Tag Archives: Deddy Mahendra Desta

Review: Pretty Boys (2019)

Selain menjadi seorang penyanyi dan dokter – dan aktor, jika Anda turut memperhitungkan penampilan singkatnya pada Trinity, The Nekad Traveler (Rizal Mantovani, 2017), Tompi menambah gelar sutradara untuk namanya dengan mengarahkan film layar lebar yang berjudul Pretty Boys. Dengan naskah yang digarap oleh Imam Darto (Coblos Cinta, 2008), Pretty Boys berkisah mengenai perjuangan dua orang pemuda, Rahmat (Deddy Mahendra Desta) dan Anugerah (Vincent Rompies), untuk menggapai mimpi mereka guna menjadi sosok yang terkenal di industri hiburan Indonesia. Kesempatan untuk mewujudkan mimpi tersebut tiba-tiba datang ketika Rahmat dan Anugerah ditawari untuk menjadi pembawa acara pendamping bagi sebuah program bincang-bincang di saluran televisi terkenal. Namun, kesempatan tersebut datang dengan sebuah syarat: Produser meminta Rahmat dan Anugerah untuk tampil layaknya para waria. Dengan penampilan tersebut, dan kemampuan berguyon mereka, Rahmat dan Anugerah secara perlahan mulai meraih popularitas mereka. Sayang, di saat yang bersamaan, popularitas tersebut lantas menghadirkan ruang pada hubungan persahabatan mereka. Continue reading Review: Pretty Boys (2019)

Review: Aruna & Lidahnya (2018)

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Titien Wattimena (Dilan 1990, 2018) berdasarkan novel berjudul sama yang ditulis oleh Laksmi Pamuntjak, Aruna & Lidahnya bercerita mengenai perjalanan dinas yang dilakukan oleh seorang ahli wabah bernama Aruna (Dian Sastrowardoyo) untuk meneliti kebenaran kabar tentang wabah flu burung yang mulai menjangkiti penduduk di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai seorang penikmat kuliner sejati, Aruna lantas memanfaatkan tugasnya tersebut sekaligus untuk melakukan wisata kuliner dengan menikmati berbagai makanan khas dari daerah-daerah yang ia kunjungi bersama dengan sahabatnya, seorang juru masak bernama Bono (Nicholas Saputra). Perjalanan tersebut semakin ramai setelah kehadiran Nadezhda (Hannah Al Rashid) – seorang penulis yang merupakan sahabat dari Aruna dan Bono yang diam-diam telah lama disukai oleh Bono – serta Farish (Oka Antara) – seorang dokter yang juga mantan rekan kerja Aruna dan dulu sempat disukainya namun kini kehadirannya membuat lidah Aruna terasa mati rasa. Perjalanan yang penuh intrik, bukan hanya karena adanya pergulatan perasaan yang sedang berlangsung di hati keempat karakter tersebut namun juga dikarenakan kehadiran sebuah misteri yang meliputi tugas yang sedang dijalani Aruna. Continue reading Review: Aruna & Lidahnya (2018)

Review: Buka’an 8 (2017)

Menyusul kesuksesan Surat dari Praha (2016) – yang berhasil meraih enam nominasi di ajang Festival Film Indonesia sekaligus terpilih mewakili Indonesia untuk berkompetisi pada kategori Best Foreign Language Film di ajang The 89th Annual Academy Awards yang lalu – Angga Dwimas Sasongko kini menghadirkan Buka’an 8. Berbeda dengan Surat dari Praha dan beberapa film yang ia arahkan sebelumnya seperti Filosofi Kopi (2015) atau Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014) yang kental dengan nuansa drama, Buka’an 8 menandai kembalinya Sasongko ke genre komedi romantis seperti yang dahulu pernah ia tampilkan dalam Hari Untuk Amanda (2010). Dan seperti halnya film yang dibintangi Oka Antara, Fanny Fabriana dan Reza Rahadian tersebut, Sasongko mampu mengolah Buka’an 8 menjadi sebuah sajian ringan namun sarat akan sentuhan emosional yang kuat. Sebuah pencapaian yang sekali lagi membuktikan posisi Sasongko sebagai salah satu sutradara film Indonesia yang paling meyakinkan untuk saat ini. Continue reading Review: Buka’an 8 (2017)

