Diadaptasi dari novel The Half Life yang ditulis oleh Jonathan Raymond, First Cow memiliki latar belakang waktu pengisahan di tahun 1820 dan bercerita tentang persahabatan antara seorang juru masak bernama Otis Figowitz atau yang lebih sering dipanggil dengan sebutan Cookie (John Magaro) dengan seorang imigran asal Tiongkok bernama King-Lu (Orion Lee). Mengetahui bahwa sahabatnya memiliki latar belakang pekerjaan sebagai seorang asisten pembuat roti, King-Lu lalu mengusulkan agar Cookie memasak kue agar mereka dapat menjualnya di pasar. Untuk memperkaya rasa kue yang dibuat oleh Cookie, kedua pria tersebut secara sembunyi-sembunyi memeras susu dari sapi yang dimiliki oleh seorang pria kaya yang dikenal dengan sebutan Chief Factor (Toby Jones) dan menggunakannya dalam olahan kue tersebut. Berhasil! Kue buatan Cookie dengan segera laris terjual ketika dijajakan di pasar serta menjadi bahan perbincangan banyak pihak karena keenakan rasanya. Kepopuleran tersebut dengan segera menambah pundi-pundi uang yang dimiliki Cookie dan King-Lu serta, di saat yang bersamaan, juga memberikan ancaman pada nyawa keduanya karena mereka harus terus mencuri susu dari satu-satunya sapi yang berada di wilayah tempat tinggal mereka. Continue reading Review: First Cow (2019)
Tag Archives: Toby Jones
Review: Christopher Robin (2018)
Jika Goodbye Christopher Robin (Simon Curtis, 2017) memiliki cerita yang berlatar kisah nyata mengenai sekelumit kisah kehidupan sang penulis seri buku Winnie-the-Pooh, Alan Alexander Milne, dan bagaimana sang putera, Christopher Robin Milne, menginspirasi dirinya untuk menuliskan berbagai cerita dalam seri buku tersebut, maka film terbaru arahan Marc Forster (World War Z, 2013), Christopher Robin, adalah sebuah kisah fiksi yang mengadaptasi deretan karakter yang telah dituliskan oleh Milne. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Alex Ross Perry (Queen of Earth, 2015), Tom McCarthy (Spotlight, 2015), dan Allison Schroeder (Hidden Figures, 2016), Christopher Robin hadir selayaknya film drama keluarga klasik garapan Walt Disney Pictures yang tampil dengan esensi kehangatan pengisahan yang begitu familiar dan, tentu saja, akan mudah untuk disukai oleh berbagai kalangan. Manis dan emosional meskipun dengan pengisahan Forster yang sering hadir terbata-bata dalam perjalanannya. Continue reading Review: Christopher Robin (2018)
Review: Jurassic World: Fallen Kingdom (2018)
Berkaca pada pencapaian kualitas yang diraih oleh Jurassic World: The Lost World (Steven Spielberg, 1997), Jurassic Park III (Joe Johnston, 2001), dan Jurassic World (Colin Trevorrow, 2015), rasanya cukup jelas bahwa lanjutan kisah dari seri film Jurassic Park tidak akan mampu menandingi atau bahkan menyamai kualitas prima dari pengisahan Jurassic Park (Spielberg, 1993) yang sangat legendaris itu. Well… barisan sekuel Jurassic Park sebenarnya bukanlah film-film yang berkualitas buruk. Meskipun hadir dengan tatanan pengisahan yang semakin lama terasa semakin dangkal, film-film tersebut masih mampu dikembangkan dengan tata pengisahan yang menjadikannya cukup menyenangkan untuk disaksikan. Dan, tentu saja, kesuksesan raihan komersial film-film tersebut jelas akan membuat Spielberg dan para produser dari seri film Jurassic Park terus berusaha memutar otak mereka dalam menghasilkan bagian baru dari pengisahan seri film tersebut – seri terakhir Jurassic Park, Jurassic World, bahkan berhasil mendapatkan pendapatan sebesar lebih dari US$1.6 milyar dari masa perilisannya di seluruh dunia sekaligus menjadikannya sebagai film paling sukses dari seri film Jurassic Park. Continue reading Review: Jurassic World: Fallen Kingdom (2018)
Review: Atomic Blonde (2017)
Charlize Theron is a badass who loves to kick asses. Semenjak namanya mulai meraih perhatian banyak perhatian – sekaligus berhasil memenangkan Academy Awards sebagai Best Actress in a Leading Role – ketika memerankan sosok pembunuh berantai bernama Aileen Wuornos dalam Monster (Patty Jenkins, 2003), yang dilanjutkan dengan memerankan karakter pejuang wanita bernama Æon Flux dalam Æon Flux (Karyn Kusama, 2005), hingga kemudian mencuri perhatian sepenuhnya dari Tom Hardy ketika dirinya berperan sebagai Imperator Furiousa dalam Mad Max: Fury Road (George Miller, 2016), para penikmat film dunia tahu bahwa Theron adalah sosok aktris yang gemar untuk memerankan karakter-karakter wanita kuat sekaligus tangguh dalam menghadapi berbagai konflik yang merintanginya. Kegemarannya tersebut kini berlanjut dalam Atomic Blonde – sebuah film aksi yang diproduseri oleh Theron bersama dengan produser film John Wick (Chad Stahelski, 2014), David Leitch, yang kali ini juga membuat debut pengarahan film layar lebarnya. Continue reading Review: Atomic Blonde (2017)
Review: Captain America: The Winter Soldier (2014)
So what went wrong with Captain America: The First Avenger (2011)? Well… terlepas dari pemilihan Chris Evans yang benar-benar memiliki penampilan, kharisma dan kemampuan yang tepat untuk memerankan sang karakter utama, Captain America: The First Avenger tidak pernah benar-benar terasa sebagai sebuah film yang diperuntukkan kepada Captain America secara keseluruhan. Dengan penggalian karakter utama yang cukup terbatas serta paruh penceritaan lanjutan yang kemudian menghadirkan beberapa karakter ciptaan Marvel Comics yang telah terlebih dahulu meraih popularitasnya, Captain America: The First Avenger lebih kental terasa sebagai media publikasi untuk mengenalkan karakter Captain America kepada penonton dalam skala luas sebelum karakter tersebut akhirnya diikutsertakan dalam The Avengers (2012) – yang sekaligus menjadikan Captain America: The First Avenger terasa seperti promosi berdurasi 125 menit bagi The Avengers. Bukan sebuah presentasi yang benar-benar buruk namun kurang mampu untuk memberikan kesan esensial sebagai pemicu hadirnya sebuah franchise superhero yang baru.
