Tag Archives: Alex Abbad

Review: My Stupid Boss 2 (2019)

Tiga tahun setelah kesuksesan film perdananya – yang berhasil meraih lebih dari tiga juta penonton selama masa penayangannya – Falcon Pictures merilis sekuel bagi My Stupid Boss, My Stupid Boss 2. Masih diarahkan oleh Upi (My Generation, 2017) berdasarkan naskah cerita yang masih diadaptasi dari seri buku berjudul sama karangan Chaos@work, My Stupid Boss 2 melanjutkan cerita akan pengalaman buruk dari Diana (Bunga Citra Lestari) dan rekan-rekannya, Mr. Kho (Chew Kinwah), Norahsikin (Atikah Suhaime), Adrian (Iedil Putra), dan Azahari (Iskandar Zulkarnaen), ketika bekerja di perusahaan yang dimiliki oleh seorang pengusaha yang lebih dikenal dengan sebutan Bossman (Reza Rahadian). Kali ini, akibat semakin banyaknya pekerja perusahaan yang mengundurkan diri akibat tidak nyaman dengan banyak peraturan semena-mena dari Bossman, Bossman kemudian mengajak Diana, Mr. Kho, dan Adrian untuk mencari pekerja dengan upah murah di Vietnam. Seperti yang dapat diduga, perilaku tidak menyenangkan dari Bossman kembali menyebabkan mereka terjebak dalam berbagai masalah. Sementara itu, Norahsikin dan Azahari yang ditugaskan untuk tetap bertugas di kantor juga harus menghadapi masalah ketika sekumpulan preman mendatangi kantor untuk menagih hutang yang dimiliki oleh Bossman. Continue reading Review: My Stupid Boss 2 (2019)

Review: Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018)

Jelas tidak mudah untuk tidak memandang sebelah mata terhadap Suzzanna: Bernapas dalam Kubur dan menganggapnya hanya sebagai sebuah usaha murahan para produsernya untuk meraup kesuksesan komersial dengan cara memanfaatkan elemen nostalgia terhadap salah satu aktris film Indonesia paling ikonik tersebut. Dan jelas bukanlah sebuah prasangka yang salah pula – setidaknya kualitas yang ditampilkan dua seri Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! (Anggy Umbara, 2016 – 2017) serta Benyamin Biang Kerok (Hanung Bramantyo, 2018) layak mendapatkan prasangka tersebut. Seperti halnya dua film yang telah disebutkan sebelumnya, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur juga bukanlah sebuah film yang jalan ceritanya mendaur ulang pengisahan yang dahulu pernah ditampilkan dalam film-film horor yang dibintangi Suzzanna. Film ini memilih untuk “mengekploitasi” berbagai karakteristik peran yang membuat Suzzanna menjadi aktris horor Indonesia yang ikonik dan membingkainya dengan struktur pengisahan yang baru – meskipun bukanlah bangunan pengisahan yang benar-benar terasa segar. And strangelyit works pretty well! Continue reading Review: Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018)

Review: Asih (2018)

Well… dengan kesuksesan luar biasa dari dua seri Danur, Danur: I Can See Ghosts (2017) dan Danur 2: Maddah (2018) arahan Awi Suryadi yang keduanya berhasil menarik minat lebih dari dua juta penonton meskipun mendapatkan tanggapan yang medioker dari para kritikus film, Suryadi dan MD Pictures melanjutkan perjalanan untuk mengembangkan semesta pengisahan Danur dengan Asih. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh penulis naskah dua seri Danur sebelumnya, Lele Laila, berdasarkan buku berjudul sama karangan Risa Saraswati, Asih diniatkan hadir untuk menggali secara lebih dalam mengenai pengisahan sosok karakter supranatural bernama Asih yang dahulu popular setelah ditampilkan dalam Danur: I Can See Ghosts. Sayangnya, tidak banyak hal menarik yang dapat diperoleh dari presentasi film ini. Pengembangan cerita yang berjalan monoton menyebabkan Asih sering terasa membosankan – meskipun Suryadi mampu menghadirkan kualitas pengarahan yang, sekali lagi, tampil lebih baik. Continue reading Review: Asih (2018)

