Ada sesuatu yang berbeda dari presentasi cerita Kuntilanak 3. Seperti halnya Kuntilanak (2018) dan Kuntilanak 2 (2019), film ini masih diarahkan oleh Rizal Mantovani berdasarkan naskah cerita yang ditulis Alim Sudio. Namun, berbeda dengan dua film pendahulunya yang kental akan nuansa horor dalam penuturan ceritanya – well… penuturan horor yang ditujukan bagi kalangan penonton muda, Kuntilanak 3 melangkah sedikit menjauh dari warna horor dengan menghadirkan bangunan cerita berkesan fantasi yang akan dengan segera mengingatkan banyak penontonnya pada film-film dalam seri Harry Potter (2001 – 2011). Sebuah pilihan kreatif yang jelas diambil guna semakin memperluas jangkauan wilayah pengisahan Jagat Sinema Kuntilanak – yang didalamnya juga mengikutsertakan film Mangkujiwo (2020) arahan Azhar Kinoi Lubis dan akan terhubung dengan trilogi Kuntilanak (2006 – 2008) sebelumnya – garapan Mantovani bersama dengan MVP Pictures. Continue reading Review: Kuntilanak 3 (2022)
Tag Archives: Amink
Review: Bulan di Atas Kuburan (2015)
Bulan di Atas Kuburan merupakan sebuah film drama yang diadaptasi dari film Indonesia berjudul sama arahan Asrul Sani yang sebelumnya sempat dirilis pada tahun 1973. Asrul Sani sendiri mendapatkan inspirasi untuk menuliskan naskah cerita dari film yang berhasil memenangkan dua penghargaan di ajang Festival Film Indonesia pada tahun 1975 tersebut dari sebuah puisi karya Sitor Situmorang yang berjudul Malam Lebaran – sebuah puisi yang hanya berisikan frase “Bulan di atas kuburan” sebagai bait satu-satunya. Untuk versi teranyarnya, naskah cerita Bulan di Atas Kuburan dikerjakan oleh Dirmawan Hatta (Optatissimus, 2013) dengan melakukan pembaharuan pada linimasa penceritaan yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan politik masyarakat Indonesia di era modern. Edo WF Sitanggang, yang sebelumnya bertugas sebagai penata suara bagi film-film semacam Emak Ingin Naik Haji (2009), Toilet Blues (2013) dan Selamat Pagi, Malam (2014), melakukan debut pengarahannya bagi film ini.
Bulan di Atas Kuburan sendiri berkisah tentang tiga pemuda yang berasal dari tanah Samosir, Sumatera Utara, Sahat (Rio Dewanto), Tigor (Donny Alamsyah) dan Sabar (Tio Pakusadewo). Setelah melihat kesuksesan Sabar dalam merantau ke Jakarta, Sahat dan Tigor yang saling bersahabat lantas memutuskan untuk mencoba peruntungan mereka dengan turut datang ke ibukota. Lagipula, Sahat yang semenjak lama berniat untuk menjadi seorang penulis, baru saja mendapatkan kabar kalau naskah tulisannya akan diterbitkan oleh salah satu penerbit populer disana. Sayang, setibanya di Jakarta, Sahat dan Tigor harus berhadapan dengan realita kehidupan yang begitu keras di kota tersebut. Sabar yang dikira telah menjalani hidup enak ternyata hanyalah seorang kriminal kecil berdasi yang hidup pas-pasan. Naskah tulisan Sahat sendiri gagal untuk diterbitkan dan lantas terjebak dalam permainan politik seorang politikus (Remy Silado) yang berniat mencalonkan dirinya sebagai seorang presiden. Sementara Tigor harus kembali menjalani pekerjaannya seperti dahulu di Samosir, menjadi seorang sopir, dengan kondisi persaingan yang lebih berat dan bahkan harus berhadapan dengan deretan kriminal jalanan di Jakarta.
