Setelah Cin(T)a yang dirilis secara terbatas pada tahun lalu, tema pluralisme dan hubungan percintaan antara dua insan yang memiliki latar belakang kepercayaan agama yang berbeda kini kembali diangkat ke layar lebar. Berbeda dengan Cin(T)a, yang membawakan jalan ceritanya dengan banyak dialog filosofis penuh makna, 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta mencoba menjajal tema yang ingin diceritakan dengan jalan penyampaian yang lebih ringan.
Tidak ada yang salah sebenarnya dengan cara Benny Setiawan, sang sutradara dan penulis naskah, yang memilih untuk menyampaikan jalan ceritanya lewat jalur genre drama komedi. Hal tersebut justru dapat menjadi senjata kunci tersendiri baginya untuk dapat menyampaikan berbagai pesan-pesan esensial film ini kepada para penonton tanpa harus membuat mereka merasa bosan dan sedang digurui — seperti halnya yang dialami beberapa penonton ketika menyaksikan Cin(T)a. Sayangnya, film ini tidak memiliki naskah yang cukup pintar untuk melakukan hal tersebut.
Karakter sentral film ini berada di tangan Rosid (Reza Rahadian), pemuda muslim yang idealis dan terobsesi menjadi seniman besar seperti WS Rendra. Gaya seniman Rosid dengan rambut kribonya membuat ayahnya, Mansur (Rasyid Karim), gusar karena tidak mungkin bagi Rosid untuk memakai peci. Padahal peci, bagi sang ayah, adalah lambang kesalehan dan kesetiaan kepada tradisi keagamaan. Bagi Rosid, bukan sekadar kribonya yang membuatnya tidak mungkin memakai peci, melainkan karena Rosid tidak ingin keberagamaannya dicampur-baur oleh sekadar tradisi leluhur yang disakralkan.
Pokok permasalahan film ini dimulai ketika Rosid menjalin hubungan dengan Delia (Laura Basuki), seorang gadis beragama Katolik. Tentu saja hubungan ini dianggap tabu oleh kedua orangtua mereka. Mereka pun mencari cara untuk memisahkan Rosid dan Delia. Jurus Frans (Robby Tumewu) dan Martha (Ira Wibowo), orang tua Delia, adalah dengan mencoba mengirim Delia sekolah ke Amerika. Berbeda lagi dengan Mansur. Ia berupaya menjinakkan Rosid dengan meminta nasihat Said (Zainal Abidin Domba), sepupunya yang ternyata tega menipunya.
Muzna (Henidar Amroe), ibunda yang sangat dihormati Rosid, pun turun tangan. Sang Ibu dengan bantuan Rodiah, adik suaminya, menjodohkan Rosid dengan Nabila (Arumi Bachsin), gadis cantik berjilbab yang ternyata mengidolakan Rosid, sang penyair. Berbagai tantangan ini akhirnya membuat Rosid dan Delia sama-sama memikirkan kembali pilihan mereka untuk saling berhubungan, apakah mereka harus berpisah ataukah mereka tetap bersama walalupun harus melukai banyak orang yang mereka sayangi.
3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta harus diakui dimulai dengan tidak mulus. Film ini terlalu banyak menyisihkan waktunya untuk berbagai adegan komedi, yang sebenarnya tidak lucu dan tidak penting untuk berada di dalam jalan cerita, dan menyebabkan tema film ini sepertinya menjadi tidak dibawakan dengan serius. Untungnya, hal ini tidak berlangsung cukup lama. Begitu konflik antara Rosid dengan keluarga Delia dimulai, film ini mulai menuju arah yang lebih baik dengan membawakan drama yang mengalir dengan cukup lancar.
Sialnya, hal ini ternyata tidak mampu dipertahankan terlalu lama. Usai paruh pertengahan film, di masa penyelesaian konflik, Benny Setiawan terlihat sekali bingung dalam menemukan jalan keluar yang terbaik untuk kedua karakter utamanya. Dalam satu adegan, ia sepertinya ingin membuat kesan bahwa salah satu karakter akan mengorbankan kepercayaannya untuk tetap mempertahankan hubungan mereka. Di sisi lain, ending film ini justru mengisyaratkan hal lain yang sama sekali bertolak belakang dengan apa yang telah ditampilkan sebelumnya. Tidak adanya ketegasan arah cerita dalam film ini membuat 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta terlihat kurang bergigi dan tak mampu untuk membawakan tema filmnya yang sangat berani itu.
