititi untuk kembali duduk di kursi penyutradaraan bagi film keempat Thor, Thor: Love and Thunder. Setelah racikan Alan Taylor untuk Thor: The Dark World (2013) gagal untuk mengikuti standar tinggi yang telah diterapkan Kenneth Branagh dalam Thor (2011) – yang bahkan menjadikan film tersebut sebagai salah satu produk dengan kualitas terlemah dalam linimasa pengisahan Marvel Cinematic Universe, Waititi sukses memberikan penyegaran bagi tata penuturan seri film Thor ketika ia menghadirkan Thor: Ragnarok (2017) dengan sentuhan komedi yang begitu menyenangkan sekaligus begitu berbeda dengan tuturan komedi yang sebelumnya pernah ditampilkan oleh film-film yang tergabung dalam semesta pengisahan sinematik milik Marvel. Bekerjasama dengan penulis naskah Jennifer Kaytin Robinson (Unpregnant, 2020), Waititi berusaha untuk mengulang kembali penuturan komikal Thor: Ragnarok sekaligus memadukannya dengan sejumlah paparan dramatis yang bernilai emosional. Dan lumayan berhasil. Continue reading Review: Thor: Love and Thunder (2022)

Review: Stillwater (2021)

Pernah mendengar riuhnya kisah hidup dari seorang perempuan muda berkebangsaan Amerika Serikat bernama Amanda Knox yang mendapatkan vonis hukuman penjara oleh pengadilan negara Italia atas tuduhan tindak pembunuhan yang, setelah beberapa tahun menjalani masa hukuman dan berbagai liputan media yang kerapkali menyudutkan dirinya, kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah? Perjalanan proses penyelidikan kasus hingga masa peradilan yang dihadapi oleh Knox selama hampir satu dekade menginspirasi perilisan sejumlah buku dan film, termasuk sebuah dokumenter berjudul Amanda Knox (Rod Blackhurst, Brian McGinn, 2016) yang dirilis oleh Netflix. Insiden yang menimpa Knox juga dijadikan ilham bagi Tom McCarthy (Spotlight, 2015) dalam mengembangkan naskah cerita film arahannya terbaru, Stillwater, bersama dengan penulis naskah Marcus Hinchey (All Good Things, 2010), Thomas Bigedain (A Prophet, 2009), dan Noé Debré (Dheepan, 2015) – meskipun Knox kemudian mengkritisi McCarthy dan Stillwater yang dianggap mengambil keuntungan komersial dari pembelokan fakta atas kisah tragisnya. Continue reading Review: Stillwater (2021)

Review: Ford v Ferrari (2019)

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Jez Butterworth (Spectre, 2015), John-Henry Butterworth (Edge of Tomorrow, 2014), dan Jason Keller (Escape Plan, 2013) berdasarkan kisah nyata mengenai persaingan antara dua pabrikan mobil terbesar di dunia, Ford Motor Company dan Ferrari, di tahun 1960an, Ford v Ferrari memulai tuturan ceritanya ketika Ford Motor Company gagal untuk membeli Ferrari ketika perusahaan mobil asal Italia tersebut sebenarnya sedang membutuhkan aliran dana segar. Tidak ingin kehilangan muka, Ford Motor Company lantas membuka divisi balapan mobil dengan harapan untuk dapat bersaing atau bahkan mengalahkan Ferrari di ajang balapan mobil tertua di dunia, 24 Hours of Le Mans. Demi mewujudkan ambisi tersebut, Ford Motor Company bekerjasama dengan Carroll Shelby (Matt Damon), mantan pembalap mobil yang pernah memenangkan ajang 24 Hours Le Mans yang kini memiliki sebuah perusahaan perakit mobil bernama Shelby American, serta seorang teknisi bernama Ken Miles (Christian Bale) yang telah lama menjadi teknisi pendamping bagi Carroll Shelby selama masa karirnya sebagai seorang pembalap. Membangun sebuah divisi baru jelas bukanlah sebuah hal yang mudah. Carroll Shelby dan Ken Miles bahkan harus berhadapan dengan para petinggi Ford Motor Company yang mulai ikut campur tangan terhadap banyak keputusan kritikal yang harus mereka ambil. Continue reading Review: Ford v Ferrari (2019)

