Tag Archives: Donny Damara

Review: Serigala Langit (2021)

Diarahkan oleh Reka Wijaya (Sule Detektif Tokek, 2013) berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Titien Wattimena (Milea: Suara dari Dilan, 2020) dan Rifki Ardisha, Serigala Langit bercerita tentang Gadhing Baskara (Deva Mahenra) yang merupakan seorang penerbang pesawat tempur bagi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara dan baru saja bergabung dengan Skadron Serigala Langit. Sebagai lulusan terbaik di Akademi Angkatan Udara dan Sekolah Penerbang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, Gadhing Baskara sempat merasa dirinya memiliki kemampuan yang lebih baik dari rekan-rekannya – sikap yang lantas membuat keberadaannya kurang disenangi oleh sejumlah seniornya. Karena langkah awal yang salah, Gadhing Baskara kini harus berjuang keras untuk membuktikan kelayakan dirinya untuk bergabung di Skadron Serigala Langit. Di saat yang bersamaan, Gadhing Baskara juga sedang dihantui oleh hubungannya yang memburuk dengan sang ayah (Nugie) yang kini sedang terbaring di rumah sakit dan terus menanyakan keberadaan dirinya. Continue reading Review: Serigala Langit (2021)

Review: Rentang Kisah (2020)

Sesungguhnya, cukup sulit untuk mereka apa yang ingin disampaikan oleh Danial Rifki (99 Nama Cinta, 2019) lewat film terbaru arahannya, Rentang Kisah. Film drama yang naskah ceritanya diadaptasi Rifki dari buku catatan perjalanan kehidupan berjudul sama milik kreator konten video YouTube sekaligus pemengaruh media sosial, Gita Savitri Devi, ini terasa berusaha untuk berbicara tentang banyak hal. Dimulai dengan gambaran akan sebuah keluarga menengah yang terkena dampak krisis ekonomi pada akhir tahun ‘90an, Rentang Kisah kemudian mengalihkan fokusnya pada seorang sosok karakter utama dan perjuangannya untuk menyelesaikan masa kuliahnya di luar negeri, kisah patah hatinya, usahanya untuk melawan rasa kesepian, berbagai hal yang ia lakukan untuk mengisi kesehariannya, hingga kehadiran plot yang bertutur tentang konsep ketuhanan dan bertema reliji. Terasa acak, khususnya karena naskah Rifki tak pernah mampu untuk mendalami berbagai konflik yang telah diutarakannya. Continue reading Review: Rentang Kisah (2020)

Review: Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (2020)

Dua tahun setelah mengarahkan Wiro Sableng, Angga Dwimas Sasongko kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk film drama keluarga Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini. Diadaptasi dari buku berjudul sama yang ditulis oleh Marchella FP, Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini bercerita tentang Awan (Rachel Amanda), anak bungsu dari pasangan Faris (Donny Damara) dan Ajeng Narendra (Susan Bachtiar), yang merasa dirinya selalu berada dibawah bayang dan awasan sang ayah dalam melakukan sesuatu. Sikap (over)protektif sang ayah ternyata tidak hanya berpengaruh pada kehidupan Awan. Anak sulung keluarga tersebut, Angkasa (Rio Dewanto), sering merasa terbeban akan berbagai tanggungjawab berlebihan yang diberikan sang ayah dalam mengawasi adik-adiknya. Sementara itu, sang anak tengah, Aurora (Sheila Dara), telah lama merasa dirinya telah kehilangan perhatian kedua orangtuanya semenjak mereka lebih memilih untuk memberikan perhatian pada dua saudaranya yang lain. Barisan konflik yang terpendam dalam jiwa setiap anggota keluarga tersebut secara perlahan mulai memberikan pengaruh pada hubungan mereka di keseharian. Continue reading Review: Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (2020)

Review: 99 Nama Cinta (2019)