Continue reading Review: Captain America: The Winter Soldier (2014)
Review: The Hunger Games: Catching Fire (2013)
Ketika The Hunger Games dirilis tahun lalu, dunia dengan sesegera mungkin membandingkannya dengan seri film The Twilight Saga. Tidak mengherankan memang. Selain karena kedua jalan ceritanya dipimpin oleh sosok karakter utama wanita yang begitu dominan, baik The Hunger Games dan seri film The Twilight Saga (2008 – 2012) juga melibatkan jalinan kisah cinta segitiga yang, tentu saja, tampil begitu menggiurkan bagi kalangan penonton young adult yang memang menjadi target penonton utama bagi kedua seri film ini. Meskipun begitu, The Hunger Games kemudian membuktikan kekuatannya ketika berhadapan dengan faktor kritikal maupun komersial: The Hunger Games tidak hanya mampu menarik perhatian penonton dalam skala besar – total pendapatan sebesar lebih dari US$ 691 juta dari biaya produksi yang “hanya” mencapai US$78 juta – namun juga berhasil meraih pujian luas dari para kritikus film dunia, khususnya atas susunan cerita yang lebih kompleks dan menegangkan daripada The Twilight Saga serta penampilan Jennifer Lawrence yang begitu memikat.
Continue reading Review: The Hunger Games: Catching Fire (2013)
Review: Red Lights (2012)
Red Lights adalah sebuah film yang jelas akan memicu cukup banyak adu argumentasi diantara para penontonnya bahkan jauh seusai mereka menyaksikan film tersebut. Disutradarai dan ditulis naskah ceritanya oleh Rodrigo Cortés – yang lewat Buried (2010) sukses membuktikan kepada publik luas bahwa Ryan Reynolds memiliki kemampuan akting yang sanggup menyaingi wajah tampannya, Red Lights mengisahkan, secara sederhana, tentang perseteruan antara mereka yang percaya pada aktivitas paranormal dan mereka yang menentang adanya kepercayaan tersebut serta kemudian berusaha untuk membuktikannya lewat jalan ilmiah. Red Lights jelas merupakan sebuah penceritaan dengan tema yang besar… dan sayangnya, mungkin terlalu besar untuk ditangani sendiri oleh Cortés sehingga membuat Red Lights terasa bagaikan sebuah perjalanan panjang yang tanpa arti di kebanyakan bagian.
Review: My Week with Marilyn (2011)
Marilyn Monroe. Ikon. Dua kata yang rasanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam dua puluh tahun karirnya di industri hiburan Hollywood, Monroe telah mencapai apapun yang diinginkan setiap orang yang pernah bermimpi untuk menginjakkan kakinya dan kemudian memiliki karir yang cemerlang di salah satu industri hiburan terbesar di dunia tersebut – terlepas dari, tentu saja, berbagai permasalahan pribadi yang dimiliki oleh Monroe. My Week with Marilyn, sayangnya, bukanlah sebuah film biografis yang menceritakan mengenai perjalanan lengkap mengenai kehidupan sang ikon. Seperti yang digambarkan judul dari film ini, My Week with Marilyn hanyalah sebuah film yang mencakup sekelumit kisah dalam perjalanan panjang kehidupan Monroe. Sekelumit, namun dengan penggarapan yang kuat, dan penampilan Michelle Williams sebagai Monroe yang begitu luar biasa kuat, My Week with Marilyn akan mampu membuat banyak penontonnya mengenal Monroe sedikit lebih dalam. Dan lebih kelam.
