Sepuluh tahun lalu, Affandi Abdul Rachman mencoba untuk menterjemahkan kesuksesan trilogi buku Negeri 5 Menara karangan A. Fuadi dan memulainya dengan mengadaptasi buku pertama dari trilogi tersebut yang juga berjudul sama, Negeri 5 Menara (2012). Hasilnya sebenarnya tidak mengecewakan. Disokong oleh naskah cerita yang dituliskan oleh Salman Aristo, Negeri 5 Menara tampil dengan kualitas presentasi yang cukup mumpuni. Di tahun dimana layar bioskop nasional diramaikan oleh film-film yang alur ceritanya juga diadaptasi dari buku-buku popular – Habibie & Ainun (Faozan Rizal, 2012), 5 cm (Rizal Mantovani, 2012), Perahu Kertas (Hanung Bramantyo, 2012) – Negeri 5 Menara juga berhasil mengumpulkan lebih dari 700 ribu penonton di sepanjang masa perilisannya. Capaian komersial yang tidak buruk – meskipun terlihat “minimalis” khususnya ketika Negeri 5 Menara kala itu digadang untuk mengikuti jejak besar kesuksesan Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008) yang memiliki kedekatan tema cerita. Continue reading Review: Ranah 3 Warna (2021)
Tag Archives: Hans de Kraker
Review: Bumi Manusia (2019)
Merupakan buku pertama dari rangkaian Tetralogi Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dan diterbitkan dari tahun 1980 hingga tahun 1988, Bumi Manusia mungkin merupakan salah satu buku paling popular – dan paling penting – di dunia kesusastraan Indonesia. Pelarangan terbit dan edar yang diberlakukan pemerintah Republik Indonesia terhadap buku tersebut dengan tuduhan mempropagandakan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme pada tahun 1981 hingga masa jatuhnya rezim Orde Baru tidak pernah mampu meredupkan kepopulerannya. Bumi Manusia bahkan mendapatkan perhatian khalayak internasional dan kemudian diterbitkan dalam 33 bahasa. Usaha untuk menterjemahkan narasi Bumi Manusia dari bentuk buku menjadi tatanan pengisahan audio visual sendiri telah dimulai semenjak tahun 2004 dan sempat melibatkan nama-nama sineas kenamaan Indonesia seperti Deddy Mizwar, Garin Nugroho, hingga Mira Lesmana dan Riri Riza. Langkah nyata untuk membawa Bumi Manusia ke layar lebar akhirnya benar-benar terwujud pada tahun 2018 ketika Falcon Pictures mengumumkan bahwa rumah produksi tersebut akan memproduksi film adaptasi Bumi Manusia dengan Hanung Bramantyo (Sultan Agung, 2018) bertindak sebagai sutradara.
Review: Asal Kau Bahagia (2018)
Dengan inspirasi yang didapat dari lirik lagu milik kelompok musik Armada yang berjudul sama, Asal Kau Bahagia berkisah mengenai hubungan asmara antara dua remaja, Aliando (Aliando Syarief) dan Aurora (Aurora Ribero), yang berjalan lancar hingga akhirnya Aliando mendapat kecelakaan parah yang membuatnya harus terbaring koma. Namun, meskipun tubuhnya terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit, jiwa Aliando ternyata mampu berkelana serta melihat setiap aktivitas yang terjadi di sekitarnya. Sebuah keajaiban terjadi ketika jiwa Aliando mampu berinteraksi dengan sahabatnya, Dewa (Dewa Dayana). Dengan kemampuan tersebut, Aliando lantas meminta Dewa untuk menjaga sekaligus menghibur Aurora selama dirinya dirawat di rumah sakit. Tidak disangka, ketika jiwanya sedang mengikuti Aurora, Aliando mendengar percakapan telepon yang terjadi antara Aurora dengan seorang pemuda bernama Rassya (Teuku Rassya) yang ternyata telah menjadi kekasih Aurora selama beberapa bulan terakhir. Continue reading Review: Asal Kau Bahagia (2018)
Review: Sultan Agung (2018)