Setelah Sabtu Bersama Bapak (Monty Tiwa, 2016) dan Bangkit! (Rako Prijanto, 2016), Acha Septriasa dan Deva Mahenra kembali tampil bersama dalam terbaru arahan Danial Rifki (Melbourne Rewind, 2016) yang berjudul 99 Nama Cinta. Septriasa berperan sebagai Talia, seorang presenter sekaligus produser sebuah acara infotainmen popular yang kini harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa penayangan acaranya harus dihentikan karena tersandung oleh masalah hukum. Tidak berhenti disana, Talia kini juga dialihtugaskan untuk menjadi produser bagi acara reliji yang tayang di pagi hari dan dikenal sebagai program yang paling tidak diminati di stasiun televisi tempatnya bekerja. Pun begitu, Talia tidak menyerah begitu saja. Usahanya untuk menghidupkan acara reliji tersebut kemudian membawanya pada sosok Kiblat (Mahenra) – seorang ustaz muda yang sebenarnya juga merupakan sahabat Talia di masa kecilnya. Meskipun dengan sejarah persahabatan diantara mereka serta hubungan akrab yang terjalin antara orangtua keduanya, perbedaan jalan sekaligus pandangan hidup di masa dewasa membuat Talia dan Kiblat sama-sama terasa tidak pernah akur. Tetap saja, cinta selalu dapat menemukan jalannya untuk mencuri hati setiap insan yang diincarnya. Continue reading Review: 99 Nama Cinta (2019)

Review: Bumi Manusia (2019)

Merupakan buku pertama dari rangkaian Tetralogi Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dan diterbitkan dari tahun 1980 hingga tahun 1988, Bumi Manusia mungkin merupakan salah satu buku paling popular – dan paling penting – di dunia kesusastraan Indonesia. Pelarangan terbit dan edar yang diberlakukan pemerintah Republik Indonesia terhadap buku tersebut dengan tuduhan mempropagandakan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme pada tahun 1981 hingga masa jatuhnya rezim Orde Baru tidak pernah mampu meredupkan kepopulerannya. Bumi Manusia bahkan mendapatkan perhatian khalayak internasional dan kemudian diterbitkan dalam 33 bahasa. Usaha untuk menterjemahkan narasi Bumi Manusia dari bentuk buku menjadi tatanan pengisahan audio visual sendiri telah dimulai semenjak tahun 2004 dan sempat melibatkan nama-nama sineas kenamaan Indonesia seperti Deddy Mizwar, Garin Nugroho, hingga Mira Lesmana dan Riri Riza. Langkah nyata untuk membawa Bumi Manusia ke layar lebar akhirnya benar-benar terwujud pada tahun 2018 ketika Falcon Pictures mengumumkan bahwa rumah produksi tersebut akan memproduksi film adaptasi Bumi Manusia dengan Hanung Bramantyo (Sultan Agung, 2018) bertindak sebagai sutradara.

Continue reading Review: Bumi Manusia (2019)

Review: A Man Called Ahok (2018)

Merupakan film panjang naratif pertama Putrama Tuta setelah sebelumnya mengarahkan versi teranyar dari Catatan Harian Si Boy (2011), A Man Called Ahok adalah film biopik yang berkisah tentang kehidupan mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dengan naskah cerita yang digarap oleh Tuta bersama dengan Ilya Sigma (Rectoverso, 2013) dan Dani Jaka Sembada (Pizza Man, 2015) berdasarkan buku berjudul sama yang ditulis oleh Rudi Valinka. Daripada menitikberatkan pengisahan film pada karakter Basuki Tjahaja Purnama serta tindakan dan pemikiran politik yang membuat keberadaannya begitu dikenal seperti saat ini, A Man Called Ahok sendiri memilih untuk mengekplorasi masa muda dari sang karakter, kehidupan masa kecilnya di Belitung, serta hubungannya dengan sang ayah yang nantinya membentuk karakter dari Basuki Tjahaja Purnama dewasa. Pilihan yang menarik walau naskah garapan Tuta, Sigma, dan Sembada kemudian kurang mampu menghadirkan keseimbangan penceritaan antara karakter Basuki Tjahaja Purnama dengan karakter sang ayah yang juga tampil mendominasi linimasa penceritaan film. Continue reading Review: A Man Called Ahok (2018)

Review: Buffalo Boys (2018)