Review: Snow White and the Huntsman (2012)
Semodern apapun perkembangan peradaban manusia, sepertinya akan selalu ada tempat untuk kisah-kisah dongeng klasik untuk kembali dinikmati. Tahun ini, kisah Snow White – atau yang bagi masyarakat Indonesia populer dengan sebutan Puteri Salju – menjadi favorit Hollywood untuk diceritakan kembali. Setelah Mirror Mirror karya Tarsem Singh yang tayang terlebih dahulu beberapa bulan lalu – yang ternyata lebih ditujukan pada pangsa penggemar film-film berorientasi komedi keluarga, kini giliran Rupert Sanders yang menghadirkan versi Snow White-nya lewat Snow White and the Huntsman. Dibintangi oleh Kristen Stewart, Chris Hemsworth dan Charlize Theron, Sanders jelas memilih untuk menjauhi pakem keluarga yang diterapkan Mirror Mirror pada Snow White and the Huntsman. Lewat naskah yang ditulis Evan Daugherty, John Lee Hancock dan Hossein Amini, kisah Snow White yang popular tersebut diubah menjadi sebuah kisah percintaan yang epik, kelam sekaligus mencekam.
Review: The Hunger Games (2012)
Ketika pertama kali kabar bahwa trilogi novel The Hunger Games (2008 – 2010) karya Suzanne Collins akan diadaptasi ke layar lebar, banyak pihak yang mengharapkan bahwa versi film dari trilogi tersebut akan memiliki pengaruh komersial yang sama besarnya dengan versi adaptasi film dari The Twilight Saga (2005 – 2008) karya Stephanie Meyer. Tentu saja, harapan tersebut muncul karena kedua seri novel tersebut sama-sama menghadirkan kisah cinta segitiga yang biasanya dapat dengan mudah menarikj perhatian para penonton muda. Kisah romansa memang menjadi salah satu bagian penting dalam penceritaan The Hunger Games. Namun, kisah romansa tersebut hanyalah salah satu bagian kecil dari tema penceritaan The Hunger Games yang tersusun dari deretan kisah yang lebih kompleks, dewasa dan jauh lebih kelam dari apa yang dapat ditawarkan oleh The Twilight Saga.
Review: The Adventures of Tintin (2011)
Sebuah penantian akhirnya terbayar sudah! Steven Spielberg semenjak lama merupakan seorang penggemar seri komik The Adventures of Tintin. Sementara itu, penulis komik tersebut, Hergé, juga merupakan seorang penggemar dari karya-karya Spielberg dan menganggap bahwa hanya sutradara pemenang Academy Awards itulah yang dapat dengan benar-benar membawa jiwa deretan karakter dan kisah yang terdapat dalam seri The Adventures of Tintin. Walau pada awalnya proses adaptasi seri komik The Adventures of Tintin menuju sebuah film layar lebar banyak menemui hambatan, namun ketika Spielberg bertemu dengan Peter Jackson – seorang sutradara pemenang Academy Awards lainnya yang juga menggemari seri komik tersebut – perlahan-lahan proyek tersebut mulai menemukan titik terangnya. Dengan menggunakan teknologi motion capture – yang dinilai akan lebih mampu untuk menangkap jiwa dari jalan cerita seri komik tersebut daripada jika dihadirkan sebagai sebuah tayangan live action – proses produksi The Adventures of Tintin pun akhirnya dimulai pada tahun 2009.
Review: Captain America: The First Avenger (2011)
Tidak ada satu bagianpun dalam kisah Captain America: The First Avenger yang belum pernah Anda saksikan sebelumnya dalam berbagai versi cerita film-film bertemakan superhero lainnya. Anda dapat memandang hal ini sebagai sebuah usaha untuk mempertahankan kisah tradisional komik Captain America yang bertemakan sikap patriotisme sang karakter utama dalam membela negaranya. Namun, pada banyak bagian, Captain America: The First Avenger terasa bagaikan rangkaian kisah kepahlawanan yang cheesy, begitu mudah ditebak dan gagal dalam menghadirkan sebuah kisah petualangan yang mampu untuk tampil menarik dan berbeda jika disandingkan dengan film-film bertema sama yang akhir-akhir ini banyak diproduksi Hollywood.
Continue reading Review: Captain America: The First Avenger (2011)
Review: Your Highness (2011)
Well… ketika Anda telah berhasil untuk menciptakan sebuah produk yang dicintai oleh begitu banyak orang, kadangkala ada baiknya untuk tetap mempertahankan formula produk tersebut untuk tetap mendapatkan keuntungan yang sama atau bahkan dengan jumlah yang lebih besar lagi. Sukses dengan film stoner action comedy, Pineapple Express (2008), sutradara David Gordon Green kelihatannya berusaha untuk mengulang kesuksesan tersebut dengan Your Highness. Kembali mengajak James Franco dan Danny McBride, yang kali ini juga berperan sebagai penulis naskah, dapat dikatakan bahwa Your Highness adalah sebuah duplikat Pineapple Express yang disajikan dalam latar belakang waktu cerita yang berbeda. Masih mampu memberikan beberapa momen lucu dan menyenangkan, namun Your Highness lebih sering terlihat mengesalkan dengan deretan guyonan seksual yang dihadirkan secara berlebihan.