Review: Buffalo Boys (2018)

Merupakan debut pengarahan Mike Wiluan setelah menjadi produser bagi film-film seperti Meraih Mimpi (Phillip Stamp, 2009), Dead Mine (Steven Sheil, 2013), dan Headshot (Mo Brothers, 2016), Buffalo Boys yang berlatar kisah di tahun 1860 ini berkisah mengenai seorang pria bernama Arana (Tio Pakusadewo) yang bersama dengan dua keponakannya, Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso), kembali ke Indonesia dari tempat pengasingan mereka di California, Amerika Serikat, untuk membalaskan dendam kematian keluarga mereka oleh pasukan kolonia Belanda yang dipimpin oleh Van Trach (Reinout Bussemaker). Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Kiona (Pevita Pearce), Sri (Mikha Tambayong), serta sejumlah penduduk desa yang seringkali harus menderita akibat kekejaman para penjajah yang merebut harga dan tidak segan untuk membunuh mereka. Pertemuan tersebut lantas membuka mata Arana, Jamar, dan Suwo: kedatangan mereka tidak hanya untuk membalaskan dendam keluarga mereka namun juga untuk membantu rakyat Indonesia terbebas dari jajahan pihak kolonial Belanda. Continue reading Review: Buffalo Boys (2018)

Festival Film Indonesia 2017 Nominations List

Setelah Fiksi (Mouly Surya, 2008) yang berhasil memenangkan beberapa kategori utama, termasuk kategori Film Bioskop Terbaik dan Sutradara Terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2008 dan Belenggu (Upi, 2013) yang berhasil meraih 13 nominasi di pada Festival Film Indonesia 2013, tahun ini panitia penyelenggara Festival Film Indonesia kembali menunjukkan rasa cinta mereka terhadap genre horor dengan memberikan 13 nominasi kepada film Pengabdi Setan arahan Joko Anwar. Pengabdi Setan berhasil mendapatkan nominasi di beberapa kategori utama seperti Penulis Skenario Adaptasi Terbaik dan Sutradara Terbaik untuk Joko Anwar, serta Film Terbaik dimana Pengabdi Setan akan bersaing dengan Cek Toko Sebelah (Ernest Prakasa, 2016), Kartini (Hanung Bramantyo, 2017), Night Bus (Emil Heradi, 2017), dan Posesif (Edwin, 2017). Continue reading Festival Film Indonesia 2017 Nominations List

Review: Night Bus (2017)

Film terbaru arahan Emil Heradi (Sagarmatha, 2013) adalah sebuah spesies langka pada industri perfilman Indonesia. Seperti halnya Get Out – debut pengarahan Jordan Peele yang dirilis di minggu yang sama di Indonesia – Night Bus adalah sebuah thriller yang naskah ceritanya digarap kental dengan sentuhan isu sosial dan politik yang jelas terinspirasi dari berbagai situasi yang pernah maupun tengah dihadapi oleh banyak lapisan masyarakat Indonesia. Tenang, tidak seperti kebanyakan film Indonesia bermuatan “pesan moral” yang sama dan lantas sering terasa sebagai presentasi yang menjemukan, Heradi mampu menggarap Night Bus menjadi sajian cerita penuh ketegangan yang sama sekali tidak pernah kehilangan pegangannya pada bangunan konflik yang menjadi perhatian utama bagi film ini. Sebuah eksekusi yang jelas terasa begitu menyegarkan. Continue reading Review: Night Bus (2017)

Review: Bid’ah Cinta (2017)