Merupakan debut pengarahan Mike Wiluan setelah menjadi produser bagi film-film seperti Meraih Mimpi (Phillip Stamp, 2009), Dead Mine (Steven Sheil, 2013), dan Headshot (Mo Brothers, 2016), Buffalo Boys yang berlatar kisah di tahun 1860 ini berkisah mengenai seorang pria bernama Arana (Tio Pakusadewo) yang bersama dengan dua keponakannya, Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso), kembali ke Indonesia dari tempat pengasingan mereka di California, Amerika Serikat, untuk membalaskan dendam kematian keluarga mereka oleh pasukan kolonia Belanda yang dipimpin oleh Van Trach (Reinout Bussemaker). Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Kiona (Pevita Pearce), Sri (Mikha Tambayong), serta sejumlah penduduk desa yang seringkali harus menderita akibat kekejaman para penjajah yang merebut harga dan tidak segan untuk membunuh mereka. Pertemuan tersebut lantas membuka mata Arana, Jamar, dan Suwo: kedatangan mereka tidak hanya untuk membalaskan dendam keluarga mereka namun juga untuk membantu rakyat Indonesia terbebas dari jajahan pihak kolonial Belanda. Continue reading Review: Buffalo Boys (2018)

Review: Guru Ngaji (2018)

Enam tahun semenjak merilis debut pengarahan film layar lebarnya, Rumah di Seribu Ombak (2012) – yang berhasil meraih beberapa nominasi Festival Film Indonesia termasuk di kategori Film Terbaik dan Sutradara Terbaik, Erwin Arnada kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk mengarahkan dua film yang dikeluarkan pada paruh awal tahun 2018. Film pertama, sebuah horor berjudul Nini Thowok yang dibintangi Natasha Wilona, menawarkan sebuah premis sederhana tentang sebuah urban legend berbau mistis namun gagal untuk dikembangkan dengan lebih apik. Film kedua, sebuah drama berjudul Guru Ngaji dimana kredit penyutradaraan bagi Arnada dituliskan dengan hanya menggunakan nama depannya, juga hadir dengan premis yang sama sederhana namun, untungnya, berhasil disajikan dengan kualitas pengisahan yang lebih baik. Banyak menghadirkan momen-momen kuat dan menyentuh meskipun masih terasa hadir dengan pengembangan cerita yang cenderung dangkal. Continue reading Review: Guru Ngaji (2018)

Review: Satu Hari Nanti (2017)

Dengan naskah cerita yang ditulis dan diarahkan oleh Salman Aristo (Cinta dalam Kardus, 2013), Satu Hari Nanti berkisah mengenai dua pasang kekasih yang juga saling bersahabat, Bima (Deva Mahenra) dan Alya (Adinia Wirasti) serta Din (Ringgo Agus Rahman) dan Chorina (Ayushita Nugraha), yang sedang bekerja sekaligus mengejar mimpi mereka di negara Swiss. Hubungan kedua pasangan tersebut bukannya berjalan tanpa tantangan: karir bermusik Bima yang berjalan di tempat terasa menghalangi mimpi Alya untuk menjadi seorang chocolatier yang handal sementara Din tidak pernah berhenti untuk berselingkuh dengan wanita lain di belakang Chorina. Setelah terjadi sebuah pertengkaran besar antara Bima dan Alya, keduanya lantas menyadari bahwa mereka telah jatuh hati dengan sosok lain – sahabat mereka sendiri. Jalinan kisah cinta baru tersebut secara perlahan mulai mengubah hidup Bima, Alya, Din, dan Chorina sekaligus mimpi dan cara pandang mereka mengenai masa depan. Continue reading Review: Satu Hari Nanti (2017)

Review: 2014 (2015)

2014-posterIn case you’re wonderingYep. 2014 memang harusnya dirilis sebelum atau ketika tahun 2014 lalu – masa dimana masyarakat Indonesia akan mengikuti pemilihan umum, melakukan pergantian presiden dan semua orang merasa dirinya adalah seorang ahli politik yang layak berbicara mengenai hal tersebut. Namun, dengan alasan kandungan politis yang dinilai sensitif, 2014 kemudian ditarik dari jadwal perilisan awal. Setelah terombang-ambing selama dua tahun, 2014 lantas ditayangkan pada awal tahun 2015. Harus diakui, sebagai sebuah film yang bermuatan sindiran maupun kritik mengenai kehidupan politik di Indonesia, 2014 memang tampil lebih berani daripada kebanyakan film-film sejenis lainnya. And it’s damn good…. walaupun hal tersebut tidak akan mampu menutupi kebobrokan penulisan bagian ketiga penceritaan pada naskah cerita film ini.

