Bene Dion Rajagukguk memulai karir penyutradaraannya dengan gemilang. Setelah menghabiskan sejumlah waktu berkecimpung sebagai penulis naskah bagi film-film seperti Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! – Part 1 (Anggy Umbara, 2016), Stip & Pensil (Ardy Octaviand, 2017), dan Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (Rocky Soraya, Umbara, 2018), Rajagukguk menunjukkan kebolehannya sebagai penulis sekaligus pengarah cerita yang handal lewat film komedi horor Ghost Writer (2019). Untuk film kedua yang diarahkannya, Rajagukguk mengadaptasi novel karyanya yang berjudul sama, Ngeri-ngeri Sedap, yang merupakan tuturan drama keluarga dengan latar belakang kehidupan suku Batak. Dengan alur pengisahan yang ditulis berdasarkan pengalaman kehidupan pribadi sang sutradara, tidak mengherankan jika Ngeri-ngeri Sedap terasa personal di banyak bagiannya. Di saat yang bersamaan, penuturan Rajagukguk yang lugas menjadikan kisah yang disampaikannya mampu menghasilkan sentuhan emosional nan hangat yang begitu universal. Continue reading Review: Ngeri-ngeri Sedap (2022)
Tag Archives: Arswendi Nasution
Review: Akhirat: A Love Story (2021)
Setelah Love for Sale 2 (Andibachtiar Yusuf, 2019), Adipati Dolken dan Della Dartyan kembali tampil berpasangan untuk film fantasi romansa Akhirat: A Love Story yang ditulis dan diarahkan oleh Jason Iskandar yang sekaligus menandai debut pengarahan film cerita panjang bagi Iskandar. Penuturan cerita film ini dibangun dengan dasar kisah asmara yang terbentuk antara dua karakter utama, Timur (Dolken) dan Mentari (Dartyan), yang memiliki kepercayaan berbeda. Meskipun keluarga mereka kurang begitu antusias menerima, Timur dan Mentari bertekad untuk tetap teguh bersama mempertahankan hubungan asmara yang terjalin antara keduanya. Sayang, garisan nasib menentukan lain. Timur dan Mentari terlibat dalam sebuah kecelakaan yang membuat keduanya kemudian berada dalam keadaan koma serta terjebak dalam ruang antara dunia dan akhirat. Continue reading Review: Akhirat: A Love Story (2021)
Review: Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (2020)
Dua tahun setelah mengarahkan Wiro Sableng, Angga Dwimas Sasongko kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk film drama keluarga Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini. Diadaptasi dari buku berjudul sama yang ditulis oleh Marchella FP, Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini bercerita tentang Awan (Rachel Amanda), anak bungsu dari pasangan Faris (Donny Damara) dan Ajeng Narendra (Susan Bachtiar), yang merasa dirinya selalu berada dibawah bayang dan awasan sang ayah dalam melakukan sesuatu. Sikap (over)protektif sang ayah ternyata tidak hanya berpengaruh pada kehidupan Awan. Anak sulung keluarga tersebut, Angkasa (Rio Dewanto), sering merasa terbeban akan berbagai tanggungjawab berlebihan yang diberikan sang ayah dalam mengawasi adik-adiknya. Sementara itu, sang anak tengah, Aurora (Sheila Dara), telah lama merasa dirinya telah kehilangan perhatian kedua orangtuanya semenjak mereka lebih memilih untuk memberikan perhatian pada dua saudaranya yang lain. Barisan konflik yang terpendam dalam jiwa setiap anggota keluarga tersebut secara perlahan mulai memberikan pengaruh pada hubungan mereka di keseharian. Continue reading Review: Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (2020)
Review: Habibie & Ainun 3 (2019)
