Tag Archives: Nicholas Hoult

Review: Those Who Wish Me Dead (2021)

Diadaptasi dari novel karangan Michael Koryta yang berjudul sama, film cerita panjang kedua – ketiga jika Anda ingin menghitung Vile (2011) yang tidak pernah diakui sebagai film arahannya – yang diarahkan oleh Taylor Sheridan setelah Wind River (2017), Those Who Wish Me Dead, berkisah mengenai pertemuan yang tidak disengaja antara seorang anggota pasukan khusus pemadam kebakaran hutan, Hannah Faber (Angelina Jolie), dengan seorang anak laki-laki bernama Connor Casserly (Finn Little). Sial, pertemuan tersebut tidak berlangsung dalam kondisi yang menyenangkan. Connor Casserly baru saja menyaksikan ayahnya, Owen Casserly (Jake Weber), dibunuh dan saat ini sedang berada dalam pelarian dari dua orang pembunuh sang ayah, Patrick Blackwell (Nicholas Hoult) dan Jack Blackwell (Aidan Gillen), yang kini juga sedang mengincar nyawanya. Mengetahui tragedi yang dialami oleh anak yang baru ia temui, Hannah Faber mulai menyusun rencana untuk dapat menyelamatkannya. Continue reading Review: Those Who Wish Me Dead (2021)

Review: X-Men: Dark Phoenix (2019)

Merupakan film ketujuh dan terakhir dari seri film X-Men – sebelum seri film ini nantinya kemungkinan besar akan dibuat, dirombak ulang, dan diikutsertakan dalam tahapan terbaru Marvel Cinematic Universe oleh Walt Disney Pictures setelah rumah produksi tersebut menyelesaikan proses pembelian rumah produksi pemilik seri film X-Men, 20th Century Fox, X-Men: Dark Phoenix adalah sekuel langsung bagi linimasa pengisahan X-Men: Apocalypse (Bryan Singer, 2016). Jalan ceritanya diadaptasi dari seri komik The Dark Phoenix Saga rilisan Marvel Comics yang sebelumnya telah turut menjadi basis pengisahan bagi X-Men: The Last Stand (Brett Ratner, 2006) dan memberikan fokus cerita khusus pada karakter Jean Grey (Sophie Turner). Keberadaan X-Men: Days of Future Past (Singer, 2014) yang linimasa penceritaannya telah menghapus keberadaan alur kisah X-Men: The Last Stand membuka peluang bagi keberadaan adaptasi teranyar untuk kisah The Dark Phoenix Saga yang kini ditangani langsung oleh Simon Kinberg – yang sebelumnya juga bertugas sebagai penulis naskah bagi X-Men: The Last Stand. Continue reading Review: X-Men: Dark Phoenix (2019)

Review: Deadpool 2 (2018)

Merupakan salah satu dari beberapa karakter milik Marvel Comics yang masih belum diikutsertakan dalam jalinan kisah Marvel Cinematic Universe, perilisan Deadpool (Tim Miller, 2016) jelas memberikan kejutan yang sangat menyenangkan baik bagi Marvel Studios maupun 20th Century Fox. Bagaimana tidak. Setelah melalui proses pengembangan yang telah berjalan hampir selama dua dekade dan terus dianggap sebagai sebuah proyek yang tidak terlalu diunggulkan, film yang dibuat dengan biaya produksi “hanya” sejumlah US$58 juta tersebut kemudian berhasil meraih kesuksesan komersial dengan raihan pendapatan sebesar lebih dari US$780 juta di sepanjang masa rilisnya sekaligus mendapatkan pujian luas dari para kritikus film dunia. Kesuksesan tersebut kini berusaha diulangi kembali lewat sekuelnya, Deadpool 2, yang menjanjikan formula pengisahan yang memiliki rating dewasa seperti film pendahulunya namun dengan porsi yang lebih dimaksimalkan lagi. Continue reading Review: Deadpool 2 (2018)

Review: Equals (2016)