Diarahkan oleh duo Hanung Bramantyo dan Rahabi Mandra yang di awal tahun ini telah merilis kolaborasi penulisan naskah mereka dalam film Hijab, 2014 berkisah mengenai seorang remaja bernama Ricky Bagaskoro (Rizky Nazar) yang meskipun begitu membenci kehidupan politik yang dijalani sang ayah, Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy), namun tetap merelakan dirinya untuk terjun langsung dalam berbagai bahaya yang dapat mengancam hidupnya ketika sang ayah dijebak dalam sebuah kasus pembunuhan. Merasa bahwa kasus yang dialami sang ayah berhubungan dengan niatannya untuk mencalonkan diri menjadi seorang presiden, Ricky lantas menghubungi Krishna Dorojatun (Donny Damara), seorang pengacara yang dikenal bersih dan sama sekali tidak pernah kalah dalam kasus-kasus yang ditanganinya. Benar saja. Satu demi satu bahaya mulai bermunculan ketika Ricky semakin mendalami kasus yang dialami sang ayah. Namun tekad Ricky untuk membebaskan sang ayah tidak lantas berhenti dengan mudah begitu saja.

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Rahabi Mandra bersama dengan Ben Sihombing (Soekarno, 2013), 2014 mampu dibangun menjadi sebuah thriller politik yang cukup langka ditemukan di khasanah perfilman Indonesia. Keberaniannya untuk mengadaptasi berbagai intrik politik yang sedang berlangsung di Indonesia sekaligus menyajikannya dengan berbagai sindiran bernuansa politis yang kuat berhasil menjadikan 2014 tampil dengan intensitas yang akan mencengkeram perhatian para penontonnya. Disinilah letak perbedaan antara film ini dengan Negeri tanpa Telinga (2014) arahan Lola Amaria yang lebih sering terasa sebagai reka ulang satu isu politik di Indonesia tanpa pernah berhasil untuk memanfaatkannya sebagai sebuah senjata tajam bagi kritikannya untuk para pelaku politik tersebut. Pengarahan Hanung Bramantyo – yang ditemani Rahabi Mandra di kursi penyutradaraan – yang memang telah dikenal mampu menghantarkan kritik sosial dalam bungkusan sajian hiburan yang kental juga terbukti efektif dalam menjadikan 2014 tetap terasa renyah untuk dinikmati semua kalangan penonton.

Sayangnya, bagian pertama dan kedua penceritaan 2014 yang telah berjalan dengan hampir sempurna kemudian menemui rintangan yang cukup berat di bagian akhir pengisahannya. Ben Sihombing dan Rahabi Mandra sepertinya gagal untuk menciptakan solusi dari berbagai permasalahan yang telah mereka bangun sebelumnya. Hasilnya, bagian ketiga tampil begitu berantakan dengan banyak plot cerita akan terasa menggelikan – Sebuah debat calon presiden dimana salah satu calon presiden diwakili anaknya? Seriously, guys? Plot romansa yang tercipta di bagian ketiga antara karakter Ricky Bagaskoro dengan Laras (Maudy Ayunda) juga terasa begitu mentah akibat pembangunan plot yang benar-benar tidak kuat semenjak awal film dimulai. Sama halnya dengan kisah di ruang sidang yang gagal untuk terbangun meyakinkan eksekusinya. Tidak sepenuhnya buruk. Paruh ketiga penceritaan juga diisi dengan adegan aksi yang mampu dieksekusi dengan cukup baik serta dilakonkan dengan sangat meyakinkan pula oleh Rio Dewanto dan Atiqah Hasiholan.

