Seperti yang dapat ditilik dari judulnya, Naga Naga Naga adalah sekuel kedua dari Nagabonar (MT Risyaf, 1986) setelah Nagabonar Jadi 2 arahan Deddy Mizwar yang mampu menarik minat lebih dari satu juta penonton dan menjadikannya sebagai film dengan raihan penonton terbanyak kedua ketika dirilis pada tahun 2007 yang lalu. Mizwar kembali duduk di kursi penyutradaraan sekaligus kembali memerankan sang karakter ikonik, Nagabonar. Judul yang diberikan pada film ini juga menandai kehadiran sesosok “naga” baru dalam alur pengisahannya. Jika film sebelumnya memberikan fokus pada hubungan antara dua “naga,” Nagabonar dan anaknya Bonaga (Tora Sudiro), maka Naga Naga Naga menghadirkan karakter Monaga (Cut Beby Tshabina) yang merupakan cucu Nagabonar yang berasal dari pernikahan karakter Bonaga dengan istrinya, Monita (Wulan Guritno). Continue reading Review: Naga Naga Naga (2022)
Tag Archives: Darius Sinathrya
Review: Losmen Bu Broto (2021)
Seperti sejumlah rekan sepantarannya seperti Si Doel the Movie (Rano Karno, 2018), Keluarga Cemara (Yandy Laurens, 2019), dan Tersanjung the Movie (Hanung Bramantyo, Pandhu Adjisurya, 2021), alur pengisahan Losmen Bu Broto juga diadaptasi dan terinspirasi dari sebuah serial televisi berjudul Losmen yang dahulu mengudara di saluran Televisi Republik Indonesia dari tahun 1986 hingga tahun 1989. Losmen Bu Broto sendiri bukanlah film cerita panjang pertama yang menggunakan potongan konflik dan karakter dari serial televisi yang diciptakan, ditulis, dan disutradarai oleh pasangan Tatiek Maliyati dan Wahyu Sihombing tersebut. Sihombing sebelumnya pernah mengarahkan sebuah film layar lebar berjudul Penginapan Bu Broto (1987) yang menjadi cerita lepasan dari serial televisi Losmen dengan naskah ceritanya masih ditangani oleh Maliyati. Jika dibandingkan dengan Penginapan Bu Broto yang fokus pengisahannya lebih terpaku pada kisah romansa yang terjalin antara beberapa karakternya, Losmen Bu Broto, yang menjadi kolaborasi penyutradaraan Ifa Isfansyah (Koki-koki Cilik, 2018) dengan Eddie Cahyono (Siti, 2014), lebih memiliki kedekatan penuturan cerita dengan serial televisi Losmen yang bertutur tentang dinamika yang terjadi pada jalinan hubungan antar karakter pengisi keluarga pengelola losmen. Continue reading Review: Losmen Bu Broto (2021)
Review: Asih 2 (2020)
Entah sampai kapan MD Pictures dan Pichouse Films akan terus “mengeksploitasi” kisah dari sesosok karakter supranatural bernama Asih yang diangkat dari seri novel garapan Risa Saraswati ini. Film sebelumnya, Asih (Awi Suryadi, 2018) – yang merupakan pengembangan cerita dari semesta pengisahan seri film Danur yang telah dimulai oleh Danur: I Can See Ghosts (2017) dan Danur 2: Maddah (2018) yang keduanya juga diarahkan oleh Suryadi, berupaya untuk memberikan perhatian utama pada sosok karakter supranatural tersebut. Sayangnya, alur cerita, gambaran penokohan, hingga teknik penyajian momen-momen horornya terasa tidak lebih dari sekedar daur ulang dari elemen-elemen cerita yang telah ditampilkan dalam dua film sebelumnya. Meskipun begitu, dirilis di tahun yang sama dengan perilisan Danur 2: Maddah, Asih masih mampu meraih kesuksesan komersial dengan mendapatkan lebih dari 1,7 juta penonton selama masa perilisannya. Tidak mengherankan jika MD Pictures dan Pichouse Films dengan mudah melanjutkan rencana perilisan dari film-film lanjutan dalam semesta pengisahan Danur. Continue reading Review: Asih 2 (2020)
Review: Bebas (2019)
