Tag Archives: Oka Antara

Review: Noktah Merah Perkawinan (2022)

Seperti halnya Mumun (Rizal Mantovani, 2022), dan juga Si Doel the Movie (Rano Karno, 2018) dan juga Keluarga Cemara (Yandy Laurens, 2019) dan juga Tersanjung the Movie (Hanung Bramantyo, Pandhu Adjisurya, 2021) dan juga Losmen Bu Broto (Ifa Isfansyah, Eddie Cahyono, 2021), alur pengisahan Noktah Merah Perkawinan diadaptasi dari serial televisi berjudul sama yang begitu popular – jika tidak ingin menyebutnya sebagai ikonik – ketika ditayangkan di pertengahan dekade 1990an. Seperti yang dapat dicerna dari judulnya, serial televisi yang mengudara selama tiga musim dari tahun 1996 hingga tahun 1998 ini bertutur tentang kehidupan pernikahan para karakter utamanya, Priambodo (Cok Simbara) dan Ambarwati (Ayu Azhari – yang juga turut berperan dalam film ini), yang banyak mendapatkan distraksi dari pihak-pihak luar. Premis yang sederhana namun memuat cukup banyak intrik yang membuat serial tersebut dapat berjalan langgeng selama puluhan episode. Continue reading Review: Noktah Merah Perkawinan (2022)

Review: Gara-gara Warisan (2022)

Dengan naskah cerita yang ditulis dan diarahkan oleh aktor sekaligus komika, Muhadkly Acho – yang menjadikan film ini sebagai debut penyutradaraan film cerita panjangnya, Gara-gara Warisan memulai linimasa penceritaannya ketika seorang pemilik penginapan, Dahlan (Yayu Unru), berusaha untuk menemukan sosok yang tepat diantara ketiga anak-anaknya, Adam (Oka Antara), Laras (Indah Permatasari), dan Dicky (Ge Pamungkas), untuk menggantikan posisinya dalam mengelola penginapan ketika mengetahui dirinya mengidap penyakit yang sukar untuk disembuhkan. Dengan masalah perekonomian yang sedang menghimpit ketiganya, Adam, Laras, dan Dicky bersaing keras untuk memperebutkan warisan sang ayah yang jelas diharapkan dapat membantu kehidupan mereka. Di saat yang bersamaan, persaingan tersebut secara perlahan membuka kembali berbagai perseteruan, duka, hingga luka yang dirasakan setiap anggota keluarga tersebut semenjak lama. Continue reading Review: Gara-gara Warisan (2022)

Review: Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (2020)

Dua tahun setelah mengarahkan Wiro Sableng, Angga Dwimas Sasongko kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk film drama keluarga Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini. Diadaptasi dari buku berjudul sama yang ditulis oleh Marchella FP, Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini bercerita tentang Awan (Rachel Amanda), anak bungsu dari pasangan Faris (Donny Damara) dan Ajeng Narendra (Susan Bachtiar), yang merasa dirinya selalu berada dibawah bayang dan awasan sang ayah dalam melakukan sesuatu. Sikap (over)protektif sang ayah ternyata tidak hanya berpengaruh pada kehidupan Awan. Anak sulung keluarga tersebut, Angkasa (Rio Dewanto), sering merasa terbeban akan berbagai tanggungjawab berlebihan yang diberikan sang ayah dalam mengawasi adik-adiknya. Sementara itu, sang anak tengah, Aurora (Sheila Dara), telah lama merasa dirinya telah kehilangan perhatian kedua orangtuanya semenjak mereka lebih memilih untuk memberikan perhatian pada dua saudaranya yang lain. Barisan konflik yang terpendam dalam jiwa setiap anggota keluarga tersebut secara perlahan mulai memberikan pengaruh pada hubungan mereka di keseharian. Continue reading Review: Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (2020)

Review: Bebas (2019)

Sunny mungkin merupakan salah satu film drama komedi bertema persahabatan terbaik sekaligus paling hangat yang pernah diproduksi oleh industri film Korea Selatan. Dirilis pada tahun 2011, film arahan sutradara Kang Hyeong-cheol tersebut tidak hanya berhasil meraih kesuksesan secara komersial – dengan pendapatan sebesar US$51.1 juta, Sunny merupakan film dengan raihan pendapatan terbesar kedua pada tahun 2011 dan menjadi salah satu film dengan pendapatan terbesar sepanjang masa di Korea Selatan hingga saat ini – namun juga mampu meraih pujian luas dari kalangan kritikus film serta meraih sembilan nominasi di ajang The 48th Annual Grand Bell Awards dan memenangkan dua diantaranya, Best Director dan Best Editing. Seperti halnya kesuksesan Miss Granny (Hwang Dong-hyuk, 2015) – yang di Indonesia diadaptasi dan dirilis dengan judul Sweet 20 (Ody C. Harahap, 2017), Sunny lantas diadaptasi menjadi film layar lebar di sejumlah negara lain. Kolaborasi antara produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza yang sebelumnya telah menghasilkan Athirah (2016), Ada Apa Dengan Cinta? 2 (2016) dan Kulari ke Pantai (2018) menangani adaptasi Sunny di Indonesia dan merilisnya sebagai Bebas. Continue reading Review: Bebas (2019)

