Tag Archives: Nungky Kusumastuti

Review: Inang (2022)

Di tengah gempuran horor yang mengisi layar bioskop di tanah air, cukup menyenangkan untuk menyaksikan Inang. Menjadi presentasi horor pertama yang diarahkan oleh Fajar Nugros (Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama, 2022), Inang bukanlah sajian yang komposisi utama ceritanya hanya berniat untuk mengagetkan atau menakut-nakuti penontonnya. Adegan-adegan teror tersebut masih ada, namun kengerian yang ditonjolkan dalam film ini lebih banyak berasal dari paduan akan eksplorasi yang dilakukan Nugros serta penulis naskah Deo Mahameru terhadap tata pengisahan folk horror yang menggunakan kepercayaan atau mitos masyarakat dalam membangun ketegangan cerita dengan teror psikologis yang datang dari atmosfer kesunyian yang mampu diciptakan mencekam serta penampilan efektif para jajaran pemeran film. Kombinasi yang mampu menyokong Inang menjadi salah satu sajian horor terbaik tahun ini. Continue reading Review: Inang (2022)

Review: Noktah Merah Perkawinan (2022)

Seperti halnya Mumun (Rizal Mantovani, 2022), dan juga Si Doel the Movie (Rano Karno, 2018) dan juga Keluarga Cemara (Yandy Laurens, 2019) dan juga Tersanjung the Movie (Hanung Bramantyo, Pandhu Adjisurya, 2021) dan juga Losmen Bu Broto (Ifa Isfansyah, Eddie Cahyono, 2021), alur pengisahan Noktah Merah Perkawinan diadaptasi dari serial televisi berjudul sama yang begitu popular – jika tidak ingin menyebutnya sebagai ikonik – ketika ditayangkan di pertengahan dekade 1990an. Seperti yang dapat dicerna dari judulnya, serial televisi yang mengudara selama tiga musim dari tahun 1996 hingga tahun 1998 ini bertutur tentang kehidupan pernikahan para karakter utamanya, Priambodo (Cok Simbara) dan Ambarwati (Ayu Azhari – yang juga turut berperan dalam film ini), yang banyak mendapatkan distraksi dari pihak-pihak luar. Premis yang sederhana namun memuat cukup banyak intrik yang membuat serial tersebut dapat berjalan langgeng selama puluhan episode. Continue reading Review: Noktah Merah Perkawinan (2022)

Review: Akhirat: A Love Story (2021)

Setelah Love for Sale 2 (Andibachtiar Yusuf, 2019), Adipati Dolken dan Della Dartyan kembali tampil berpasangan untuk film fantasi romansa Akhirat: A Love Story yang ditulis dan diarahkan oleh Jason Iskandar yang sekaligus menandai debut pengarahan film cerita panjang bagi Iskandar. Penuturan cerita film ini dibangun dengan dasar kisah asmara yang terbentuk antara dua karakter utama, Timur (Dolken) dan Mentari (Dartyan), yang memiliki kepercayaan berbeda. Meskipun keluarga mereka kurang begitu antusias menerima, Timur dan Mentari bertekad untuk tetap teguh bersama mempertahankan hubungan asmara yang terjalin antara keduanya. Sayang, garisan nasib menentukan lain. Timur dan Mentari terlibat dalam sebuah kecelakaan yang membuat keduanya kemudian berada dalam keadaan koma serta terjebak dalam ruang antara dunia dan akhirat. Continue reading Review: Akhirat: A Love Story (2021)

Review: Cinta Selamanya (2015)

cinta-selamanya-posterCinta Selamanya adalah sebuah film drama romansa arahan Fajar Nugros yang jalan ceritanya diadaptasi dari novel berjudul Fira dan Hafez karya Fira Basuki. Fira dan Hafez sendiri bukanlah sebuah novel percintaan biasa. Novel yang dirilis pertama kali pada tahun 2013 tersebut merupakan catatan cinta dari sang penulis novel yang merangkum kisah nyata kehidupan rumah tangganya bersama sang suami, Hafez Agung Baskoro, mulai dari awal pertemuan mereka hingga akhirnya sang suami meninggal dunia tidak lama selepas pernikahan mereka. Dalam pengarahan cerita yang kurang sesuai, Fira dan Hafez dapat saja diterjemahkan menjadi sebuah sajian penceritaan film yang sentimental nan mendayu-dayu. Beruntung, Cinta Selamanya kemudian digarap sebagai sebuah drama kehidupan yang bertutur secara sederhana namun berhasil tampil memikat terutama berkat chemistry yang sangat apik dari kedua pemeran utamanya, Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto.