Tidak ada penampilan akting yang sangat istimewa di film ini. Reza Rahardian memang tampil bagus, namun ia telah seringkali berada di posisi karakter seperti yang ia perankan di film ini. Ditambah dengan berbagai percobaan untuk melakukan adegan komedi yang tidak begitu berhasil, ini bukanlah penampilan terbaik bagi aktor pemenang piala Citra ini. Reza tidak sendirian. Dua aktris pendampingnya, Laura Basuki dan Arumi Bachsin juga memberikan performa yang tidak begitu menyegarkan.
Laura Basuki masih terlalu lemah untuk diberikan jatah penampilan yang cukup banyak seperti di film ini. Ia seringkali terlihat kaku di beberapa bagian dan terlihat terlalu sering menggunakan cute factor-nya daripada kemampuan aktingnya di sepanjang film ini. Sementara untuk Arumi Bachsin, naskah film ini sepertinya kurang memberikan porsi yang pas untuknya dalam mengeluarkan kemampuan aktingnya. Ia tampil lancar dan cukup mampu membawakan karakternya yang sendu, namun akibat keterbatasan tadi, karakter Arumi serasa lebih sebagai tempelan daripada sebuah karakter pendukung utama.
Jika ada yang layak untuk mendapatkan kredit akting yang lebih, maka hal tersebut akan jatuh pada aktris Henidar Amroe. Henidar mungkin adalah salah satu aktris Indonesia yang paling dapat diandalkan untuk mengisi posisi sebagai aktris pendukung. Dan untuk film ini, ia juga tidak tampil mengecewakan. Ia tampil sangat baik, malah, dan menyentuh, sebagai seorang ibu yang terjebak di antara konflik yang terjadi antara anak yang ia sayangi dengan suami yang begitu ia hormati. Henidar selalu berhasil memanfaatkan setiap penampilannya di film ini untuk menunjukkan kapabilitas aktingnya dan mencuri perhatian penontonnya.
3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta adalah sebuah gambaran yang tepat ketika sebuah film sepertinya terlalu terobsesi untuk membawakan tema yang sangat berat, dimana naskah film tersebut sendiri tidaklah terlalu pintar dalam menceritakan kisahnya dan sang pembuat film tidak cukup berani untuk mengambil keputusan mengenai apa yang akan terjadi pada para karakter utama yang ada di filmnya. Jalan kompromis yang ia ambil untuk diletakkan pada ending film ini adalah sebuah jalan yang pengecut dan membuat film bertema edgy ini kehilangan seluruh daya tariknya.
Rating: 3 / 5

3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010)
Directed by Benni Setiawan Produced by Putut Widjanarko Written by Benny Setiawan Starring Reza Rahadian, Laura Basuki, Arumi Bachsin, Henidar Amroe, Rasyid Karim, Ira Wibowo, Robby Tumewu, Zainal Abidin Domba, Jay Wijayanto, M Assegaf, Gesi Silvia, Haddad Alwi Music by Thoersi Argeswara Cinematography Roy Lolang Editing by NCesa David Luckmansyah Studio Mizan Production Running time 1oo minutes Country Indonesia Language Indonesian
Weleh.. Kk sam tebalik ama saya.. Justru saya tengahnya agak bosen.. Berarti saya sukaan adegan ga serius nya ya *hammer.
Lalu saya punya pandangan jg ttg ending yg agak pengecut itu.. Duh spoiler deh nih.. Hahahaha.. Saya rasa kalo film ini memutuskan utk memihak kepada satu sisi aja, maka hasilnya akan terasa tidak adil bagi yg lain.. Dan rasanya baik cin(T)a maupun CINtA jg memberi penyelesaian dan ciri2 yg sama, di mana satu pihak terlihat ingin berpindah ke sisi yg lain, namun pd akhirnya mereka tetap tidak dapat bersatu..