Lewat Bulan di Atas Kuburan, Dirmawan Hatta mencoba bercerita mengenai banyak hal melalui naskah cerita yang digarapnya. Berbagai sindiran sosial dan politik seperti kesenjangan antara si miskin dan si kaya, berbagai mimpi (mitos?) mengenai tanah Jakarta yang begitu menjanjikan, sikap sukuisme hingga obsesi untuk menjadi yang paling berkuasa – baik di jalanan maupun di ranah politik – disajikan dalam drama berdurasi 120 menit ini. Sayangnya, dengan konten yang terlalu padat, jalan cerita Bulan di Atas Kuburan gagal dipresentasikan dengan ritme penceritaan yang tepat. Selain kadang terasa terlalu lamban berjalan akibat dibebani terlalu banyak detil cerita yang sebenarnya kurang begitu diperlukan, Bulan di Atas Kuburan juga hadir dengan linimasa penceritaan yang terlalu acak. Dengan banyaknya konflik dan karakter, sulit untuk mengikuti perkembangan sudut pandang dari satu karakter ketika film ini memutuskan untuk meleburkan keseluruhan elemen ceritanya pada satu titik daripada berusaha menyajikannya dengan ritme penceritaan yang telabih beraturan.
Departemen akting Bulan di Atas Kuburan sendiri hadir dengan kualitas yang memuaskan. Meski hadir dengan chemistry yang jauh dari kesan meyakinkan ketika tampil dalam satu adegan bersama Atiqah Hasiholan, penampilan Rio Dewanto sebagai sosok pemuda berdarah Batak hadir dengan memuaskan. Transformasinya sebagai sosok pemuda daerah yang kemudian terjebak dalam rutinitas ibukota berhasil disajikan dengan baik. Begitu pula dengan Donny Alamsyah dan Tio Pakusadewo yang masing-masing mampu memberikan karakter mereka kompleksitas tersendiri atas berbagai konflik yang mereka hadapi dalam kehidupan. Para pemeran lain seperti Ria Irawan, Atiqah Hasiholan, Andre Hehanusa, Arthur Tobing, Nungky Kusumastuti hingga deretan kameo yang datang dari Amink, Meriam Bellina, Dayu Wijanto dan Denada Tambunan menambah solid kualitas departemen akting dari Bulan di Atas Kuburan.
Bulan di Atas Kuburan juga mampu tampil dengan kualitas teknikal yang kuat. Yang paling menonjol adalah tata sinematografi arahan Donny H. Himawan Nasution dan Samuel Uneputty yang mampu menyajikan gambar-gambar yang begitu indah namun tetap sesuai dengan atmosfer penceritaan yang dibutuhkan film ini. Begitu juga dengan aransemen musik bernuansa Batak arahan Willy Haryadi yang dibantu dengan Vicky Sianipar. Tampil begitu kuat dalam mengisi elemen emosional dari jalan cerita yang seringkali terasa kurang begitu mampu ditonjolkan. [C]
Bulan di Atas Kuburan (2015)
Directed by Edo WF Sitanggang Produced by Tim Matindas, Dennis Chandra, Leonardo A. Taher Written by Dirmawan Hatta (screenplay), Asrul Sani (previous screenplay, Bulan di Atas Kuburan) Starring Rio Dewanto, Tio Pakusadewo, Donny Alamsyah, Atiqah Hasiholan, Andre Hehanusa, Annisa Pagih, Ria Irawan, Ray Sahetapy, Arthur Tobing, Nungky Kusumastuti, Remy Sylado, Mutiara Sani, Mentari De Marelle, Meriam Bellina, Monica Setiawan, Otis Pamutih, Dayu Wijanto, Alfridus Godfred, Ferry Salim, Amink, Denada Tambunan Music by Willy Haryadi Cinematography Donny H. Himawan Nasution, Samuel Uneputty Editing by Edo Dunggio, Thomson Sianturi Studio Sunshine Pictures/MAV Production/FireBird Films Running time 120 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: Melancholy is a Movement (2015)
Sembilan tahun setelah merilis film layar lebar arahan perdananya, Koper (2006), Richard Oh kembali hadir dengan Melancholy is a Movement. Film yang menampilkan Joko Anwar serta sekumpulan pemain kunci dalam industri film Indonesia ini memang sepertinya dibuat sebagai ajang bermain bagi para orang-orang yang terlibat didalamnya. Bagaimana tidak? Masing-masing pengisi departemen akting film hadir memerankan versi lain dari diri mereka sendiri dalam jalinan cerita beraroma dark comedy yang kental berisi ironi mengenai kehidupan mereka sebagai orang-orang yang terjun langsung dalam dinamika industri film nasional. Lebih dari itu, Richard Oh juga menyajikan linimasa penceritaan Melancholy is a Movement dalam susunan eksperimental yang jelas akan membuat banyak penontonnya mengernyitkan dahi mereka selama 75 menit durasi perjalanan film ini.