Review: Foxtrot Six (2019)

Dengan departemen akting yang diisi oleh nama-nama popular di dunia seni peran tanah air seperti Oka Antara, Julie Estelle, Chicco Jerikho, Rio Dewanto, hingga Arifin Putra, premis cerita yang menjanjikan deretan adegan aksi dengan tingkat mematikan, bujet yang dikabarkan mencapai lebih dari Rp70,5 miliar, hingga keterlibatan Mario Kassar – yang popular berkat keterlibatannya sebagai produser bagi film-film aksi legendaris buatan Hollywood seperti Rambo: First Blood (Ted Kotcheff, 1982), Totall Recall (Paul Verhoeven, 1990), hingga Universal Soldier (Roland Emmerich, 1992), jelas cukup mudah untuk memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap Foxtrot Six. Sebuah film aksi yang berniat untuk menyaingi kedigdayaan dwilogi The Raid (Gareth Evans, 2012 – 2014) sebagai film aksi terbaik Indonesia sepanjang masa? Sure, why not. Sayang, film yang menjadi debut pengarahan bagi Randy Korompis ini terasa terlalu mengandalkan premis aksinya yang bombastis tanpa pernah sekalipun berusaha untuk menghidupkan kualitas barisan konflik dan ceritanya. Akhirnya, alih-alih menjadi sajian aksi yang mengikat dan menarik, Foxtrot Six berakhir menjadi sebuah tayangan yang monoton dan menjemukan. Continue reading Review: Foxtrot Six (2019)

Festival Film Indonesia 2018 Nominations List

Komite Festival Film Indonesia akhirnya mengumumkan daftar nominasi Festival Film Indonesia 2018and they’re pretty boldand spot on. Daripada berusaha memenuhi kuota sejumlah judul atau nama untuk mengisi satu kategori, Komite Festival Film Indonesia kali ini hanya memberikan nominasi pada deretan judul atau nama yang dinilai benar-benar telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Tidak mengherankan, mengingat minimnya penampilan kualitas film-film Indonesia yang tergolong mengesankan yang rilis di sepanjang tahun ini, beberapa kategori utama kemudian hanya memiliki tiga atau empat peraih nominasi. Dengan melakukan penilaian terhadap setiap film Indonesia yang rilis di layar bioskop pada jangka waktu 1 Oktober 2017 hingga 30 September 2018, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya, 2017) berhasil menjadi film dengan raihan nominasi terbesar pada ajang Festival Film Indonesia 2018. Film yang juga menjadi unggulan Indonesia untuk berkompetisi di kategori Best Foreign Languange Film di Academy Awards mendatang tersebut sukses mencatatkan dirinya pada 15 kategori yang tersedia – termasuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Surya), Pemeran Utama Wanita Terbaik (Marsha Timothy), dan Skenario Asli Terbaik (Surya, Rama Adi). Continue reading Festival Film Indonesia 2018 Nominations List

Review: Aruna & Lidahnya (2018)

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Titien Wattimena (Dilan 1990, 2018) berdasarkan novel berjudul sama yang ditulis oleh Laksmi Pamuntjak, Aruna & Lidahnya bercerita mengenai perjalanan dinas yang dilakukan oleh seorang ahli wabah bernama Aruna (Dian Sastrowardoyo) untuk meneliti kebenaran kabar tentang wabah flu burung yang mulai menjangkiti penduduk di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai seorang penikmat kuliner sejati, Aruna lantas memanfaatkan tugasnya tersebut sekaligus untuk melakukan wisata kuliner dengan menikmati berbagai makanan khas dari daerah-daerah yang ia kunjungi bersama dengan sahabatnya, seorang juru masak bernama Bono (Nicholas Saputra). Perjalanan tersebut semakin ramai setelah kehadiran Nadezhda (Hannah Al Rashid) – seorang penulis yang merupakan sahabat dari Aruna dan Bono yang diam-diam telah lama disukai oleh Bono – serta Farish (Oka Antara) – seorang dokter yang juga mantan rekan kerja Aruna dan dulu sempat disukainya namun kini kehadirannya membuat lidah Aruna terasa mati rasa. Perjalanan yang penuh intrik, bukan hanya karena adanya pergulatan perasaan yang sedang berlangsung di hati keempat karakter tersebut namun juga dikarenakan kehadiran sebuah misteri yang meliputi tugas yang sedang dijalani Aruna. Continue reading Review: Aruna & Lidahnya (2018)