Jika Habibie & Ainun (Faozan Rizal, 2012) menjajaki kisah cinta yang diarungi oleh kedua karakter utamanya dan {rudy habibie} (Hanung Bramantyo, 2016) memberikan ruang pada linimasa ceritanya bagi kisah personal dari karakter Habibie semasa dirinya sedang menjalani pendidikan di Jerman, maka bagian teranyar dari seri film yang jalan ceritanya diinspirasi dari autobiografi berjudul Habibie & Ainun yang ditulis oleh mantan Presiden Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, akan menghadirkan fokus pada kehidupan karakter Ainun. Kembali diarahkan oleh Bramantyo, Habibie & Ainun 3 mencoba untuk sedikit menjauh dari hubungan romansa yang terjalin antara karakter Habibie dan Ainun dan memperkenalkan berbagai sosok yang berada dalam kehidupan karakter Ainun semenjak masa remaja yang memberikan pengaruh pada pemikiran, ambisi, hingga kisah percintaannya. Sebuah pilihan cerita yang sebenarnya cukup menarik – seandainya Bramantyo tidak mengulang lagi kesalahan yang dahulu dilakukannya pada {rudy habibie}. Continue reading Review: Habibie & Ainun 3 (2019)
Review: Dua Garis Biru (2019)
Merupakan debut pengarahan bagi Gina S. Noer – yang sebelumnya lebih dikenal sebagai penulis naskah untuk film-film seperti Hari Untuk Amanda (Angga Dwimas Sasongko, 2010), Habibie & Ainun (Faozan Rizal, 2012), Posesif (Edwin, 2017), dan Keluarga Cemara (Yandy Laurens, 2019), Dua Garis Biru bercerita tentang kehamilan di luar nikah yang dialami oleh pasangan remaja, Dara (Adhisty Zara) dan Bima (Angga Yunanda). Awalnya, agar tidak mengganggu masa kelulusan sekolah mereka, Dara dan Bima merahasiakan tentang kehamilan tersebut. Rencana tersebut gagal setelah pihak sekolah mengetahui tentang kehamilan Dara. Dara kemudian dipecat dari sekolah dan bahkan ditinggalkan oleh kedua orangtuanya, David (Dwi Sasono) dan Rika (Lulu Tobing), yang kalut dan marah akibat kejadian tersebut. Kini, Dara tinggal bersama Bima dan kedua orangtuanya, Rudy (Arswendy Bening Swara) dan Yuni (Cut Mini), sembari memikirkan ulang berbagai rencana dan tindakan yang akan dilakukan dengan bayi yang kini sedang berada di kandungannya. Continue reading Review: Dua Garis Biru (2019)
Review: Mantan Manten (2019)
Diarahkan oleh Farishad Latjuba (Mantan Terindah, 2014), Mantan Manten berkisah mengenai kehidupan glamor seorang manajer investasi sukses, Yasnina (Atiqah Hasiholan), yang harus berakhir ketika dirinya dikhianati oleh pemimpin perusahaannya sendiri, Iskandar (Tio Pakusadewo). Dalam sekejap, harta Yasnina habis tak bersisa. Tidak hanya itu, rencana pernikahannya dengan sang tunangan, Surya (Arifin Putra), juga terancam batal. Sepenggal harapan muncul ketika asisten Yasnina, Ardy (Marthino Lio), mengingatkan dirinya bahwa ia masih memiliki sebuah villa yang terletak di Tawangmangu yang tidak disita karena akte kepemilikannya belum dituliskan atas nama Yasnina. Villa tersebut kini menjadi tumpuan harapan Yasnina untuk dapat bangkit kembali sekaligus mendukung usahanya untuk menyeret Iskandar ke pengadilan. Namun, usaha Yasnina untuk mengambil alih kepemilikan villa tersebut mendapatkan sebuah tantangan ketika pemilik lama villa, Koes Marjanti (Tutie Kirana), memiliki rencana lain kepada Yasnina. Sebuah rencana yang nantinya akan membuka mata sekaligus mengubah masa depan hidup dari Yasnina. Continue reading Review: Mantan Manten (2019)
Review: A Man Called Ahok (2018)
