Review: Keluarga Cemara (2019)


Harta yang paling berharga adalah keluarga…”

Seperti halnya Si Doel Anak SekolahanKeluarga Cemara merupakan salah satu serial televisi terpopular – dan mungkin juga paling dicintai – yang pernah tayang di sepanjang sejarah pertelevisian Indonesia. Hadir pertama kali pada tahun 1996 di saluran Rajawali Citra Televisi Indonesia, serial televisi yang diadaptasi dari seri novel berjudul sama karangan Arswendo Atmowiloto tersebut berhasil merebut hati banyak penontonnya dengan kisah mengenai kehidupan keseharian sebuah keluarga yang meskipun sederhana namun dipenuhi warna serta dinamika yang begitu terasa erat dengan kehidupan banyak lapisan sosial masyarakat Indonesia. Lebih dari sepuluh tahun semenjak episode terakhirnya mengudara, dan mengikuti jejak adaptasi layar lebar Si Doel Anak Sekolahan yang dirilis pertengahan tahun lalu, produser Anggia Kharisma (Buka’an 8, 2017) dan Gina S. Noer kembali menghadirkan Abah, Emak, Euis, dan Ara dalam versi film Keluarga Cemara dengan arahan dari sutradara Yandy Laurens.

Tidak seperti Si Doel Anak Sekolahan arahan Rano Karno yang melanjutkan linimasa penceritaan serial televisinya, naskah cerita Keluarga Cemara yang digarap bersama oleh Noer dan Laurens menghadirkan pengenalan ulang terhadap deretan kisah, konflik dan karakternya sekaligus memberikan pembaharuan pada beberapa sektor cerita yang jelas dilakukan agar versi teranyar Keluarga Cemara ini berkesan lebih modern. Dasar kisahnya sendiri masih sama: seorang pengusaha sukses yang lebih dikenal dengan sebutan Abah (Ringgo Agus Rahman) terpaksa merelakan rumah dan seluruh hartanya disita setelah dirinya ditipu oleh kakak iparnya (Ariyo Wahab) sendiri. Kini, Abah bersama dengan keluarga kecilnya, Emak (Nirina Zubir), Euis (Adhisty Zara), dan Ara (Widuri Puteri), harus meninggalkan kenyamanan tinggal di kota besar seperti Jakarta untuk kemudian pindah ke daerah terpencil di Jawa Barat. Jelas bukan sebuah problema mudah. Selain Abah yang harus mencari pekerjaan baru dan memulai kembali usahanya, Emak juga harus memutar otak untuk membantu menguatkan sang suami sekaligus menjadi panduan bagi Euis dan Ara dalam proses adaptasi mereka terhadap lingkungannya yang berbeda dan baru.

Pilihan Noer dan Laurens untuk tidak sepenuhnya berpangku pada esensi nostalgia dari serial televisi Keluarga Cemara dalam membangun rangka cerita film ini jelas layak diberikan kredit lebih. Tentu, karakter Abah, Emak, Euis, Ara, serta beberapa karakter pendukung familiar lain masih dihadirkan dengan kisah dan karakterisasi yang tidak terlalu berbeda. Namun, dengan infusi dari linimasa pengisahan yang kini menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman – mulai dari kehadiran telepon genggam, modern dance, hingga keikutsertaan GO-JEK dalam penceritaan film, karakter-karakter tersebut kini tampil dengan lebih banyak warna dan lapisan emosi. Tidak lagi sekedar karakter-karakter yang tangguh dan sabar dalam menghadapi berbagai tantangan yang hadir dalam kehidupan mereka. Pengolahan cerita yang dilakukan Noer dan Laurens juga masih mempertahankan esensi sederhana dan intim dalam mengelola jalinan komunikasi yang muncul antara setiap karakter. Beberapa konflik dalam linimasa cerita film memang hadir dengan kadar pengolahan yang kurang matang atau repetisi dari beberapa konflik yang telah disajikan sebelumnya sehingga dapat saja dibuang untuk mempersingkat durasi presentasi cerita. Meskipun begitu, melalui pengarahan Laurens, Keluarga Cemara mampu mengemas bahkan setiap sudut cerita terlemahnya menjadi sebuah tampilan cerita yang kuat dan hangat.

