Sutradara Atomic Blonde (2017), Deadpool 2 (2018), dan Fast & Furious Presents: Hobbs & Shaw (2019), David Leitch, kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk mengarahkan Bullet Train, sebuah film aksi komedi yang diadaptasi dari novel berjudul Maria Beetle yang ditulis oleh Kōtarō Isaka. Fokus pengisahannya berada pada sosok pembunuh bayaran yang dikenal dengan sebutan Ladybug (Brad Pitt) yang mendapatkan tugas untuk mencuri tas berisi uang sejumlah US$10 juta yang sedang dibawa oleh duo pembunuh bayaran asal Inggris yang dikenal dengan sebutan Tangerine (Aaron Taylor-Johnson) dan Lemon (Brian Tyree Henry) dalam perjalanan kereta api dari kota Tokyo menuju Kyoto. Ladybug dapat dengan mudah menjalankan tugas tersebut. Namun, di saat yang bersamaan, keberadaannya di kereta api tersebut ternyata mencuri perhatian “sejumlah orang” yang berprofesi dan memiliki niatan yang sama dengan Ladybug. Kekacauan yang jelas akan menjanjikan simbahan darah. Continue reading Review: Bullet Train (2022)
Tag Archives: Ryan Reynolds
Review: Red Notice (2021)
Dengan biaya produksi yang dilaporkan mencapai US$200 juta, film terbaru arahan sutradara Rawson Marshall Thurber yang kembali mempertemukannya dengan aktor Dwayne Johnson setelah Central Intelligence (2016) dan Skyscraper (2018), Red Notice, menjadi film blockbuster pertama sekaligus termahal yang dirilis oleh Netflix. Tidak begitu mengherankan. Selain Johnson, Red Notice juga menghadirkan penampilan akting dari Ryan Reynolds dan Gal Gadot – dua pemeran yang namanya jelas sedang berada di puncak popularitas saat ini. Tidak lupa, layaknya sebuah blockbuster yang mengedepankan adegan aksi, Red Notice juga dieksekusi sebagai sajian dengan tatanan audio dan visual berskala besar yang tentunya digunakan untuk semakin meningkatkan daya pikatnya kepada penonton. Namun, tentu saja, tanpa naskah cerita yang benar-benar mumpuni, paduan kehadiran barisan pemeran popular dengan tampilan presentasi yang berkelas tidak begitu saja dapat menyokong kualitas penceritaan sebuah film. Hal tersebut, sayangnya, terjadi pada film ini. Continue reading Review: Red Notice (2021)
Review: Hitman’s Wife’s Bodyguard (2021)
Merupakan sekuel dari The Hitman’s Bodyguard (2017) – film aksi komedi yang gagal mendapatkan reaksi positif dari para kritikus film dunia namun sukses mengumpulkan pendapatan sebesar lebih dari US$176 juta di sepanjang masa perilisannya, Hitman’s Wife’s Bodyguard kembali mempertemukan sutradara Patrick Hughes dengan tiga bintang filmnya, Ryan Reynolds, Samuel L. Jackson, dan Salma Hayek. Seperti yang digambarkan oleh judul film ini, jika film sebelumnya bercerita tentang seorang pengawal, Michael Bryce (Reynolds), yang mendapatkan tugas untuk mengawal seorang pembunuh bayaran, Darius Kincaid (Jackson), maka film ini berkisah tentang Michael Bryce yang harus menjaga istri dari sang pembunuh bayaran, Sonia Kincaid (Hayek), ketika ia sedang mencari tahu misteri keberadaan sang suami yang telah diculik oleh sekelompok penjahat. Di saat yang bersamaan, seorang teroris bernama Aristotle Papadopoulos (Antonio Banderas) sedang menyusun rencana untuk menghancurkan negara-negara di Eropa. Dan, tentu saja, garisan cerita akan membawa keempat karakter tersebut untuk bertemu (dan berseteru) antara satu dengan yang lain. Continue reading Review: Hitman’s Wife’s Bodyguard (2021)
Review: Free Guy (2021)
Menjadi film cerita panjang pertama yang diarahkan oleh Shawn Levy semenjak mengarahkan Night at the Museum: Secret of the Tomb (2014), bercerita tentang sesosok karakter non-pemain dalam sebuah permainan video aksi-petualangan yang dikenal dengan sebutan Guy (Ryan Reynolds). Guy dan karakter-karakter non-pemain lain yang berada dalam permainan video bernama Free City tersebut tidak menyadari bahwa mereka adalah sekelompok karakter latar dalam permainan video yang memiliki tugas dan kegiatan yang sama dan terus berulang setiap harinya. Namun, pertemuan Guy dengan Molotovgirl – yang merupakan sesosok karakter pemain yang di dunia nyata dimainkan oleh seorang perempuan bernama Millie Rusk (Jodie Comer) – mengubah cara dirinya dalam memandang lingkungan sekitarnya. Guy masih belum menyadari dirinya hanyalah karakter non-pemain dalam sebuah permainan video namun Guy mulai memiliki hasrat untuk melakukan berbagai hal yang berbeda dalam kesehariannya. Guy juga merasakan bahwa dirinya telah jatuh cinta dengan sosok karakter Molotovgirl. Continue reading Review: Free Guy (2021)