Cinta Selamanya memulai kisahnya dengan gambaran kehidupan seorang Fira Basuki (Atiqah Hasiholan). Dengan kesibukannya sebagai orang tua tunggal bagi seorang puteri yang tengah beranjak dewasa, Syaza (Shaloom Razade), sekaligus perannya sebagai seorang pemimpin redaksi bagi salah satu majalah lifestyle terbesar di Indonesia, Cosmopolitan, yang juga masih menyempatkan waktunya untuk menulis beberapa novel, romansa jelas bukanlah lagi sebuah prioritas utama dalam kehidupan Fira Basuki. Namun, pertemuannya dengan Hafez Agung Baskoro (Rio Dewanto) dalam sebuah acara pencarian bakat mengubah kehidupannya. Meskipun semenjak awal telah berusaha untuk menolak kehadiran Hafez, khususnya karena perbedaan usia mereka yang terpaut 11 tahun, namun Fira akhirnya luluh dengan kesungguhan Hafez untuk merebut hatinya. Sayang, kebahagiaan yang berlanjut dengan pernikahan tersebut tidak berlangsung lama. Ketika Fira sedang mengandung bayi pertamanya bersama Hafez, kisah percintaan mereka berakhir ketika sang suami meninggal dunia akibat sebuah penyakit yang telah lama bersembunyi dalam tubuhnya.

Cinta Selamanya sendiri bukannya hadir tanpa masalah. Keterlibatan social media dalam kehidupan kedua karakter utama yang kemudian turut dihadirkan dalam jalan cerita film ini seringkali tampil sebagai gimmick belaka tanpa pernah menyajikan esensi yang kuat bagi jalan cerita utama. Fajar Nugros sendiri mungkin berniat untuk menampilkan deretan tweet yang berisi kata-kata puitis yang dikirimkan karakter Fira dan Hafez satu sama lain sebagai sebuah catatan kecil bagi perjalanan romansa kedua karakter tersebut. Sayang, pada kebanyakan bagian, sajian tersebut justru terasa sebagai jalan pintas atas ketidakmampuan untuk menyajikan pengisahan yang lebih mendalam atas hubungan kedua karakter utama dalam film ini. Masalah juga dapat dirasakan pada beberapa konflik yang tersaji kurang matang dan terkesan berlalu begitu saja. Cinta Selamanya jelas akan hadir lebih padat dan efisien jika beberapa konflik pendukung yang kurang esensial dalam jalan ceritanya dihilangkan begitu saja.

Walaupun dengan beberapa kelemahan dalam penyajian ceritanya, sebagai sebuah romansa, Cinta Selamanya mampu tampil begitu emosional. Sebagai seorang sutradara, Fajar Nugros terasa mengenal betul konten cerita yang ingin ia bawakan. Cinta Selamanya berhasil disajikan dengan ritme penceritaan yang tepat sehingga penonton diberikan kesempatan yang cukup luas untuk mengenal karakter Fira Basuki serta kehidupan dan kisah romansa yang tersaji selama rentang waktu penceritaan film ini. Sentuhan akan kehadiran budaya Jawa yang kental dalam presentasi film juga memberikan warna penceritaan tersendiri yang sangat menyenangkan – meskipun keputusan untuk menghadirkan lagu Kangen Kowe milik Didi Kempot dalam aransemen modern secara berulang kali dalam banyak bagian film jelas memberikan efek kejenuhan bagi pendengarnya. Cinta Selamanya jelas berada dalam jajaran film terbaik yang pernah diarahkan oleh Fajar Nugros.

Keunggulan utama dari Cinta Selamanya jelas datang dari penampilan akting dari jajaran pemerannya. Berada di jajaran paling depan, Atiqah Hasiholan mampu menghidupkan karakter Fira Basuki sebagai sosok wanita yang begitu modern dalam jalan pemikirannya namun juga tetap memegang teguh sisi tradisional dalam cara bersikap. Penampilan prima Atiqah Hasiholan juga mampu diimbangi dengan baik oleh Rio Dewanto yang sekaligus berhasil menyajikan chemistry yang luar biasa mengikat antara kedua karakter yang mereka perankan — dan jelas jauh lebih baik dari apa yang mereka tampilkan dalam Bulan di Atas Kuburan (Edo WF Sitanggang, 2015) beberapa waktu yang lalu. Tidak lupa, dukungan dari jajaran pemeran pendukung yang berisi nama-nama seperti Widi Mulia Sunarya, Dewi Irawan, Tio Pakusadewo hingga Joanna Alexandra, Shaloom Razade hingga Amanda Soekasah tampil solid dalam memperkuat kualitas departemen akting film ini.