Review: Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017)

Ketika pertama kali dirilis pada tahun 2003, buku Jakarta Undercover karangan Moammar Emka berhasil menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan pecinta literatur Indonesia, khususnya karena buku tersebut berisi kumpulan cerita yang dengan berani mengangkat berbagai sisi kehidupan seksual warga Jakarta yang selama ini masih belum banyak diketahui atau malah dianggap tabu untuk dibicarakan. Emka kemudian melanjutkan kesuksesan bukunya dengan menerbitkan dua seri Jakarta Undercover lainnya, Jakarta Undercover 2: Karnaval Malam yang dirilis pada tahun 2006 serta Jakarta Undercover 3: Forbidden City yang hadir setahun setelahnya. Layaknya banyak novel sukses lainnya, Jakarta Undercover menarik perhatian produser Erwin Arnada yang berniat untuk mengadaptasi buku tersebut menjadi sebuah film layar lebar. Dengan bantuan penulis naskah Joko Anwar, versi film dari Jakarta Undercover yang diarahkan oleh Lance dan dibintangi Luna Maya, Lukman Sardi, Fachri Albar serta Christian Sugiono akhirnya dirilis pada awal tahun 2007. Sayang, terlepas dari banyaknya perhatian yang diberikan pada versi film dari Jakarta Undercover akibat deretan permasalahan yang harus dihadapi film tersebut ketika berhadapan dengan Lembaga Sensor Film, Jakarta Undercover mendapatkan reaksi yang tidak begitu menggembirakan, baik dari banyak kritikus film maupun para penonton film Indonesia. Continue reading Review: Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017)

Review: Mencari Hilal (2015)

mencari-hilal-posterMerupakan film kedua setelah Ayat-Ayat Adinda (Hestu Saputra, 2015) dari lima film yang direncanakan akan diproduksi dalam Gerakan Islam Cinta dan Indonesia Tanpa Diskriminasi, Mencari Hilal arahan Ismail Basbeth (Another Trip to the Moon, 2015) mengisahkan tentang perjalanan Heli (Oka Antara) dalam menemani sang ayah, Mahmud (Deddy Sutomo), untuk mengulang kembali tradisi yang pernah ia lakukan dahulu semasa masih menuntut ilmu di pesantren dalam mencari hilal – sebuah fenomena alam akan penampakan bulan sabit baru yang juga menunjukkan masuknya bulan baru dalam sistem kalender Hijriah. Hubungan antara Heli dan Mahmud sendiri telah lama merenggang akibat banyaknya pertentangan antara keduanya, terlebih semenjak Heli memutuskan untuk meninggalkan rumah orangtuanya untuk menjadi seorang aktivis lingkungan. Jelas, perjalanan setengah hati yang dilakukan Heli untuk menemani sang ayah akhirnya diisi dengan begitu banyak konfrontasi. Namun, dalam konfrontasi yang terjadi dalam perjalanan itulah, Heli dan Mahmud secara perlahan mulai mempelajari lebih banyak tentang satu sama lain dan mulai memahami sekaligus membuka diri tentang berbagai perbedaan pola pemikiran antara keduanya.

Sebagai sebuah road movie yang mendalami tentang hubungan antara sosok ayah dan anak – dan mungkin akan mengingatkan beberapa orang pada film asal Perancis arahan Ismaël Ferroukhi, Le Grand Voyage (2004) – Mencari Hilal jelas membutuhkan deretan dialog dan konflik yang kuat untuk dapat membuat penonton turut merasa terikat akan naik turunnya hubungan dua karakter yang bagian kisah hidupnya sedang mereka ikuti. Beruntung, naskah cerita garapan Salman Aristo, Bagus Bramanti dan Ismail Basbeth mampu menata pengisahan tersebut dengan sangat baik. Perjalanan yang dilakukan oleh karakter Heli dan Mahmud diisi dengan dialog-dialog yang dapat membuka kepribadian kedua karakter tersebut kepada para penonton sekaligus menjabarkan kondisi hubungan mereka. Naskah cerita film juga secara cerdas menyelipkan banyak isu-isu sosial yang berkenaan dengan “toleransi” dan “diskriminasi” – yang sepertinya memang akan kerap disajikan pada setiap film-film yang diproduksi dalam Gerakan Islam Cinta dan Indonesia Tanpa Diskriminasi – guna menjadikan jalan cerita Mencari Hilal semakin kuat dan seringkali terasa emosional.