Merupakan film panjang naratif pertama Putrama Tuta setelah sebelumnya mengarahkan versi teranyar dari Catatan Harian Si Boy (2011), A Man Called Ahok adalah film biopik yang berkisah tentang kehidupan mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dengan naskah cerita yang digarap oleh Tuta bersama dengan Ilya Sigma (Rectoverso, 2013) dan Dani Jaka Sembada (Pizza Man, 2015) berdasarkan buku berjudul sama yang ditulis oleh Rudi Valinka. Daripada menitikberatkan pengisahan film pada karakter Basuki Tjahaja Purnama serta tindakan dan pemikiran politik yang membuat keberadaannya begitu dikenal seperti saat ini, A Man Called Ahok sendiri memilih untuk mengekplorasi masa muda dari sang karakter, kehidupan masa kecilnya di Belitung, serta hubungannya dengan sang ayah yang nantinya membentuk karakter dari Basuki Tjahaja Purnama dewasa. Pilihan yang menarik walau naskah garapan Tuta, Sigma, dan Sembada kemudian kurang mampu menghadirkan keseimbangan penceritaan antara karakter Basuki Tjahaja Purnama dengan karakter sang ayah yang juga tampil mendominasi linimasa penceritaan film. Continue reading Review: A Man Called Ahok (2018)
Review: Pengabdi Setan (2017)
Merupakan film horor supranatural perdana Joko Anwar, Pengabdi Setan merupakan interpretasi ulang Anwar atas film horor Indonesia berjudul sama arahan Sisworo Gautama Putra yang sempat begitu populer ketika dirilis pertama kali pada tahun 1980. Meskipun sebuah versi ulang buat, namun Pengabdi Setan garapan Anwar tidak sepenuhnya mengikuti alur cerita yang telah diterapkan oleh film pendahulunya. Mereka yang telah familiar dengan film-film maupun gaya penceritaan Anwar jelas dapat merasakan bahwa pemenang Piala Citra sebagai Sutradara Terbaik untuk filmnya A Copy of My Mind (2015) tersebut tetap memasukkan sentuhan penceritaan khasnya di berbagai sudut pengisahan Pengabdi Setan terbaru. Hasilnya, selain pengisahan Pengabdi Setan tetap mampu terasa segar dan relevan bagi para penonton yang kebanyakan datang dari kalangan generasi baru, Anwar juga berhasil merangkai Pengabdi Setan miliknya menjadi sajian horor Indonesia yang sangat menyenangkan (dan menakutkan) untuk disaksikan. Continue reading Review: Pengabdi Setan (2017)
Review: Night Bus (2017)
Film terbaru arahan Emil Heradi (Sagarmatha, 2013) adalah sebuah spesies langka pada industri perfilman Indonesia. Seperti halnya Get Out – debut pengarahan Jordan Peele yang dirilis di minggu yang sama di Indonesia – Night Bus adalah sebuah thriller yang naskah ceritanya digarap kental dengan sentuhan isu sosial dan politik yang jelas terinspirasi dari berbagai situasi yang pernah maupun tengah dihadapi oleh banyak lapisan masyarakat Indonesia. Tenang, tidak seperti kebanyakan film Indonesia bermuatan “pesan moral” yang sama dan lantas sering terasa sebagai presentasi yang menjemukan, Heradi mampu menggarap Night Bus menjadi sajian cerita penuh ketegangan yang sama sekali tidak pernah kehilangan pegangannya pada bangunan konflik yang menjadi perhatian utama bagi film ini. Sebuah eksekusi yang jelas terasa begitu menyegarkan. Continue reading Review: Night Bus (2017)
Review: Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor (2013)
Melanjutkan perjalanan cerita Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009), Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor – yang dimaksudkan sebagai sekuel kedua dari seri film Laskar Pelangi, in case you’re wondering – berkisah mengenai Ikal (Lukman Sardi) dan sepupunya, Arai (Abimana Aryasatya – yang menggantikan pemeran Arai di seri sebelumnya, Nazril Irham), yang kini berada di Perancis karena berhasil mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di Universitas Sorbonne, Paris. Ketibaan mereka di kota tersebut sendiri dimulai dengan cukup buruk: akibat terlambat mengkonfirmasi kedatangan mereka, Ikal dan Arai tidak diterima kehadirannya di asrama dan harus menghabiskan malam mereka kedinginan di jalanan kota Paris. Walaupun begitu, Ikal dan Arai telah memutuskan bahwa mereka tidak akan menyerah dalam mengejar mimpi mereka meskipun banyak halangan yang akan datang merintangi.