Review: Epen Cupen the Movie (2015)

epen-cupen-the-movie-posterEmpat tahun setelah mengarahkan Lost in Papua – yang selamanya mungkin diingat sebagai salah satu pengalaman menonton film terburuk bagi kebanyakan penikmat film Indonesia, Irham Acho Bachtiar kembali membawa penontonnya ke wilayah paling timur Indonesia tersebut lewat Epen Cupen the Movie. Epen Cupen the Movie sendiri diangkat dari kesuksesan sebuah webseries berjudul Epen Cupen – akronim dari Emang Penting Cukup Penting – yang menyajikan deretan sketsa komedi singkat tentang kehidupan keseharian penduduk Papua yang digarap oleh Papua Selatan Film Community. Untuk versi filmnya, Irham Acho Bachtiar tetap menghadirkan sentuhan komedi khas masyarakat Papua seperti yang selalu tersaji dalam webseries Epen Cupen sekaligus mengemasnya dengan dukungan elemen aksi pada beberapa bagian penceritaannya.

Jalan cerita Epen Cupen the Movie sendiri dimulai ketika seorang pemuda asal Papua bernama Celo (Klemens Awi) ditugaskan oleh sang ayah untuk mencari saudara kembarnya yang telah hilang semenjak kecil. Dalam perjalanannya tersebut, Celo kemudian bertemu dengan seorang pemuda asal Medan, Babe (Babe Cabiita), yang sedang dalam pelarian dari para penagih hutang akibat usahanya yang telah mengalami kebangkrutan. Dengan janji akan memberikan sejumlah uang untuk membantu melunasi hutang-hutangnya, Babe akhirnya setuju untuk membantu Celo. Perjalanan keduanya lantas berlanjut ke Jakarta. Di kota tersebut, keduanya mendapatkan kejutan ketika mengetahui bahwa saudara kembar Celo merupakan seorang pemimpin salah satu kelompok preman yang kini tengah berseteru dengan pimpinan kelompok preman lainnya, John (Edward Gunawan).

Untungnya, dengan sentuhan komedi yang cukup kental, perjalanan ke ranah Papua yang dilakukan Irham Acho Bachtiar kali ini mampu tampil jauh lebih baik daripada Lost in Papua. Kekuatan utama film ini jelas hadir dari chemistry yang terjalin antara dua pemeran utamanya, Klemens Awi dan Babe Cabiita, yang mampu menyajikan benturan perbedaan budaya yang terdapat diantara kedua karakter mereka menjadi sumber komedi tingkat tinggi yang begitu menghibur. Tidak mengherankan jika paruh pertama film yang banyak mengeksplorasi lemparan guyonan antara Klemens Awi dan Babe Cabiita menjadi momen keemasan tersendiri bagi Epen Cupen the Movie. Tampil prima dengan sentuhan komedi yang begitu kental dan terasa hangat.

Sayangnya, seiring dengan kehadiran beberapa konflik dan karakter pendukung, Epen Cupen the Movie mulai terasa kehilangan fokus dan ketajaman dalam penceritaannya. Bukan berarti film ini lantas berubah menjadi demikian buruk namun, jika dibandingkan dengan paruh pertama film yang benar-benar bertumpu pada pembangunan kisah persahabatan antara karakter Celo dan Babe, paruh kedua film menghadirkan konflik yang terkesan datar dan kurang utuh penggalian kisahnya. Banyak diantara konflik pendukung tersebut hanya sekedar menjadi pemicu bagi kehadiran adegan aksi dalam jalan cerita film tanpa pernah benar-benar tersaji dengan menarik. Berbicara mengenai adegan aksi dalam film ini, Irham Acho Bachtiar mampu dengan baik mengeksekusi setiap adegan aksi dalam Epen Cupen the Movie. Tidak istimewa namun jelas jauh dari mengecewakan.