Melancholy is a Movement sendiri berkisah mengenai Joko Anwar yang ketika sedang dirundung kemuraman akibat kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagi dirinya kemudian mendapatkan tawaran untuk mengarahkan sebuah film reliji – sebuah jenis film yang selalu dianggap bertentangan dengan dirinya. Jawaban pribadi Joko terhadap tawaran tersebut jelas adalah menolak. Namun, akibat dorongan rekan kerja – sekaligus kondisi keuangan rumah produksinya yang sangat membutuhkan dana tambahan – Joko akhirnya memilih untuk mengarahkan film dengan jalinan kisah berpesan moral tersebut. Sebuah kejutan justru datang ketika film tersebut meraih sukses luar biasa secara komersial sekaligus dianggap kritikus sebagai film terbaik yang pernah diarahkan oleh dirinya.
Melancholy is a Movement sendiri jelas merupakan sebuah film yang berniat untuk memberikan sudut pandang lebih intim terhadap kondisi industri perfilman Indonesia sekaligus orang-orang yang berada di dalamnya. Bicara tentang idealisme, selera pasar, bujet produksi hingga proses pembuatan sebuah film, Richard Oh secara berani (baca: nekat) menghadirkan alur penceritaan filmnya secara acak – berkisah tentang satu cerita di adegan lain namun kemudian berpindah ke cerita lain yang sama sekali tidak berhubungan di adegan berikutnya. Menantang? Sangat. Namun Richard Oh jelas mengerti apa yang sedang ia kerjakan. Setiap adegan cerita acak tersebut mampu secara perlahan mempertegas bagaimana jalan pemikiran sekaligus kondisi emosional sang karakter utama. Penyajian kisah dalam balutan komedi juga mampu dimanfaatkan untuk menjadikan jalan cerita film menjadi lebih tajam penyampaiannya.
Harus diakui, eksperimen Richard Oh yang berlangsung dalam Melancholy is a Movement juga tidak selamanya berjalan mulus. Kehadiran adegan-adegan diam yang diambil dalam jangka waktu tertentu dalam film ini seringkali terasa sebagai style over substance. Terasa bagaikan sebuah kumpulan mimpi namun lama-kelamaan mengganggu karena terkesan hadir secara acak tanpa adanya tujuan penceritaan yang kuat. Hal yang sama juga terasa dalam beberapa adegan film. Acak. Mungkin Richard Oh memiliki pemaknaan lain terhadap berbagai adegan yang dihadirkannya dalam film ini – dan penonton jelas akan memiliki banyak interpretasi lain terhadap deretan adegan maupun gambar tersebut, namun deretan adegan yang tidak memiliki substansi esensial terhadap kekuatan penceritaan film jelas memberikan titik lemah tersendiri terhadap presentasi film secara keseluruhan.
Sebagai aktor utama, Joko Anawar sendiri memiliki kharisma yang kuat dalam mengikat perhatian para penonton Melancholy is a Movement secara utuh. Film dengan presentasi cerita eksperimental seperti film ini jelas membutuhkan satu karakter dengan pesona kuat yang mampu membuat penonton tetap tertarik untuk merangkai setiap detil penceritaanya. Joko Anwar jelas memiliki kelebihan tersebut. Deretan pemeran pendukung lain seperti Nazyra C. Noer, Ario Bayu, Karina Salim, Fachri Albar, Renata Kusmanto hingga sutradara film Indonesia lainnya, Upi, juga memberikan kesan yang cukup berarti lewat kehadiran terbatas mereka dalam film ini. [C]
Melancholy is a Movement (2015)
Directed by Richard Oh Produced by Bernice Helena Written by Richard Oh Starring Joko Anwar, Ario Bayu, Amink, Fachri Albar, Renata Kusmanto, Karina Salim, HB Naveen, Alex Abbad, Verdi Solaiman, Upi, Aimee Saras, Hannah Al Rashid, Nazyra C. Noer, Ardy Oktavian, Lance, Michael Turangan, Tony Setiaji, Wilza Lubis, Tengku Ryo, Aghi Narottama, Farishad Latjuba Music by Rooftop Sound Cinematography Yunus Pasolang Editing by Cuunk Studio Metafor Pictures Production Running time 75 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: Kacaunya Dunia Persilatan (2015)
Dikenal sebagai seorang penulis naskah untuk film-film Indonesia seperti Sehidup (Tak) Semati (2010), 5 cm (2012) dan Mama Cake (2012), Hilman Mutasi melakukan debut penyutradaraannya melalui film Kacaunya Dunia Persilatan – yang naskah ceritanya juga ditulis oleh Hilman sendiri. Seperti yang tergambar dari judul film, Kacaunya Dunia Persilatan adalah sebuah film komedi yang mencoba memparodikan beberapa karakter pendekar silat yang terdapat dalam film-film bertemakan martial arts khas Indonesia tersebut yang dahulu sempat popular di layar lebar Indonesia. Apakah Hilman mampu memberikan hiburan bagi penonton di masa sekarang dengan materi parodi yang berasal dari era keemasan dunia film Indonesia di masa lalu?