Continue reading Review: Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor (2013)
Review: Sang Kiai (2013)
Rako Prijanto makes a really bold move with Sang Kiai. Sutradara yang sebelumnya lebih banyak mengarahkan film-film drama romansa serta komedi seperti Ungu Violet (2005), Merah Itu Cinta (2007) hingga Perempuan-Perempuan Liar (2011) ini mencoba untuk keluar dari zona nyamannya dengan mengarahkan sebuah film biopik mengenai Hasyim Asy’ari yang merupakan salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan sekaligus pendiri organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Again, it’s a really bold move… dan Rako jelas terlihat memiliki visi yang kuat mengenai jalan cerita yang ingin ia hantarkan. Namun sayangnya, naskah arahan Anggoro Saronto (Malaikat Tanpa Sayap, 2012) justru kurang berhasil untuk tampil kuat dalam bercerita, kehilangan fokus di banyak bagian dan, yang terlebih mengecewakan, menyia-nyiakan kesempatan untuk dapat mengenalkan dengan lugas sosok besar Hasyim Asy’ari kepada penonton modern.
Review: Kisah 3 Titik (2013)
Lola Amaria sepertinya memiliki rasa ketertarikan yang sangat mendalam untuk mengangkat karakter-karakter yang seringkali terasa terpinggirkan dalam kehidupan keseharian masyarakat. Setelah sebelumnya mengangkat seluk-beluk kehidupan para buruh migran Indonesia di Hong Kong lewat Minggu Pagi di Victoria Park (2010) dan berbagai sisi penceritaan kaum homoseksual lewat omnibus Sanubari Jakarta (2012), film terbaru yang ia produseri, Kisah 3 Titik, berusaha untuk memberikan gambaran mengenai kehidupan para kaum pekerja dan buruh di Indonesia. Sebuah tema penceritaan yang jelas cukup rumit sekaligus sulit untuk dijabarkan secara menyeluruh hanya dalam 104 menit durasi penceritaan, namun Kisah 3 Titik setidaknya mampu menghadirkan sisi nyata kehidupan para buruh yang tidak dapat dipungkiri akan memberikan rasa miris di hati banyak penontonnya.
Review: Belenggu (2013)
Menilai sekilas berdasarkan presentasi cerita dan penampilan visualnya, adalah sangat mudah untuk menduga bahwa Belenggu adalah hasil sebuah petualangan lain dari seorang Joko Anwar dalam melanjutkan kisah-kisah berdarahnya yang sebelumnya disajikan lewat film-film seperti Kala (2007) maupun Pintu Terlarang (2009). Salah! Terlepas dari gaya presentasi yang demikian serupa, Belenggu sendiri merupakan karya perdana Upi (Oh Tidak…!, 2011) dalam menyutradarai sebuah film thriller. Dan harus diakui, Upi memiliki kemampuan yang cukup dalam menghadirkan deretan misteri yang akan terus mampu menarik perhatian setiap penggemar film-film sejenis. Sayangnya, secara perlahan, deretan misteri tersebut menjadi terlalu rumit dan kemudian menyebabkan Upi terlihat terjebak sehingga akhirnya kebingungan untuk memberikan jalan penyelesaiannya.