Tag Archives: Rudy Salam

Review: 2014 (2015)

2014-posterIn case you’re wonderingYep. 2014 memang harusnya dirilis sebelum atau ketika tahun 2014 lalu – masa dimana masyarakat Indonesia akan mengikuti pemilihan umum, melakukan pergantian presiden dan semua orang merasa dirinya adalah seorang ahli politik yang layak berbicara mengenai hal tersebut. Namun, dengan alasan kandungan politis yang dinilai sensitif, 2014 kemudian ditarik dari jadwal perilisan awal. Setelah terombang-ambing selama dua tahun, 2014 lantas ditayangkan pada awal tahun 2015. Harus diakui, sebagai sebuah film yang bermuatan sindiran maupun kritik mengenai kehidupan politik di Indonesia, 2014 memang tampil lebih berani daripada kebanyakan film-film sejenis lainnya. And it’s damn good…. walaupun hal tersebut tidak akan mampu menutupi kebobrokan penulisan bagian ketiga penceritaan pada naskah cerita film ini.

Diarahkan oleh duo Hanung Bramantyo dan Rahabi Mandra yang di awal tahun ini telah merilis kolaborasi penulisan naskah mereka dalam film Hijab, 2014 berkisah mengenai seorang remaja bernama Ricky Bagaskoro (Rizky Nazar) yang meskipun begitu membenci kehidupan politik yang dijalani sang ayah, Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy), namun tetap merelakan dirinya untuk terjun langsung dalam berbagai bahaya yang dapat mengancam hidupnya ketika sang ayah dijebak dalam sebuah kasus pembunuhan. Merasa bahwa kasus yang dialami sang ayah berhubungan dengan niatannya untuk mencalonkan diri menjadi seorang presiden, Ricky lantas menghubungi Krishna Dorojatun (Donny Damara), seorang pengacara yang dikenal bersih dan sama sekali tidak pernah kalah dalam kasus-kasus yang ditanganinya. Benar saja. Satu demi satu bahaya mulai bermunculan ketika Ricky semakin mendalami kasus yang dialami sang ayah. Namun tekad Ricky untuk membebaskan sang ayah tidak lantas berhenti dengan mudah begitu saja.

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Rahabi Mandra bersama dengan Ben Sihombing (Soekarno, 2013), 2014 mampu dibangun menjadi sebuah thriller politik yang cukup langka ditemukan di khasanah perfilman Indonesia. Keberaniannya untuk mengadaptasi berbagai intrik politik yang sedang berlangsung di Indonesia sekaligus menyajikannya dengan berbagai sindiran bernuansa politis yang kuat berhasil menjadikan 2014 tampil dengan intensitas yang akan mencengkeram perhatian para penontonnya. Disinilah letak perbedaan antara film ini dengan Negeri tanpa Telinga (2014) arahan Lola Amaria yang lebih sering terasa sebagai reka ulang satu isu politik di Indonesia tanpa pernah berhasil untuk memanfaatkannya sebagai sebuah senjata tajam bagi kritikannya untuk para pelaku politik tersebut. Pengarahan Hanung Bramantyo – yang ditemani Rahabi Mandra di kursi penyutradaraan – yang memang telah dikenal mampu menghantarkan kritik sosial dalam bungkusan sajian hiburan yang kental juga terbukti efektif dalam menjadikan 2014 tetap terasa renyah untuk dinikmati semua kalangan penonton.

Sayangnya, bagian pertama dan kedua penceritaan 2014 yang telah berjalan dengan hampir sempurna kemudian menemui rintangan yang cukup berat di bagian akhir pengisahannya. Ben Sihombing dan Rahabi Mandra sepertinya gagal untuk menciptakan solusi dari berbagai permasalahan yang telah mereka bangun sebelumnya. Hasilnya, bagian ketiga tampil begitu berantakan dengan banyak plot cerita akan terasa menggelikan – Sebuah debat calon presiden dimana salah satu calon presiden diwakili anaknya? Seriously, guys? Plot romansa yang tercipta di bagian ketiga antara karakter Ricky Bagaskoro dengan Laras (Maudy Ayunda) juga terasa begitu mentah akibat pembangunan plot yang benar-benar tidak kuat semenjak awal film dimulai. Sama halnya dengan kisah di ruang sidang yang gagal untuk terbangun meyakinkan eksekusinya. Tidak sepenuhnya buruk. Paruh ketiga penceritaan juga diisi dengan adegan aksi yang mampu dieksekusi dengan cukup baik serta dilakonkan dengan sangat meyakinkan pula oleh Rio Dewanto dan Atiqah Hasiholan.

