Tag Archives: Richard Oh

Review: Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi (2020)

Boy Candra is at it. AGAIN!

Masih ingat momen-momen buruk ketika Anda menyaksikan Malik & Elsa (Eddy Prasetya, 2020) yang dirilis MAX Pictures bersama Disney+ Hotstar pada minggu lalu? Well… novel-novel karangan Candra sepertinya memang tengah menjadi komoditas terhangat untuk diadaptasi oleh para produser film Indonesia. Tidak lama setelah perilisan Malik & Elsa, kini giliran IFI Sinema dan Screenplay Films yang bekerjasama dengan Netflix untuk merilis Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi yang alur kisahnya juga diambil dari novel tulisan Candra yang berjudul sama. Keberadaan Jefri Nichol sebagai pemeran utama, Lasja F. Susatyo (Cinta dari Wamena, 2013) di kursi penyutradaraan, serta Upi (#TemantapiMenikah, 2018) sebagai penulis naskah memang memberikan secercah harapan pada film drama romansa remaja ini. Sayang, talenta-talenta industri perfilman Indonesia tersebut ternyata tidak mampu membalut kualitas dasar cerita yang sepertinya memang tidak dapat diselamatkan lagi. Continue reading Review: Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi (2020)

Review: Perburuan (2019)

Seperti halnya Bumi Manusia (Hanung Bramantyo, 2019), Perburuan adalah sebuah film yang naskah ceritanya diadaptasi dari novel yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Jika Bumi Manusia memuat kisah yang berlatarbelakang masa penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, Perburuan menghadirkan ceritanya pada momen-momen terakhir penjajahan Jepang di tanah Indonesia. Fokus penceritaannya sendiri berada pada karakter Hardo (Adipati Dolken), seorang mantan pemimpin peleton Pembela Tanah Air yang bersama dengan rekan-rekan yang sepemikiran dengannya kemudian melakukan pemberontakan demi menuntut kemerdekaan Indonesia dari Jepang. Sial, usaha pemberontakan tersebut mendapatkan pengkhianatan dan gagal terlaksana. Tentara Jepang jelas tidak tinggal diam. Hardo dan rekan-rekannya diburu dan terancam akan mendapatkan hukuman berat. Hardo berhasil melarikan diri. Selama beberapa waktu, Hardo terus berlari dan mengasingkan dirinya dari keramaian. Bukan perkara mudah. Kesendirian diri dan rasa rindu pada sosok orang-orang yang dicintai secara perlahan mulai membuat Hardo kehilangan akal sehatnya. Continue reading Review: Perburuan (2019)

Review: 27 Steps of May (2019)

Dalam film pertama yang ia arahkan setelah merilis Jermal (2008), sutradara Ravi Bharwani mencoba untuk mengeksplorasi rasa duka dan trauma yang dialami oleh sesosok karakter setelah sebuah tragedi yang menimpanya. Kembali bekerjasama dengan penulis naskah Jermal, Rayya Makarim – yang bersama dengan Bharwani dan Utawa Tresno juga membantu mengarahkan film tersebut, 27 Steps of May memperkenalkan penonton pada perempuan muda bernama May (Raihaanun) yang hidup dengan mengisolasi dirinya dari kehidupan sosial akibat trauma setelah peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya. Tidak hanya sekedar memutuskan hubungan dengan dunia luar, May juga berhenti untuk berkata-kata bahkan ketika berkomunikasi dengan sang ayah (Lukman Sardi) yang juga memikul beban rasa bersalah akibat merasa tidak mampu melindungi puterinya. Namun, ketika sebuah celah secara tiba-tiba muncul di dinding kamarnya, sikap dan perilaku May mulai berubah. Tidak hanya membawakan seberkas sinar ke kamar May yang biasanya bernuansa kelam akibat tertutup rapat, celah tersebut memberikan ruang bagi May untuk melihat kilasan kehidupan yang selama ini telah ia jauhi dan tolak keberadaannya. Continue reading Review: 27 Steps of May (2019)

Review: Yowis Ben II (2019)

