Setelah Test Pack: You Are My Baby (2012), sutradara Monty Tiwa kembali mempertemukan Reza Rahadian dengan Acha Septriasa dalam film arahannya yang terbaru, Layla Majnun. Merasa familiar dengan judul tersebut? Meskipun bukanlah adaptasi langsung dari kumpulan puisi legendaris Layla and Majnun karangan sastrawan asal Azerbaijan, Nezami Ganjavi, namun naskah cerita film yang ditulis oleh Alim Sudio (Mariposa, 2020) masih menggunakan esensi serta tema cerita senada seperti yang diusung oleh barisan puisi karya Ganjavi yang alur kisahnya mendapat julukan The Romeo and Julie of the East karena kandungan cerita cinta tak berbalasnya yang mengingatkan banyak orang pada kisah Romeo and Juliet yang ditulis oleh William Shakespeare. Lalu bagaimana eksplorasi cerita yang dilakukan oleh Tiwa dan Sudio dalam mengelola alur dan konflik romansa yang sebenarnya telah dituturkan berulang kali? Continue reading Review: Layla Majnun (2021)
Tag Archives: Baim Wong
Review: Bebas (2019)
Sunny mungkin merupakan salah satu film drama komedi bertema persahabatan terbaik sekaligus paling hangat yang pernah diproduksi oleh industri film Korea Selatan. Dirilis pada tahun 2011, film arahan sutradara Kang Hyeong-cheol tersebut tidak hanya berhasil meraih kesuksesan secara komersial – dengan pendapatan sebesar US$51.1 juta, Sunny merupakan film dengan raihan pendapatan terbesar kedua pada tahun 2011 dan menjadi salah satu film dengan pendapatan terbesar sepanjang masa di Korea Selatan hingga saat ini – namun juga mampu meraih pujian luas dari kalangan kritikus film serta meraih sembilan nominasi di ajang The 48th Annual Grand Bell Awards dan memenangkan dua diantaranya, Best Director dan Best Editing. Seperti halnya kesuksesan Miss Granny (Hwang Dong-hyuk, 2015) – yang di Indonesia diadaptasi dan dirilis dengan judul Sweet 20 (Ody C. Harahap, 2017), Sunny lantas diadaptasi menjadi film layar lebar di sejumlah negara lain. Kolaborasi antara produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza yang sebelumnya telah menghasilkan Athirah (2016), Ada Apa Dengan Cinta? 2 (2016) dan Kulari ke Pantai (2018) menangani adaptasi Sunny di Indonesia dan merilisnya sebagai Bebas. Continue reading Review: Bebas (2019)
Review: Ambu (2019)
Merupakan film yang menjadi debut penyutradaraan bagi Farid Dermawan, Ambu berkisah mengenai hubungan antara ibu dan anak yang terjalin antara tiga karakter dari tiga generasi yang berbeda. Dengan latar belakang kehidupan Orang Baduy di Provinsi Banten yang terbiasa mengisolasi diri mereka dari dunia luar, jalan cerita Ambu dimulai ketika hubungan antara Fatma (Laudya Chynthia Bella) dan ibunya, Misnah (Widyawati), merenggang akibat ketidaksetujuan sang ibu akan jalinan asmara yang dibangun Fatma dengan seorang pemuda bernama Nico (Baim Wong) yang berasal dari Jakarta. Fatma lantas memilih untuk meninggalkan sang ibu, menikah dengan Nico dan memulai hidup barunya di Jakarta. Kini, hampir dua puluh tahun semenjak ia meninggalkan sang ibu dan setelah rumah tangganya dengan Nico berakhir, Fatma memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dengan membawa puteri tunggalnya yang telah beranjak remaja, Nona (Luthesha). Tidak mengejutkan, kedatangan Fatma dan Nona disambut dingin oleh Misnah. Fatma tidak menyerah begitu saja. Ia ingin Nona untuk tidak mengulangi kesalahannya dan berharap agar ibunya mau menerima kehadiran sang cucu dalam kehidupannya. Continue reading Review: Ambu (2019)
Review: Hujan Bulan Juni (2017)
Diadaptasi dari buku kumpulan puisi berjudul sama karya Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni berkisah mengenai hubungan asmara antara dua orang dosen, Pingkan (Velove Vexia) dan Sarwono (Adipati Dolken). Sebelum Pingkan berangkat ke Jepang untuk melanjutkan pendidikannya, Sarwono meminta bantuan gadis tersebut untuk menemaninya menyelesaikan sebuah tugas di kota Manado, Sulawesi Utara – yang juga merupakan kota kelahiran Pingkan. Kepulangan Pingkan kembali ke kampung halamannya jelas disambut dengan senang hati oleh keluarganya. Namun, di saat yang bersamaan, kedatangan Pingkan juga disambut oleh sepupu tirinya, Benny (Baim Wong), yang semenjak lama telah menaruh hati pada Pingkan. Ditambah dengan deretan pertanyaan yang hadir dari keluarga Pingkan mengenai perbedaan kepercayaan yang mereka nilai tidak dapat menyatukan Pingkan dengan dirinya, membuat Sarwono mulai mempertanyakan kekuatan hubungan asmara yang ia jalin selama ini. Continue reading Review: Hujan Bulan Juni (2017)