Kualitas produksi film ini juga tampil berkelas. Yadi Sugandi – yang juga turut berperan sebagai karakter ayah Hafez – berhasil menyajikan deretan gambar-gambar indah yang semakin menekankan unsur puitis dari Cinta Selamanya. Tata musik dengan orkestrasi megah garapan Tya Subiakto juga mampu mengiringi kisah cinta dari karakter Fira dan Hafez dengan begitu seksama. Sebagai sebuah film yang juga menyentuh dunia fashion dalam beberapa bagiannya, Cinta Selamanya juga mampu dihadirkan dengan pemilihan deretan kostum yang sangat menarik dan cukup mampu untuk tampil mencuri perhatian. Secara keseluruhan, Cinta Selamanya jelas tidak hadir sempurna. Meskipun begitu, dalam ketidaksempurnaan tersebut, Cinta Selamanya masih mampu tergarap sebagai sebuah drama romansa emosional dalam takaran yang sama sekali tidak pernah terasa berlebihan. [B-]

Cinta Selamanya (2015)

Directed by Fajar Nugros Produced by Susanti Dewi Written by Piu Syarif (screenplay), Fira Basuki (novel, Fira dan Hafez) Starring Atiqah Hasiholan, Rio Dewanto, Shaloom Razade, Tantry Agung Dewani, Janna Joesoef, Amanda Soekasah, Nungky Kusumastuti, Yadi Sugandi, Aira Sondang, Dewi Irawan, Tio Pakusadewo, Syazia, Surya Insomnia, Widi Mulia Sunarya, Muhadkly Acho, Joanna Alexandra, Patrick Alexandra, Agus Kuncoro, Dwi Sasono, Lukman Sardi Music by Tya Subiakto Cinematography Yadi Sugandi Editing by Aline Jusria Studio Wardah/Kaninga Pictures/Demi Istri Production Running time 106 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Bulan di Atas Kuburan (2015)

bulan-di-atas-kuburan-posterBulan di Atas Kuburan merupakan sebuah film drama yang diadaptasi dari film Indonesia berjudul sama arahan Asrul Sani yang sebelumnya sempat dirilis pada tahun 1973. Asrul Sani sendiri mendapatkan inspirasi untuk menuliskan naskah cerita dari film yang berhasil memenangkan dua penghargaan di ajang Festival Film Indonesia pada tahun 1975 tersebut dari sebuah puisi karya Sitor Situmorang yang berjudul Malam Lebaran – sebuah puisi yang hanya berisikan frase “Bulan di atas kuburan” sebagai bait satu-satunya. Untuk versi teranyarnya, naskah cerita Bulan di Atas Kuburan dikerjakan oleh Dirmawan Hatta (Optatissimus, 2013) dengan melakukan pembaharuan pada linimasa penceritaan yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan politik masyarakat Indonesia di era modern. Edo WF Sitanggang, yang sebelumnya bertugas sebagai penata suara bagi film-film semacam Emak Ingin Naik Haji (2009), Toilet Blues (2013) dan Selamat Pagi, Malam (2014), melakukan debut pengarahannya bagi film ini.

Bulan di Atas Kuburan sendiri berkisah tentang tiga pemuda yang berasal dari tanah Samosir, Sumatera Utara, Sahat (Rio Dewanto), Tigor (Donny Alamsyah) dan Sabar (Tio Pakusadewo). Setelah melihat kesuksesan Sabar dalam merantau ke Jakarta, Sahat dan Tigor yang saling bersahabat lantas memutuskan untuk mencoba peruntungan mereka dengan turut datang ke ibukota. Lagipula, Sahat yang semenjak lama berniat untuk menjadi seorang penulis, baru saja mendapatkan kabar kalau naskah tulisannya akan diterbitkan oleh salah satu penerbit populer disana. Sayang, setibanya di Jakarta, Sahat dan Tigor harus berhadapan dengan realita kehidupan yang begitu keras di kota tersebut. Sabar yang dikira telah menjalani hidup enak ternyata hanyalah seorang kriminal kecil berdasi yang hidup pas-pasan. Naskah tulisan Sahat sendiri gagal untuk diterbitkan dan lantas terjebak dalam permainan politik seorang politikus (Remy Silado) yang berniat mencalonkan dirinya sebagai seorang presiden. Sementara Tigor harus kembali menjalani pekerjaannya seperti dahulu di Samosir, menjadi seorang sopir, dengan kondisi persaingan yang lebih berat dan bahkan harus berhadapan dengan deretan kriminal jalanan di Jakarta.