Diarahkan bersama oleh Hanung Bramantyo (Kartini, 2017) dan x.Jo (Garuda: The New Indonesian Superhero, 2015), Sultan Agung memulai intrik ceritanya ketika Raden Mas Rangsang yang masih remaja (Marthino Lio) terpaksa harus menduduki posisi sebagai pemimpin bagi Kesultanan Mataram setelah meninggalnya sang ayah. Dengan gelar sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma, dirinya tidak lagi dapat lepas bermain dengan teman-teman sebayanya maupun memadu kasih dengan wanita pilihan hatinya, Lembayung (Putri Marino) – yang kebetulan berasal dari kelas sosial yang berbeda dengan dirinya. Meskipun begitu, dengan bantuan orang-orang kepercayaannya, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memiliki mimpi dan tekad untuk menyatukan seluruh pemimpin kerajaan di tanah Jawa mampu menjelma menjadi sosok yang kuat dan dicintai oleh rakyatnya. Namun, tantangan terbesar bagi kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma dewasa (Ario Bayu) hadir ketika tanah Jawa kedatangan para “pedagang” dari negeri Belanda yang menamakan diri mereka sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie pimpinan Jan Pieterszoon Coen (Hans de Kraker). Reputasi Vereenigde Oostindische Compagnie yang seringkali berlaku tidak adil dan memiliki sejarah kelam dengan para penduduk di Kepulauan Banda membuat Sultan Agung Hanyakrakusuma menjadi was-was dan memerintahkan pasukan Kesultanan Mataram untuk bersiap-siap jika Vereenigde Oostindische Compagnie datang untuk menyerang. Continue reading Review: Sultan Agung (2018)
Review: 22 Menit (2018)
Dibuat sebagai salah satu bentuk kampanye Kepolisian Republik Indonesia untuk melawan aksi terorisme, film arahan Eugene Panji (Cita-citaku Setinggi Tanah, 2012) yang juga menjadi debut pengarahan bagi Myrna Paramita Pohan, 22 Menit, bercerita mengenai serangan Bom Thamrin yang terjadi di Jakarta pada 14 Januari 2016 lalu. Jalan ceritanya sendiri mengambil sudut pandang dari beberapa karakter yang terlibat dalam tragedi tersebut, mulai dari pelaku, korban, hingga pihak kepolisian yang kemudian menangani dan berhasil meringkus pelaku dalam jangka waktu 22 menit. Sebuah propaganda? Mungkin saja. Namun tidak dapat disangkal bahwa Panji dan Pohan mampu menggarap film ini menjadi sebuah sajian thriller yang cukup efektif. Continue reading Review: 22 Menit (2018)
Review: Kartini (2017)
Merayakan Hari Kartini tahun ini, sutradara Hanung Bramantyo bekerjasama dengan produser Robert Ronny merilis biopik dari Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan di Indonesia tersebut. Berlatarbelakang lokasi di Jepara, Jawa Tengah, di masa Indonesia masih berada dibawah jajahan Belanda dan dikenal dengan sebutan Hindia Belanda, Kartini (Dian Sastrowardoyo) yang berasal dari kalangan kelas bangsawan Jawa telah terbiasa hidup dalam tatanan adat Jawa yang seringkali dirasa mengekang kehidupan kaum perempuannya. Meskipun begitu, berkat arahan sang kakak, Kartono (Reza Rahadian), yang mengenalkannya pada banyak literatur Belanda, pemikiran Kartini menjadi jauh lebih maju dan terbuka dibandingkan dengan kebanyakan perempuan Jawa di era tersebut. Dengan pemikirannya tersebut, Kartini memulai usahanya untuk memperjuangkan kesetaraan hak kaum perempuan, khususnya hak untuk memperoleh pendidikan, agar kaum perempuan, khususnya perempuan Jawa, tidak lagi hanya berfungsi sebagai istri atau pendamping para suami dalam kehidupan mereka. Continue reading Review: Kartini (2017)