Review: A Single Man (2009)


Setelah 16 tahun saling berhubungan, George Falconer (Colin Firth), seorang dosen Sastra Inggris, harus mendengar fakta pahit bahwa kekasihnya, Jim (Matthew Goode), meninggal dunia secara tragis dalam sebuah kecelakaan mobil. Kemuraman dan rasa hampa pun akhirnya mewarnai hari-hari George setelah ditinggal Jim. Kehampaan yang menyelimuti dirinya selama delapan bulan terakhir itulah yang akhirnya membimbing George untuk memutuskan bahwa bunuh diri mungkin adalah jalan terbaik bagi dirinya.

Premis diatas merupakan premis yang ingin diceritakan oleh sutradara Tom Ford dalam film yang diadaptasi dari novel karya Christopher Isherwood, A Single Man. Film ini sendiri merupakan sebuah debut penyutradaraan bagi Tom Ford — yang juga menjadi produser dan mengadaptasi naskah film ini — yang sebelumnya lebih banyak dikenal oleh publik umum sebagai seorang perancang busana ternama. Dan sebagai orang yang paling mengerti mengenai tekstur keindahan sebuah karya seni, Ford secara lugas berhasil meletakkan berbagai sentuhan warna yang indah melalui gambar-gambar yang ia berikan di film ini.

Kemuraman dan rasa hampa yang dimiliki oleh karakter George Falconer sendiri bukan hanya datang karena kematian kekasihnya. A Single Man berlatar belakang waktu cerita pada tahun 1962. Waktu dimana  menjadi seorang gay adalah sebuah hal yang sangat tabu untuk dibicarakan di khalayak ramai. Karena tidak dapat menunjukkan rasa dukanya di depan umum, sebagai bagian untuk menunjukkan rasa cintanya pada Jim, itulah yang semakin menanamkan rasa depresi kepada George. Kabar mengenai kematian Jim sendiri dikabarkan kepada George secara diam-diam oleh sepupu Jim, dengan menambahkan bahwa orangtua Jim tidak ingin agar George tahu mengenai hal ini dan tidak ingin George menghadiri acara pemakaman Jim.

Jika ada satu orang yang mengetahui mengenai rahasia orientasi seksual George, dan rasa dukanya atas kehilangan Jim, adalah Charlotte (Julianne Moore), seorang wanita yang dulu pernah menjadi kekasih George dan kini dianggapnya sebagai seorang sahabat baiknya. Digambarkan sebagai seorang yang dimabuk cinta — dan alkohol — Charley — panggilan akrab Charlotte — masih memiliki hasrat yang mendalam terhadap George. Hasrat untuk memiliki dan mengulang kembali jalinan cinta yang pernah mereka miliki sebelumnya. Ini yang membuat Charley sedikit iri pada hubungan George dengan Jim, karena George tidak pernah memiliki rasa sayang yang mendalam kepada dirinya ketika mereka dahulu berhubungan.

Di hari terakhir ia memutuskan untuk hidup, George telah mempersiapkan segalanya. Mulai dari seluruh surat-surat wasiat hingga senjata yang ia siapkan untuk ditembakkan ke kepalanya. Walau begitu, ia tetap menjalani harinya seperti hari-hari biasa yang ia jalani. Kemuraman George sendiri ternyata ditangkap oleh Kenny Potter (Nicholas Hoult), salah seorang mahasiswanya yang semenjak lama, secara diam-diam, sangat mengagumi George. Kenny secara perlahan mulai mendekati George, dan tanpa disadari mulai menggeser kemuraman yang ada di hati George.

Kalau mau diperhatikan secara sungguh-sungguh, A Single Man lebih membuktikan kemampuan seorang Tom Ford dalam melukis dan memilih berbagai gambar-gambar indah daripada kemampuannya untuk mengarahkan setiap aktor maupun aktris yang terlibat di film ini. Jangan salah, bukan berarti para pemeran film ini bermain dengan buruk. Naskah yang diadaptasi oleh Tom Ford dan David Scearce ini bukanlah sebuah naskah yang sulit untuk dimainkan oleh aktor dan aktris sekelas Colin Firth dan Julianne Moore. Ford beruntung memiliki mereka. Karena merekalah — dan dukungan dari nama-nama seperti Nicholas Hoult, Matthew Goode dan Ginnifer Goodwin — film yang sebenarnya hanya memiliki satu jalur emosi ini, menjadi sangat hidup dan mampu menyentuh setiap penontonnya.

Walau begitu, apa yang telah dilakukan oleh Ford pada film pertamanya ini tentu saja sebuah hal yang tidak dapat dianggap biasa. Naskah yang ia adaptasi memang terkesan biasa dan sedikit depresif, namun Ford dan Scearce mampu mengalirkan cerita tersebut — sekaligus meletakkan adegan kilas balik mengenai hubungan George dan Jim — dengan sangat lancar. Colin Firth sebagai perhatian utama film ini mampu secara luar biasa memerankan karakter yang penuh rasa muram ini namun tetap dapat hidup dan tidak terjebak dalam sebuah penampilan yang datar. Pemilihan ending yang cukup mengejutkan juga layak diberikan perhatian tersendiri. Walaupun melanjutkan nada kemuraman yang telah dibangun semenjak awal film, namun dengan harapan yang telah diberikan pada penonton mengenai perubahan sikap George, ending cerita yang dipilihkan Ford akan membuat semua orang sedikit ‘sakit hati’.