Mungkin utk zaman skrg ini, walau tema pluralisme sudah lumayan sering diangkat, tp para sineas belum terlalu berani utk menunjukkan perpindahan itu agar kedua tokoh bisa bersatu.. Atau mungkin malah mempersatukan mereka di tengah perbedaan yg ada »» kalo ini dilakukan rasa2nya malah bikin dobel keributan, krn ga akan didemo satu sisi aja ;p krn walau dalam kenyataannya banyak pasangan beda suku/agama telah menikah dan berhasil mempertahankannya sampai tua, tetap saja masih dirasa tabu utk menunjukkan hal ini di sebuah medium film, ntar salah2 malah dikira memberi contoh yg tidak baik » pemikiran yg belum bhinneka tunggal ika
😀
Hmmm… Iya sih. Saya kurang suka dengan pendekatan komedi yang dilakukan film ini. Bukan apa-apa. Pendekatan komedi yang mereka lakukan dangkal. Trus malah nyelipin adegan FPI-lah, pergi ke dukun-lah… Seharusnya, dengan tema yang udah berat, film ini mampu menyediakan komedi yang ‘berkelas’ juga. Gak harus serius, tapi setidaknya gak pasaran.
Kalo soal ending, saya gak refer kata ‘pengecut’ kepada pilihan sang sutradara dan penulis naskah yang tidak merubah kepercayaan salah satu karakternya. Tapi cara dia melakukan hal tersebut. Dia menunjukkan salah seorang karakternya membaca buku tentang kepercayaan lain, trus minta izin pada orangtuanya. Adegan itu untuk apa? Cuma sebagai pancingan agar penonton penasaran, apakah benar karakter tersebut akan melakukan hal yang dianggap tabu tersebut. Namun, apa… Pilihan ending ternyata memilih untuk memutuskan hubungan kedua karakter. Itu berarti: (a) ia tidak berani mengubah kepercayaan salah satu karakter (b) ia bahkan tidak berani mempersatukan dua karakter berbeda kepercayaan bahkan di dalam film. Itu yang menjadi alasan saya untuk menyebut pilihan ending film ini sangat pengecut… 😀
Soal ending, maksud kita benernya sama kk sam.. Hahaha.. Pengecut adalah cara dia memutuskan ending spt apa yg seharusnya dipilih.. Itu krn dia memang ga berani utk: baik mengubah atau mempersatukan. Nah, saya merasa hal itu tdk berani dia lakukan krn ya itu.. Masih agak sulit di Indonesia.. Orang bikin video porno utk kepentingan pribadi aja dianggap merusak moral bangsa dan ngajarin yg ga bener, apalagi ini.. Film, sengaja dibuat. Kalo dia memilih utk menggabungkan atau memisahkan, ntar anggepan yg muncul bisa sama: ngajarin yg ga bener. Maka cara aman yg dipilih ya itu.. “Kita liat aja nanti…” Sama spt cin(t)a yg akhirnya jg sebetulnya dikembalikan ke penonton, percaya ga sih mereka kalo perbedaan itu bisa disatukan?
Soal komedi, iya sih.. Adegan paling *hammer tuh pas ketauan kalo si Zainal Abidin ngerjain sodaranya sendiri.. Garing kriuk kriuk. Yg lain memang ga terlalu lucu, dan memang yaa.. Agak pasaran sih.. Tp masih bisa buat saya senyum2 kecil lah 😮
Hah… kalo saya mah berprinsip kalo sang sutradara/penulis naskah udah berani mengangkat topik sedemikian berani, pasti dia punya sesuatu untuk disampaikan. Lahhh… ini, dengan apa yang ia berikan, sama sekali gak ada yang baru loh. Cuma menceritakan betapa hubungan antar beda agama itu ribet, nyusahin dan banyak tantangan. Seharusnya dia bisa memberikan ‘nasib’ sendiri terhadap karakter yang ia buat. It’s just a movie, anyway. Kalo udah basah, kenapa gak menyelam aja sekalian… 😀
hihihi.. baiklah.. senang bisa berdiskusi 😀
btw, ditunggu review obama anak menteng nya, kk.. saya mikir2 dulu mau nonton 😀
Kecuali emang berniat untuk menjadi saksi sebagaimana buruknya film tersebut, saya saranin mendingan skip aja deh Obama Anak Menteng. Ngeselin.
Oalah.. Udah nonton rupanya.. Hmm.. Sebegitu buruk? Wew… Mmm. Baiklah.. Nanti kalo mood aja baru coba diliat kalo gitu.. Kalo nggak nunggu rental aja nanti 😀
review petualangan sherina aja deh.ini film favorit saya banget loh,daripada obama…. 😀
Saya rasa scrift nya sangat pintar bung Amir begitu juga komedinya,endingnya juga sangat bijaksana,mungkinitu yang anda tidak punya,bijaksana dan pintar menyikapi sebuah maslah sensitif bung amir. Film ini juga sangat menghibur.Tidak istemewa tapi cukup bagus.