Well… Sebagai sebuah film yang menandai kali pertama Hilman Mutasi duduk di kursi penyutradaraan, Kacaunya Dunia Persilatan harus diakui memiliki kualitas yang jauh dari kesan mengecewakan. Hilman memiliki kemampuan yang cukup handal dalam mengarahkan para pengisi departemen aktingnya – yang berisi nama-nama seperti Darius Sinathrya, Tora Sudiro, Amink hingga komedian senior seperti Joehana Sutisna dan Iang Darmawan dari kelompok komedi legendaris, Padhyangan Project. Selain itu, sebagai sebuah film komedi yang berkisah tentang dunia persilatan, Kacaunya Dunia Persilatan juga mampu dihadirkan dengan kualitas tata produksi yang meyakinkan. Tidak sampai pada tahapan mewah ataupun epik seperti layaknya Pendekar Tongkat Mas (Ifa Isfansyah, 2014) namun Kacaunya Dunia Persilatan jelas terasa benar-benar tergarap dengan serius.
Permasalahan utama muncul ketika menyinggung Kacaunya Dunia Persilatan sebagai sebuah film komedi. Naskah cerita film yang ditulis Hilman Mutasi sepertinya telah selesai dikerjakan bertahun-tahun lalu dengan kandungan guyonan semacam parodi Arya Wiguna atau Klinik Tong Fang atau Gangnam Style atau Harlem Shake yang jelas tidak akan dapat bekerja (terlalu) efektif ketika ditampilkan saat ini. Guyonan Hilman lainnya juga tidak lebih baik. Begitu mudah ditebak dan seringkali gagal untuk menggarisbawahi unsur komedi dalam film ini. Kehadiran Elly Ermawati dan Fendy Pradana — pemeran Mantili dan Brama Kumbara dalam beberapa seri film Saur Sepuh — yang sepertinya ditujukan sebagai sebuah tribut singkat kepada film-film martial arts Indonesia di akhir film juga kurang (tidak?) mampu bekerja dengan baik karena… well… let’s be frank. No one recognizes them anymore.