Review: The Croods: A New Age (2020)
Dengan keberhasilannya mengumpulkan pendapatan sebesar lebih dari US$587 juta serta raihan nominasi Best Animated Feature dari ajang The 86th Annual Academy Awards, tidak membutuhkan waktu lama bagi DreamWorks Animations untuk mengumumkan bahwa mereka akan memproduksi sekuel bagi film animasi The Croods (2013). Pada tahun 2014, sekuel dari The Croods dipersiapkan untuk dirilis pada tahun 2017. Di pertengahan tahun 2016, seiring dengan berakhirnya kesepakatan distribusi dengan 20th Century Fox dan beralihnya kepemilikan DreamWorks Animation kepada NBCUniversal, perilisan sekuel dari The Croods mundur ke tahun 2018 – sebelum kemudin diumumkan bahwa proses produksi untuk sekuel dari The Croods dibatalkan pada penghujung tahun 2016. Beruntung, DreamWorks Animation dan Universal Pictures akhirnya menyepakati untuk melanjutkan proses produksi sekuel dari The Croods dengan jadwal rilis di tahun 2020 dan Joel Crawford menggantikan posisi Kirk DeMicco dan Chris Sanders untuk duduk di kursi penyutradaraan. Continue reading Review: The Croods: A New Age (2020)
Review: Fast & Furious Presents: Hobbs & Shaw (2019)
Suka atau tidak, sulit untuk membantah bahwa keterlibatan Dwayne Johnson pada Fast Five (Justin Lin, 2011) telah memberikan energi baru yang sangat dibutuhkan oleh seri film The Fast and the Furious. Setelah kesuksesan The Fast and the Furious (Rob Cohen, 2001), dua sekuel yang mengikutinya, 2 Fast 2 Furious (John Singleton, 2003) dan The Fast and the Furious: Tokyo Drift (Lin, 2006), tidak mampu menyamai raihan komersial yang didapatkan oleh film perdana dari seri film yang telah melambungkan nama Vin Diesel, Paul Walker, Michelle Rodriguez, dan Jordana Brewster ini. Film keempat, Fast & Furious (Lin, 2009), memang bernasib sedikit lebih baik dari dua film sebelumnya namun, tetap saja, masih terasa berada di bawah capaian The Fast and the Furious. Keberadaan Johnson di Fast Five dan tiga sekuel berikutnya terbukti mampu meningkatkan daya tarik seri film ini bagi banyak penikmat film dunia dengan raihan komersial yang terus meningkat di setiap film – dengan Fast & Furious 7 (James Wan, 2015) dan Fast & Furious 8 (F. Gary Gray, 2017) mampu meraih pendapatan sebesar lebih dari US$1 milyar – dan bahkan secara perlahan turut menarik hati para kritikus film yang mulai memandang seri film The Fast and the Furious sebagai salah satu seri film aksi paling menghibur di era modern Hollywood. Continue reading Review: Fast & Furious Presents: Hobbs & Shaw (2019)
Review: Pokémon Detective Pikachu (2019)
Pokémon Detective Pikachu jelas bukanlah film perdana yang membasiskan kisahnya pada waralaba sukses Pokémon – yang dimulai dari sebuah permainan video dan kemudian diadaptasi menjadi film televisi, film pendek, buku, komik, album musik, serta merchandise yang secara keseluruhan menjadikan Pokémon sebagai salah satu waralaba permainan video terlaris sepanjang masa di dunia. Tercatat, tidak kurang dari 21 film animasi telah diproduksi berdasarkan waralaba permainan video ini dengan film animasi pertama, Pokémon: The First Movie arahan Kunihiko Yuyama, dirilis pada tahun 1998 dan film animasi teranyarnya, Pokémon the Movie: The Power of Us arahan Tetsuo Yajima, dirilis pada tahun 2018 lalu. Pokémon Detective Pikachu merupakan film pertama dalam barisan film yang diadaptasi dari waralaba Pokémon yang diproduksi sebagai sebuah sajian live-action serta digarap oleh rumah produksi yang berasal dari Hollywood. Diarahkan oleh Rob Letterman (Goosebumps, 2015), Pokémon Detective Pikachu akan membawa penontonnya pada sebuah petualangan baru dengan nuansa misteri yang jelas cukup berbeda jika dibandingkan dengan pengisahan yang biasa dihadirkan dalam film-film Pokémon sebelumnya.