Bagaimana perjalannan film ini “Kita lihat saja nanti”
Entah kenapa, utk film2 Indo, akhir2 ini selalu ngandalin hunch. Nah kebetulan punya perasaan gak enak sama film ini. Makanya malas ntn. Untunglah setelah baca review ini, rasanya keputusan saya tepat, hehehe
hai, baru pertama kali aku berkunjung.
kemaren baru nonton film ini di bioskop sebelah rumah.
verdict: not bad, walaupun ending dengan nari bareng kupikir kurang nendang.
Kekuatannya justru di pembacaan puisi di depan emak. chemistry cinta antara roshid dan delia masih kalah dengan chemistry antara roshid dan ibunya dan juga ayahnya. mungkin filmnya lebih baik judulnya “roshid dan emak” kali ye…
tapi bagaimana pun saya acungkan jempol buat sutradara dan juga mizan yang mau memproduseri film seperti ini. dialog seperti ini memang perlu dibuka dan bukan barang haram. kenyataannya toh ini masalah yang nyata yang dihadapi oleh banyak di antara kita.
film ini memang tidak berpretensi memberi jawaban, dan aku cenderung setuju dengan apa yang diusung film ini, ya memang kita lihat saja nanti. pernikahan beda agama bukan hanya masalah akidah, tapi juga masalah sosial, budaya, dan psikologi. solusinya memang tidak mudah, tapi kita perlu mulai memikirkannya.
ini film hasil adaptasi novel da peci code, saya belum sempat nonton filemnya tapi sudah baca novelnya 2 tahun yg lalu. dan saya bisa prediksi versi novelnya jauuuhhh lebih bagus .. :D, kelihatanya dari review anda film ini banyak plot yang keluar dari versi novelnya
endingnya ga pengecut kok. malahan adil. mereka toh ambil keputusan yang berat buat berpisah. tapi kenapa yang digambarin ‘goyah’ dengan imannya malah delia (sampai dia digambarin ngelepas kalung salibnya)? kenapa bukan rosid? ga berani ya? terus terang aja saya belum baca bukunya, tapi kok kesannya ga adil. delia mau mengeksplor kepercayaan rosid, sampai dia baca buku tentang muhammad, ngucapin assalamualaikum segala… tapi apa rosid pernah nyoba nyelamin agamanya delia? tapi baguslah film ini ga mihak salah satu pihak. terus yang ditonjolin dunia-nya rosid aja, delia ga. paling cuma berapa scene pas dia ke gereja, ngaku dosa, trus ada hiasan di rumahnya.
industri film indonesia tuh pernah ga adil dan sangat menyinggung soal beginian. saya masih ingat alurnya ayat-ayat cinta, malah saya baca bukunya.
lain kali ga usah ngebahas kalau niatnya buat menyakiti hati.
sori kalau ada yang ga setuju sama comment saya…
Saya memang belum nonton filmnya, tapi dwilogi nya (Da Peci Code & Balada Rosid n’ Delia) sudah saya baca. Untuk ending carita novelny emang menggantung tapi dikemas dgn alur yg begitu baik. Plot ceritanya berlangsung sangat mulus, dengan dibumbui berbagai “guyonan intelek”. Makanya gak heran kalo menjadi novel best seller. “Ending yg gantung” membuat pembacany bertanya2 gimana ya akhir ceritanya?????. Saya sempat berpikir mungkin lewat filmnya hal itu mungkin akan terjawab tapi kayakny tidak ya….
Mungkin banyak pembaca novelnya yang akan kecewa dgn film adaptasi ini.