Review: Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017)
Ketika pertama kali dirilis pada tahun 2003, buku Jakarta Undercover karangan Moammar Emka berhasil menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan pecinta literatur Indonesia, khususnya karena buku tersebut berisi kumpulan cerita yang dengan berani mengangkat berbagai sisi kehidupan seksual warga Jakarta yang selama ini masih belum banyak diketahui atau malah dianggap tabu untuk dibicarakan. Emka kemudian melanjutkan kesuksesan bukunya dengan menerbitkan dua seri Jakarta Undercover lainnya, Jakarta Undercover 2: Karnaval Malam yang dirilis pada tahun 2006 serta Jakarta Undercover 3: Forbidden City yang hadir setahun setelahnya. Layaknya banyak novel sukses lainnya, Jakarta Undercover menarik perhatian produser Erwin Arnada yang berniat untuk mengadaptasi buku tersebut menjadi sebuah film layar lebar. Dengan bantuan penulis naskah Joko Anwar, versi film dari Jakarta Undercover yang diarahkan oleh Lance dan dibintangi Luna Maya, Lukman Sardi, Fachri Albar serta Christian Sugiono akhirnya dirilis pada awal tahun 2007. Sayang, terlepas dari banyaknya perhatian yang diberikan pada versi film dari Jakarta Undercover akibat deretan permasalahan yang harus dihadapi film tersebut ketika berhadapan dengan Lembaga Sensor Film, Jakarta Undercover mendapatkan reaksi yang tidak begitu menggembirakan, baik dari banyak kritikus film maupun para penonton film Indonesia. Continue reading Review: Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017)
Review: Filosofi Kopi the Movie (2015)
Diadaptasi dari sebuah cerita pendek berjudul Filosofi Kopi karya Dee Lestari, Filosofi Kopi the Movie berkisah mengenai dua sahabat, Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto), yang kini mengelola sebuah kedai kopi yang mereka namakan Filosofi Kopi. Berbeda dengan kebanyakan tempat minum kopi lainnya, Filosofi Kopi menawarkan sebuah pengalaman meminum kopi yang maksimal dari biji kopi terbaik yang diolah dengan begitu seksama oleh Ben yang memang begitu terobsesi dengan kopi semenjak kecil. Sayang, hutang ratusan juta yang dimiliki oleh kedai kopi tersebut secara perlahan mulai memberikan kesulitan bagi Ben dan Jody untuk meneruskan usaha mereka. Sebuah kesempatan untuk terlepas dari lilitan utang muncul ketika seorang pengusaha (Ronny P. Tjandra) menawarkan uang Rp1 miliar kepada Ben dan Jody asalkan mereka dapat menghasilkan secangkir kopi paling enak bagi seorang penggila kopi yang juga akan menjadi calon investornya. Ben, yang selalu merasa bahwa ia adalah barista terbaik di Jakarta – bahkan Indonesia, jelas merasa tertantang akan tawaran tersebut. Namun, tawaran tersebut tidak hanya akan menguji kemampuan Ben dalam mengolah kopi. Secara perlahan, tawaran tersebut juga memberikan tantangan besar pada persahabatannya dengan Jody sekaligus kemampuannya dalam berhadapan dengan masa lalu yang semenjak lama telah ingin ia lupakan.
Berkaca dari Perahu Kertas (2012) – yang diadaptasi menjadi dua seri film, Rectoverso (2013), Madre (2013) serta Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh (2014), adalah tidak mudah untuk tetap mempertahankan berbagai filosofi pemikiran seorang Dee Lestari yang begitu personal sekaligus puitis dan kemudian membawanya untuk menjadi sebuah penceritaan audio visual yang lancar. Bahkan, berbagai penyesuaian yang dilakukan penulis naskah cerita film terhadap novel-novel Dee Lestari tersebut seringkali justru menghilangkan sebagian besar esensi utama tulisannya. Memang, ibaratnya menggarap secangkir kopi, tulisan-tulisan Dee Lestari adalah biji kopi dengan kualitas berkelas yang siap untuk diolah menjadi secangkir kopi nikmat. Namun, secangkir kopi nikmat tidak hanya hadir dari kualitas biji kopinya. Diperlukan tangan handal yang mengerti benar bagaimana kondisi dan kualitas biji kopi tersebut untuk kemudian dapat mengolahnya dengan tepat menjadi sajian yang dapat dinikmati banyak orang.
