Tag Archives: James McAvoy

Review: It Chapter Two (2019)

Dengan linimasa cerita yang berlatar belakang waktu pengisahan pada 27 tahun sejak berbagai teror yang dikisahkan dalam It (Andy Muschietti, 2017), penuturan kisah It Chapter Two dimulai ketika Bill Denbrough (James McAvoy), Ben Hanscom (Jay Ryan), Beverly Marsh (Jessica Chastain), Richie Tozier (Bill Hader), Stanley Uris (Andy Bean), dan Eddie Kaspbrak (James Ransone) mendapatkan telepon dari Mike Hanlon (Isaiah Mustafa) yang memperingatkan bahwa teror Pennywise the Dancing Clown (Bill Skarsgård) telah kembali di kota Derry yang sekali lagi ditandai dengan menghilangnya banyak anak-anak di kota tersebut secara misterius. Sesuai dengan janji yang dahulu telah mereka buat, ketujuh anggota Losers’ Club tersebut kemudian berkumpul kembali untuk kemudian saling memutar otak dan menemukan cara yang ampuh untuk melenyapkan teror serta keberadaan Pennywise the Dancing Clown untuk selamanya. Continue reading Review: It Chapter Two (2019)

Review: X-Men: Dark Phoenix (2019)

Merupakan film ketujuh dan terakhir dari seri film X-Men – sebelum seri film ini nantinya kemungkinan besar akan dibuat, dirombak ulang, dan diikutsertakan dalam tahapan terbaru Marvel Cinematic Universe oleh Walt Disney Pictures setelah rumah produksi tersebut menyelesaikan proses pembelian rumah produksi pemilik seri film X-Men, 20th Century Fox, X-Men: Dark Phoenix adalah sekuel langsung bagi linimasa pengisahan X-Men: Apocalypse (Bryan Singer, 2016). Jalan ceritanya diadaptasi dari seri komik The Dark Phoenix Saga rilisan Marvel Comics yang sebelumnya telah turut menjadi basis pengisahan bagi X-Men: The Last Stand (Brett Ratner, 2006) dan memberikan fokus cerita khusus pada karakter Jean Grey (Sophie Turner). Keberadaan X-Men: Days of Future Past (Singer, 2014) yang linimasa penceritaannya telah menghapus keberadaan alur kisah X-Men: The Last Stand membuka peluang bagi keberadaan adaptasi teranyar untuk kisah The Dark Phoenix Saga yang kini ditangani langsung oleh Simon Kinberg – yang sebelumnya juga bertugas sebagai penulis naskah bagi X-Men: The Last Stand. Continue reading Review: X-Men: Dark Phoenix (2019)

Review: Glass (2019)

Selalu ada kejutan yang berhasil diterapkan sutradara M. Night Shyamalan dalam setiap film yang diarahkannya. Kejutan tersebut bukan hanya datang dari pelintiran plot penceritaan dalam filmnya namun, seperti yang diketahui oleh para penikmat film-filmnya, juga hampir selalu datang dari kualitas presentasi keseluruhan film-film tersebut. Setelah meraih sukses besar sekaligus mendapatkan kredibilitas tinggi sebagai sosok sutradara yang cerdas lewat film-filmnya seperti The Sixth Sense (1999) – yang memberikannya nominasi Best Director di ajang The 72nd Annual Academy Awards, Unbreakable (2000), Signs (2002), dan The Village (2004), siapa yang dapat menyangka jika karir Shyamalan akan mendapatkan hantaman beruntun ketika film-filmnya Lady in the Water (2006), The Happening (2008), The Last Airbender (2010), dan After Earth (2013) tidak hanya mendapatkan reaksi negatif dari para kritikus film dunia namun juga gagal untuk mendapatkan kesuksesan komersial yang maksimal. Namun, tentu saja, karir Shyamalan tidak lantas mati dan berhenti pada deretan kegagalan tersebut. Bekerjasama dengan produser Jason Blum, Shyamalan merilis The Visit (2015) dan Split (2017) yang sekali lagi – kejutan! – membangkitkan ketertarikan dunia pada kemampuan sutradara berkewarganegaraan Amerika Serikat tersebut dalam merangkai kisah-kisah tak biasanya. Continue reading Review: Glass (2019)

Review: Submergence (2018)