Art imitates life. Dan film, sebagai salah satu bentuk produk kesenian, seringkali merefleksikan kondisi politik, sosial maupun budaya yang pernah atau sedang dialami para pembuatnya. Film terbaru arahan Nurman Hakim, Bid’ah Cinta, sepertinya berusaha menjadi cermin mengenai kondisi sosial masyarakat Indonesia yang sedang menghangat belakangan ini, khususnya dari kalangan pemeluk agama Islam. Kondisi sosial dimana beberapa kelompok merasa bahwa ajaran Islam yang mereka peluk lebih “murni” dan “kuat” dibandingkan dengan ajaran Islam yang dipeluk dan dipraktekkan oleh beberapa kelompok lain sehingga membuat mereka berusaha keras agar kelompok yang berbeda tersebut mau untuk “bertobat” dan kemudian mengikuti ajaran Islam mereka yang lebih “murni” dan “kuat” tersebut. Tentu, sebuah bahasan yang cukup kompleks untuk dijabarkan dalam sebuah jalan pengisahan yang berdurasi 128 menit. Namun, dengan kelihaiannya bercerita, Hakim mampu menggarap Bid’ah Cinta dengan ritme yang tepat sehingga filmnya tetap tajam dalam berkisah dan tidak pernah terasa membosankan dalam pemaparannya. Continue reading Review: Bid’ah Cinta (2017)

Review: Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015)

guru-bangsa-tjokroaminoto-posterMembuat sebuah film biopik jelas bukanlah sebuah perkara mudah. Masalah terbesar? Lupakan bagaimana cara untuk menemukan pemeran yang tepat – dan, ada baiknya, memiliki karakteristik fisik yang serupa – untuk memerankan karakter tersebut. Yes. It sure is a big problem. Namun menyajikan rangkuman perjalanan panjang kehidupan satu karakter dalam sebuah alur penceritaan dengan sebuah batasan waktu jelas adalah masalah yang lebih pelik. Masalah itulah yang seringkali menghantui banyak film biopik – buatan lokal maupun internasional, tidak terkecuali pada film biopik terbaru garapan Garin Nugroho mengenai salah satu tokoh pelopor pergerakan Indonesia, Oemar Said Tjokroaminoto, yang berjudul Guru Bangsa Tjokroaminoto.

Naskah cerita Guru Bangsa Tjokroaminoto yang digarap oleh Ari Syarif dan Erik Supit berdasarkan ide cerita yang mereka kembangkan bersama Sabrang Mowo Damar Panuluh, Garin Nugroho dan Kemal Pasha Hidayat sendiri sebenarnya telah membatasi perjalanan film ini untuk hanya meliputi masa perjuangan Oemar Said Tjokroaminoto yakni ketika ia mendirikan organisasi Sarekat Islam pada tahun 1912 hingga ia kemudian ditahan oleh pihak Belanda pada tahun 1921 – dengan sekelumit kisah tambahan dari berbagai dimensi kehidupannya. Namun, dengan kehadiran banyaknya plot cerita hingga karakter pendukung yang berada dalam kehidupannya, kisah Oemar Said Tjokroaminoto masih tetap terasa cukup kompleks bahkan untuk dipadatkan dalam durasi penceritaan sepanjang 161 menit.

Penumpukan konflik dan karakter dalam Guru Bangsa Tjokroaminoto benar-benar terasa di bagian awal penceritaan. Garapan Garin Nugroho yang menyajikan kisahnya dengan tempo yang lumayan cepat juga tidak banyak membantu: penonton jelas akan merasa sedikit dipusingkan dengan kehadiran banyak konflik maupun karakter yang secara silih berganti hadir di hadapan mereka tanpa pernah diberi kesempatan untuk mengenal konflik maupun karakter tersebut dengan lebih seksama. Pun begitu, seiring dengan melambannya tempo pengisahan cerita sekaligus mengerucutnya konflik dan karakter yang hadir dalam jalan cerita, Guru Bangsa Tjokroaminoto baru menemukan pijakan penceritaan yang pas. Garin secara perlahan mulai memberikan ruang yang cukup bagi setiap konflik untuk berkembang dengan baik maupun setiap karakter untuk mendapatkan fungsi penceritaan mereka dengan tepat. Membutuhkan waktu namun jelas kemudian mampu tampil dengan garapan yang kuat.