Sunny mungkin merupakan salah satu film drama komedi bertema persahabatan terbaik sekaligus paling hangat yang pernah diproduksi oleh industri film Korea Selatan. Dirilis pada tahun 2011, film arahan sutradara Kang Hyeong-cheol tersebut tidak hanya berhasil meraih kesuksesan secara komersial – dengan pendapatan sebesar US$51.1 juta, Sunny merupakan film dengan raihan pendapatan terbesar kedua pada tahun 2011 dan menjadi salah satu film dengan pendapatan terbesar sepanjang masa di Korea Selatan hingga saat ini – namun juga mampu meraih pujian luas dari kalangan kritikus film serta meraih sembilan nominasi di ajang The 48th Annual Grand Bell Awards dan memenangkan dua diantaranya, Best Director dan Best Editing. Seperti halnya kesuksesan Miss Granny (Hwang Dong-hyuk, 2015) – yang di Indonesia diadaptasi dan dirilis dengan judul Sweet 20 (Ody C. Harahap, 2017), Sunny lantas diadaptasi menjadi film layar lebar di sejumlah negara lain. Kolaborasi antara produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza yang sebelumnya telah menghasilkan Athirah (2016), Ada Apa Dengan Cinta? 2 (2016) dan Kulari ke Pantai (2018) menangani adaptasi Sunny di Indonesia dan merilisnya sebagai Bebas. Continue reading Review: Bebas (2019)
Review: Asih (2018)
Well… dengan kesuksesan luar biasa dari dua seri Danur, Danur: I Can See Ghosts (2017) dan Danur 2: Maddah (2018) arahan Awi Suryadi yang keduanya berhasil menarik minat lebih dari dua juta penonton meskipun mendapatkan tanggapan yang medioker dari para kritikus film, Suryadi dan MD Pictures melanjutkan perjalanan untuk mengembangkan semesta pengisahan Danur dengan Asih. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh penulis naskah dua seri Danur sebelumnya, Lele Laila, berdasarkan buku berjudul sama karangan Risa Saraswati, Asih diniatkan hadir untuk menggali secara lebih dalam mengenai pengisahan sosok karakter supranatural bernama Asih yang dahulu popular setelah ditampilkan dalam Danur: I Can See Ghosts. Sayangnya, tidak banyak hal menarik yang dapat diperoleh dari presentasi film ini. Pengembangan cerita yang berjalan monoton menyebabkan Asih sering terasa membosankan – meskipun Suryadi mampu menghadirkan kualitas pengarahan yang, sekali lagi, tampil lebih baik. Continue reading Review: Asih (2018)
Review: Susah Sinyal (2017)
Melalui dua film perdananya, Ngenest (2015) dan Cek Toko Sebelah (2016), Ernest Prakasa telah cukup berhasil membuktikan posisinya sebagai salah satu sutradara sekaligus penulis naskah yang patut diperhitungkan keberadaannya di industri film Indonesia. Jika Ngenest mampu memisahkan Prakasa dari segerombolan rekan komika sepantarannya yang juga mencoba peruntungannya dengan berperan atau mengarahkan atau menjadi penulis naskah dalam sebuah film Indonesia – dengan menghasilkan sebuah film drama komedi yang menyasar pasar yang lebih dewasa dari penonton muda maupun remaja, maka Cek Toko Sebelah bahkan berhasil melangkah lebih jauh lagi. Tidak hanya film tersebut mampu meraih kesuksesan komersial dengan mendapatkan lebih dari dua juta penonton selama masa tayangnya, Cek Toko Sebelah juga berhasil meraih pujian luas dari kalangan kritikus film nasional yang kemudian membawa film yang dibintangi Prakasa bersama Dion Wiyoko tersebut mendapatkan sembilan nominasi di ajang Festival Film Indonesia 2017 termasuk nominasi untuk Film Terbaik dan Sutradara Terbaik. Continue reading Review: Susah Sinyal (2017)
Review: Nada untuk Asa (2015)
Jelas adalah sebuah keputusan mudah untuk mengolah sebuah kisah tentang sekelompok karakter yang sedang mempertahankan hidup mereka dari satu penyakit menjadi sebuah drama tearjerker khas film-film Indonesia. Beruntung, Nada untuk Asa yang naskah ceritanya ditulis dan diarahkan oleh Charles Ghozali (Finding Srimulat, 2013) tidak lantas mengambil jalan pintas tersebut. Charles justru berusaha menjadikannya kisahnya menjadi kisah keseharian manusia biasa – hanya saja kali ini karakter-karakter manusia biasa tersebut hidup dengan HIV/AIDS. Keputusan yang kemudian mampu membuat Nada untuk Asa tampil bercerita secara humanis tanpa pernah terasa berusaha memaksa untuk menjadi sebuah sajian inspirasional maupun drama yang mendayu-dayu.