Lewat Bulan di Atas Kuburan, Dirmawan Hatta mencoba bercerita mengenai banyak hal melalui naskah cerita yang digarapnya. Berbagai sindiran sosial dan politik seperti kesenjangan antara si miskin dan si kaya, berbagai mimpi (mitos?) mengenai tanah Jakarta yang begitu menjanjikan, sikap sukuisme hingga obsesi untuk menjadi yang paling berkuasa – baik di jalanan maupun di ranah politik – disajikan dalam drama berdurasi 120 menit ini. Sayangnya, dengan konten yang terlalu padat, jalan cerita Bulan di Atas Kuburan gagal dipresentasikan dengan ritme penceritaan yang tepat. Selain kadang terasa terlalu lamban berjalan akibat dibebani terlalu banyak detil cerita yang sebenarnya kurang begitu diperlukan, Bulan di Atas Kuburan juga hadir dengan linimasa penceritaan yang terlalu acak. Dengan banyaknya konflik dan karakter, sulit untuk mengikuti perkembangan sudut pandang dari satu karakter ketika film ini memutuskan untuk meleburkan keseluruhan elemen ceritanya pada satu titik daripada berusaha menyajikannya dengan ritme penceritaan yang telabih beraturan.

Departemen akting Bulan di Atas Kuburan sendiri hadir dengan kualitas yang memuaskan. Meski hadir dengan chemistry yang jauh dari kesan meyakinkan ketika tampil dalam satu adegan bersama Atiqah Hasiholan, penampilan Rio Dewanto sebagai sosok pemuda berdarah Batak hadir dengan memuaskan. Transformasinya sebagai sosok pemuda daerah yang kemudian terjebak dalam rutinitas ibukota berhasil disajikan dengan baik. Begitu pula dengan Donny Alamsyah dan Tio Pakusadewo yang masing-masing mampu memberikan karakter mereka kompleksitas tersendiri atas berbagai konflik yang mereka hadapi dalam kehidupan. Para pemeran lain seperti Ria Irawan, Atiqah Hasiholan, Andre Hehanusa, Arthur Tobing, Nungky Kusumastuti hingga deretan kameo yang datang dari Amink, Meriam Bellina, Dayu Wijanto dan Denada Tambunan menambah solid kualitas departemen akting dari Bulan di Atas Kuburan.

Bulan di Atas Kuburan juga mampu tampil dengan kualitas teknikal yang kuat. Yang paling menonjol adalah tata sinematografi arahan Donny H. Himawan Nasution dan Samuel Uneputty yang mampu menyajikan gambar-gambar yang begitu indah namun tetap sesuai dengan atmosfer penceritaan yang dibutuhkan film ini. Begitu juga dengan aransemen musik bernuansa Batak arahan Willy Haryadi yang dibantu dengan Vicky Sianipar. Tampil begitu kuat dalam mengisi elemen emosional dari jalan cerita yang seringkali terasa kurang begitu mampu ditonjolkan. [C]

Bulan di Atas Kuburan (2015)

Directed by Edo WF Sitanggang Produced by Tim Matindas, Dennis Chandra, Leonardo A. Taher Written by Dirmawan Hatta (screenplay), Asrul Sani (previous screenplay, Bulan di Atas Kuburan) Starring Rio Dewanto, Tio Pakusadewo, Donny Alamsyah, Atiqah Hasiholan, Andre Hehanusa, Annisa Pagih, Ria Irawan, Ray Sahetapy, Arthur Tobing, Nungky Kusumastuti, Remy Sylado, Mutiara Sani, Mentari De Marelle, Meriam Bellina, Monica Setiawan, Otis Pamutih, Dayu Wijanto, Alfridus Godfred, Ferry Salim, Amink, Denada Tambunan Music by Willy Haryadi Cinematography Donny H. Himawan Nasution, Samuel Uneputty Editing by Edo Dunggio, Thomson Sianturi Studio Sunshine Pictures/MAV Production/FireBird Films Running time 120 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Cinta Tapi Beda (2012)

cinta-tapi-beda-header

Cinta Tapi Beda mengisahkan hubungan percintaan berliku antara dua karakter yang berasal dari latar belakang agama dan kepercayaan yang berbeda, Cahyo (Reza Nangin) dan Diana (Agni Pratistha). Cahyo, yang berasal dari keluarga Muslim yang taat di Yogjakarta, adalah seorang juru masak berbakat yang bekerja di salah satu restoran paling populer di Jakarta. Sementara itu, Diana, yang berasal dari keluarga dengan latar belakang kepercayaan Katolik di Padang, merupakan seorang mahasiswi jurusan tari yang saat ini sedang akan menghadapi ujian akhirnya. Keduanya secara tidak sengaja bertemu di sanggar tari yang dikelola oleh bibi Cahyo, Dyah Murtiwi (Nungky Kusumastuti). Pertemuan tersebut kemudian secara perlahan berlanjut menjadi hubungan percintaan yang akhirnya tidak dapat memisahkan keduanya.

Continue reading Review: Cinta Tapi Beda (2012)