Review: Deadpool 2 (2018)

Merupakan salah satu dari beberapa karakter milik Marvel Comics yang masih belum diikutsertakan dalam jalinan kisah Marvel Cinematic Universe, perilisan Deadpool (Tim Miller, 2016) jelas memberikan kejutan yang sangat menyenangkan baik bagi Marvel Studios maupun 20th Century Fox. Bagaimana tidak. Setelah melalui proses pengembangan yang telah berjalan hampir selama dua dekade dan terus dianggap sebagai sebuah proyek yang tidak terlalu diunggulkan, film yang dibuat dengan biaya produksi “hanya” sejumlah US$58 juta tersebut kemudian berhasil meraih kesuksesan komersial dengan raihan pendapatan sebesar lebih dari US$780 juta di sepanjang masa rilisnya sekaligus mendapatkan pujian luas dari para kritikus film dunia. Kesuksesan tersebut kini berusaha diulangi kembali lewat sekuelnya, Deadpool 2, yang menjanjikan formula pengisahan yang memiliki rating dewasa seperti film pendahulunya namun dengan porsi yang lebih dimaksimalkan lagi. Continue reading Review: Deadpool 2 (2018)

Review: Downsizing (2017)

Setelah memenangkan Academy Awards untuk naskah cerita yang mereka tulis bagi film The Descendants (2011), Alexander Payne dan Jim Taylor kembali berkolaborasi dalam film terbaru arahan Payne, Downsizing. Kali ini, keduanya menawarkan sebuah kisah satir sosial yang dibungkus dengan pola pengisahan fiksi ilmiah yang jelas memiliki warna yang cukup berbeda dengan film-film arahan Payne sebelumnya. Harus diakui, ide cerita yang dimiliki oleh Payne dan Taylor – tentang penemuan prosedur penyusutan ukuran tubuh manusia dalam rangka menyelamatkan umat manusia dari kepunahan – jelas terdengar sebagai sebuah premis pengisahan yang segar sekaligus fantastis. Sayangnya, ide besar tersebut kemudian seringkali tidak mampu untuk mendapatkan pengembangan yang lebih kuat sehingga gagal tampil untuk menjadi presentasi cerita yang lebih mengikat. Continue reading Review: Downsizing (2017)

Review: Thor: Ragnarok (2017)

Masih ingat dengan Thor: The Dark World (Alan Taylor, 2013)? Well… tidak akan ada yang menyalahkan jika Anda telah melupakan sepenuhnya mengenai jalan cerita maupun pengalaman menonton dari sekuel perdana bagi film yang bercerita tentang Raja Petir dari Asgard tersebut. Berada di bawah arahan Taylor yang mengambil alih kursi penyutradaraan dari Kenneth Branagh, Thor: The Dark World harus diakui memang gagal untuk melebihi atau bahkan menyamai kualitas pengisahan film pendahulunya. Tidak berniat untuk mengulang kesalahan yang sama, Marvel Studios sepertinya berusaha keras untuk memberikan penyegaran bagi seri ketiga Thor, Thor: Ragnarok: mulai dari memberikan kesempatan pengarahan pada sutradara Taika Waititi yang baru saja meraih kesuksesan lewat dua film indie-nya, What We Do in the Shadows (2014) dan Hunt for the Wilderpeople (2016), menghadirkan naskah cerita yang menjauh dari kesan kelam, hingga memberikan penampilan-penampilan kejutan dalam presentasi filmnya. Berhasil? Mungkin. Continue reading Review: Thor: Ragnarok (2017)

Review: The Great Wall (2016)