A Single Man menginterpretasikan kemuraman seorang George Falconer melalui permainan warna yang Ford berikan di sepanjang jalan cerita film ini. Semenjak awal, Ford mewarnai A Single Man dengan warna-warna indah namun kusam dan muram, yang membuat film ini terlihat bagaikan sebuah film lama yang dirilis pada tahun ’60-an. Namun, beberapa kali, Ford mewarnai film ini dengan warna-warna cerah dan terang yang sangat indah untuk menggambarkan bagaimana perubahan hati karakter George. Permainan warna ini yang membuat A Single Man dapat menjalin sebuah hubungan emosional yang baik terhadap para penontonnya. Walaupun mungkin pada awalnya tidak menyadari hal ini, namun secara perlahan, peralihan antara warna kusam dengan warna cerah tersebut — sedikit mengingatkan akan Pleasantville — akan menangkap perhatian penonton yang kemudian berujung pada terkoneksinya perhatian dan emosi mereka pada karakter George.

Selain permainan warna, Ford menambah dramatisasi di setiap adegan yang ada di film ini melalui alunan musik yang diciptakan oleh Abel Korzeniowski. Kebanyakan musik yang diciptakan Korzeniowski berisi jalinan orkestrasi yang megah yang semakin manambah rasa mewah dari film ini. Di lain pihak, oskestrasi tersebut berhasil emakin mengisi rasa muram dan sedih seorang George dengan sangat baik.

A Single Man jelas merupakan sebuah karya debut penyutradaraan yang jauh berada diatas kata standar. Beginner’s luck? Mungkin saja. Namun yang jelas, lewat film ini, Tom Ford membuktikan bahwa ia telah mempersiapkan segala sesuatu untuk membuat sebuah film yang berkualitas dengan sangat baik. Merupakan suatu karya yang sangat memuaskan dari sisi art direction, Ford memilih orang-orang yang tepat untuk menghidupkan suasana kemuraman yang menjadi cerita utama dalam film ini. Colin Firth adalah kunci utama mengapa film ini bukanlah sebuah kegagalan emosional untuk penontonnya. Sebuah debut penyutradaraan yang sangat menjanjikan.

Rating: 4 / 5

A Single Man (Artina Films/Depth of Field/Fade to Black/The Weinstein Company, 2009)

A Single Man (2009)

Directed by Tom Ford Produced by Tom Ford, Andrew Miano, Robert Salerno, Chris Weitz Written by Tom Ford, David Scearce (screenplay), Christopher Isherwood (novel) Starring Colin Firth, Julianne Moore, Matthew Goode, Nicholas Hoult, Lee Pace, Ginnifer Goodwin Music by Abel Korzeniowski Cinematography Eduard Grau Editing by Joan Sobel Studio Artina Films/Depth of Field/Fade to Black Distributed by The Weinstein Company Running time 99 minutes Country United States Language English

4 thoughts on “Review: A Single Man (2009)”

  1. haaa.. sumpah kok saya bacanya jd penasaran bgt, belum nonton filmnya nih..
    cerita ttg gay, eumm ada mellow2 kayak Brokeback-nya juga gaa, Mas?
    *penasaran mode on* 😀

  2. lagi pada demam A Single Man ya?
    baru main ke blog om gila dan curhat disana saya 😀
    belum nonton, tapi hype film ini diforum2 dan majalah tuh besar banget, walaupun belum nonton tapi scene” kecil hingga movie set (rumah yang serba wooden made) kayaknya bener2 extraordinary
    Agreed! orkestra Abel K memang oke, bikin dag-dig-dug gimana *udah donlot OSTnya wlopun belum nonton*
    I used the clock tick tocking-score as my HP’s sound soalnya scene yang itu totally hot,and since a long time, I’m Kortajarena’s fan makanya agak seneng saat Ford membawa anak kesayangannya ini as a spicy thing di A Single Man, selain tentunnya Firth sendiri, Goode dan anak ksayangan Ford juga, Hoult
    Om Gila agak gak suka sama cerita yang terlalu mellow, tapi emang normal untuk laki2 normal buat gak suka film ini,
    but since I’m a fan of LGBT’s movie kayaknya saya bakalan totally in love deh, apalagi ini kayak curhatan personal Ford

  3. Movietard berkata : Om Gila agak gak suka sama cerita yang terlalu mellow, tapi emang normal untuk laki2 normal buat gak suka film ini

    Meskipun kisah cinta cowok – cewek, aku juga bakal kesulitan untuk suka dengan cerita beginian. Jadi belum tentu saya normal hehehehe….

Leave a Reply