Jika Wonder Woman (Patty Jenkins, 2017) bercerita tentang asal-usul serta latar belakang kehidupan dari karakter Diana Prince/Wonder Woman (Gal Gadot) maka Wonder Woman 1984 membawa pengisahan sang karakter utama ke satu periode dalam kehidupannya pada tahun 1984. Dikisahkan, Diana Prince bekerja sebagai seorang antropolog di kota Washington, D.C. sembari, tentu saja, meneruskan tugasnya untuk memerangi tindak kejahatan dengan menggunakan identitasnya sebagai Wonder Woman. Satu hari, ketika ia sedang mengobrol dengan rekan kerjanya yang merupakan seorang arkeolog, Barbara Minerva (Kristen Wiig), keduanya membahas tentang penemuan sebuah batu kuno misterius yang dikenal dengan nama Dreamstone karena disebut-sebut dapat mewujudkan tiap keinginan dari orang yang memegangnya. Tanpa disengaja, Diana Prince dan Barbara Minerva lantas mengungkapkan harapannya – yang nantinya akan terwujud dan memberikan konflik tersendiri bagi keduanya. Kehadiran Dreamstone ternyata juga memikat perhatian seorang pengusaha bernama Maxwell Lord (Pedro Pascal) yang berusaha untuk mendapatkan batu tersebut untuk mewujudkan berbagai ambisinya. Continue reading Review: Wonder Woman 1984 (2020)
Tag Archives: Ewen Bremner
Review: First Cow (2019)
Diadaptasi dari novel The Half Life yang ditulis oleh Jonathan Raymond, First Cow memiliki latar belakang waktu pengisahan di tahun 1820 dan bercerita tentang persahabatan antara seorang juru masak bernama Otis Figowitz atau yang lebih sering dipanggil dengan sebutan Cookie (John Magaro) dengan seorang imigran asal Tiongkok bernama King-Lu (Orion Lee). Mengetahui bahwa sahabatnya memiliki latar belakang pekerjaan sebagai seorang asisten pembuat roti, King-Lu lalu mengusulkan agar Cookie memasak kue agar mereka dapat menjualnya di pasar. Untuk memperkaya rasa kue yang dibuat oleh Cookie, kedua pria tersebut secara sembunyi-sembunyi memeras susu dari sapi yang dimiliki oleh seorang pria kaya yang dikenal dengan sebutan Chief Factor (Toby Jones) dan menggunakannya dalam olahan kue tersebut. Berhasil! Kue buatan Cookie dengan segera laris terjual ketika dijajakan di pasar serta menjadi bahan perbincangan banyak pihak karena keenakan rasanya. Kepopuleran tersebut dengan segera menambah pundi-pundi uang yang dimiliki Cookie dan King-Lu serta, di saat yang bersamaan, juga memberikan ancaman pada nyawa keduanya karena mereka harus terus mencuri susu dari satu-satunya sapi yang berada di wilayah tempat tinggal mereka. Continue reading Review: First Cow (2019)
Review: Wonder Woman (2017)
Cukup mengherankan untuk melihat baik DC Films maupun Marvel Studios (atau rumah produksi Hollywood lainnya) membutuhkan waktu yang cukup lama untuk akhirnya menggarap sebuah film pahlawan super dengan sosok karakter wanita berada di barisan terdepan. Terlebih, film-film bertema pahlawan super tersebut saat ini sedang begitu digemari oleh banyak penikmat film sehingga mampu mendatangkan jutaan penonton – khususnya para penonton wanita. Marvel Studios sebenarnya memiliki kesempatan tersebut ketika mereka memperkenalkan karakter Black Widow yang diperankan Scarlett Johansson pada Iron Man 2 (Jon Favreau, 2010) dan The Avengers (Joss Whedon, 2012) yang akhirnya kemudian begitu mencuri perhatian. Entah karena masih kurang percaya diri atau merasa karakter Black Widow belum terlalu menjual, ide pembuatan film solo untuk Black Widow akhirnya terkubur dalam hingga saat ini. Johansson sendiri kemudian mampu membuktikan nilai jualnya ketika ia membintangi Lucy (Luc Besson, 2014), Under the Skin (Jonathan Glazer, 2014), dan Ghost in the Shell (Rupert Sanders, 2017) yang menempatkannya sebagai semacam sosok pahlawan super wanita sekaligus berhasil meraih kesuksesan secara komersial ketika masa perilisannya. Continue reading Review: Wonder Woman (2017)
Review: Jack the Giant Slayer (2013)
Well… Hollywood sepertinya masih belum akan berhenti untuk melakukan interpretasi ulang dari berbagai kisah dongeng klasik dunia. Setelah Alice In Wonderland (2010), dua versi pengisahan terbaru dari Snow White, Mirror Mirror (2012) dan Snow White and the Huntsman (2012), serta Hansel & Gretel: Witch Hunters yang dirilis pada awal tahun, kini giliran dua kisah dongeng asal Inggris, Jack and the Beanstalk serta Jack the Giant Killer, yang dipadukan menjadi sebuah presentasi film berjudul Jack the Giant Slayer dengan Bryan Singer (Superman Returns, 2006) bertugas sebagai sutradaranya. Walau harus diakui bahwa Singer masih mampu memberikan momen-momen menyenangkan melalui penampilan para jajaran pemeran serta penampilan tata visualnya yang berkelas, namun jelas tidak dapat disangkal bahwa Jack the Giant Slayer tampil begitu dangkal dalam penceritaannya yang membuat banyak bagian film ini menjadi terasa sangat membosankan.
Review: You Will Meet a Tall Dark Stranger (2010)
Berita bagus! Dalam usia yang telah menginjak 75 tahun, belum ada satu pun tanda yang menunjukkan bahwa Woody Allen akan berhenti untuk menghasilkan film-film drama komedi dengan tema sederhana namun seringkali berisi banyak sindiran kepada kehidupan sosial masyarakat modern. Hingga saat ini, Allen masih begitu aktif untuk duduk di kursi penyutradaraan sehingga pada dekade lalu, Allen selalu merilis satu film pada setiap tahunnya. Walau begitu, berita buruknya, untuk setiap Match Point (2008) dan Vicky Cristina Barcelona (2008) yang ia hasilkan, ada lebih banyak Anything Else (2003), Scoop (2006) maupun Whatever Works (2009) yang menyertai dalam deretan filmografinya. Dan karya terakhirnya, You Will Meet a Tall Dark Stranger, yang walaupun dibintangi sederetan aktor dan aktris papan atas Hollywood, tak lebih merupakan sebuah tambahan lain dalam daftar film-film berkualitas menjemukan yang disutradarai oleh Allen.
Continue reading Review: You Will Meet a Tall Dark Stranger (2010)