Setelah tampil intim dan personal dalam film terakhirnya, Coming Home (2014), sutradara Zhang Yimou kembali menyajikan sebuah drama aksi epik bernuansa sejarah lewat The Great Wall. Dengan biaya produksi yang mencapai US$150 juta – yang sekaligus menempatkan film ini menjadi film dengan biaya produksi termahal di sepanjang sejarah industri perfilman China – Zhang jelas dapat dengan cukup mudah meracik barisan visual bernuansa megah nan memukau yang seringkali menjadi ciri khas film-film buatannya. Dan benar saja. The Great Wall hadir dengan tampilan visual yang begitu memikat – mulai dari desain kostum yang digunakan oleh para karakternya, tata artistik yang meyakinkan sekaligus adegan peperangan yang mampu dikemas apik dan sekilas dapat mengingatkan penontonnya pada adegan peperangan yang dihadirkan Peter Jackson dalam trilogi The Lord of the Rings (2001 – 2003). Namun bagaimana dengan cerita yang ditawarkan? Continue reading Review: The Great Wall (2016)

Review: The Monuments Men (2014)

The Monuments Men (Columbia Pictures/Fox 2000 Pictures/Smokehouse Pictures/Studio Babelsberg, 2014)
The Monuments Men (Columbia Pictures/Fox 2000 Pictures/Smokehouse Pictures/Studio Babelsberg, 2014)

Setelah berhasil memenangkan Academy Awards untuk Argo (2012) yang ia produseri bersama Ben Affleck dan Grant Heslov, George Clooney kembali bekerjasama dengan Heslov untuk memproduksi The Monuments Men yang sekaligus menjadi film kelima yang diarahkannya. Dengan naskah cerita yang juga ditulis oleh Clooney dan Heslov berdasarkan buku berjudul The Monuments Men: Allied Heroes, Nazi Thieves and the Greatest Treasure Hunt in History karya Robert M. Edsel dan Bret Witter, The Monuments Men bercerita mengenai sebuah kisah nyata bertema kepahlawanan yang mungkin masih belum diketahui oleh banyak orang mengenai usaha penyelamatan berbagai benda seni dan budaya dunia dengan nilai kultural penting sebelum benda-benda tersebut dihancurkan oleh Adolf Hitler pada masa Perang Dunia II. Sebuah tema penceritaan yang jelas sangat menarik untuk dipresentasikan. Sayangnya, tema menarik tersebut gagal untuk mendapatkaan pengembangan yang kuat, baik dari naskah cerita yang ditulis oleh Clooney dan Heslov maupun dari tata pengarahan Clooney sendiri. Hasilnya, meskipun didukung dengan penampilan berkualitas prima dari jajaran pemerannya, The Monuments Men tampil luar biasa datar dan jauh dari kesan menarik dalam penyajiannya.

Continue reading Review: The Monuments Men (2014)

Review: Elysium (2013)

Nama sutradara asal Afrika Selatan, Neill Blomkamp, mulai mendapatkan perhatian para penikmat film dunia ketika ia mengadaptasi film pendeknya, Alive in Joburg (2006), menjadi sebuah film layar lebar berjudul District 9 (2009) dengan bantuan sutradara trilogi The Lord of the Rings (2001 – 2003), Peter Jackson, sebagai produser film tersebut. Well… singkat cerita, film kecil yang diproduksi dengan bujet hanya sebesar US$30 juta tersebut kemudian sukses meraih pujian dari banyak kritikus film dunia, berhasil mengumpulkan pendapatan komersial sebesar lebih dari US$210 juta dari masa perilisannya di seluruh dunia dan, puncaknya, berhasil meraih empat nominasi di ajang The 82nd Annual Academy Awards, termasuk nominasi di kategori Best Picture dan Best Adapted Screenplay. Kesuksesan tersebut jelas membuka kesempatan lebar bagi Blomkamp untuk mengarahkan sebuah film dengan skala yang lebih besar lagi bagi Hollywood.

Continue reading Review: Elysium (2013)

Review: Promised Land (2012)

Dengan naskah yang ditulis oleh dirinya sendiri bersama John Krasinski, berdasarkan susunan cerita karya Dave Eggers (Where the Wild Things Are, 2009), Promised Land sebenarnya direncanakan akan menjadi debut penyutradaraan bagi aktor Matt Damon. Sayangnya, kesibukan dan komitmennya dengan film-film lain kemudian memaksa Damon untuk melepas posisinya sebagai sutradara – walaupun ia masih tetap akan berperan sebagai aktor utama sekaligus produser bagi film ini. Damon lalu menghubungi Gus Van Sant – yang sebelumnya pernah mengarahkannya dalam film Good Will Hunting (1997) – untuk menggantikan posisinya. Singkat cerita, Van Sant menyetujui permintaan Damon dan akhirnya memulai proses produksi Promised Land pada April 2012 yang lalu.