Beruntung Filosofi Kopi the Movie kemudian memiliki Jenny Jusuf dan Angga Dwimas Sasongko yang menjadi pengolah dan pembuat kopi penceritaan dari biji kopi cerita berkualitas karya Dee Lestari. Sebagai seorang penulis naskah cerita, Jenny Jusuf berhasil menyelami setiap konflik serta karakter yang hadir dalam cerita Filosofi Kopi untuk kemudian memberikan penyesuaian yang tepat bagi kisah Filosofi Kopi the Movie. Setiap karakter dalam film ini mampu diberikan ruang penceritaannya sendiri yang secara perlahan berkembang menjadi penceritaan utuh namun sama sekali tidak bertabrakan satu sama lain. Deretan konflik dari tiap karakter tersebut justru saling melengkapi dan berlindung dalam satu tema penceritaan besar mengenai persahabatan serta hubungan antara anak dan orangtua yang akan mampu menyentuh setiap penontonnya. Bukan berarti naskah cerita arahan Jenny Jusuf hadir tanpa ada kelemahan apapun – durasi film ini rasanya dapat lebih dipersingkat dengan mengurangi beberapa konflik dan karakter minor, namun jika dibandingkan dengan film-film yang naskah ceritanya berasal dari adaptasi karya Dee Lestari sebelumnya, Jenny Jusuf mampu memberikan keadilan tersendiri bagi Filosofi Kopi the Movie dengan sama sekali tidak menghilangkan kesan berbagai pemikiran filosofis popular yang biasanya selalu terpancar dari tulisan seorang Dee Lestari namun tetap menghadirkannya dalam tatanan bahasa yang mudah dicerna.
Jika Jenny Jusuf merupakan sosok yang memberikan olahan awal pada biji kopi penceritaan Filosofi Kopi milik Dee Lestari maka Angga Dwimas Sasongko adalah sosok yang bertanggungjawab untuk mengeksekusi – menyeduh dan menyajikan – kopi Filosofi Kopi the Movie bagi para penikmatnya. Seperti pada Hari Untuk Amanda (2010) dan Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014), Filosofi Kopi the Movie kembali membuktikan kepiawaian seorang Angga Dwimas Sasongko dalam bercerita. Angga mampu menyajikan Filosofi Kopi the Movie dalam tempo penceritaan yang tepat – tidak terlalu lamban dan tidak pernah terasa terburu-buru. Sentuhannya tersebut mampu membuat Filosofi Kopi the Movie terasa begitu akrab, nyaman dan terasa hangat dalam berkisah. Pengarahan teknikal Filosofi Kopi the Movie juga sangat berkelas mulai dari tata sinematografi hingga aransemen musik yang mampu mendukung atmosfer penceritaan film.
Dan, tentu saja, Filosofi Kopi the Movie juga menghadirkan departemen akting dalam kualitas terbaik. Jajaran pemerannya yang berisikan nama-nama seperti Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Julie Estelle, Slamet Rahardjo hingga Jajang C. Noer berhasil memberikan penampilan yang begitu mampu menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Chemistry yang tercipta antara Chicco Jerikho dengan Rio Dewanto juga terasa begitu kuat yang semakin mengukuhkan kekuatan persahabatan yang terjalin antara karakter Ben dan Jody yang mereka perankan. Secara keseluruhan, Filosofi Kopi the Movie jelas menunjukkan kematangan dari setiap orang yang terlibat didalamnya, mulai dari konsep penceritaan yang matang hingga eksekusi yang benar-benar mampu menghantarkan citarasa terbaik dari cerita yang ingin disampaikan. Sajian yang jelas layak dan wajib dinikmati oleh setiap penikmat film. [B-]
Filosofi Kopi the Movie (2015)
Directed by Angga Dwimas Sasongko Produced by Anggia Kharisma, Handoko Hendroyono Written by Jenny Jusuf (screenplay), Dee Lestari (short story, Filosofi Kopi) Starring Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Julie Estelle, Jajang C. Noer, Slamet Rahardjo, Ronny P. Tjandra, Otig Pakis, Joko Anwar, Norman Akyuwen, Tara Basro, Verdi Solaiman, Tanta Ginting, Baim Wong Music by Glenn Fredly Cinematography Robie Taswin Editing by Ahsan Andrian Studio Visinema Pictures Running time 117 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: Dilema (2012)
Empat orang sutradara muda film Indonesia menulis dan menyutradarai lima film pendek yang mencoba untuk menggambarkan kelamnya sisi-sisi kehidupan di kota Jakarta. Tidak seperti kebanyakan film-film omnibus lain yang akhir-akhir ini banyak diproduksi di Indonesia – yang semoga hanya merupakan menjadi sebuah alternatif bentuk kreativitas lain dari para insan film Indonesia dan bukan karena terlalu malas atau ketidakmampuan untuk memproduksi sebuah film panjang – lima kisah pendek yang dihantarkan dalam Dilema tidak diceritakan secara bergantian. Kelima kisah pendek tersebut berjalan beriringan satu sama lain hingga membentuk satu benang merah yang akhirnya mampu menghubungkan kelima cerita tersebut.