Selain Klemens Awi dan Babe Cabiita yang mampu tampil bersinar dalam elemen komedi mereka, departemen akting Epen Cupen the Movie juga diisi oleh beberapa nama lain seperti Marissa Nasution, Edward Gunawan hingga kehadiran beberapa comics – sebutan untuk para pelaku stand-up comedy – di beberapa bagian kisahnya. Tidak banyak hal yang dapat diungkapkan dari penampilan para pemeran pendukung film ini. Baik Marissa Nasution dan Edward Gunawan terasa canggung dalam memerankan karakter mereka. Edward Gunawan – yang tampil memukau dalam Arisan! 2 (Nia Dinata, 2011) dan Street Society (Awi Suryadi, 2014) bahkan hadir dengan penampilan akting yang terlalu dibuat-buat sebagai sosok pimpinan kelompok preman yang berkepribadian tangguh. Ruang penceritaan yang minimalis juga tidak banyak memberikan kesempatan bagi para comics untuk lebih meningkatkan adrenalin komedi pada paruh kedua film. Hasilnya, Epen Cupen the Movie yang awalnya terasa cukup menjanjikan sebagai sebuah film aksi komedi berakhir dengan tanggung dan gagal memberikan kesan yang lebih mendalam. [C]

Epen Cupen the Movie (2015)

Directed by Irham Acho Bachtiar Produced by Gope T. Samtani Written by Irham Acho Bachtiar Starring Klemens Awi, Babe Cabiita, Marissa Nasution, Edward Gunawan, Nato Beko, Fico Fachriza, Deddy Mahendra Desta, Pierre Gruno, Abdur Arsyad, Temon Templar, David Nurbianto, Uus, Fadly Jackson, Wita, Hengky Henggise, Cesilia Birio, Maria Fan Gebze, Vera Minipko, Thomas Kimko Music by Indra Q Cinematography Fachmi J. Saad Editing by Ryan Purwoko Studio Rapi Films Running time 95 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Si Jago Merah 2: Air & Api (2015)

air-dan-api-posterMerupakan sekuel bagi film Si Jago Merah (Iqbal Rais, 2008), Si Jago Merah 2: Air & Api kini melanjutkan kisah perjalanan karir dua karakter dari seri sebelumnya, Gito (Deddy Mahendra Desta) dan Rojak Panggabean (Judika Sihotang), sebagai anggota petugas pemadam kebakaran. Dibawah kepemimpinan Komandan Dicky (Bucek Depp), keduanya kini ditugaskan untuk membina calon petugas pemadam kebakaran yang baru. Diantara pendatang baru tersebut terdapat Radit (Tarra Budiman) yang dipaksa sang ayah untuk bergabung dalam kelompok tersebut, Dipo (Dion Wiyoko) yang bergabung karena keinginannya untuk dapat menolong orang banyak meskipun hal tersebut mendapat larangan dari sang ayah (Ferry Salim) serta Sisi (Enzy Storia) yang ingin mengikuti jejak almarhum sang ayah sebagai seorang petugas pemadam kebakaran. Tentu saja, ada banyak tantangan dalam melatih para personel baru, mulai dari masalah cinta lokasi antara sesama petugas hingga keahlian masing-masing petugas ketika diturunkan dalam lokasi bencana.