Ada banyak hal yang terjadi dalam pengisahan film terbaru arahan Wim Wenders (Every Thing Will Be Fine, 2015), Submergence. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Erin Dignam (The Last Face, 2016) berdasarkan novel berjudul sama karangan novelis J. M. Ledgard, Submergence merupakan sebuah kisah romansa yang berpadu dengan kisah petualangan di bawah laut, situasi iklim politik dunia, terorisme, misi rahasia seorang agen rahasia, hingga  beberapa sentuhan cerita tentang perubahan suhu Bumi yang secara perlahan menjebak orang-orang yang tinggal diatasnya. Cukup gampang ditebak, dengan begitu banyaknya hal yang ingin disajikan dalam 112 menit durasi penceritaan film ini, Submergence kemudian terasa kelimpungan dalam menyalurkan berbagai ide yang dimilikinya meskipun pada beberapa bagian tetap mampu hadir dengan sentuhan-sentuhan emosional yang kerapkali turut menghanyutkan penontonnya. Continue reading Review: Submergence (2018)

Review: Deadpool 2 (2018)

Merupakan salah satu dari beberapa karakter milik Marvel Comics yang masih belum diikutsertakan dalam jalinan kisah Marvel Cinematic Universe, perilisan Deadpool (Tim Miller, 2016) jelas memberikan kejutan yang sangat menyenangkan baik bagi Marvel Studios maupun 20th Century Fox. Bagaimana tidak. Setelah melalui proses pengembangan yang telah berjalan hampir selama dua dekade dan terus dianggap sebagai sebuah proyek yang tidak terlalu diunggulkan, film yang dibuat dengan biaya produksi “hanya” sejumlah US$58 juta tersebut kemudian berhasil meraih kesuksesan komersial dengan raihan pendapatan sebesar lebih dari US$780 juta di sepanjang masa rilisnya sekaligus mendapatkan pujian luas dari para kritikus film dunia. Kesuksesan tersebut kini berusaha diulangi kembali lewat sekuelnya, Deadpool 2, yang menjanjikan formula pengisahan yang memiliki rating dewasa seperti film pendahulunya namun dengan porsi yang lebih dimaksimalkan lagi. Continue reading Review: Deadpool 2 (2018)

The 20 Best Movie Performances of 2017

What makes an acting performance so remarkable and/or memorable? Kemampuan seorang aktor untuk menghidupkan karakternya dan sekaligus menghantarkan sentuhan-sentuhan emosional yang dirasakan sang karakter jelas membuat sebuah penampilan akan mudah melekat di benak para penontonnya. Kadang bahkan jauh seusai penonton menyaksikan penampilan tersebut. Penampilan tersebut, tentu saja, tidak selalu membutuhkan momen-momen emosional megah nan menggugah. Bahkan, pada beberapa kesempatan, tidak membutuhkan durasi penampilan yang terlalu lama.

Berikut adalah dua puluh – well… dua puluh lima, untuk tepatnya – penampilan akting yang paling berkesan dalam sebuah film yang dirilis di sepanjang tahun 2017, termasuk sebuah penampilan yang At the Movies pilih sebagai Performance of the Year. Disusun secara alfabetis. Continue reading The 20 Best Movie Performances of 2017

Review: Atomic Blonde (2017)

Charlize Theron is a badass who loves to kick asses. Semenjak namanya mulai meraih perhatian banyak perhatian – sekaligus berhasil memenangkan Academy Awards sebagai Best Actress in a Leading Role – ketika memerankan sosok pembunuh berantai bernama Aileen Wuornos dalam Monster (Patty Jenkins, 2003), yang dilanjutkan dengan memerankan karakter pejuang wanita bernama Æon Flux dalam Æon Flux (Karyn Kusama, 2005), hingga kemudian mencuri perhatian sepenuhnya dari Tom Hardy ketika dirinya berperan sebagai Imperator Furiousa dalam Mad Max: Fury Road (George Miller, 2016), para penikmat film dunia tahu bahwa Theron adalah sosok aktris yang gemar untuk memerankan karakter-karakter wanita kuat sekaligus tangguh dalam menghadapi berbagai konflik yang merintanginya. Kegemarannya tersebut kini berlanjut dalam Atomic Blonde – sebuah film aksi yang diproduseri oleh Theron bersama dengan produser film John Wick (Chad Stahelski, 2014), David Leitch, yang kali ini juga membuat debut pengarahan film layar lebarnya. Continue reading Review: Atomic Blonde (2017)

Review: Split (2017)