Departemen akting 2014 mungkin adalah bagian yang paling solid kualitasnya dalam presentasi keseluruhan film ini – meskipun penampilan Maudy Ayunda terasa terlalu “tertahan” pada banyak bagian akibat pembangunan karakternya yang terlalu dangkal. Nama-nama seperti Donny Damara, Ray Sahetapy, Rudy Salam hingga Donna Harun, Atiqah Hasiholan, Rio Dewanto, Fadika R., Fauzan Smith dan Rizky Nazar tampil dalam kapasitas yang sangat meyakinkan dalam menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Kualitas teknis yang dihadirkan juga jelas tidak mengecewakan. Cukup untuk membuat 2014 menjadi salah satu film Indonesia yang hadir dengan kualitas yang mengesankan di awal tahun 2015. [C]

2014 (2015)

Directed by Hanung Bramantyo, Rahabi Mandra Produced by Celerina Judisari, Hanung Bramantyo Written by Ben Sihombing, Rahabi Mandra  Starring Ray Sahetapy, Atiqah Hasiholan, Deddy Sutomo, Donna Harun, Donny Damara, Fadika R., Fauzan Smith, Maudy Ayunda, Rio Dewanto, Rizky Nazar, Rudy Salam Music by Hario Patih Cinematography Faozan Rizal Edited by Cesa David Luckmansyah Production company Mahaka Pictures/Dapur Film Running time 110 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Nada untuk Asa (2015)

nada-untuk-asa-posterJelas adalah sebuah keputusan mudah untuk mengolah sebuah kisah tentang sekelompok karakter yang sedang mempertahankan hidup mereka dari satu penyakit menjadi sebuah drama tearjerker khas film-film Indonesia. Beruntung, Nada untuk Asa yang naskah ceritanya ditulis dan diarahkan oleh Charles Ghozali (Finding Srimulat, 2013) tidak lantas mengambil jalan pintas tersebut. Charles justru berusaha menjadikannya kisahnya menjadi kisah keseharian manusia biasa – hanya saja kali ini karakter-karakter manusia biasa tersebut hidup dengan HIV/AIDS. Keputusan yang kemudian mampu membuat Nada untuk Asa tampil bercerita secara humanis tanpa pernah terasa berusaha memaksa untuk menjadi sebuah sajian inspirasional maupun drama yang mendayu-dayu.

Jalan cerita Nada untuk Asa sendiri dihadirkan dalam dua bagian cerita yang mengisahkan tentang sesosok karakter wanita bernama Nada (Marsha Timothy) yang baru saja mendapati bahwa dirinya tertular HIV dari suaminya serta karakter wanita lain bernama Asa (Acha Septriasa) yang tertular HIV semenjak ia dilahirkan. Kedua cerita tentang dua karakter ini dihadirkan dalam mood penceritaan yang berbeda dan begitu kontras. Kisah hidup Nada dihadirkan dengan warna yang begitu kelam dalam menghadapi setiap tantangan hidup yang ia terima setelah dirinya menyadari bahwa dirinya tertular HIV sementara karakter Asa digambarkan sebagai sosok yang telah menerima keadaan dirinya dan menjalani kesehariannya layaknya manusia lainnya. Kekontrasan yang mencolok dan secara perlahan mempengaruhi kedalaman pengaruh cerita kepada penonton.

Jalan cerita dari karakter Nada jelas terasa lebih berisi dan padat dalam penyampaiannya. Aliran-aliran kesedihan dalam kisah hidupnya mampu dikemas dengan sangat baik. Begitu menyentuh. Hal inilah yang kemudian membuat jalan cerita karakter Asa terasa begitu kosong. Meskipun tetap mampu dieksekusi dengan baik oleh Charles Ghozali, namun kisah hidup karakter Asa terasa tidak memiliki kekuatan penceritaan yang sama dengan kisah dari karakter Nada. Menyaksikan Nada untuk Asa untuk Asa mungkin akan mengingatkan banyak penonton akan Julie & Julia (Nora Ephron, 2009) yang dibintangi Amy Adams dan Meryl Streep. Kedua garis cerita tentang dua orang karakter dalam linimasa waktu yang berbeda mampu dieksekusi dengan begitu baik namun garis cerita karakter Julia Child (Streep) terasa memiliki penyampaian drama yang lebih kuat.

