Setelah perilisan Gara-gara Warisan (2022) yang menjadi debut pengarahan film cerita panjangnya, Muhadkly Acho kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk Ghost Writer 2 – sekuel bagi Ghost Writer (2019) yang juga merupakan debut pengarahan film cerita panjang bagi Bene Dion Rajagukguk. Tidak hanya sebagai sutradara, Acho juga menggantikan posisi Rajagukguk sebagai penulis naskah film bersama dengan Nonny Boenawan. Rajagukguk – yang baru saja meraih sukses besar lewat film Ngeri-ngeri Sedap (2022) yang ia arahkan – hanya bertugas sebagai produser bagi film ini. Bukan sebuah masalah besar. Seperti halnya yang ditunjukkan Rajagukguk dalam Ghost Writer, Acho juga memiliki kemampuan yang mumpuni dalam menghidupkan paduan antara horor dan komedi yang dibawakan oleh Ghost Writer 2 – walaupun kemudian terasa terbata dalam pengembangan elemen pengisahan dramanya. Continue reading Review: Ghost Writer 2 (2022)
Tag Archives: Muhadkly Acho
Review: Ngeri-ngeri Sedap (2022)
Bene Dion Rajagukguk memulai karir penyutradaraannya dengan gemilang. Setelah menghabiskan sejumlah waktu berkecimpung sebagai penulis naskah bagi film-film seperti Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! – Part 1 (Anggy Umbara, 2016), Stip & Pensil (Ardy Octaviand, 2017), dan Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (Rocky Soraya, Umbara, 2018), Rajagukguk menunjukkan kebolehannya sebagai penulis sekaligus pengarah cerita yang handal lewat film komedi horor Ghost Writer (2019). Untuk film kedua yang diarahkannya, Rajagukguk mengadaptasi novel karyanya yang berjudul sama, Ngeri-ngeri Sedap, yang merupakan tuturan drama keluarga dengan latar belakang kehidupan suku Batak. Dengan alur pengisahan yang ditulis berdasarkan pengalaman kehidupan pribadi sang sutradara, tidak mengherankan jika Ngeri-ngeri Sedap terasa personal di banyak bagiannya. Di saat yang bersamaan, penuturan Rajagukguk yang lugas menjadikan kisah yang disampaikannya mampu menghasilkan sentuhan emosional nan hangat yang begitu universal. Continue reading Review: Ngeri-ngeri Sedap (2022)
Review: Gara-gara Warisan (2022)
Dengan naskah cerita yang ditulis dan diarahkan oleh aktor sekaligus komika, Muhadkly Acho – yang menjadikan film ini sebagai debut penyutradaraan film cerita panjangnya, Gara-gara Warisan memulai linimasa penceritaannya ketika seorang pemilik penginapan, Dahlan (Yayu Unru), berusaha untuk menemukan sosok yang tepat diantara ketiga anak-anaknya, Adam (Oka Antara), Laras (Indah Permatasari), dan Dicky (Ge Pamungkas), untuk menggantikan posisinya dalam mengelola penginapan ketika mengetahui dirinya mengidap penyakit yang sukar untuk disembuhkan. Dengan masalah perekonomian yang sedang menghimpit ketiganya, Adam, Laras, dan Dicky bersaing keras untuk memperebutkan warisan sang ayah yang jelas diharapkan dapat membantu kehidupan mereka. Di saat yang bersamaan, persaingan tersebut secara perlahan membuka kembali berbagai perseteruan, duka, hingga luka yang dirasakan setiap anggota keluarga tersebut semenjak lama. Continue reading Review: Gara-gara Warisan (2022)
Review: Ghost Writer (2019)
Setelah menuliskan naskah cerita untuk beberapa film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang masa seperti Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! – Part 1 (Anggy Umbara, 2016) dan Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (Rocky Soraya, Umbara, 2018), Bene Dion Rajagukguk kini mengarahkan film layar lebar perdananya lewat Ghost Writer. Memadukan unsur horor dengan komedi, film yang naskah ceritanya digarap oleh Rajagukguk bersama dengan Nonny Boenawan ini bercerita mengenai seorang penulis novel, Naya (Tatjana Saphira), yang menemukan sebuah buku harian yang lantas dijadikannya inspirasi cerita bagi novel terbaru yang sedang digarapnya. Sial, buku harian tersebut ternyata pernah dimiliki oleh seorang pemuda bernama Galih (Ge Pamungkas) yang telah meninggal dunia akibat bunuh diri dan kini menghantui Naya karena tidak setuju isi buku hariannya dijadikan konsumsi publik. Ketakutan dengan teror yang dilakukan oleh Galih, Naya akhirnya mencoba berbicara dengan arwah penasaran tersebut yang kemudian ternyata menghasilkan sebuah kerjasama beda dunia antara mereka berdua. Continue reading Review: Ghost Writer (2019)