Review: Deadpool 2 (2018)
Merupakan salah satu dari beberapa karakter milik Marvel Comics yang masih belum diikutsertakan dalam jalinan kisah Marvel Cinematic Universe, perilisan Deadpool (Tim Miller, 2016) jelas memberikan kejutan yang sangat menyenangkan baik bagi Marvel Studios maupun 20th Century Fox. Bagaimana tidak. Setelah melalui proses pengembangan yang telah berjalan hampir selama dua dekade dan terus dianggap sebagai sebuah proyek yang tidak terlalu diunggulkan, film yang dibuat dengan biaya produksi “hanya” sejumlah US$58 juta tersebut kemudian berhasil meraih kesuksesan komersial dengan raihan pendapatan sebesar lebih dari US$780 juta di sepanjang masa rilisnya sekaligus mendapatkan pujian luas dari para kritikus film dunia. Kesuksesan tersebut kini berusaha diulangi kembali lewat sekuelnya, Deadpool 2, yang menjanjikan formula pengisahan yang memiliki rating dewasa seperti film pendahulunya namun dengan porsi yang lebih dimaksimalkan lagi. Continue reading Review: Deadpool 2 (2018)
Review: The Hitman’s Bodyguard (2017)
The Hitman’s Bodyguard bukanlah film pertama yang dibintangi bersama oleh Ryan Reynolds dan Samuel L. Jackson. Keduanya – vokal keduanya, untuk tepatnya – sempat hadir dalam film animasi buatan DreamWorks Animation, Turbo (David Soren, 2013), dimana Reynolds dan Jackson sama-sama mengisisuarakan dua sosok karakter siput yang awalnya saling bersaing namun kemudian saling bersahabat dan mendukung satu sama lain. Menariknya, The Hitman’s Bodyguard, film yang untuk pertama kalinya akan menghadirkan tampilan fisik keduanya secara keseluruhan, juga memiliki alur pengisahan yang hampir serupa. Harus diakui, Reynolds dan Jackson sama-sama memiliki kemampuan yang mencukupi untuk menghidupkan kedua karakter yang mereka perankan. Sayangnya, dengan naskah pengisahan yang begitu terbatas, The Hitman’s Bodyguard lebih sering tampil datar daripada berhasil menghibur penontonnya. Continue reading Review: The Hitman’s Bodyguard (2017)
Review: Life (2017)
First of all… After movies like Gravity (Alfonso Cuarón, 2013), Interstellar (Christopher Nolan, 2014) and The Martian (Ridley Scott, 2015), why would anyone on their right minds named their space-themed movie with a boring, bland title like Life? Come on. Really? Seriously? Untungnya, terlepas dari judul berkualitas pasaran yang akan membuat semua orang kebingungan dalam beberapa tahun mendatang – jika mereka masih mampu mengingat keberadaan film ini, Life adalah sebuah film bertema angkasa luar yang mampu tergarap dengan cukup baik. Baiklah, garis pengisahan garapan duo penulis naskah Rhett Reese dan Paul Wernick (Deadpool, 2016) mungkin tidaklah menawarkan sesuatu hal yang baru bagi mereka penikmat film-film fiksi ilmiah sejenis. Namun, tidak dapat disangkal, arahan sutradara Daniel Espinosa (Safe House, 2012) berhasil meningkatkan kualitas penyajian film dengan menjaga penuh ritme pengisahannya sehingga dapat menghadirkan deretan ketegangan yang akan membuat setiap penonton film ini menahan nafas sekaligus berpegangan erat pada kursi mereka. Continue reading Review: Life (2017)
Review: The Voices (2015)
Nama Marjane Satrapi mungkin akan lebih banyak dikenal atas dua film animasi yang pernah diarahkannya, Persepolis (2007) dan Chicken with Plums (2011), yang tidak hanya berhasil meraih pujian luas dari kritikus film dunia namun juga menghasilkan cukup banyak kontroversi akibat penceritaan kedua film tersebut akan kondisi sosial politik dari negara Iran. Setelah sebelumnya mengarahkan sebuah film live action berjudul Gang of the Jotas (2012) yang juga ia bintangi, Satrapi kini beranjak ke Hollywood untuk mengarahkan film live action keduanya, The Voices. Dengan dukungan penampilan berkelas dari para aktor dan aktris papan atas internasional yang berada dalam jajaran departemen aktingnya, The Voices sekali lagi membuktikan kehandalan Satrapi dalam mengolah naskah cerita bernuansa black comedy yang kental menjadi sebuah sajian yang tidak hanya menghibur namun juga tajam sekaligus cerdas dalam pengisahannya.
Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Michael R. Perry (Paranormal Activity 2, 2010), The Voices berkisah mengenai Jerry Hickfang (Ryan Reynolds), seorang pria penyendiri yang bekerja di sebuah pabrik yang memproduksi perlengkapan kamar mandi. Sifat penyendiri Jerry sendiri bukannya hadir tanpa sebab. Jerry memiliki masa lalu yang kelam akan keluarganya. Untuk membantunya melupakan berbagai kenangan masa lalu akan keluarganya tersebut, semenjak lama Jerry telah berkonsultasi dengan seorang psikiater bernama Dr. Warren (Jacki Weaver). Sesi konsultasi bersama Dr. Warren sendiri awalnya mampu menghadirkan sedikit ketenangan dalam hidup Jerry. Namun, semua hal berubah ketika Jerry mulai menyukai seorang rekan kerjanya, Fiona (Gemma Arterton). Secara perlahan, Jerry berubah menjadi sosok brutal yang mampu melakukan berbagai hal mengerikan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Jika dibandingkan dengan film-film arahan Satrapi sebelumnya, The Voices jelas menghadirkan perubahan yang cukup radikal dalam nada pengarahan sutradara wanita kelahiran Iran berkewarganegaraan Perancis tersebut. Bukan hanya karena Satrapi kali ini mampu mengenyampingkan berbagai isu sosial maupun politik demi sajian komedi dalam jalan cerita filmnya namun Satrapi juga mampu menghadirkan The Voices dengan ritme penceritaan yang terasa lebih santai. Di satu bagian, Satrapi mampu mengupas kehidupan Jerry Hickfang dengan seksama, bagaimana cara ia memandang lingkungannya, cara ia berinteraksi dan bereaksi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya hingga caranya untuk menghadapi masa lalunya yang kelam. Di sisi lain, The Voices mampu dihadirkan dengan ritme cepat yang menegangkan ketika bagian-bagian penceritaan film ini sedang tampil sebagai sebuah horor bagi para penontonnya. Perpaduan warna dan ritme penceritaan itulah yang kemudian berhasil menghidupkan kecerdasan naskah cerita garapan Michael R. Perry sekaligus menjadikan The Voices terasa begitu emosional di beberapa bagian pengisahannya.
The Voices juga memberikan Satrapi peluang untuk bekerja dengan tata visual efek yang cukup rumit. Tanpa menghadirkannya sebagai sebuah sajian yang berlebihan, Satrapi menyajikan dua dunia yang berada dalam jalan pemikiran karakter Jerry Hickfang dengan sangat baik. Dua dunia yang terasa kontras tersebut mampu dihadirkan secara berdampingan dan tegas mempresentasikan kisahnya sehingga Satrapi tidak perlu lagi memberikan pengarahan kisah yang bertele-tele bagi penontonnya. Penataan gambar juga dimanfaatkan dengan efektif oleh Satrapi dalam menyajikan potongan-potongan kenangan dalam masa lalu karakter utama film ini. Memang, kehadiran potongan motif perilaku karakter Jerry Hickfang dalam jalan cerita The Voices memang terkesan klise. Meskipun begitu, pengemasannya yang apik berhasil membuat bagian pengisahan tersebut tidak menjadi distraksi bagi plot utama film.