Tidak sepenuhnya berjalan mulus. Mencari Hilal seringkali terasa menginvestasikan terlalu banyak porsi penceritaannya pada konflik eksternal yang dihadapi kedua karakter dalam perjalanan mereka. Bukan berarti buruk, namun hubungan ayah dan anak antara karakter Mahmud dan Heli jelas akan terasa lebih mengikat secara emosional jika keduanya diberikan lebih banyak kesempatan untuk berhadapan dengan konflik internal mereka. Latar belakang kisah yang dihadirkan untuk kedua karakter juga masih terasa minim untuk penonton dapat memberikan perhatian lebih besar pada keduanya. Namun, kelemahan-kelemahan tersebut untungnya mampu ditutupi dengan pengarahan Ismail Basbeth yang terasa begitu intim. Fokus personal yang diberikan Ismail Basbeth pada jalan ceritanya membuat Mencari Hilal seringkali mampu berbicara lebih besar dari apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh naskah cerita filmnya. Pilihannya untuk menghadirkan jalan cerita film dengan nada penceritaan yang sederhana juga berhasil memberikan ruang yang luas bagi penonton untuk dapat meresapi berbagai konflik yang berjalan di sepanjang durasi film.

Ismail Basbeth juga mendapatkan dukungan yang berkelas dari departemen produksi serta departemen akting filmnya. Gambar-gambar yang disajikan oleh Satria Kurnianto tampil begitu indah. Seperti jalan ceritanya, deretan gambar yang menghiasi Mencari Hilal seringkali tampil indah dalam artian puitis daripada bermaksud untuk sekedar menjadi ajang pameran keindahan tata sinematografi. Kualitas yang sama juga dapat dirasakan dari tampilan musik, artistik hingga penataan gambar yang mendukung kualitas film secara keseluruhan. Dari departemen akting, Deddy Sutomo dan Oka Antara berhasil menghidupkan karakter yang mereka perankan dengan baik. Meskipun penampilan Oka Antara kadang masih terasa berjalan dalam satu nada emosi yang sama di sepanjang film, namun chemistry yang ia bentuk bersama aktor senior Deddy Sutomo – yang tampil begitu brilian – mampu menjadi kunci bagi penampilan keduanya sebagai pasangan ayah dan anak untuk terlihat meyakinkan.

Terlepas dari beberapa kekurangannya, Mencari Hilal mampu muncul sebagai sebuah sajian yang berhasil berbicara secara personal kepada setiap penikmatnya tanpa pernah terasa menggurui atau menceramahi meskipun dengan tema penceritaan yang dibawakannya. Salah satu film yang jelas akan meninggalkan kesan begitu mendalam pada setiap penontonnya jauh seusai mereka menyaksikan film ini. [B]

Mencari Hilal (2015)

Directed by Ismail Basbeth Produced by Putut Widjanarko, Raam Punjabi, Salman Aristo Written by Salman Aristo, Bagus Bramanti, Ismail Basbeth Starring Deddy Sutomo, Oka Antara, Torro Margens, Erythrina Baskoro Music by Charlie Meliala Cinematography Satria Kurnianto Editing by Wawan I. Wibowo Studio Multivision Plus Pictures/Studio Denny JA/Mizan Productions/Dapur Film Production/Argi Film Running time 94 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: The Raid 2: Berandal (2014)

Terlepas dari kesuksesan megah yang berhasil diraih oleh The Raid (2012) – baik sebagai sebuah film Indonesia yang mampu mencuri perhatian dunia maupun sebagai sebuah film yang bahkan diklaim banyak kritikus film dunia sebagai salah satu film aksi terbaik yang pernah diproduksi dalam beberapa tahun terakhir – tidak ada yang dapat menyangkal bahwa film garapan sutradara Gareth Huw Evans tersebut memiliki kelemahan yang cukup besar dalam penataan ceritanya. Untuk seri kedua dari tiga seri yang telah direncanakan untuk The Raid, Evans sepertinya benar-benar mendengarkan berbagai kritikan yang telah ia terima mengenai kualitas penulisan naskahnya. Menggunakan referensi berbagai film aksi klasik seperti The Godfather (1972) dan Infernal Affairs (2002), Evans kemudian memberikan penggalian yang lebih mendalam terhadap deretan karakter maupun konflik penceritaan sekaligus menciptakan jalinan kisah berlapis yang tentu semakin menambah kompleks presentasi kisah The Raid 2: Berandal. Lalu bagaimana Evans mengemas pengisahan yang semakin rumit tersebut dengan sajian kekerasan nan brutal yang telah menjadi ciri khas dari The Raid?