Review: Milly & Mamet (2018)
Jika Mira Lesmana dan Riri Riza membutuhkan waktu selama 16 tahun untuk membawa kembali Cinta dan teman-temannya untuk hadir dalam sekuel Ada Apa dengan Cinta? (Rudy Soedjarwo, 2002), Ada Apa dengan Cinta? 2 (Riza, 2016), maka tidak membutuhkan waktu begitu lama bagi Lesmana dan Riza untuk menyajikan film sempalan pertama dalam semesta pengisahan film Ada Apa dengan Cinta?, Milly & Mamet. Seperti yang dituturkan oleh judul film ini, daripada mengeksplorasi kembali kelanjutan kisah cinta antara karakter Cinta dan Rangga, film ini mengalihkan fokusnya pada hubungan asmara yang terjalin antara karakter Milly dan Mamet – yang sebelumnya telah dikenalkan pada Ada Apa dengan Cinta? 2. Milly & Mamet juga memilih nada pengisahan yang cukup berbeda dengan dua film Ada Apa Dengan Cinta? Jika kedua film tersebut hadir dengan atmosfer drama dan romansa yang kental, maka Milly & Mamet, yang diarahkan oleh Ernest Prakasa (Susah Sinyal, 2017), tampil dengan penuturan komedi yang lebih maksimal seperti yang selalu dihadirkan Prakasa dalam setiap film-filmnya. Sebuah penyegaran yang cukup menyenangkan meskipun sentuhan komedi Prakasa – seperti yang terjadi pada dua film terakhir yang ia tulis dan arahkan, Cek Toko Sebelah (2016) dan Susah Sinyal – acapkali membayangi unsur drama yang sebenarnya membutuhkan lebih banyak ruang untuk berkembang. Continue reading Review: Milly & Mamet (2018)
Review: Dimsum Martabak (2018)
Dalam film terbaru arahan Andreas Sullivan (Revan & Reina, 2018), Dimsum Martabak, penonton diperkenalkan kepada dua karakter utama, Mona (Ayu Ting Ting) dan Soga (Boy William). Walau keduanya berasal dari dua lingkungan ekonomi yang berbeda namun baik Mona maupun Soga sedang berada dalam usaha mereka masing-masing untuk membuktikan kemampuan diri mereka: Mona berusaha menunjukkan pada sang ibu (Meriam Bellina) bahwa dirinya dapat menjadi sosok tulang punggung keluarga yang bertanggungjawab semenjak meninggalnya sang ayah sementara Soga sedang membangun usahanya sendiri untuk keluar dari bayang-bayang sang ayah, Eric Guntara (Ferry Salim), yang merupakan salah seorang pengusaha sukses di Indonesia. Keduanya kemudian bertemu ketika Mona baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai seorang pramusaji di restoran milik Koh Ah Yong (Chew Kin Wah) dan lantas mendapatkan pekerjaan di foodtruck martabak yang dikelola Soga bersama sahabatnya, Dudi (Muhadkly Acho) – yang, dapat dengan mudah ditebak, lantas turut menebar benih romansa antara keduanya. Continue reading Review: Dimsum Martabak (2018)
Review: Susah Sinyal (2017)
Melalui dua film perdananya, Ngenest (2015) dan Cek Toko Sebelah (2016), Ernest Prakasa telah cukup berhasil membuktikan posisinya sebagai salah satu sutradara sekaligus penulis naskah yang patut diperhitungkan keberadaannya di industri film Indonesia. Jika Ngenest mampu memisahkan Prakasa dari segerombolan rekan komika sepantarannya yang juga mencoba peruntungannya dengan berperan atau mengarahkan atau menjadi penulis naskah dalam sebuah film Indonesia – dengan menghasilkan sebuah film drama komedi yang menyasar pasar yang lebih dewasa dari penonton muda maupun remaja, maka Cek Toko Sebelah bahkan berhasil melangkah lebih jauh lagi. Tidak hanya film tersebut mampu meraih kesuksesan komersial dengan mendapatkan lebih dari dua juta penonton selama masa tayangnya, Cek Toko Sebelah juga berhasil meraih pujian luas dari kalangan kritikus film nasional yang kemudian membawa film yang dibintangi Prakasa bersama Dion Wiyoko tersebut mendapatkan sembilan nominasi di ajang Festival Film Indonesia 2017 termasuk nominasi untuk Film Terbaik dan Sutradara Terbaik. Continue reading Review: Susah Sinyal (2017)