Berlatarbelakang pengisahan di masa yang akan datang dimana para manusia telah berevolusi menjadi sosok yang tidak lagi dapat merasakan berbagai gejolak emosi, Equals memulai pengisahannya ketika Silas (Nicholas Hoult) mulai merasakan adanya perubahan dalam dirinya. Oleh tim medis, Silas kemudian divonis terkena epidemi Switched On Syndrome dimana para korbannya mulai dapat kembali merasakan berbagai rangsangan gejolak emosi dalam diri mereka. Karena penyakitnya masih berada pada stadium awal, Silas hanya diwajibkan untuk mengkonsumsi pengobatan yang telah diberikan serta melakukan pemeriksaan kesehatan secara regular. Namun, oleh dorongan emosi yang kembali muncul dalam dirinya, Silas mulai merasakan hal-hal lain yang selama ini belum pernah ia rasakan, termasuk jatuh cinta. Continue reading Review: Equals (2016)

Review: Mad Max: Fury Road (2015)

mad-max-fury-road-poster-02Masih ingat dengan Mad Max? Dibintangi oleh Mel Gibson dan dirilis pertama kali pada tahun 1979, film aksi dengan kandungan cerita yang mengeksplorasi struktur sosial dan politik arahan George Miller tersebut kemudian berhasil meraih kesuksesan komersial yang luar biasa sekaligus menjadi pembuka langkah film-film Australia lainnya untuk mendapatkan rekognisi lebih di Hollywood pada masa tersebut. Kesuksesan tersebut lantas membuat Miller memproduksi dua seri film Mad Max lainnya, Mad Max 2: The Road Warrior (1981) serta Mad Max Beyond Thunderdome (1985) yang juga berhasil meraih sambutan hangat baik dari para kritikus maupun para penikmat film dunia. Kini, 30 tahun setelah perilisan seri terakhir Mad Max, dan setelah mengarahkan film-film dari berbagai macam genre seperti The Witches of Eastwick (1987), Lorenzo’s Oil (1992), Babe: Pig in the City (1998) serta Happy Feet (2006), Miller kembali membawa Mad Max – lengkap dengan tata visual yang telah beradaptasi dengan era modern, deretan adegan aksi yang mampu menyaingi film-film aksi arahan sutradara yang berusia jauh dibawah usia Miller serta Tom Hardy yang kini menggantikan posisi Mel Gibson.

Berlatar belakang kisah di masa depan dimana hampir seluruh wilayah dunia telah berubah menjadi gurun dan peradaban manusia tidak lagi memiliki struktur serta aturan yang jelas, seorang pria bernama Max (Hardy) yang hidup berkelana sendirian baru saja ditangkap oleh pasukan War Boys milik Immortan Joe (Hugh Keays-Byrne). Max lantas dipenjara serta dimanfaatkan sebagai kantong darah bagi salah satu anggota pasukan War Boys yang sedang menderita sakit, Nux (Nicholas Hoult). Di saat yang bersamaan, kekacauan terjadi dalam organisasi pimpinan Immortan Joe ketika salah satu orang kepercayaannya, Imperator Furiousa (Charlize Theron), membawa lari lima wanita yang dikenal sebagai Five Wives – lima sosok wanita bernama The Splendid Angharad (Rosie Huntington-Whiteley), Capable (Riley Keough), Cheedo the Fragile (Courtney Eaton), Toast the Knowing (Zoë Kravitz) serta The Dag (Abbey Lee) yang diseleksi khusus untuk melahirkan anak-anak dari Immortan Joe. Tidak pelak lagi, Immortan Joe lantas mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengejar, menangkap sekaligus membawa kembali Five Wives. Meskipun masih dalam kondisi yang lemah, Nux memilih untuk bergabung dengan pasukan War Boys. Jelas saja, Max yang bertugas sebagai kantong darahnya akhirnya harus turut dalam perjalanan sekaligus berperang di tengah liar dan tandusnya kondisi alam sekitar mereka.

Seperti halnya ketiga film lain dalam seri Mad Max, George Miller sekali lagi berhasil menyajikan deretan adegan aksi yang liar dan gila dalam Mad Max: Fury Road yang jelas akan memberikan rasa malu pada seluruh film aksi yang telah dan akan dirilis pada tahun ini. Bagaimana tidak. Dengan usianya yang telah menginjak 70 tahun, Miller masih memiliki kapabilitas untuk merangkai adegan-adegan aksi yang begitu kreatif, unik, segar dan jelas akan sanggup memuaskan hasrat setiap penikmat film aksi yang menyaksikannya. Seperti halnya The Raid (Gareth Evans, 2012) yang mampu menetapkan standar baru bagi penggunaan martial arts dalam adegan pertarungan dalam film-film aksi, Miller jelas telah menetapkan sebuah standar kualitas baru yang cukup tinggi bagi tatanan penceritaan serta visual bagi film-film aksi di masa yang akan datang.