Jalan cerita Nada untuk Asa sendiri dihadirkan dalam dua bagian cerita yang mengisahkan tentang sesosok karakter wanita bernama Nada (Marsha Timothy) yang baru saja mendapati bahwa dirinya tertular HIV dari suaminya serta karakter wanita lain bernama Asa (Acha Septriasa) yang tertular HIV semenjak ia dilahirkan. Kedua cerita tentang dua karakter ini dihadirkan dalam mood penceritaan yang berbeda dan begitu kontras. Kisah hidup Nada dihadirkan dengan warna yang begitu kelam dalam menghadapi setiap tantangan hidup yang ia terima setelah dirinya menyadari bahwa dirinya tertular HIV sementara karakter Asa digambarkan sebagai sosok yang telah menerima keadaan dirinya dan menjalani kesehariannya layaknya manusia lainnya. Kekontrasan yang mencolok dan secara perlahan mempengaruhi kedalaman pengaruh cerita kepada penonton.
Jalan cerita dari karakter Nada jelas terasa lebih berisi dan padat dalam penyampaiannya. Aliran-aliran kesedihan dalam kisah hidupnya mampu dikemas dengan sangat baik. Begitu menyentuh. Hal inilah yang kemudian membuat jalan cerita karakter Asa terasa begitu kosong. Meskipun tetap mampu dieksekusi dengan baik oleh Charles Ghozali, namun kisah hidup karakter Asa terasa tidak memiliki kekuatan penceritaan yang sama dengan kisah dari karakter Nada. Menyaksikan Nada untuk Asa untuk Asa mungkin akan mengingatkan banyak penonton akan Julie & Julia (Nora Ephron, 2009) yang dibintangi Amy Adams dan Meryl Streep. Kedua garis cerita tentang dua orang karakter dalam linimasa waktu yang berbeda mampu dieksekusi dengan begitu baik namun garis cerita karakter Julia Child (Streep) terasa memiliki penyampaian drama yang lebih kuat.
Charles Ghozali juga mampu memanfaatkan kemampuan akting tiap jajaran pemeran filmnya dengan sangat baik. Di lini terdepan departemen aktingnya, Marsha Timothy dan Acha Septriasa tampil tanpa cela. Dengan porsi penceritaan yang lebih kuat, Marsha Timothy mampu menampilkan sosok karakternya yang tegar dengan begitu hidup dan kuat. Begitu pula dengan Acha Septriasa, yang meskipun hadir dalam kapasitas karakter yang sepertinya telah sering dilihat diperankan oleh aktris pemenang Piala Citra ini, namun tetap mampu dihadirkan dengan lugas dan menarik. Chemistry yang ia jalin dengan aktor Darius Sinathrya juga terasa cukup meyakinkan dan manis.