Review: Cinta Laki-Laki Biasa (2016)
Setelah sebelumnya bekerjasama dalam Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (2016), sutradara Guntur Soeharjanto kembali bekerjasama dengan penulis Asma Nadia dan Alim Sudio untuk Cinta Laki-Laki Biasa. Well… Judul film ini mungkin akan membuat beberapa orang lantas memandang sebelah mata. Atau malah premis yang dijual tentang kisah cinta segitiga dalam balutan nuansa reliji yang, harus diakui, telah terlalu sering “dieksploitasi” oleh banyak pembuat film Indonesia. Namun, jika Anda mampu melepas segala prasangka dan memberikan film ini sebuah kesempatan, Cinta Laki-Laki Biasa adalah sebuah drama romansa yang tergarap dengan cukup baik, mulai dari penataan naskah dan ritme penceritaan hingga chemistry yang terasa begitu hangat dan meyakinkan antara dua bintang utamanya, Deva Mahenra dan Velove Vexia. Continue reading Review: Cinta Laki-Laki Biasa (2016)
Review: Cinta Selamanya (2015)
Cinta Selamanya adalah sebuah film drama romansa arahan Fajar Nugros yang jalan ceritanya diadaptasi dari novel berjudul Fira dan Hafez karya Fira Basuki. Fira dan Hafez sendiri bukanlah sebuah novel percintaan biasa. Novel yang dirilis pertama kali pada tahun 2013 tersebut merupakan catatan cinta dari sang penulis novel yang merangkum kisah nyata kehidupan rumah tangganya bersama sang suami, Hafez Agung Baskoro, mulai dari awal pertemuan mereka hingga akhirnya sang suami meninggal dunia tidak lama selepas pernikahan mereka. Dalam pengarahan cerita yang kurang sesuai, Fira dan Hafez dapat saja diterjemahkan menjadi sebuah sajian penceritaan film yang sentimental nan mendayu-dayu. Beruntung, Cinta Selamanya kemudian digarap sebagai sebuah drama kehidupan yang bertutur secara sederhana namun berhasil tampil memikat terutama berkat chemistry yang sangat apik dari kedua pemeran utamanya, Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto.
Cinta Selamanya memulai kisahnya dengan gambaran kehidupan seorang Fira Basuki (Atiqah Hasiholan). Dengan kesibukannya sebagai orang tua tunggal bagi seorang puteri yang tengah beranjak dewasa, Syaza (Shaloom Razade), sekaligus perannya sebagai seorang pemimpin redaksi bagi salah satu majalah lifestyle terbesar di Indonesia, Cosmopolitan, yang juga masih menyempatkan waktunya untuk menulis beberapa novel, romansa jelas bukanlah lagi sebuah prioritas utama dalam kehidupan Fira Basuki. Namun, pertemuannya dengan Hafez Agung Baskoro (Rio Dewanto) dalam sebuah acara pencarian bakat mengubah kehidupannya. Meskipun semenjak awal telah berusaha untuk menolak kehadiran Hafez, khususnya karena perbedaan usia mereka yang terpaut 11 tahun, namun Fira akhirnya luluh dengan kesungguhan Hafez untuk merebut hatinya. Sayang, kebahagiaan yang berlanjut dengan pernikahan tersebut tidak berlangsung lama. Ketika Fira sedang mengandung bayi pertamanya bersama Hafez, kisah percintaan mereka berakhir ketika sang suami meninggal dunia akibat sebuah penyakit yang telah lama bersembunyi dalam tubuhnya.
Cinta Selamanya sendiri bukannya hadir tanpa masalah. Keterlibatan social media dalam kehidupan kedua karakter utama yang kemudian turut dihadirkan dalam jalan cerita film ini seringkali tampil sebagai gimmick belaka tanpa pernah menyajikan esensi yang kuat bagi jalan cerita utama. Fajar Nugros sendiri mungkin berniat untuk menampilkan deretan tweet yang berisi kata-kata puitis yang dikirimkan karakter Fira dan Hafez satu sama lain sebagai sebuah catatan kecil bagi perjalanan romansa kedua karakter tersebut. Sayang, pada kebanyakan bagian, sajian tersebut justru terasa sebagai jalan pintas atas ketidakmampuan untuk menyajikan pengisahan yang lebih mendalam atas hubungan kedua karakter utama dalam film ini. Masalah juga dapat dirasakan pada beberapa konflik yang tersaji kurang matang dan terkesan berlalu begitu saja. Cinta Selamanya jelas akan hadir lebih padat dan efisien jika beberapa konflik pendukung yang kurang esensial dalam jalan ceritanya dihilangkan begitu saja.