Naskah cerita Mad Max: Fury Road yang ditulis oleh Miller bersama dengan Brendan McCarthy dan Nico Lathouris juga masih mengikuti pakem cerita film-film yang berada dalam seri Mad Max lainnya dalam menyajikan satir mengenai kehidupan sosial maupun politik masyarakat saat ini. Memang, seperti halnya kebanyakan film aksi yang dirilis saat ini, naskah cerita Mad Max: Fury Road memiliki beberapa keterbatasan dalam pengembangan konflik maupun karakternya. Namun, di saat yang bersamaan, Miller mampu mengisi keterbatasan-keterbatasan tersebut dengan pengarahan yang begitu kuat. Miller menyajikan filmnya dengan alur penceritaan yang begitu cepat. Ritme penceritaan Mad Max: Fury Road telah tersaji dengan dorongan oktan tinggi semenjak film dimulai, memberikan ruang bagi penonton untuk menarik nafas di beberapa bagiannya namun terus hadir dengan intensitas yang terus meningkat hingga berakhirnya film. Dukungan tata produksi yang solid – mulai dari sinematografi arahan John Seale yang begitu memukau, desain produksi yang sangat berkelas hingga tata musik karya Junkie XL yang mampu mengiringi pengingkatan adrenalin dari jalan cerita film, Mad Max: Fury Road jelas hadir sebagai sebuah pengalaman yang tidak akan terlupakan begitu saja bagi para penikmatnya.

Miller juga mampu merangkai jalan cerita filmnya dengan kehadiran deretan karakter yang begitu mengesankan. Tom Hardy berhasil mengisi peran ikonik Max yang dahulu diperankan oleh Mel Gibson dengan tanpa cela. Meskipun begitu, karakter Max harus diakui tampil dengan kesan dikesampingkan jika dibandingkan dengan beberapa karakter utama lain dalam Mad Max: Fury Road. Imperator Furiousa yang diperankan oleh Charlize Theron jelas menjadi pencuri perhatian utama bagi film ini. Sosok wanita cerdas dan tangguh dengan latar belakang kekelaman masa lalu yang mampu dihidupkan Theron dengan sempurna. Karakter-karakter pendukung seperti Five Wives of Immortan Joe yang diperankan Rosie Huntington-Whiteley, Riley Keough, Courtney Eaton, Zoë Kravitz dan Abbey Lee juga berhasil menyajikan kesan tersendiri. Sama berkesannya dengan kehadiran Nicholas Hoult yang berperan sebagai Nux serta Hugh Keays-Byrne sebagai Immortan Joe. Karakter-karakter yang tercipta begitu unik dan mampu dihidupkan dengan sangat baik oleh deretan pengisi departemen akting film ini. Secara keseluruhan, Mad Max: Fury Road adalah sebuah pencapaian yang jelas akan menjadi kualitas pembanding bagi setiap film aksi yang dirilis di masa yang akan datang. Mengesankan! [A-]

Mad Max: Fury Road (2015)

Directed by George Miller Produced by Doug Mitchell, George Miller, P. J. Voeten Written by George Miller, Brendan McCarthy, Nico Lathouris Starring Tom Hardy, Charlize Theron, Nicholas Hoult, Hugh Keays-Byrne, Rosie Huntington-Whiteley, Riley Keough, Zoë Kravitz, Abbey Lee, Courtney Eaton, Nathan Jones, Megan Gale, Josh Helman, Melissa Jaffer, John Howard, Richard Carter, OTA, Angus Sampson, Jennifer Hagan, Gillian Jones, Joy Smithers Music by Junkie XL Cinematography John Seale Editing by Margaret Sixel Studio Kennedy Miller Mitchell/Village Roadshow Pictures Running time 120 minutes Country Australia, United States Language English