Sutradara M. Night Shyamalan (After Earth, 2013) dan produser Jason Blum (Insidious: Chaper 3, 2015) pertama kali saling bekerjasama untuk The Visit pada tahun 2015 lalu. Film thriller yang dibuat dengan bujet minimalis sebesar US$5 juta itu ternyata mampu mengundang reaksi positif, baik dari kalangan kritikus yang menilai Shyamalan mulai bangkit dari keterpurukannya setelah mengarahkan The Last Airbender (2010) dan After Earth yang gagal total maupun dari kalangan penikmat film dunia yang membuat The Visit kemudian sukses meraih pendapatan sebesar US$98.5 juta dari perilisannya di seluruh dunia. Kesuksesan kerjasama Shyamalan dan Blum tersebut kini berlanjut dalam Split – sebuah psychological horror yang naskah ceritanya juga ditulis sendiri oleh Shyamalan. Dibantu dengan penampilan fenomenal James McAvoy, Split sekali lagi menunjukkan bahwa Shyamalan yang dahulu pernah dikagumi karena kemampuannya yang handal dalam mengontrol ritme pengisahan film-film dari genre horor dan thriller kini telah kembali dengan kemampuan pengarahannya yang bahkan semakin matang. Continue reading Review: Split (2017)

Review: Arthur Christmas (2011)

Bahkan seorang Santa Claus tidak mampu menolak fakta bahwa kemajuan teknologi dapat membantu dalam kesehariannya… termasuk dalam tugas vitalnya untuk membagikan seluruh bingkisan yang ia miliki untuk para anak-anak yang telah berkelakuan baik selama satu tahun terakhir di seluruh penjuru dunia. Setidaknya begitulah yang digambarkan oleh Arthur Christmas. Berkat anaknya yang paling tua – dan kini sedang bersiap untuk menggantikan posisinya, Steve (Hugh Laurie), pria yang saat ini sedang menjabat posisi sebagai Santa Claus (Jim Broadbent) telah mengadopsi teknologi canggih yang mampu membuatnya dan sekelompok besar pembantunya untuk menghantarkan setiap bingkisan yang ia miliki kepada setiap anak di seluruh dunia dengan tepat waktu sebelum masa perayaan Natal dimulai. Namun, seiring dengan waktu, pemanfaatan teknologi tersebut membuat masa pembagian bingkisan-bingkisan tersebut menjadi kurang berkesan… dan hanya sekedar menjadi sebuah tugas dan kewajiban belaka. Kini, bagi sang Santa Claus sendiri, Natal tak lebih dari sekedar sebuah roda bisnis yang harus ia jalani.

Continue reading Review: Arthur Christmas (2011)

Review: X-Men: First Class (2011)

Setelah seri ketiga dari franchise X-Men, X-Men: The Last Stand (2006), yang diarahkan oleh Brett Ratner mendapatkan banyak kritikan tajam dari para kritikus film dunia – hal yang kemudian dialami juga oleh spin-off prekuel dari franchise tersebut, X-Men Origins: Wolverine (2009) arahan Gavin Hood – Marvel Studios dan 20th Century Fox sebagai pihak produser kemudian memutuskan untuk memberikan sebuah prekuel penuh bagi franchise X-Men yang kini telah berusia sebelas tahun itu. Dalam X-Men: First Class, penonton dibawa jauh kembali menuju masa – masa ketika Professor X masih belum mengalami kebotakan dan lebih dikenal dengan nama Dr Charles Xavier, Magneto – juga masih lebih dikenal dengan nama Erik Lensherr – belum menemukan dan menggunakan topi baja anehnya serta keduanya masih menjalami masa-masa indah persahabatan mereka.

Continue reading Review: X-Men: First Class (2011)

Review: Gnomeo & Juliet (2011)

Tentu, dengan mendasarkan kisahnya pada salah satu naskah drama paling populer di atas muka Bumi yang ditulis oleh William Shakespeare, semua orang tahu cerita apa yang akan mereka dapatkan dalam Gnomeo & Juliet: sebuah kisah cinta terlarang antara dua anak manusia yang keluarganya semenjak lama berseteru satu sama lain. Errr… ganti kata manusia dengan patung kurcaci maka Anda akan mendapatkan premis dasar dari film animasi pertama karya rumah produksi Sir Elton John ini. Walau begitu, premis tersebut hanyalah satu-satunya yang dapat menghubungkan film ini dengan karya Shakespeare tersebut. Sembilan orang penulis naskah telah mengubah total kisah tragedi tersebut menjadi sebuah komedi sekaligus menjadikan kisah film animasi ini menjadi lebih mudah untuk dilupakan begitu saja.

Continue reading Review: Gnomeo & Juliet (2011)