Departemen akting 2014 mungkin adalah bagian yang paling solid kualitasnya dalam presentasi keseluruhan film ini – meskipun penampilan Maudy Ayunda terasa terlalu “tertahan” pada banyak bagian akibat pembangunan karakternya yang terlalu dangkal. Nama-nama seperti Donny Damara, Ray Sahetapy, Rudy Salam hingga Donna Harun, Atiqah Hasiholan, Rio Dewanto, Fadika R., Fauzan Smith dan Rizky Nazar tampil dalam kapasitas yang sangat meyakinkan dalam menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Kualitas teknis yang dihadirkan juga jelas tidak mengecewakan. Cukup untuk membuat 2014 menjadi salah satu film Indonesia yang hadir dengan kualitas yang mengesankan di awal tahun 2015. [C]

2014 (2015)

Directed by Hanung Bramantyo, Rahabi Mandra Produced by Celerina Judisari, Hanung Bramantyo Written by Ben Sihombing, Rahabi Mandra  Starring Ray Sahetapy, Atiqah Hasiholan, Deddy Sutomo, Donna Harun, Donny Damara, Fadika R., Fauzan Smith, Maudy Ayunda, Rio Dewanto, Rizky Nazar, Rudy Salam Music by Hario Patih Cinematography Faozan Rizal Edited by Cesa David Luckmansyah Production company Mahaka Pictures/Dapur Film Running time 110 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Garuda: The New Indonesian Superhero (2015)

Garuda-Superhero-posterDalam industri yang dipenuhi dengan adaptasi novel, biopik tokoh-tokoh yang (dianggap mampu) menginspirasi, deretan drama romansa hingga komedi (yang seringkali dijual dengan menambahkan bumbu-bumbu adegan panas), pilihan untuk membuat dan merilis sebuah film Indonesia yang bertemakan superhero jelas adalah sebuah pilihan usaha yang (teramat) berani. Tidak hanya harus berhadapan dengan pertanyaan apakah film tersebut memiliki pangsa pasar yang mencukupi di kalangan penonton film Indonesia namun juga harus berhadapan langsung dengan ekspektasi bahwa film-film pahlawan super haruslah mampu setara (atau mendekati) kualitas film-film pahlawan super yang diadaptasi dari seri komik rilisan Marvel maupun DC. Singkatnya, membuat sebuah film Indonesia bertemakan pahlawan super adalah sebuah tantangan sangat besar yang sepertinya akan sulit (tidak mungkin?) ditaklukkan dalam industri film yang harus diakui kini dalam kondisi yang begitu lemah.

Terlepas dari berbagai tantangan tersebut, beberapa sineas Indonesia telah mendeklarasikan bahwa mereka sedang menggarap film-film bertemakan pahlawan super modern Indonesia dan siap untuk merilisnya tahun ini. Film bertemakan superhero pertama yang dirilis tahun ini adalah Garuda: The New Indonesian Superhero. Film karya sutradara debutan yang menyebut namanya x.Jo ini sebenarnya telah direncanakan rilis pada akhir tahun 2014 lalu. Namun, entah dengan alasan apa, perilisan film ini kemudian diundur menjadi awal tahun 2015. Berkaca dari apa yang dihasilkannya untuk Garuda: The New Indonesian Superhero, x.Jo sebenarnya telah memiliki visi dan usaha yang kuat untuk dapat membentuk sebuah film yang bertemakan pahlawan super yang layak diharapkan kehadirannya oleh para penonton film Indonesia. Sayangnya, visi dan usaha yang kuat tidak lantas menjadikan sebuah film memiliki kualitas unggul. Sebuah film yang layak tonton harusnya mampu digarap dengan kemampuan yang layak juga. Disinilah letak kelemahan terbesar dari Garuda: The New Indonesian Superhero.