Masalah terbesar yang dihadapi oleh Si Jago Merah 2: Air & Api sendiri harus diakui datang dari konten yang terkandung dalam naskah ceritanya. Sebagai sebuah film yang mengisahkan tentang para petugas pemadam kebakaran – karakter yang kisahnya masih sangat amat jarang ditemukan dalam jalan cerita film Indonesia, Si Jago Merah 2: Air & Api justru lebih banyak mengangkat masalah romansa yang terjadi antara para karakter yang hadir dalam jalan cerita film ini. Bukan masalah yang cukup besar jika garisan cerita romansa tersebut mampu dikemas menarik (dan berimbang). Sayangnya, kisah cinta segitiga yang tergambar antara karakter Radit, Sisi dan Dipo terasa begitu mengganggu akibat penggalian materi cerita yang dangkal sehingga terasa bertele-tele dalam penyampaiannya. Materi kisah cinta segitiga tersebut juga mengambil porsi yang (terlalu) luas sehingga seringkali menghalangi plot-plot kisah lain yang coba ditonjolkan oleh film ini. Hasilnya, meskipun Si Jago Merah 2: Air & Api berkisah mengenai kehidupan para petugas pemadam kebakaran, film ini sama sekali tidak pernah mampu menjadi sebuah film yang benar-benar dapat bercerita panjang kali lebar mengenai kehidupan para petugas pemadam kebakaran.

Tidak hanya dari penceritaannya. Penggambaran karakter-karakter dalam film ini juga harus diakui terasa digambarkan cukup lemah. Kedangkalan sikap beberapa karakter dalam menghadapi masalah personal mereka jelas terasa berlawanan dengan tugas berat mereka sebagai petugas pemadam kebakaran. Si Jago Merah 2: Air & Api memanglah sebuah fiksi. Namun ketika sebuah jalan cerita film dihadapkan atau dikaitkan pada beberapa karakter yang memang telah familiar karakteristiknya, jelas hal tersebut harusnya menjadi pertimbangan tersendiri dalam pendalaman penulisan dari masing-masing karakter dalam cerita. Lemahnya penceritaan memang harus terasa cukup mengganggu. Meskipun begitu, arahan Raymond Handaya (I Love You Masbro, 2012) bagi film ini masih mampu terasa kekuatannya. Pemilihan alur penceritaan yang berjalan cepat setidaknya membuat Si Jago Merah 2: Air & Api tetap terasa lugas dalam perjalanannya. Raymond juga mampu memberikan arahan yang baik bagi tata teknikal film yang beberapa kali disajikan dengan tuntutan adanya efek visual pada gambarnya. Seluruh tatanan teknikal mampu dieksekusi dengan lancar dan terasa nyaman untuk dinikmati penonton.

Raymond Handaya juga rasanya beruntung diberkahi barisan pengisi departemen akting yang kuat dalam film ini. Mulai dari Tarra Budiman, Dion Wiyoko, Enzy Storia hingga pemeran pendukung seperti Bucek Depp, Ferry Salim dan Joehana Sutisna mampu memberikan kontribusi terbaik mereka dalam menghidupkan kehadiran setiap karakter. Namun, jelas adalah Deddy Mahendra Desta dan Judika Sihotang yang selalu berhasil menjadi pencuri perhatian utama dalam Si Jago Merah 2: Air & Api. Keduanya mampu menjalankan plot komedi dan drama yang diberikan pada karakter mereka dengan baik. Sejujurnya, mungkin Si Jago Merah 2: Air & Api akan menjadi lebih menarik jika saja fokus penceritaan tetap diberikan pada karakter yang diperankan Deddy Mahendra Desta dan Judika Sihotang seperti yang disajikan Iqbal Rais dalam seri sebelumnya. [C-]

Si Jago Merah 2: Air & Api (2015)

Directed by Raymond Handaya Produced by Chand Parwez Servia, Fiaz Servia Written by Raymond Handaya, Hilman Mutasi, Away Martianto (screenplay), Hilman Mutasi, Fajar Nugros (characters) Starring Judika Sihotang, Deddy Mahendra Desta, Dion Wiyoko, Tarra Budiman, Enzy Storia, Abdur Arsyad, Bucek Depp, Marissa Nasution, Girindra Kara, Joehana Sutisna, Putri Una, Ferry Salim, Meriam Bellina, Dwi Yan, Volland Humonggio, Lina Marpaung, Kezia Karamoy, Umar Lubis, Sacha Stevenson, Ingrid Widjanarko, Joshua Pandelaki, Mongol Stres, Laila Sari, Iranty Purnamasari Music by Andhika Triyadi Cinematography Yoyok Budi Santoso Editing by Wawan I. Wibowo, Dody Chandra Studio Starvision Running time 99 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Slank Nggak Ada Matinya (2013)