Nama-nama yang mengisi departemen akting film ini juga hadir dengan kapasitas akting yang luar biasa kuat. Mulai dari Nadila Ernesta, Mathias Muchus, Inong Nidya Ayu hingga Butet Kertaradjasa mampu memanfaatkan setiap momen penceritaan karakter mereka yang singkat dengan baik. Namun adalah Wulan Guritno yang berhasil menjadi pencuri perhatian utama dalam film ini – bahkan dari kedua aktris utama Nada untuk Asa. Meskipun hadir dalam durasi penceritaan yang singkat, Wulan mampu tampil dengan kekuatan drama yang memuncak. Sebuah penampilan yang begitu heartbreaking dan jelas tidak akan mudah dilupakan begitu saja dari film ini. Sebuah Piala Citra untuk Aktris Pendukung Terbaik mungkin telah menunggu Wulan Guritno di penghujung tahun ini. Mungkin. [C]
Nada untuk Asa (2015)
Directed by Charles Ghozali Produced by Hendrick Ghozali Written by Charles Ghozali Starring Acha Septriasa, Darius Sinathrya, Marsha Timothy, Nadila Ernesta, Mathias Muchus, Butet Kertaradjasa, Inong Nidya Ayu, Aurelia Devi, Linawati Halim Gozali, Bayu Oktora, Tony Taulo, Mohammad Zidane, Mallaki Bruno, Adila Azahra Putri, Wulan Guritno, Donny Damara, Irgi Fahrezi, Pongki Barata, Sakurta Ginting, Bisma Karisma Music by N.E.A.R Music Cinematography Harjono Parser Edited by Charles Ghozali, Ilham Adinatha Production company Magma Entertainment/Sahabat Positif! Komsos KAJ Running time 98 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: Kacaunya Dunia Persilatan (2015)
Dikenal sebagai seorang penulis naskah untuk film-film Indonesia seperti Sehidup (Tak) Semati (2010), 5 cm (2012) dan Mama Cake (2012), Hilman Mutasi melakukan debut penyutradaraannya melalui film Kacaunya Dunia Persilatan – yang naskah ceritanya juga ditulis oleh Hilman sendiri. Seperti yang tergambar dari judul film, Kacaunya Dunia Persilatan adalah sebuah film komedi yang mencoba memparodikan beberapa karakter pendekar silat yang terdapat dalam film-film bertemakan martial arts khas Indonesia tersebut yang dahulu sempat popular di layar lebar Indonesia. Apakah Hilman mampu memberikan hiburan bagi penonton di masa sekarang dengan materi parodi yang berasal dari era keemasan dunia film Indonesia di masa lalu?
Well… Sebagai sebuah film yang menandai kali pertama Hilman Mutasi duduk di kursi penyutradaraan, Kacaunya Dunia Persilatan harus diakui memiliki kualitas yang jauh dari kesan mengecewakan. Hilman memiliki kemampuan yang cukup handal dalam mengarahkan para pengisi departemen aktingnya – yang berisi nama-nama seperti Darius Sinathrya, Tora Sudiro, Amink hingga komedian senior seperti Joehana Sutisna dan Iang Darmawan dari kelompok komedi legendaris, Padhyangan Project. Selain itu, sebagai sebuah film komedi yang berkisah tentang dunia persilatan, Kacaunya Dunia Persilatan juga mampu dihadirkan dengan kualitas tata produksi yang meyakinkan. Tidak sampai pada tahapan mewah ataupun epik seperti layaknya Pendekar Tongkat Mas (Ifa Isfansyah, 2014) namun Kacaunya Dunia Persilatan jelas terasa benar-benar tergarap dengan serius.
Permasalahan utama muncul ketika menyinggung Kacaunya Dunia Persilatan sebagai sebuah film komedi. Naskah cerita film yang ditulis Hilman Mutasi sepertinya telah selesai dikerjakan bertahun-tahun lalu dengan kandungan guyonan semacam parodi Arya Wiguna atau Klinik Tong Fang atau Gangnam Style atau Harlem Shake yang jelas tidak akan dapat bekerja (terlalu) efektif ketika ditampilkan saat ini. Guyonan Hilman lainnya juga tidak lebih baik. Begitu mudah ditebak dan seringkali gagal untuk menggarisbawahi unsur komedi dalam film ini. Kehadiran Elly Ermawati dan Fendy Pradana — pemeran Mantili dan Brama Kumbara dalam beberapa seri film Saur Sepuh — yang sepertinya ditujukan sebagai sebuah tribut singkat kepada film-film martial arts Indonesia di akhir film juga kurang (tidak?) mampu bekerja dengan baik karena… well… let’s be frank. No one recognizes them anymore.