Berbeda dengan film biopik Soegija (2012) garapan Garin sebelumnya yang dipenuhi dengan berbagai kiasan maupun metafora, Guru Bangsa Tjokroaminoto jelas terasa lebih mudah diakses kisahnya. Garin tetap menghadirkan satu, dua metafora dalam penceritaan film ini – bersuasana teatrikal dengan tujuan untuk lebih memadatkan jalan cerita – namun tetap terasa ringan sekaligus emosional untuk diikuti. Tidak lupa, Garin juga menyajikan filmnya dengan tatanan teknikal yang benar-benar berkelas. Sinematografi arahan Ipung Rachmat Syaiful yang puitis melengkapi kekuatan jalan penceritaan Guru Bangsa Tjokroaminoto. Begitu pula dengan tata musik garapan Andi Rianto yang begitu mampu meningkatkan sisi emosional dari setiap adegan film tanpa pernah membuatnya terasa mendayu-dayu secara berlebihan. Bahkan, adalah cukup adil untuk meletakkan komposisi musik Andi Rianto untuk film ini sebagai salah satu komposisi musik film Indonesia terbaik dalam beberapa tahun terakhir. It’s that good!

Dipimpin oleh Reza Rahadian yang berperan sebagai sang karakter utama, departemen akting Guru Bangsa Tjokroaminoto juga tergarap dengan sangat baik – jika Anda tidak ingin menyebutnya sempurna. Anda lelah dengan kehadiran Reza Rahadian dalam setiap film Indonesia yang Anda saksikan? Mungkin saja. Namun, dengan melihat dedikasi kuatnya dalam berperan sebagai Oemar Said Tjokroaminoto, siapapun jelas tidak akan mampu memungkiri bahwa Reza Rahadian adalah aktor terbaik di generasinya. Aktor yang dapat memerankan setiap karakter dengan begitu sempurna – dan membuat aktingnya terlihat begitu mudah untuk dilakukan.

Penampilan Reza juga didukung dengan penampilan dan chemistry yang sangat erat dari Putri Ayudya yang berperan sebagai istri dari karakter Oemar Said Tjokroaminoto, Soeharsikin. Penampilan menarik lain datang dari Deva Mahenra – yang terlihat sangat meyakinkan sebagai sosok Soekarno muda yang begitu polos, Chelsea Islan – yang semakin mampu menunjukkan kematangan aktingnya serta Ibnu Jamil, Tanta Ginting dan Ade Firman Hakim yang masing-masing mampu menghidupkan karakter mereka dengan begitu baik. Tidak lupa, dukungan dari aktor dan aktris senior seperti Soedjiwo Tedjo, Christine Hakim dan Didi Petet juga semakin memperkuat kualitas departemen akting film ini. Jangan pula lewatkan penampilan komikal dari seniman ludruk asal Jawa Timur bernama Unit yang perannya sebagai Mbok Toen dalam film ini akan sangat mampu mencuri perhatian tiap penonton.