Berperan sebagai sang karakter utama – serta mengisisuarakan karakter Mr. Whiskers dan Bosco yang menjadi peliharaannya, Ryan Reynolds jelas hadir bersinar dalam film ini. Tanpa pernah berusaha menjadikan karakter yang ia perankan terasa karikatural, Reynolds menyelami karakter Jerry Hickfang dengan seksama dan menyajikannya sebagai sosok – yang meskipun seorang pembunuh berdarah dingin dengan kejiwaan yang begitu terganggu – yang dapat terasa begitu humanis dan nyata. Pernah merasa bersimpati pada sosok seorang penjahat? Reynolds berhasil melakukannya dengan baik kepada karakter Jerry Hickfang. Jelas tampil kuat sebagai salah salah performa terbaik yang pernah disajikan Reynolds dalam karir beraktingnya.
Performa prima Reynolds juga didukung oleh kekuatan jajaran pengisi departemen akting lainnya dalam film ini. Nama-nama seperti Gemma Arterton, Anna Kendrick, Jacki Weaver hingga Ella Smith mampu menyajikan penampilan akting terbaik mereka dalam menghadirkan sosok karakter yang benar-benar akan mampu membius penonton dengan pesonanya. Kualitas departemen akting yang berkelas bagi sebuah film yang mampu disusun dan dieksekusi secara cerdas. Salah satu film terbaik tahun ini. Oh. Jangan terburu-buru untuk pergi begitu saja seusai jalan cerita film ini selesai. Dalam sentuhan komedinya yang begitu kuat, Satrapi menugaskan jajaran pemerannya untuk menyanyikan lagu Sing a Happy Song dari The O’Jays untuk ditampilkan dalam end credit film yang akan segera menghapus segala kenangan akan kekelaman yang dimiliki oleh jalan cerita The Voices. [B]
The Voices (2015)
Directed by Marjane Satrapi Produced by Matthew Rhodes, Adi Shankar, Roy Lee, Spencer Silna Written by Michael R. Perry Starring Ryan Reynolds, Anna Kendrick, Gemma Arterton, Jacki Weaver, Sam Spruell, Adi Shankar, Ella Smith, Paul Chahidi, Stanley Townsend, Valerie Koch, Paul Brightwell, Alessa Kordeck, Stephanie Vogt, Gulliver McGrath Music by Olivier Bernet Cinematography Maxime Alexandre Editing by Stephanie Roche Studio 1984 Private Defense Contractors/Babelsberg Studio/Mandalay Vision/Vertigo Entertainment Running time 104 minutes Country United States Language English
Review: Turbo (2013)
Film teranyar rilisan DreamWorks Animation, Turbo, yang juga menjadi debut penyutradaraan bagi David Soren, berkisah mengenai seekor siput kebun bernama Theo (Ryan Reynolds) – atau yang lebih memilih untuk dipanggil dengan sebutan Turbo, yang bermimpi untuk menjadi pembalap terbaik di dunia, seperti halnya sang idola, Guy Gagne (Bill Hader) – seorang manusia. Masalahnya… well… Turbo adalah seekor siput yang semenjak lama memiliki takdir sebagai salah satu hewan dengan pergerakan tubuh paling lambat di dunia. Obsesinya tersebut kerap membuat Turbo menjadi bahan cemoohan bagi komunitas siput yang berada di sekitarnya, termasuk dari sang kakak, Chet (Paul Giamatti). Hal itulah yang kemudian mendorong Turbo untuk meninggalkan lokasi tempat tinggalnya dan memilih untuk mencari jalan hidupnya sendiri.
Review: The Croods (2013)
Disutradarai oleh Kirk DeMicco (Space Chimps, 2008) dan Chris Sanders (How to Train Your Dragon, 2010) dengan naskah cerita yang juga mereka tulis sendiri, The Croods akan membawa para penontonnya ke masa prasejarah dan berpetualang bersama keluarga Croods yang berisi sang ayah, Grug (Nicolas Cage), sang ibu, Ugga (Catherine Keener), puteri tertua mereka, Eep (Emma Stone), putera mereka, Thunk (Clark Duke), bayi perempuan, Sandy (Rhandy Thom), serta sang nenek, Gran (Cloris Leachman). Dikisahkan, keluarga Croods adalah salah satu dari sedikit keluarga di masa tersebut yang mampu bertahan terhadap kondisi lingkungan yang terus-menerus berevolusi. Kesuksesan itu sendiri dapat terwujud karena aturan keras Grug yang ia terapkan pada setiap anggota keluarganya: harus selalu memiliki rasa takut, jangan pernah keluar dari gua tampat mereka hidup khususnya di malam hari serta jangan pernah memiliki rasa ingin tahu terhadap hal-hal baru yang mereka temui.