Review: Losmen Bu Broto (2021)


Seperti sejumlah rekan sepantarannya seperti Si Doel the Movie (Rano Karno, 2018), Keluarga Cemara (Yandy Laurens, 2019), dan Tersanjung the Movie (Hanung Bramantyo, Pandhu Adjisurya, 2021), alur pengisahan Losmen Bu Broto juga diadaptasi dan terinspirasi dari sebuah serial televisi berjudul Losmen yang dahulu mengudara di saluran Televisi Republik Indonesia dari tahun 1986 hingga tahun 1989. Losmen Bu Broto sendiri bukanlah film cerita panjang pertama yang menggunakan potongan konflik dan karakter dari serial televisi yang diciptakan, ditulis, dan disutradarai oleh pasangan Tatiek Maliyati dan Wahyu Sihombing tersebut. Sihombing sebelumnya pernah mengarahkan sebuah film layar lebar berjudul Penginapan Bu Broto (1987) yang menjadi cerita lepasan dari serial televisi Losmen dengan naskah ceritanya masih ditangani oleh Maliyati. Jika dibandingkan dengan Penginapan Bu Broto yang fokus pengisahannya lebih terpaku pada kisah romansa yang terjalin antara beberapa karakternya, Losmen Bu Broto, yang menjadi kolaborasi penyutradaraan Ifa Isfansyah (Koki-koki Cilik, 2018) dengan Eddie Cahyono (Siti, 2014), lebih memiliki kedekatan penuturan cerita dengan serial televisi Losmen yang bertutur tentang dinamika yang terjadi pada jalinan hubungan antar karakter pengisi keluarga pengelola losmen.

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Alim Sudio (Surga yang Tak Dirindukan 3, 2021), Losmen Bu Broto berkisah tentang pasangan Pak Broto (Mathias Muchus – yang dalam serial televisi Losmen dahulu berperan sebagai karakter Tarjo) dan Bu Broto (Maudy Koesnaedi) yang bersama dengan ketiga anaknya, Pur (Putri Marino), Sri (Maudy Ayunda), dan Tarjo (Baskara Mahendra), mengelola sebuah tempat penginapan bernama Losmen Bu Broto di satu sudut kota Yogyakarta. Dengan sikap kepemimpinannya yang tegas, Losmen Bu Broto mampu menjadi tempat penginapan yang begitu diminati oleh mereka yang sedang menyinggahi Yogyakarta atau sekedar ingin menjauh dari riuhnya hidup keseharian. Di saat yang bersamaan, ketegasan yang ditunjukkan oleh Bu Broto ternyata memberikan friksi bagi hubungannya dengan kedua putrinya: Pur yang masih berduka setelah meninggalnya sang kekasih, Anton (Darius Sinathrya), terus tenggelam dalam rasa kehilangannya sementara Sri merasa begitu tertekan akan keinginan sang ibu agar dirinya membantu mengelola losmen disaat dirinya memiliki harapan dan cita-cita yang lain.

Losmen Bu Broto menghadirkan cukup banyak karakter dalam linimasa pengisahannya. Namun, setelah menghabiskan hampir seluruh paruh pertamanya untuk memperkenalkan sejumlah karakter inti dan berbagai konflik yang mereka bawakan, film ini kemudian menempatkan fokus ceritanya pada perseteruan jalan pemikiran antara tiga karakter perempuan yang kemudian mendominasi penuturan film. Karakter Bu Broto, karakter Pur, dan karakter Sri digambarkan sebagai tiga sosok karakter yang tinggal di bawah satu atap namun memiliki tiga cara pandang akan hidup yang berbeda. Berbagai benturan yang terjadi secara konstan antara ketiga karakter tersebut yang kemudian mendorong aliran penuturan cerita film. Tidak berhenti disana, Losmen Bu Broto juga masih menyajikan sejumlah konflik personal yang dihadapi oleh karakter Sri – yang dikisahkan hamil di luar nikah dengan kekasihnya, Jarot (Marthino Lio), yang membuatnya diusir dari rumah, serta karakter Pur – yang sembari masih memendam rasa luka dan duka atas kehilangan kekasih kini harus memikul tanggung jawab yang lebih besar atas pengelolaan losmen setelah kepergian karakter Sri. Pelik.