Continue reading Review: Promised Land (2012)

Review: Happy Feet Two (2011)

Lima tahun kemudian, banyak orang masih merasa penasaran mengapa Happy Feet (2006) mampu merebut Academy Awards di kategori Best Animated Feature dari tangan film-film animasi yang lebih superior seperti Cars (2006) dan Monster House (2006). Film animasi perdana karya sutradara asal Australia, George Miller, tersebut sebenarnya bukanlah sebuah karya yang buruk. Jalan cerita yang berkisah mengenai usaha seekor penguin untuk membuktikan kemampuan dirinya kepada orangtua dan anggota kelompoknya – dan disertai dengan banyak tarian dan nyanyian – mampu dirangkai dengan tampilan visual yang apik. Namun, jika dibandingkan tata visual yang dicapai Disney/Pixar lewat Cars – walaupun dituding memiliki jalan cerita yang tergolong  lemah – serta usaha Sony Pictures untuk menghadirkan sebuah kisah horor yang ternyata mampu bekerja dengan baik pada Monster House, Happy Feet jelas berada pada beberapa tingkatan di bawah dua film animasi kompetitornya tersebut.

Continue reading Review: Happy Feet Two (2011)

Review: Contagion (2011)

Adalah mudah untuk mendapatkan banyak bintang tenar untuk membintangi setiap film yang akan Anda produksi. Sepanjang Anda memiliki biaya produksi yang mencukupi, rasanya proses pemilihan aktor maupun aktris manapun yang Anda kehendaki tidak akan menemui masalah yang terlalu besar. Yang menjadi permasalahan, tentunya, adalah bagaimana Anda akan membagi dan memanfaatkan setiap talenta yang telah Anda dapatkan dalam jalan cerita film yang akan Anda produksi. Seperti yang telah dibuktikan oleh banyak film-film yang menampilkan jajaran pemeran yang terdiri dari nama-nama besar di Hollywood, kebanyakan dari talenta-talenta tersebut tampil kurang maksimal akibat minimnya karakterisasi dari peran yang harus mereka tampilkan. Pun begitu, jika Anda adalah Steven Soderbergh – yang telah mengumpulkan seluruh isi Hollywood dalam film-film seperti Traffic (2000) hingga The Ocean Trilogy (2001 – 2007) – Anda tahu bahwa Anda memiliki detil yang kuat untuk menampilkan setiap sisi terbaik dari kemampuan akting talenta pengisi film Anda.

Continue reading Review: Contagion (2011)

Review: The Adjustment Bureau (2011)

Menterjemahkan karya seorang penulis dengan jalinan cerita visioner seperti Philip K. Dick menjadi sebuah rangkaian adegan yang mampu bercerita dalam sebuah film tentu bukanlah suatu hal yang mudah. Beberapa orang dapat melakukannya dengan baik – Ridley Scott menerjemahkan Do Androids Dream of Electric Sleep (1968) menjadi Bladerunner (1982), Paul Veerhoeven menggubah cerita pendek We Can Remember it for Your Wholesale (1966) menjadi Total Recall (1990) dan Steven Spielberg menggarap cerita pendek Dick lainnya, The Minority Report (1956), menjadi Minority Report pada 2002 – sementara beberapa lainnya — seperti John Woo yang mengadaptasi Paycheck (1953) menjadi sebuah film berjudul sama pada tahun 2003 dan Lee Tamahori yang mengadaptasi The Golden Man (1954) menjadi Next (2007) – sedikit lost in translation dengan gagal menghantarkan jalan cerita science fiction visioner Dick menjadi tampil menarik bagi penontonnya.

Continue reading Review: The Adjustment Bureau (2011)