Continue reading Review: The Raid 2: Berandal (2014)

Review: Killers (2014)

Killers (Nikkatsu/Guerilla Merah Films/Damn Inc./Media Prima Production/PT Merantau Films/Million Pictures/Holy Bastard, 2014)
Killers (Nikkatsu/Guerilla Merah Films/Damn Inc./Media Prima Production/PT Merantau Films/Million Pictures/Holy Bastard, 2014)

Dalam Killers, sebuah film thriller terbaru arahan duo Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel – atau yang lebih familiar dengan sebutan The Mo Brothers (Rumah Dara, 2010), garis kehidupan dua orang pria yang berasal dari dua negara dan latar kehidupan berbeda namun sama-sama menyimpan sebuah sisi gelap yang mengerikan di dalam diri mereka akan segera bertemu satu sama lain. Pria pertama bernama Nomura Shuhei (Kazuki Kitamura), seorang eksekutif muda asal Tokyo, Jepang yang meskipun memiliki wajah tampan dan mudah disukai banyak orang namun memiliki kegemaran untuk membunuh dan mendokumentasikan kegemarannya tersebut dalam bentuk video. Tidak berhenti disana, Nomura dengan giat mengunggah rekaman-rekaman video pembunuhannya ke internet demi mendapatkan kepuasan setelah mengetahui bahwa “mahakarya” yang ia hasilkan telah dilihat jutaan pasang mata.

Continue reading Review: Killers (2014)

Review: Sang Penari (2011)

Dirangkum dari trilogi novel Ronggeng Dukuh ParukRonggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985) dan Jantera Bianglala (1986) – karya Ahmad Tohari, Sang Penari memfokuskan kisahnya pada kehidupan masyarakat Dukuh Paruk di tahun 1960-an, di masa ketika setiap masyarakat masih memegang teguh aturan dan adat istiadat leluhurnya serta jauh dari modernisasi – termasuk pemahaman agama – kehidupan yang secara perlahan mulai menyentuh wilayah di luar desa tersebut. Salah satu prinsip adat yang masih kokoh dipegang oleh masyarakat Dukuh Paruk adalah budaya ronggeng, sebuah tarian adat yang ditarikan oleh seorang gadis perawan yang terpilih oleh sang leluhur. Layaknya budaya geisha di Jepang, gadis perawan yang terpilih untuk menjadi seorang ronggeng nantinya akan menjual keperawanan mereka pada pria yang mampu memberikan harga yang tinggi. Bukan. Keperawanan tersebut bukan dijual hanya untuk urusan kepuasan seksual belaka. Bercinta dengan gadis yang terpilih sebagai ronggeng merupakan sebuah berkah bagi masyarakat Dukuh Paruk yang beranggapan bahwa hal tersebut dapat memberikan sebuah kesejahteraan bagi mereka.

Continue reading Review: Sang Penari (2011)

Festival Film Indonesia 2011 Nominations List

Well… dengan dirilisnya pengumuman nominasi Festival Film Indonesia 2011, Minggu (27/11), membuktikan kalau Festival Film Indonesia memiliki selera penilaian yang berbeda dari mereka yang memilih untuk mengirimkan Di Bawah Lindungan Ka’bah sebagai perwakilan Indonesia ke seleksi kategori Best Foreign Language Film di ajang Academy Awards mendatang. Di Bawah Lindungan Ka’bah sama sekali tidak mendapatkan nominasi di ajang Festival Film Indonesia 2011! Pun begitu, ketiadaan judul Di Bawah Lindungan Ka’bah dalam daftar nominasi Festival Film Indonesia 2011 tidak lantas membuat ajang penghargaan tertinggi bagi insan perfilman Indonesia tersebut menjadi lebih prestisius dibandingkan dengan Academy Awards. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Festival Film Indonesia 2011 masih meninggalkan beberapa film dan penampilan yang seharusnya mendapatkan rekognisi yang tepat. Dan seperti yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya pula, Festival Film Indonesia 2011 masih menominasikan film dan penampilan yang sebenarnya banyak mendapatkan kritikan tajam dari para kritikus film nasional.

Continue reading Festival Film Indonesia 2011 Nominations List