Sial, Losmen Bu Broto justru kemudian terasa kewalahan untuk menangani deretan konflik tersebut – dan sejumlah konflik minor lain yang turut dihadirkannya. Tiap problema yang dituturkan tidak pernah mampu dikembangkan secara matang, membuat konflik-konflik tersebut berakhir dengan kesan superfisial, dan seolah dipaksakan untuk ada agar para penonton dapat meneteskan air mata. Tumpukan konflik dalam linimasa penceritaan film juga membuat ruang gerak pengembangan karakter menjadi begitu terbatas. Jangankan untuk memberikan karakterisasi yang lebih meyakinkan untuk para karakter laki-laki seperti karakter Pak Broto – yang sepertinya dirancang untuk terlihat sebagai sosok ayah yang lebih banyak mendengar dan memperhatikan namun terasa berakhir sebagai sosok ayah yang tidak berpendirian, atau karakter Jarot – yang kehadirannya hanya berguna sebagai pemantik masalah bagi karakter Sri sebelum diberikan plot yang lebih berarti di paruh akhir pengisahan film, atau karakter Tarjo – yang kehadirannya entah apa kegunaannya dalam film ini. Karakterisasi dari tiga karakter perempuan yang menjadi bagian inti dari pengisahan Losmen Bu Broto juga sering terasa inkonsisten.

Sejumlah masalah pada garapan penuturan tersebut yang kemudian menghambat Losmen Bu Broto untuk dapat tampil sebagai presentasi cerita yang berkualitas istimewa. Padahal, kebanyakan elemen pengisahan lain dari film ini memiliki kualitas yang jauh dari kesan mengecewakan. Pilihan untuk menjadikan karakter-karakter perempuan sebagai jangkar penceritaan tidak hanya dihadirkan dari pemberian porsi cerita yang lebih banyak kepada karakter-karakter perempuan tersebut. Naskah cerita film ini juga memberikan ruang yang cukup leluasa pada pemikiran-pemikiran modern akan kaum perempuan. Plot tentang karakter Sri yang memilih untuk menjaga kehamilannya dengan atau tanpa dampingan kekasihnya terasa menjadi sentuhan yang begitu menggugah. Kualitas produksi film juga tampil berkelas. Mulai dari tata sinematografi, tata musik, tata rias dan busana, hingga tata artistik mampu mendukung pengarahan Isfansyah dan Cahyono guna menghadirkan kisah keluarga yang terasa hangat dan membumi.

Berbagai kelemahan narasi film juga cukup mampu ditalangi oleh kualitas penampilan yang diberikan oleh seluruh pengisi departemen akting film ini. Meskipun karakter Bu Broto kadang terasa lebih berkesan otoriter daripada hadir sebagai sosok yang bersikap tegas dalam kesehariannya, penampilan Koesnaedi membuat karakter tersebut dapat selalu mudah untuk disukai. Ayunda dan Marino memberikan penampilan akting dalam dua spektrum yang berbeda. Penampilan Ayunda tampil lebih ekspresif, sedangkan Marino terkesan lebih subtil dalam menonjolkan setiap pergerakan emosional dari karakternya. Sama-sama berhasil untuk menghidupkan karakter yang mereka perankan, namun penampilan Marino terasa lebih kuat dan akan membekas lebih mendalam pada ingatan banyak penontonnya. Penampilan Muchus, Lio, Erick Estrada, dan Landung Simatupang juga memberikan kontribusi positif pada kualitas keseluruhan dari penceritaan Losmen Bu Broto.

popcornpopcornpopcornpopcorn2popcorn2

Losmen Bu Broto (2021)

Directed by Ifa Isfansyah, Eddie Cahyono Produced by Andi Boediman, Pandu Birantoro, Robert Ronny Written by Alim Sudio (screenplay), Tatiek Maliyati, Wahyu Sihombing (characters) Starring Mathias Muchus, Maudy Koesnaedi, Maudy Ayunda, Putri Marino, Baskara Mahendra, Danilla Riyadi, Marthino Lio, Erick Estrada, Teuku Ryzki, Marzuki Muhammad, Kenes Andari, Thomi Baraqbah, Landung Simatupang, Darius Sinathrya, Karina Suwandi, Mbok Tun, Kinanti Sekar Rahina, Resti Praditaningtyas, Herwindo, Neti Rukmana, Sarbini Idris, Dyah Aniek Mulani Murdiastuti, Sri Widayati, Onet Dewanti, Nyoman Warta Cinematography Muhammad Firdaus Edited by Greg Arya, Cesa David Luckmansyah Music by Aghi Narottama, Bemby Gusti, Tony Merle Production companies Ideosource Entertainment/Paragon Pictures/fourcolours films/Ideoworks.id Running time 109 minutes Country Indonesia Language Indonesian

One thought on “Review: Losmen Bu Broto (2021)”

Leave a Reply