Dari departemen akting, Kacaunya Dunia Persilatan didukung dengan penampilan yang cukup memuaskan dari setiap aktor dan aktrisnya. Chemistry yang erat antar setiap pemeran jelas memberikan keunggulan tersendiri bagi kualitas film secara keseluruhan. Sementara itu, Tora Sudiro dan Amink juga mampu tampil mencuri perhatian lewat karakter mereka sebagai Si Buta Dari Gua Buat Elu dan Siluman Antik. Kedua karakter tersebut seringkali diberkahi dengan dialog-dialog komikal yang mampu dieksekusi kedua aktor dengan baik. [C-]
Kacaunya Dunia Persilatan (2015)
Directed by Hilman Mutasi Produced by Helfi Kardit Written by Hilman Mutasi Starring Tora Sudiro, Darius Sinathrya, Amink, Joehana Sutisna, Agung Saga, Vicky Monica, Ery Makmur, Guntur Nugraha, Iang Darmawan, Zahra Jasmine, Elly Ermawati, Fendy Pradana Music by Candil Cinematography Ophie Yophie Edited by Ryan Purwoko Production company SAS Film Running time 98 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: Romantini (2013)
Dengan naskah yang ditulis oleh sang sutradara, Monty Tiwa, bersama dengan Ivander Tedjasukmana dan Sumarsono, Romantini menawarkan sebuah jalinan kisah yang jelas telah begitu terasa familiar akibat berulangkali dituturkan dalam berbagai film Indonesia: kisah sesosok karakter yang harus mengubur impian besarnya di masa lampau dan berusaha untuk tetap kuat dalam menghadapi berbagai tantangan hidup dalam kesehariannya demi kehidupan yang lebih baik lagi bagi orang yang disayanginya. Klise. Walaupun begitu, Monty Tiwa jelas bukanlah nama yang dapat dianggap sebelah mata. Deretan filmografinya seperti Maaf, Saya Menghamili Istri Anda (2007), Barbi3 (2008), Wakil Rakyat (2009) maupun Kalau Cinta Jangan Cengeng (2009) mampu membuktikan bahwa Monty memiliki kemampuan kuat untuk mengolah sebuah cerita yang mungkin dianggap banyak orang sebagai sebuah cerita berkualitas kacangan. Romantini sekali lagi membuktikan kemampuan Monty tersebut. Dengan dukungan penampilan akting yang cukup kuat dari para pengisi departemen aktingnya, Monty mampu mengolah Romantini menjadi sebuah drama yang cukup kuat dalam bercerita.
Review: Get M4rried (2013)
Meski tak satupun diantara seri lanjutan Get Married (2007) yang mampu menghadirkan kualitas presentasi cerita maupun guyonan sekuat seri pemulanya, namun harus diakui bahwa seri film tersebut telah mendapatkan sejumlah penggemar loyal dari kalangan penonton film Indonesia. Seri terakhirnya, Get Married 3 (2011) – yang hadir dengan kualitas paling buruk jika dibandingkan dengan dua seri Get Married sebelumnya, bahkan masih mampu meraih kesuksesan dengan perolehan jumlah penonton berada di atas angka 500 ribu. Karenanya, tidak mengherankan jika kemudian Starvision Plus kembali mengumpulkan para jajaran pemeran serta kru produksi seri film ini untuk membuat seri keempat yang diberi judul Get M4rried dan berusaha untuk mengulang kesuksesan tersebut.
Review: Arisan! 2 (2011)
Di tahun 2003, Nia Dinata berhasil memberikan sebuah asupan tontonan yang sama sekali belum pernah dirasakan para pecinta film Indonesia sebelumnya. Lewat Arisan!, Nia, yang menulis naskah film tersebut bersama Joko Anwar, memberikan sebuah satir jujur mengenai kehidupan kaum kosmopolitan di Indonesia (baca: Jakarta), tentang bagaimana pergaulan mereka, orang-orang di sekitar mereka hingga hitam putih kehidupan yang menyeruak dalam keseharian mereka. Arisan! juga menjadi film pertama yang mendapatkan rekognisi nasional dalam mengangkat kehidupan kaum homoseksual – yang di kala itu jelas merupakan sebuah terobosan yang sangat berani. Hasilnya, Arisan! sukses menjadi sebuah kultur pop dalam dunia hiburan Indonesia, meroketkan nama Tora Sudiro dan berhasil memenangkan kategori Film Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2004.
Review: Get Married 3 (2011)
Sebenarnya, sangat tidak mengherankan untuk mendengar bahwa Starvision merilis seri ketiga dari franchise Get Married, Get Married 3, pada liburan Lebaran tahun ini. Walaupun seri kedua dalam franchise ini, Get Married 2 (2009), secara jelas menunjukkan adanya sebuah penurunan kualitas yang cukup signifikan, namun Get Married 2 masih mampu tampil sebagai salah satu film dengan raihan jumlah penonton terbanyak pada tahun rilisnya. Jelas merupakan sebuah pertanda bahwa franchise ini masih mampu tampil menarik bagi banyak orang sekaligus memiliki potensi besar untuk kembali menghasilkan keuntungan jika kisahnya dilanjutkan. Dan Get Married 3 pun akhirnya menemui masa rilisnya.