Review: Jack the Giant Slayer (2013)

jack_the_giant_slayer_header

Well… Hollywood sepertinya masih belum akan berhenti untuk melakukan interpretasi ulang dari berbagai kisah dongeng klasik dunia. Setelah Alice In Wonderland (2010), dua versi pengisahan terbaru dari Snow White, Mirror Mirror (2012) dan Snow White and the Huntsman (2012), serta Hansel & Gretel: Witch Hunters yang dirilis pada awal tahun, kini giliran dua kisah dongeng asal Inggris, Jack and the Beanstalk serta Jack the Giant Killer, yang dipadukan menjadi sebuah presentasi film berjudul Jack the Giant Slayer dengan Bryan Singer (Superman Returns, 2006) bertugas sebagai sutradaranya. Walau harus diakui bahwa Singer masih mampu memberikan momen-momen menyenangkan melalui penampilan para jajaran pemeran serta penampilan tata visualnya yang berkelas, namun jelas tidak dapat disangkal bahwa Jack the Giant Slayer tampil begitu dangkal dalam penceritaannya yang membuat banyak bagian film ini menjadi terasa sangat membosankan.

Continue reading Review: Jack the Giant Slayer (2013)

Review: Warm Bodies (2013)

warm_bodies_header

Setelah petualangan The Twilight Saga (2008 – 2012) resmi berakhir – yang diiringi dengan keriuhan nafas lega dari banyak orang – Hollywood sepertinya masih mencoba untuk mencari ladang uang pengganti dari franchise yang telah menghasilkan pendapatan lebih dari US$3 milyar dari seluruh dunia selama masa perilisannya tersebut. WellWarm Bodies mungkin akan menjadi salah satu kontender tepat untuk menggantikan posisi The Twilight Saga. Tidak hanya memiliki formula yang hampir serupa – namun mengganti posisi vampir dengan zombie, Warm Bodies juga memulai perjalanannya dengan sentuhan tepat dari Jonathan Levine (50/50, 2011) yang mampu memberikan film ini kehangatan kisah percintaan komedi romantis klasik namun tetap mampu tampil cerdas sehingga akan berhasil dinikmati oleh penonton dalam jangkauan yang lebih luas.

Continue reading Review: Warm Bodies (2013)

Review: X-Men: First Class (2011)

Setelah seri ketiga dari franchise X-Men, X-Men: The Last Stand (2006), yang diarahkan oleh Brett Ratner mendapatkan banyak kritikan tajam dari para kritikus film dunia – hal yang kemudian dialami juga oleh spin-off prekuel dari franchise tersebut, X-Men Origins: Wolverine (2009) arahan Gavin Hood – Marvel Studios dan 20th Century Fox sebagai pihak produser kemudian memutuskan untuk memberikan sebuah prekuel penuh bagi franchise X-Men yang kini telah berusia sebelas tahun itu. Dalam X-Men: First Class, penonton dibawa jauh kembali menuju masa – masa ketika Professor X masih belum mengalami kebotakan dan lebih dikenal dengan nama Dr Charles Xavier, Magneto – juga masih lebih dikenal dengan nama Erik Lensherr – belum menemukan dan menggunakan topi baja anehnya serta keduanya masih menjalami masa-masa indah persahabatan mereka.

Continue reading Review: X-Men: First Class (2011)

Review: A Single Man (2009)

Setelah 16 tahun saling berhubungan, George Falconer (Colin Firth), seorang dosen Sastra Inggris, harus mendengar fakta pahit bahwa kekasihnya, Jim (Matthew Goode), meninggal dunia secara tragis dalam sebuah kecelakaan mobil. Kemuraman dan rasa hampa pun akhirnya mewarnai hari-hari George setelah ditinggal Jim. Kehampaan yang menyelimuti dirinya selama delapan bulan terakhir itulah yang akhirnya membimbing George untuk memutuskan bahwa bunuh diri mungkin adalah jalan terbaik bagi dirinya. Continue reading Review: A Single Man (2009)

Review: Clash of the Titans (2010)

Setelah merilis Percy Jackson and the Lightning Thief di awal tahun, Hollywood sepertinya masih belum selesai untuk kembali melakukan eksplorasi pada berbagai kisah mitologi Yunani. Kini, dibawah arahan sutradara Louis Leterrier, rumah produksi Warner Bros. melakukan remake terhadap film bertema mitologi Yunani yang sebelumnya sempat dirilis dan sukses pada tahun 1981, Clash of the Titans.

Continue reading Review: Clash of the Titans (2010)