Guru Bangsa Tjokroaminoto jelas sekali lagi membuktikan kehandalan seorang Garin Nugroho. Meskipun hadir dengan beberapa masalah penumpukan konflik dan karakter khususnya di awal pengisahan namun secara keseluruhan Guru Bangsa Tjokroaminoto tetap mampu hadir sebagai sebuah film biopik yang mampu hadir kuat dengan garapan tata teknikal yang berkelas, penampilan para pengisi departemen akting yang sangat solid serta, tentu saja, pengarahan cerita yang akan sangat mampu membuat setiap penontonnya tergugah mengenai bagaimana situasi politik Indonesia saat ini tidak begitu banyak berubah dari masa pergerakan yang dikawal oleh Oemar Said Tjokroaminoto. Indonesia’s finest period piece since Sang Penari (2011). A grand beauty! [B]

Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015)

Directed by Garin Nugroho Produced by Christine Hakim, Didi Petet, Dewi Umaya Rachman, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Nayaka Untara, Ari Syarif Written by Ari Syarif, Erik Supit (screenplay), Ari Syarif, Erik Supit, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Garin Nugroho, Kemal Pasha Hidayat (story) Starring Reza Rahadian, Putri Ayudya, Maia Estianty, Christine Hakim, Ibnu Jamil, Alex Komang, Tanta Ginting, Chelsea Islan, Sudjiwo Tejo, Egi Fedly, Christoffer Nelwan, Deva Mahenra, Didi Petet, Ade Firman Hakim, Alex Abbad, Gunawan Maryanto, Jay Widjajanto, Arjan Onderdenwijngaard, Gerard Mosterd, Rudi Corens, Martin Van Bommel, Joanna Dudley, Paul Agusta Music by Andi Rianto Cinematography Ipung Rachmat Syaiful Editing by Wawan I. Wibowo Studio Pic[k]lock Production/Yayasan Keluarga Besar HOS Tjokroaminoto/MSH Films Running time 161 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Melancholy is a Movement (2015)

melancholy-is-a-movement-posterSembilan tahun setelah merilis film layar lebar arahan perdananya, Koper (2006), Richard Oh kembali hadir dengan Melancholy is a Movement. Film yang menampilkan Joko Anwar serta sekumpulan pemain kunci dalam industri film Indonesia ini memang sepertinya dibuat sebagai ajang bermain bagi para orang-orang yang terlibat didalamnya. Bagaimana tidak? Masing-masing pengisi departemen akting film hadir memerankan versi lain dari diri mereka sendiri dalam jalinan cerita beraroma dark comedy yang kental berisi ironi mengenai kehidupan mereka sebagai orang-orang yang terjun langsung dalam dinamika industri film nasional. Lebih dari itu, Richard Oh juga menyajikan linimasa penceritaan Melancholy is a Movement dalam susunan eksperimental yang jelas akan membuat banyak penontonnya mengernyitkan dahi mereka selama 75 menit durasi perjalanan film ini.

Melancholy is a Movement sendiri berkisah mengenai Joko Anwar yang ketika sedang dirundung kemuraman akibat kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagi dirinya kemudian mendapatkan tawaran untuk mengarahkan sebuah film reliji – sebuah jenis film yang selalu dianggap bertentangan dengan dirinya. Jawaban pribadi Joko terhadap tawaran tersebut jelas adalah menolak. Namun, akibat dorongan rekan kerja – sekaligus kondisi keuangan rumah produksinya yang sangat membutuhkan dana tambahan – Joko akhirnya memilih untuk mengarahkan film dengan jalinan kisah berpesan moral tersebut. Sebuah kejutan justru datang ketika film tersebut meraih sukses luar biasa secara komersial sekaligus dianggap kritikus sebagai film terbaik yang pernah diarahkan oleh dirinya.

Melancholy is a Movement sendiri jelas merupakan sebuah film yang berniat untuk memberikan sudut pandang lebih intim terhadap kondisi industri perfilman Indonesia sekaligus orang-orang yang berada di dalamnya. Bicara tentang idealisme, selera pasar, bujet produksi hingga proses pembuatan sebuah film, Richard Oh secara berani (baca: nekat) menghadirkan alur penceritaan filmnya secara acak – berkisah tentang satu cerita di adegan lain namun kemudian berpindah ke cerita lain yang sama sekali tidak berhubungan di adegan berikutnya. Menantang? Sangat. Namun Richard Oh jelas mengerti apa yang sedang ia kerjakan. Setiap adegan cerita acak tersebut mampu secara perlahan mempertegas bagaimana jalan pemikiran sekaligus kondisi emosional sang karakter utama. Penyajian kisah dalam balutan komedi juga mampu dimanfaatkan untuk menjadikan jalan cerita film menjadi lebih tajam penyampaiannya.