wah baru kemaren nontonnya..dikota saya baru diputar sih..wehehe
over all, nyegerin kok. dialognya juga natural dan gak dipaksain sok sokan intelek. memang naskahnya gak sebombastis cin(t)a tapi kalo dibandingin sama film yang judulnya make segala perkakas rumah yang muncul sebelum dan sesudah tiga hati wah jauh banget dah kualitas keren yang dimiliki tiga hati (pengecualian untuk alangkah lucunya..direview juga dong heheh)
bagi saya yang paling nendang justru ditengah dan diakhir film.. ingat gak pas rosyid dinasehatin sama aminya (haddad alwi) bahwa kadang dalam beragama kita sok pintar dengan nyimpulin sendiri aturan aturan. nah ini kan pesan moral yang luar biasa..gak menghakimi dan justru patut direnungi..dan adegan pamungkas yang diisi dengan dialog “ngapain kita bahagia kalo orang disekitar kita nangis..” udah menjawab pesan yang ingin disampaikan filmmakernya..(meski adegan tari zapinnya bikin bingung juga, adakah makna tersirat disana..sampe saya bela-belain nyari makna terselubung tuh tari..sayang gak dapet hehehe)
but anyway, two thumbs up lah buat film makernya yang mau bikin film yang bikin kita merenung dan tersenyum..
reviewer/sutradaranya lupa ya untuk mencantumkan kalo film ini di ambil dari buku
“THE DAPECI CODE”,,
karakter,,nama,,dan tokohnya sama persisi bukunya biasa makanya filmnya juga biasa….
Selamat meraih film terbaik denga 7 citra.memang pantas,film yang unik,indonesia dan jujur.
yesss, pantesss bgt ini film meraih piala cita. Guwe baru nonton setelah diputer rcti.
Setuju bgt!!!!!
Setuju bgt dengan para juri…Pantesss, selamaattttt!!!:)
Ass.Sekeluarga baru nonton film dari DVD,Awalnya ringan dan kocak,sampai saya berpikir,kok film komedi kayak gini yang menang 7 citra…tapi semakin kepertengah film..SURPRISE ! Tak ada satu pun dari kami,lima orang yang beranjak, adik saya yang suka ngecilin film indonesia,saja sampai terdiam tertawa dan merenung dan terakhir nangis.
hmmmmm…ini sebuah film hiburan yang berkualitas,dalam dan inspiratif,scenario yang nyeleneh tapi berisi,SMART, sederhana tapi berkelas. Salut,pantas menang 7 citra,karena ini sebuah film yang unik. Salut buat sutradara dan penulisnya Benni setiawan…terus berkarya,anda punya ciri dalam film filmnya.
Aku orangnya nggak gaul (alias kuper), jadi nggak gitu ngikuti soal film. Kebetulan aja ada teman minjami DVD film2 nasional saat senggang di bulan Mei, akhirnya penasaran jg spt apa film indonesia saat ini. Bbrp film sekaligus ditonton spt Emak Ingin Naik Haji, Alangkah Lucunya Negeri Ini, Merantau, Heartbreak.Com, Minggu Pagi di Victoria Park, I Know What You Did on Facebook, Sang Pencerah, dll , termasuk 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta ini. Yang kedengar katanya bagus baru 2 judul, yaitu Sang Pencerah dan Alangkah Lucunya Negeri Ini, sedang judul2 yg lain masih nggak familiar. Juga nggak tahu soal hasil FFI 2010. Pokoknya blank.
Setelah nonton semuanya, aku bilang ke temenku, lumayan banyak film Indonesia yg memang bagus, spt Sang Pencerah, Alangkah Lucunya Negeri Ini, juga aku kagum dgn kualitas film I Know What You Did on Facebook. Tapi aku juga bilang yang paling istimewa adalah 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta. Ceritanya unik (tema berat tapi dibawa santai) dan penuh warna, akting para pemainnya natural, adegan2 diperlihatkan dgn cukup detil, nilai moralnya banyak, dan yg paling bikin aku terpana ya hadirnya puisi2 bagus sepanjang film. Ini adalah film kedua yg pernah aku tonton yg ditebari puisi2 ( yg pertama adalah film Hollywood “The Thin Red Line”). Adegan favoritku ya puisi menjelang akhir film (“Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta ….” dst), dibarengi scene flashback. Wuah, bikin air mata menggenang.
Belakangan baru googling, ternyata film ini memborong 7 piala Citra di Desember 2010 kemarin, pantesan ! Juga baru nyadar sekarang, bahwa ada ‘rising star’ bernama Reza Rahardian, he he.
Kalau di film ini, Reza Radian sih udah gak megang posisi sebagai ‘rising star’ lagi mengingat statusnya yang sudah sebagai aktor yang cukup banyak dapat diandalkan untuk berperan dalam film-film drama Indonesia. Tapi observasi Anda terhadap film-film Indonesia terbaru cukup membanggakan. Salut!