Charles Ghozali juga mampu memanfaatkan kemampuan akting tiap jajaran pemeran filmnya dengan sangat baik. Di lini terdepan departemen aktingnya, Marsha Timothy dan Acha Septriasa tampil tanpa cela. Dengan porsi penceritaan yang lebih kuat, Marsha Timothy mampu menampilkan sosok karakternya yang tegar dengan begitu hidup dan kuat. Begitu pula dengan Acha Septriasa, yang meskipun hadir dalam kapasitas karakter yang sepertinya telah sering dilihat diperankan oleh aktris pemenang Piala Citra ini, namun tetap mampu dihadirkan dengan lugas dan menarik. Chemistry yang ia jalin dengan aktor Darius Sinathrya juga terasa cukup meyakinkan dan manis.

Nama-nama yang mengisi departemen akting film ini juga hadir dengan kapasitas akting yang luar biasa kuat. Mulai dari Nadila Ernesta, Mathias Muchus, Inong Nidya Ayu hingga Butet Kertaradjasa mampu memanfaatkan setiap momen penceritaan karakter mereka yang singkat dengan baik. Namun adalah Wulan Guritno yang berhasil menjadi pencuri perhatian utama dalam film ini – bahkan dari kedua aktris utama Nada untuk Asa. Meskipun hadir dalam durasi penceritaan yang singkat, Wulan mampu tampil dengan kekuatan drama yang memuncak. Sebuah penampilan yang begitu heartbreaking dan jelas tidak akan mudah dilupakan begitu saja dari film ini. Sebuah Piala Citra untuk Aktris Pendukung Terbaik mungkin telah menunggu Wulan Guritno di penghujung tahun ini. Mungkin. [C]

Nada untuk Asa (2015)

Directed by Charles Ghozali Produced by Hendrick Ghozali Written by Charles Ghozali Starring Acha Septriasa, Darius Sinathrya, Marsha Timothy, Nadila Ernesta, Mathias Muchus, Butet Kertaradjasa, Inong Nidya Ayu, Aurelia Devi, Linawati Halim Gozali, Bayu Oktora, Tony Taulo, Mohammad Zidane, Mallaki Bruno, Adila Azahra Putri, Wulan Guritno, Donny Damara, Irgi Fahrezi, Pongki Barata, Sakurta Ginting, Bisma Karisma Music by N.E.A.R Music Cinematography Harjono Parser Edited by Charles Ghozali, Ilham Adinatha Production company Magma Entertainment/Sahabat Positif! Komsos KAJ Running time 98 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Moga Bunda Disayang Allah (2013)

Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Tere Liye – yang dua novel sebelumnya, Hafalan Shalat Delisa (2011) dan Bidadari-Bidadari Surga (2012), berhasil memperoleh kesuksesan ketika juga diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar, Moga Bunda Disayang Allah memulai kisahnya dengan sebuah tragedi kecelakaan kapal laut yang dialami oleh seorang pemuda bernama Karang (Fedi Nuril). Karang sendiri berhasil selamat dalam kecelakaan tersebut. Sayang, Karang gagal untuk turut menyelamatkan rombongan anak-anak yang ia bawa untuk tujuan berdarmawisata dalam perjalanan tersebut. Tragedi tersebut kemudian meninggalkan trauma serta luka yang mendalam pada jiwa Karang dan mengubahnya dari seorang yang begitu antusias dalam menjalani hidup menjadi seorang penyendiri yang memilih untuk menghabiskan kesehariannya dengan meminum minuman keras.

Continue reading Review: Moga Bunda Disayang Allah (2013)

Review: Pintu Harmonika (2013)

Layaknya 3Sum yang dirilis pada beberapa bulan lalu, Pintu Harmonika juga merupakan sebuah film omnibus yang menghadirkan tiga film pendek yang diarahkan oleh tiga sutradara berbeda dengan tiga genre penceritaan yang bervariasi. Namun, berbeda dengan 3Sum, meskipun tiga film pendek dalam Pintu Harmonika – sebuah istilah yang diberikan bagi jenis pintu yang terdapat pada sebuah rumah toko yang menjadi tempat kediaman seluruh karakter di film ini – hadir dengan jalan penceritaan yang berbeda satu sama lain, ketiga film pendek dalam Pintu Harmonika memiliki benang merah persamaan tema cerita yang sama-sama bertutur mengenai cinta dan kehidupan yang terbungkus rapi dalam jalinan kisah keluarga yang terjadi pada setiap karakter di film ini.

Continue reading Review: Pintu Harmonika (2013)