slank-gak-ada-matinya-header

Jika Generasi Biru (2009) yang disutradarai oleh Garin Nugroho, John De Rantau dan Dosy Omar adalah sebuah film musikal eksperimental yang dibuat untuk memperingati 25 tahun perjalanan karir bermusik Slank, maka Slank Nggak Ada Matinya mungkin akan lebih tepat dilihat sebagai retrospektif terhadap 30 tahun keberadaan Slank di industri musik Indonesia dengan jalan penceritaan yang lebih berfokus pada setiap pribadi yang mengisi kelompok musik tersebut. Berbeda dengan Generasi Biru dimana masing-masing personel Slank turut berlaku sebagai pemeran utama dalam film tersebut, Slank Nggak Ada Matinya menempatkan Adipati Dolken, Ricky Harun, Aaron Shahab, Ajun Perwira dan Deva Mahendra yang masing-masing berperan sebagai para personel Slank. Lalu, apakah kelima aktor muda Indonesia tersebut mampu memerankan serta menghidupkan karakter para personel Slank yang semenjak lama dikenal sebagai sosok yang cukup eksentrik tersebut?

Continue reading Review: Slank Nggak Ada Matinya (2013)

Review: Get M4rried (2013)

get-m4rried-header

Meski tak satupun diantara seri lanjutan Get Married (2007) yang mampu menghadirkan kualitas presentasi cerita maupun guyonan sekuat seri pemulanya, namun harus diakui bahwa seri film tersebut telah mendapatkan sejumlah penggemar loyal dari kalangan penonton film Indonesia. Seri terakhirnya, Get Married 3 (2011) – yang hadir dengan kualitas paling buruk jika dibandingkan dengan dua seri Get Married sebelumnya, bahkan masih mampu meraih kesuksesan dengan perolehan jumlah penonton berada di atas angka 500 ribu. Karenanya, tidak mengherankan jika kemudian Starvision Plus kembali mengumpulkan para jajaran pemeran serta kru produksi seri film ini untuk membuat seri keempat yang diberi judul Get M4rried dan berusaha untuk mengulang kesuksesan tersebut.

Continue reading Review: Get M4rried (2013)

Review: Hari Ini Pasti Menang (2013)

Hari Ini Pasti Menang bukanlah Garuda di Dadaku (2009) atau Tendangan Dari Langit (2011) atau kebanyakan film Indonesia lainnya yang menghadirkan drama seputar olahraga sepakbola di dalam jalan penceritaannya. Seperti film terakhir yang ia arahkan, Romeo & Juliet (2009), Andibachtiar Yusuf kembali menawarkan warna lain dalam tema penceritaan yang sebenarnya telah banyak dieksplorasi oleh kebanyakan para pembuat film lainnya. Bekerjasama dengan penulis naskah Swastika Nohara, alih-alih menghadirkan alur cerita yang berfokus pada drama keluarga, tema nasionalisme maupun kisah from zero to hero yang selalu terkait dalam film-film bertema olahraga, Andibachtiar justru memberikan fokus besar pada dunia judi yang selalu menyertai setiap penyelenggaraan acara olahraga besar serta berbagai intrik politik yang bergerak dibelakangnya. Kelam, namun dengan pengarahan Andibachtiar yang begitu lugas, Hari Ini Pasti Menang mampu menjelma menjadi salah satu drama olahraga paling cerdas yang pernah dirilis di industri film Indonesia.