Harus diakui, eksperimen Richard Oh yang berlangsung dalam Melancholy is a Movement juga tidak selamanya berjalan mulus. Kehadiran adegan-adegan diam yang diambil dalam jangka waktu tertentu dalam film ini seringkali terasa sebagai style over substance. Terasa bagaikan sebuah kumpulan mimpi namun lama-kelamaan mengganggu karena terkesan hadir secara acak tanpa adanya tujuan penceritaan yang kuat. Hal yang sama juga terasa dalam beberapa adegan film. Acak. Mungkin Richard Oh memiliki pemaknaan lain terhadap berbagai adegan yang dihadirkannya dalam film ini – dan penonton jelas akan memiliki banyak interpretasi lain terhadap deretan adegan maupun gambar tersebut, namun deretan adegan yang tidak memiliki substansi esensial terhadap kekuatan penceritaan film jelas memberikan titik lemah tersendiri terhadap presentasi film secara keseluruhan.

Sebagai aktor utama, Joko Anawar sendiri memiliki kharisma yang kuat dalam mengikat perhatian para penonton Melancholy is a Movement secara utuh. Film dengan presentasi cerita eksperimental seperti film ini jelas membutuhkan satu karakter dengan pesona kuat yang mampu membuat penonton tetap tertarik untuk merangkai setiap detil penceritaanya. Joko Anwar jelas memiliki kelebihan tersebut. Deretan pemeran pendukung lain seperti Nazyra C. Noer, Ario Bayu, Karina Salim, Fachri Albar, Renata Kusmanto hingga sutradara film Indonesia lainnya, Upi, juga memberikan kesan yang cukup berarti lewat kehadiran terbatas mereka dalam film ini. [C]

Melancholy is a Movement (2015)

Directed by Richard Oh Produced by Bernice Helena Written by Richard Oh Starring Joko Anwar, Ario Bayu, Amink, Fachri Albar, Renata Kusmanto, Karina Salim, HB Naveen, Alex Abbad, Verdi Solaiman, Upi, Aimee Saras, Hannah Al Rashid, Nazyra C. Noer, Ardy Oktavian, Lance, Michael Turangan, Tony Setiaji, Wilza Lubis, Tengku Ryo, Aghi Narottama, Farishad Latjuba Music by Rooftop Sound Cinematography Yunus Pasolang Editing by Cuunk Studio Metafor Pictures Production Running time 75 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: The Raid 2: Berandal (2014)

Terlepas dari kesuksesan megah yang berhasil diraih oleh The Raid (2012) – baik sebagai sebuah film Indonesia yang mampu mencuri perhatian dunia maupun sebagai sebuah film yang bahkan diklaim banyak kritikus film dunia sebagai salah satu film aksi terbaik yang pernah diproduksi dalam beberapa tahun terakhir – tidak ada yang dapat menyangkal bahwa film garapan sutradara Gareth Huw Evans tersebut memiliki kelemahan yang cukup besar dalam penataan ceritanya. Untuk seri kedua dari tiga seri yang telah direncanakan untuk The Raid, Evans sepertinya benar-benar mendengarkan berbagai kritikan yang telah ia terima mengenai kualitas penulisan naskahnya. Menggunakan referensi berbagai film aksi klasik seperti The Godfather (1972) dan Infernal Affairs (2002), Evans kemudian memberikan penggalian yang lebih mendalam terhadap deretan karakter maupun konflik penceritaan sekaligus menciptakan jalinan kisah berlapis yang tentu semakin menambah kompleks presentasi kisah The Raid 2: Berandal. Lalu bagaimana Evans mengemas pengisahan yang semakin rumit tersebut dengan sajian kekerasan nan brutal yang telah menjadi ciri khas dari The Raid?