Terlepas dari barisan dialognya yang didominasi oleh Bahasa Jawa, perilisan Yowis Ben (Fajar Nugros, Bayu Skak, 2018) mampu memberikan kejutan ketika film tersebut berhasil mencuri perhatian banyak penikmat film Indonesia. Secara perlahan, film komedi yang juga menjadi debut penyutradaraan bagi Skak tersebut menyaingi keberadaan film-film lokal dan internasional lain yang dirilis di saat yang bersamaan, bertahan cukup lama di banyak layar bioskop – khususnya yang berada di Pulau Jawa, untuk kemudian sukses mengumpulkan lebih dari sembilan ratus ribu penonton selama masa tayangnya. Dengan ukiran prestasi tersebut, tidak mengherankan bila Nugros dan Skak kembali bekerjasama dan berusaha untuk mengulang (atau malah memperbesar) kesuksesan mereka dengan merilis sebuah sekuel bagi Yowis Ben. Dan dengan formula cerita dan guyonan yang masih setia dengan film pendahulunya, Yowis Ben 2 dipastikan akan tetap dapat menghibur para barisan penggemarnya – dan bahkan mungkin akan mampu mendapatkan beberapa penggemar baru. Continue reading Review: Yowis Ben II (2019)

Review: Pai Kau (2018)

Setelah menjadi penata kamera bagi film-film Indonesia seperti D’bijis (2007) dan Merah itu Cinta (2008) – yang keduanya diarahkan oleh Rako Prijanto – serta Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) dan Postcards from the Zoo (2010) – yang keduanya diarahkan oleh Edwin, nama Sidi Saleh mulai dikenal lebih luas sebagai seorang sutradara ketika ia turut ambil bagian dalam film omnibus Belkibolang (2010) dimana Saleh turut menyutradarai salah satu segmen yang berjudul Full Moon. Namun, tentu saja, para pemerhati dan penikmat film Indonesia menjadi lebih familiar dengan nama Saleh ketika film pendek arahannya, Maryam, memenangkan Orrizonti Award sebagai Film Pendek Terbaik di ajang The 71st Annual Venice International Film Festival yang berlangsung pada tahun 2014 lalu. Kini, dengan bantuan produser Tekun Ji dan Irina Chiu, Saleh merilis debut pengarahan film panjangnya yang berjudul Pai Kau – sebuah film drama suspense yang sepertinya ingin membawa penontonnya kembali pada era keemasan film-film thriller bertemakan organisasi kejahatan buatan Hong Kong maupun Republik Rakyat Tiongkok pada tahun ‘90an. Continue reading Review: Pai Kau (2018)

Review: Moon Cake Story (2017)

Setelah Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (Guntur Soeharjanto, 2016), Morgan Oey dan Bunga Citra Lestari kembali tampil berpasangan dalam film terbaru arahan Garin Nugroho (Guru Bangsa Tjokroaminoto, 2015) yang diproduseri oleh Tahir Foundation, Moon Cake Story. Filmnya sendiri berkisah mengenai pertemuan yang tidak disengaja antara seorang pengusaha bernama David (Oey) dengan seorang joki 3-in-1 bernama Asih (Lestari). Sama-sama memendam duka akibat ditinggal oleh sosok yang mereka cintai, pertemuan tersebut kemudian membawa David ke masa lalunya ketika ia dan ibunya masih tinggal di daerah kumuh dan berjuang untuk bertahan hidup dengan membuat kue bulan di keseharian mereka. Mengetahui bahwa Asih memiliki bakat memasak, David lantas menawarkan Asih cetakan dan resep kue bulan milik ibunya agar Asih dapat memulai usahanya sendiri. Walau awalnya merasa janggal dengan pemberian David, Asih akhirnya menerima dan mulai membuat kue bulannya sendiri. Continue reading Review: Moon Cake Story (2017)

Review: Melancholy is a Movement (2015)

melancholy-is-a-movement-posterSembilan tahun setelah merilis film layar lebar arahan perdananya, Koper (2006), Richard Oh kembali hadir dengan Melancholy is a Movement. Film yang menampilkan Joko Anwar serta sekumpulan pemain kunci dalam industri film Indonesia ini memang sepertinya dibuat sebagai ajang bermain bagi para orang-orang yang terlibat didalamnya. Bagaimana tidak? Masing-masing pengisi departemen akting film hadir memerankan versi lain dari diri mereka sendiri dalam jalinan cerita beraroma dark comedy yang kental berisi ironi mengenai kehidupan mereka sebagai orang-orang yang terjun langsung dalam dinamika industri film nasional. Lebih dari itu, Richard Oh juga menyajikan linimasa penceritaan Melancholy is a Movement dalam susunan eksperimental yang jelas akan membuat banyak penontonnya mengernyitkan dahi mereka selama 75 menit durasi perjalanan film ini.

Melancholy is a Movement sendiri berkisah mengenai Joko Anwar yang ketika sedang dirundung kemuraman akibat kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagi dirinya kemudian mendapatkan tawaran untuk mengarahkan sebuah film reliji – sebuah jenis film yang selalu dianggap bertentangan dengan dirinya. Jawaban pribadi Joko terhadap tawaran tersebut jelas adalah menolak. Namun, akibat dorongan rekan kerja – sekaligus kondisi keuangan rumah produksinya yang sangat membutuhkan dana tambahan – Joko akhirnya memilih untuk mengarahkan film dengan jalinan kisah berpesan moral tersebut. Sebuah kejutan justru datang ketika film tersebut meraih sukses luar biasa secara komersial sekaligus dianggap kritikus sebagai film terbaik yang pernah diarahkan oleh dirinya.