Sejujurnya, film-film bertemakan pahlawan super bukanlah sebuah film yang menuntut adanya naskah cerita yang benar-benar cerdas maupun kompleks – meskipun dua film superhero teranyar karya Marvel Studio, The Avengers (2011) dan Guardians of the Galaxy (2014), mampu membuktikan hal yang sebaliknya. Tetap saja, naskah cerita, merupakan tulang punggung paling esensial dalam sebuah film. Anda dapat melupakan fakta bahwa Indonesia masih memiliki sumber daya manusia dan teknologi animasi yang lemah dengan mudah untuk dapat memaafkan bahwa Garuda: The New Indonesian Superhero hadir dengan tampilan visual yang seringkali tampil… well… buruk. Namun ketika naskah cerita juga dihadirkan sama buruknya, berbagai kelemahan yang terdapat dalam Garuda: The New Indonesian Superhero benar-benar tidak dapat lagi diindahkan begitu saja. Naskah Garuda: The New Indonesian Superhero, yang juga ditulis oleh x.Jo hadir dengan tatanan cerita dan plot yang benar-benar kacau. Karakter-karakter dalam film ini seringkali muncul dan hilang begitu saja. Begitu pula dengan plot penceritaannya yang sama menyedihkan kondisinya.

Arahan x.Jo juga harus diakui terasa lemah dalam penceritaan film ini. Penonton, yang mungkin telah sering menyaksikan film-film superhero sejenis, dapat dengan mudah menangkap apa yang sebenarnya ingin disampaikan film ini. Sayangnya, kombinasi antara tata produksi, naskah cerita dan pengarahan x.Jo yang lemah membuat Garuda: The New Indonesian Superhero tampil begitu menyiksa untuk diikuti. Hal ini masih ditambah dengan penampilan aktor utama Rizal Al-Idrus yang berperan sebagai sang pahlawan yang tampil dengan kemampuan akting berkapasitas nol. Terlihat kaku dan awkward di banyak adegan plus daya tarik yang sama sekali tidak dapat diandalkan. Nama-nama besar seperti Agus Kuncoro, Slamet Rahardjo, Robby Sugara dan Rudy Salam yang melengkapi departemen akting film ini juga tersia-siakan kehadirannya.

Menyaksikan film ini secara keseluruhan adalah seperti melihat pemandangan seseorang yang begitu bertekad untuk maju ke medan perang dengan semangat menggebu-gebu namun dengan keahlian dan perlengkapan yang benar-benar minim. Sebuah usaha yang patut dihargai? Tentu saja. Namun tetap tidak akan mengubah fakta bahwa orang tersebut akan mati dengan sia-sia di medan perang dalam waktu yang tidak begitu lama. Itulah, sayangnya, yang terjadi pada Garuda: The New Indonesian Superhero. [D-]

Garuda: The New Indonesian Superhero (2015)

Directed by x.Jo Produced by H.R. Dhoni Al-Maliki Ramadhan Written by x.Jo Starring Rizal Al-Idrus, Slamet Rahardjo, Agus Kuncoro, Robby Sugara, Rudy Salam, Alexa Key, Kia Poetri, Inzalna Balqis, Jacob Maugeri, Roy Chunonk, Tya Arifin, Diaz Ardiawan, Panca Prakoso, Wiwing Dirgantara, Elkie Kwie, Pieter Gultom, Ivanka Suwandi, Linda Nirmala, Jefan Nathanio, Denny Baskar, Yusuf Mansur Music by Aghi Narottama Cinematography Yoyok Budi Santoso Edited by x.Jo, Aristo Pontoh, Yoga Krispratama Studio Putaar Films, Sultan Sinergi Indonesia, Garuda Sinergi Putaar Sinema Running time 85 minutes Country Indonesia Language Indonesian, English

Review: Mama Cake (2012)

Nama sutradara film Mama Cake, Anggy Umbara, mungkin masih cukup asing ditelinga para penikmat film Indonesia. Di industri hiburan tanah air, nama Anggy memang lebih dikenal sebagai seorang sutradara puluhan video musik sekaligus sebagai salah satu personel kelompok musik Purgatory – kelompok musik beraliran death metal asal Jakarta yang lirik lagunya seringkali membawakan pesan-pesan relijius. Tidak mengherankan jika kemudian Mama Cake – film yang naskah ceritanya juga ditulis oleh Anggy bersama Hilman Mutasi dan Sofyan Jambul – juga memiliki nafas relijius yang kuat di berbagai sudut penceritaannya. Namun untungnya, dengan pengemasan cerita dan visual yang lebih atraktif, Anggy cukup berhasil menghantarkan sebuah film drama komedi bernuansa relijius yang mungkin seharusnya dipelajari Chaerul Umam agar film-filmnya mampu lebih banyak menarik perhatian penonton yang berusia lebih muda.

Continue reading Review: Mama Cake (2012)