Review: Akibat Pergaulan Bebas 2 (2011)
Dalam sebuah presentasi yang kemungkinan besar akan dapat menggambarkan bagaimana kerdilnya cara sebagian orang dalam mendapatkan sebuah keuntungan komersial, Fiman Bintang – seorang produser yang lebih banyak dikenal atas dukungannya untuk pembuatan film-film sekelas Pengantin Pantai Biru (2010) dan Mafia Insyaf (2010) – mencoba untuk meneruskan sukses yang ia dapatkan ketika memproduseri Akibat Pergaulan Bebas (2010). Akibat Pergaulan Bebas 2: Skandal Video Porno sendiri sama sekali tidak memiliki hubungan cerita apapun dengan seri pertama film ini. Film ini juga dibuat dengan sutradara, penulis naskah hingga deretan pemain yang berbeda dengan film sebelumnya. Selain Firman Bintang, satu-satunya benang merah yang dimiliki oleh Akibat Pergaulan Bebas 2: Skadal Video Porno dengan seri sebelumnya adalah keduanya sama-sama memiliki kualitas produksi yang akan mampu merendahkan intelejensia setiap penontonnya. Continue reading Review: Akibat Pergaulan Bebas 2 (2011)
Review: Cowok Bikin Pusing (2011)
Ditulis oleh Sekar Ayu Asmara – orang yang sama yang menghasilkan naskah cerita depresif seperti Belahan Jiwa (2006) yang hampir membunuh karir lima aktris muda Indonesia paling berbakat serta Pintu Terlarang (2009) yang berhasil diselamatkan oleh ending mengejutkan dan sentuhan visual yang dieksekusi dengan baik oleh Joko Anwar – Cowok Bikin Pusing menjadi sebuah karya yang sedikit berbeda dari karya-karya Sekar Ayu Asmara sebelumnya. Bebas dari pemikiran-pemikiran yang berpotensi membuat penontonnya berniat untuk bunuh diri, Cowok Bikin Pusing justru berisi banyak sentuhan drama komedi romantis a la Sekar Ayu Asmara yang terkadang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik di bawah eksekusi sutradara, Winaldha E. Melalatoa (Ai Lop Yu Pul, 2009). Walau lebih sering terasa bagaikan sebuah film televisi daripada sebuah film layar lebar, namun Cowok Bikin Pusing tidak dapat disangkal mampu memberikan hiburan tersendiri bagi setiap penontonnya.
Review: Kabayan Jadi Milyuner (2010)
Sama halnya seperti kisah-kisah Abu Nawas dan Nasruddin yang termuat di berbagai literatur yang berasal dari negeri Arab, Kabayan adalah sebuah tokoh imajinatif populer dari Indonesia yang seringkali memuat dan menyindir mengenai bentuk tatanan kehidupan masyarakat di kala itu pada setiap penceritaannya. Merupakan tokoh yang berasal dari kisah-kisah masyarakat Sunda, Kabayan kemudian menjadi sebuah tokoh ikonik bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan setelah kisahnya sering dipopulerkan dalam bentuk buku maupun dalam bentuk rilisan film layar lebar dan serial televisi.
Review: Madame X (2010)
Semenjak pertama kali melakukan debut penyutradaraan lewat film Ca Bau Kan (2002), perlahan namun pasti nama Nia Dinata menjadi sebuah jaminan tersendiri bahwa sebuah film memiliki kualitas yang berada di atas rata-rata kualitas film Indonesia lainnya jika melibatkan namanya sebagai sutradara film tersebut. Ini dibuktikan dengan kesuksesan dua film Nia lainnya, Arisan! (2003) dan Berbagi Suami (2006) yang mengikuti jejak kesuksesan Ca Bau Kan dalam meraih banyak pujian kritikus film Indonesia serta mencatatkan Nia sebagai satu-satunya sutradara film Indonesia yang filmnya selalu terpilih menjadi perwakilan Indonesia untuk bersaing di ajang Academy Awards untuk kategori Best Foreign Languange Film.
Review: Rumah Dara (2010)
Rumah Dara mungkin adalah salah satu film thriller yang paling ditunggu masa rilisnya di sejarah perfilman Indonesia. Bukan bermaksud membesar-besarkan. Film yang pada awalnya berjudul Macabre ini telah terlebih dahulu singgah di berbagai festival film dunia, dan hebatnya, mendapat banyak review yang sangat memuaskan. Tidak heran, di tengah kekeringan ide di dunia perfilman Indonesia, khususnya di genre horror, Rumah Dara terdengar akan menjadi sebuah penyelamat film horror di Indonesia.