Walaupun dengan beberapa kelemahan dalam penyajian ceritanya, sebagai sebuah romansa, Cinta Selamanya mampu tampil begitu emosional. Sebagai seorang sutradara, Fajar Nugros terasa mengenal betul konten cerita yang ingin ia bawakan. Cinta Selamanya berhasil disajikan dengan ritme penceritaan yang tepat sehingga penonton diberikan kesempatan yang cukup luas untuk mengenal karakter Fira Basuki serta kehidupan dan kisah romansa yang tersaji selama rentang waktu penceritaan film ini. Sentuhan akan kehadiran budaya Jawa yang kental dalam presentasi film juga memberikan warna penceritaan tersendiri yang sangat menyenangkan – meskipun keputusan untuk menghadirkan lagu Kangen Kowe milik Didi Kempot dalam aransemen modern secara berulang kali dalam banyak bagian film jelas memberikan efek kejenuhan bagi pendengarnya. Cinta Selamanya jelas berada dalam jajaran film terbaik yang pernah diarahkan oleh Fajar Nugros.
Keunggulan utama dari Cinta Selamanya jelas datang dari penampilan akting dari jajaran pemerannya. Berada di jajaran paling depan, Atiqah Hasiholan mampu menghidupkan karakter Fira Basuki sebagai sosok wanita yang begitu modern dalam jalan pemikirannya namun juga tetap memegang teguh sisi tradisional dalam cara bersikap. Penampilan prima Atiqah Hasiholan juga mampu diimbangi dengan baik oleh Rio Dewanto yang sekaligus berhasil menyajikan chemistry yang luar biasa mengikat antara kedua karakter yang mereka perankan — dan jelas jauh lebih baik dari apa yang mereka tampilkan dalam Bulan di Atas Kuburan (Edo WF Sitanggang, 2015) beberapa waktu yang lalu. Tidak lupa, dukungan dari jajaran pemeran pendukung yang berisi nama-nama seperti Widi Mulia Sunarya, Dewi Irawan, Tio Pakusadewo hingga Joanna Alexandra, Shaloom Razade hingga Amanda Soekasah tampil solid dalam memperkuat kualitas departemen akting film ini.
Kualitas produksi film ini juga tampil berkelas. Yadi Sugandi – yang juga turut berperan sebagai karakter ayah Hafez – berhasil menyajikan deretan gambar-gambar indah yang semakin menekankan unsur puitis dari Cinta Selamanya. Tata musik dengan orkestrasi megah garapan Tya Subiakto juga mampu mengiringi kisah cinta dari karakter Fira dan Hafez dengan begitu seksama. Sebagai sebuah film yang juga menyentuh dunia fashion dalam beberapa bagiannya, Cinta Selamanya juga mampu dihadirkan dengan pemilihan deretan kostum yang sangat menarik dan cukup mampu untuk tampil mencuri perhatian. Secara keseluruhan, Cinta Selamanya jelas tidak hadir sempurna. Meskipun begitu, dalam ketidaksempurnaan tersebut, Cinta Selamanya masih mampu tergarap sebagai sebuah drama romansa emosional dalam takaran yang sama sekali tidak pernah terasa berlebihan. [B-]
Cinta Selamanya (2015)
Directed by Fajar Nugros Produced by Susanti Dewi Written by Piu Syarif (screenplay), Fira Basuki (novel, Fira dan Hafez) Starring Atiqah Hasiholan, Rio Dewanto, Shaloom Razade, Tantry Agung Dewani, Janna Joesoef, Amanda Soekasah, Nungky Kusumastuti, Yadi Sugandi, Aira Sondang, Dewi Irawan, Tio Pakusadewo, Syazia, Surya Insomnia, Widi Mulia Sunarya, Muhadkly Acho, Joanna Alexandra, Patrick Alexandra, Agus Kuncoro, Dwi Sasono, Lukman Sardi Music by Tya Subiakto Cinematography Yadi Sugandi Editing by Aline Jusria Studio Wardah/Kaninga Pictures/Demi Istri Production Running time 106 minutes Country Indonesia Language Indonesian