Dari departemen akting, Kacaunya Dunia Persilatan didukung dengan penampilan yang cukup memuaskan dari setiap aktor dan aktrisnya. Chemistry yang erat antar setiap pemeran jelas memberikan keunggulan tersendiri bagi kualitas film secara keseluruhan. Sementara itu, Tora Sudiro dan Amink juga mampu tampil mencuri perhatian lewat karakter mereka sebagai Si Buta Dari Gua Buat Elu dan Siluman Antik. Kedua karakter tersebut seringkali diberkahi dengan dialog-dialog komikal yang mampu dieksekusi kedua aktor dengan baik. [C-]
Kacaunya Dunia Persilatan (2015)
Directed by Hilman Mutasi Produced by Helfi Kardit Written by Hilman Mutasi Starring Tora Sudiro, Darius Sinathrya, Amink, Joehana Sutisna, Agung Saga, Vicky Monica, Ery Makmur, Guntur Nugraha, Iang Darmawan, Zahra Jasmine, Elly Ermawati, Fendy Pradana Music by Candil Cinematography Ophie Yophie Edited by Ryan Purwoko Production company SAS Film Running time 98 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: Air Terjun Pengantin Phuket (2013)
Merupakan sekuel dari Air Terjun Pengantin (2009), Air Terjun Pengantin Phuket berkisah mengenai kehidupan Tiara (Tamara Bleszynski) selepas beberapa tahun setelah peristiwa tragis yang menewaskan teman-teman sekaligus kekasihnya seperti yang diceritakan pada seri film sebelumnya. Kini, Tiara mulai menemukan kembali ketenangan dalam hidupnya setelah dirinya pindah dan tinggal di sekitar keindahan Pantai Phuket, Thailand. Bersama dengan sahabatnya, Lea (Laras Monca), Tiara membuka sebuah bar kecil yang mulai ramai dikunjungi para pendatang di daerah tersebut. Tidak melupakan masa lalunya yang kelam begitu saja, Tiara juga memperkuat pertahanan diri dengan mendalami olahraga bela diri Thai Boxing yang dilakukannya sebagai persiapan jika saja ada bahaya yang kembali dapat mengancam kehidupannya di masa yang akan datang.
Review: Brokenhearts (2012)
Cukup mengherankan bila melihat di tengah serbuan film-film semacam Negeri 5 Menara, Modus Anomali, The Raid atau Lovely Man, yang berhasil menawarkan sentuhan jalan penceritaan yang apik dan bahkan tampil berani jauh berbeda dari kebanyakan film yang saat ini dirilis oleh industri film Indonesia, masih ada beberapa produser yang memilih untuk merilis film-film dangkal semacam Brokenhearts. Disutradai dan ditulis naskahnya oleh Helfi Kardit – orang yang sama yang bertanggungjawab atas perilisan judul-judul seperti D’Love (2010), Arisan Brondong (2010) dan Arwah Goyang Karawang (2011) – Brokenhearts adalah sebuah contoh lain keserakahan para pembuat film Indonesia yang dengan dangkalnya mengira bahwa penikmat film Indonesia akan begitu mudah untuk terjebak pada film-film tearjerker dengan kualitas penulisan naskah kacangan.
Review: Merah Putih III: Hati Merdeka (2011)
Bukan bermaksud untuk merendahkan niat dan hasil yang dicapai oleh para produser Trilogi Merdeka, namun semenjak kisah pertama dari seri tersebut dirilis pada tahun 2009, Merah Putih, dan kemudian dilanjutkan setahun kemudian dengan Darah Garuda, Trilogi Merdeka tidak pernah benar-benar mampu menghantarkan janji-janji para produsernya untuk menyajikan sebuah film epik a la film action Hollywood mengenai perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan para penjajahnya. Setelah Merah Putih mendapat begitu banyak kritikan karena kurang menghadirkan unsur aksi di dalam jalan ceritanya, Darah Garuda kemudian menunjukkan beberapa perbaikan. Walau masih diliputi dengan kisah drama yang panjang, Darah Garuda mampu menghadirkan sekelumit adegan aksi dan ledakan yang cukup mumpuni dan telah lama dinanti penonton untuk dihadirkan di trilogi ini.
Continue reading Review: Merah Putih III: Hati Merdeka (2011)
Review: Merah Putih II: Darah Garuda (2010)
Ketika pertama kali dirilis pada Agustus 2009, Merah Putih, yang merupakan bagian pertama dari Trilogi Merdeka, trilogi fiksi kisah perjuangan rakyat Indonesia dalam usahanya merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, mendapatkan sambutan yang beragam dari para penonton Indonesia. Namun, secara keseluruhan, banyak penonton yang merasa bahwa Merah Putih terlalu banyak memfokuskan diri pada drama dengan dialog yang terdengar sedikit ‘terlalu resmi’ serta terlalu sedikit memberikan sajian action seperti yang sering dijanjikan para produser film ini ketika masa promosinya.
Continue reading Review: Merah Putih II: Darah Garuda (2010)