Merupakan debut pengarahan film layar lebarnya, Laurens menghadirkan Keluarga Cemara dengan ritme pengisahan yang sederhana namun mampu bergerak serta mengalir dengan begitu lancar. Fokus yang lebih banyak pada karakter Abah dan karakter Euis sekaligus pergerakan emosional dalam hubungan mereka berhasil dikembangkan dengan baik sekaligus tidak serta merta membuat Laurens melupakan karakter-karakter lain dalam penceritaan ini. Setiap karakter berhasil diberikan ruang pengisahan masing-masing yang mampu menciptakan kedinamisan pengisahan yang kuat dalam presentasi kisah Keluarga Cemara. Laurens juga memiliki kemampuan yang handal dalam mengemas filmnya dengan tampilan teknikal yang meyakinkan. Pilihan lagu-lagu yang dihadirkan di sepanjang pengisahan film bersanding tepat dengan tata musik arahan Ifa Fachir dalam memberikan galian emosional yang lebih mendalam – namun jauh dari kesan orkestrasi yang mendayu-dayu nan cengeng. Begitu pula dengan penataan kamera yang menghantarkan gambar-gambar dengan nuansa warna yang lembut dan nyaman untuk disaksikan.

Pengarahan Laurens juga mendapatkan dukungan yang solid dari penampilan para pengisi departemen aktingnya. Walau telah dibebani oleh gambaran karakter Abah, Emak, Euis, dan Ara yang telah melekat dalam di ingatan para penggemar serial televisi Keluarga Cemara, masing-masing pemeran film ini mampu memberikan interpretasi yang kuat dan segar bagi karakter-karakter tersebut. Lihat saja bagaimana Rahman dan Zubir yang memberikan banyak sentuhan baru pada karakter Abah dan Emak yang mereka perankan. Rahman, khususnya, mampu menyajikan sosok Abah yang modern dan dengan kedalaman emosional yang lebih kompleks meskipun sama sekali tidak pernah melepaskan rangka karakter sosok Abah yang telah familiar dengan segala kesabaran dan kebijaksanaannya. Zara dan Puteri tampil mencuri perhatian dalam setiap penampilannya. Berperan sebagai sosok remaja yang mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungannya yang baru, Zara menampilkan Euis sebagai sosok yang jelas terasa akrab oleh banyak remaja saat ini. Karakter Ara diberkahi oleh oleh banyak dialog yang bernilai menghibur dan Puteri mampu memberikan eksekusi yang sangat meyakinkan akan karakternya tersebut. Penampilan para pemeran pendukung seperti Asri Welas, Gading Marten, dan Maudy Koesnaedi juga menjadikan departemen akting film ini semakin kokoh dalam hantaran kualitasnya.

Bukan suatu hal yang sukar untuk merasa jatuh cinta dengan apa yang disajikan oleh Laurens dalam Keluarga Cemara. Laurens dapat saja memilih untuk menjadikan film ini sebagai sebuah tearjerker murahan yang mengandalkan berbagai tantangan dan kesedihan yang dialami oleh karakter-karakternya guna memancing reaksi emosional penonton. Namun, dengan bantuan tata naskah yang apik garapannya bersama dengan Noer, Laurens mampu mengemas Keluarga Cemara menjadi sebuah presentasi kisah keluarga yang bercerita secara apa adanya namun terasa begitu familiar dan hangat untuk didengarkan. Rasa yang sama yang selalu hadir ketika berkumpul dengan para anggota keluarga yang begitu dicintai. Sebuah debuat pengarahan yang sangat mengesankan. [B]

keluarga-cemara-film-indonesia-movie-posterKeluarga Cemara (2019)

Directed by Yandy Laurens Produced by Anggia Kharisma, Gina S. Noer Written by Gina S. Noer, Yandy Laurens (screenplay), Arswendo Atmowiloto (novel, Keluarga Cemara) Starring Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, Adhisty Zara, Widuri Puteri, Asri Welas, Yasamin Jasem, Maudy Koesnaedi, Andrew Trigg, Kafin Sulthan, Abdurrahman Arif, Gading Marten, Ariyo Wahab Music by Ifa Fachir Cinematography Robie Taswin Edited by Hendra Adhie Susanto Production company Visinema Pictures/Ideosource/Kaskus Running time 110 minutes Country Indonesia Language Indonesian

7 thoughts on “Review: Keluarga Cemara (2019)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s