Continue reading Review: The Raid 2: Berandal (2014)

Review: 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2 (2014)

Dengan memanfaatkan basis penggemar yang cukup kuat dari novel sukses berjudul sama karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, 99 Cahaya di Langit Eropa tetap mampu mencuri minat penikmat film Indonesia dan berhasil menjadi salah satu film dengan raihan penonton tertinggi meskipun dirilis dalam tempo yang berdekatan dengan masa perilisan dua film blockbuster Indonesia lainnya, Soekarno dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, pada akhir tahun 2013 lalu. Sadar bahwa materi penceritaan 99 Cahaya di Langit Eropa terlalu luas untuk dimuat dalam satu penceritaan film – atau justru sadar bahwa materi penceritaan tersebut memiliki nilai komersial yang tinggi – para produser film 99 Cahaya di Langit Eropa secara bijaksana kemudian membagi penceritaan tersebut menjadi dua bagian. Kini, tepat tiga bulan setelah perilisan film pertamanya, bagian kedua dari penceritaan 99 Cahaya di Langit Eropa hadir kembali untuk melanjutkan berbagai kisah sekaligus konflik yang dialami oleh pasangan suami istri, Rangga dan Hanum, selama mereka berada di Eropa. Mampukah 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2 mengulangi kesuksesan film pertamanya? Atau, yang terlebih penting, mampukah film ini memperbaiki berbagai kekurangan yang terdapat pada kualitas penceritaan filmnya yang terdahulu?

Continue reading Review: 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2 (2014)

Review: 99 Cahaya di Langit Eropa (2013)

99-cahaya-di-langit-eropa-header

Sebagai sebuah novel, 99 Cahaya di Langit Eropa yang ditulis oleh Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra adalah sebuah fenomena tersendiri. Selain berhasil mendapatkan banyak pujian berkat kemampuan dua penulis untuk menggambarkan seluk beluk sejarah keberadaan Islam di benua Eropa, 99 Cahaya di Langit Eropa juga mampu meraih sukses komersial yang besar. Novel tersebut bahkan telah dirilis ulang puluhan kali semenjak cetakan pertamanya pada Juli 2011. Tidak mengherankan – ditengah menjamurnya film-film yang diadaptasi dari deretan novel best seller di industri film Indonesia – jika kemudian Maxima Pictures memilih untuk mengangkat novel yang kisahnya didasarkan pada pengalaman pribadi dua penulisnya tersebut menjadi sebuah film layar lebar. Namun, apakah versi film dari 99 Cahaya di Langit Eropa mampu turut sukses dalam memberikan pengalaman menggali sejarah Islam di Eropa dengan kuat bagi para penontonnya?

Continue reading Review: 99 Cahaya di Langit Eropa (2013)

Review: Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2012)

Beberapa saat setelah perilisan Mama Cake, penonton film Indonesia kembali “dianugerahi” dengan dirilisnya sebuah road movie – film yang menitikberatkan kisahnya pada perjalanan yang dilakukan oleh para karakter ceritanya dari satu lokasi ke lokasi lainnya – lain yang berjudul Rayya, Cahaya di Atas Cahaya. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh sutradara film ini, Viva Westi, bersama dengan Emha Ainun Najib, Rayya, Cahaya di Atas Cahaya disusun dengan deretan dialog benuansa puitis yang mungkin akan membuat sebagian penontonnya merasa jenuh. Pun begitu, karakter-karakter kuat yang mengisi jalan cerita film ini berhasil membuat Rayya, Cahaya di Atas Cahaya menjadi sebuah film yang begitu kuat dalam menyampaikan jalan ceritanya.

Continue reading Review: Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2012)