Continue reading Review: Hari Ini Pasti Menang (2013)

Review: Operation Wedding (2013)

operation-wedding-header

Setelah merilis Sampai Ujung Dunia dan Test Pack: You’re My Baby pada tahun lalu – yang berhasil membuktikan bahwa film drama dewasa Indonesia mampu dikemas secara ringan namun tetap berhasil tampil emosional, Monty Tiwa kembali hadir dengan film terbarunya yang kali ini bernafaskan drama komedi, Operation Wedding. Dengan departemen akting yang diisi oleh jajaran pemeran muda berbakat di industri film Indonesia, Operation Wedding sepertinya akan dapat dengan mudah menjadi sebuah film drama komedi yang menghibur dan, tentu saja, menarik perhatian banyak penonton. Well… para jajaran pemeran muda dengan penampilan sangat atraktif tersebut memang mampu membuat Operation Wedding menjadi sangat menyenangkan untuk dilihat. Namun ketika berhubungan dengan jalan cerita yang mereka lakoni… buruk mungkin hanya satu-satunya kesan yang dapat disematkan pada film ini.

Continue reading Review: Operation Wedding (2013)

Review: Sampai Ujung Dunia (2012)

Lagi-lagi sebuah kisah cinta segitiga. Dengan naskah yang ditulis oleh Monty Tiwa dan Tino Kawilarang, Sampai Ujung Dunia mengisahkan mengenai tiga orang sahabat, Anissa (Renata Kusmanto), Gilang (Gading Marten) dan Daud (Dwi Sasono), yang semenjak masa kecilnya tumbuh bersama kemudian menemukan diri mereka berada dalam rumitnya persaingan cinta setelah ketiganya terjebak dalam cinta segitiga saat beranjak remaja. Datang dari latar belakang kehidupan yang berbeda, Gilang dan Daud kemudian sama-sama menyatakan rasa suka dan cinta mereka pada Anissa setelah keduanya sama-sama menyelesaikan masa pendidikan sekolah menengah mereka. Tidak ingin agar Gilang dan Daud saling menjauh karena persaingan cinta mereka, Anissa akhirnya memberikan sebuah tantangan kepada keduanya.

Continue reading Review: Sampai Ujung Dunia (2012)

Review: Get Married 3 (2011)

Sebenarnya, sangat tidak mengherankan untuk mendengar bahwa Starvision merilis seri ketiga dari franchise Get Married, Get Married 3, pada liburan Lebaran tahun ini. Walaupun seri kedua dalam franchise ini, Get Married 2 (2009), secara jelas menunjukkan adanya sebuah penurunan kualitas yang cukup signifikan, namun Get Married 2 masih mampu tampil sebagai salah satu film dengan raihan jumlah penonton terbanyak pada tahun rilisnya. Jelas merupakan sebuah pertanda bahwa franchise ini masih mampu tampil menarik bagi banyak orang sekaligus memiliki potensi besar untuk kembali menghasilkan keuntungan jika kisahnya dilanjutkan. Dan Get Married 3 pun akhirnya menemui masa rilisnya.

Continue reading Review: Get Married 3 (2011)

Review: Jakarta Maghrib (2010)

Salman Aristo – salah satu nama yang bertanggungjawab atas kehadiran beberapa judul terpopuler di industri perfilman Indonesia, seperti Laskar Pelangi (2008), Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Hari Untuk Amanda (2010) – melakukan debut penyutradaraannya lewat sebuah film omnibus bertajuk Jakarta Maghrib. Dalam film yang juga ia  tulis naskahnya ini, Salman berusaha untuk menghadirkan arti dari sebuah waktu maghrib bagi sekelompok kalangan – dalam hal ini, kalangan masyarakat di berbagai sudut kota Jakarta. Lewat lima cerita pendek yang ia hadirkan, Salman dapat dengan bebas menggambarkan maghrib sebagai sebuah waktu transisi dari siang ke malam lewat berbagai genre penceritaan. Usaha yang cukup meyakinkan walau masih belum dapat dikatakan memuaskan secara menyeluruh.

Continue reading Review: Jakarta Maghrib (2010)