Melancholy is a Movement sendiri jelas merupakan sebuah film yang berniat untuk memberikan sudut pandang lebih intim terhadap kondisi industri perfilman Indonesia sekaligus orang-orang yang berada di dalamnya. Bicara tentang idealisme, selera pasar, bujet produksi hingga proses pembuatan sebuah film, Richard Oh secara berani (baca: nekat) menghadirkan alur penceritaan filmnya secara acak – berkisah tentang satu cerita di adegan lain namun kemudian berpindah ke cerita lain yang sama sekali tidak berhubungan di adegan berikutnya. Menantang? Sangat. Namun Richard Oh jelas mengerti apa yang sedang ia kerjakan. Setiap adegan cerita acak tersebut mampu secara perlahan mempertegas bagaimana jalan pemikiran sekaligus kondisi emosional sang karakter utama. Penyajian kisah dalam balutan komedi juga mampu dimanfaatkan untuk menjadikan jalan cerita film menjadi lebih tajam penyampaiannya.

Harus diakui, eksperimen Richard Oh yang berlangsung dalam Melancholy is a Movement juga tidak selamanya berjalan mulus. Kehadiran adegan-adegan diam yang diambil dalam jangka waktu tertentu dalam film ini seringkali terasa sebagai style over substance. Terasa bagaikan sebuah kumpulan mimpi namun lama-kelamaan mengganggu karena terkesan hadir secara acak tanpa adanya tujuan penceritaan yang kuat. Hal yang sama juga terasa dalam beberapa adegan film. Acak. Mungkin Richard Oh memiliki pemaknaan lain terhadap berbagai adegan yang dihadirkannya dalam film ini – dan penonton jelas akan memiliki banyak interpretasi lain terhadap deretan adegan maupun gambar tersebut, namun deretan adegan yang tidak memiliki substansi esensial terhadap kekuatan penceritaan film jelas memberikan titik lemah tersendiri terhadap presentasi film secara keseluruhan.

Sebagai aktor utama, Joko Anawar sendiri memiliki kharisma yang kuat dalam mengikat perhatian para penonton Melancholy is a Movement secara utuh. Film dengan presentasi cerita eksperimental seperti film ini jelas membutuhkan satu karakter dengan pesona kuat yang mampu membuat penonton tetap tertarik untuk merangkai setiap detil penceritaanya. Joko Anwar jelas memiliki kelebihan tersebut. Deretan pemeran pendukung lain seperti Nazyra C. Noer, Ario Bayu, Karina Salim, Fachri Albar, Renata Kusmanto hingga sutradara film Indonesia lainnya, Upi, juga memberikan kesan yang cukup berarti lewat kehadiran terbatas mereka dalam film ini. [C]

Melancholy is a Movement (2015)

Directed by Richard Oh Produced by Bernice Helena Written by Richard Oh Starring Joko Anwar, Ario Bayu, Amink, Fachri Albar, Renata Kusmanto, Karina Salim, HB Naveen, Alex Abbad, Verdi Solaiman, Upi, Aimee Saras, Hannah Al Rashid, Nazyra C. Noer, Ardy Oktavian, Lance, Michael Turangan, Tony Setiaji, Wilza Lubis, Tengku Ryo, Aghi Narottama, Farishad Latjuba Music by Rooftop Sound Cinematography Yunus Pasolang Editing by Cuunk Studio Metafor Pictures Production Running time 75 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2012)

Beberapa saat setelah perilisan Mama Cake, penonton film Indonesia kembali “dianugerahi” dengan dirilisnya sebuah road movie – film yang menitikberatkan kisahnya pada perjalanan yang dilakukan oleh para karakter ceritanya dari satu lokasi ke lokasi lainnya – lain yang berjudul Rayya, Cahaya di Atas Cahaya. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh sutradara film ini, Viva Westi, bersama dengan Emha Ainun Najib, Rayya, Cahaya di Atas Cahaya disusun dengan deretan dialog benuansa puitis yang mungkin akan membuat sebagian penontonnya merasa jenuh. Pun begitu, karakter-karakter kuat yang mengisi jalan cerita film ini berhasil membuat Rayya, Cahaya di Atas Cahaya menjadi sebuah film yang begitu kuat dalam menyampaikan jalan ceritanya.

Continue reading Review: Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2012)