Tag Archives: Rukman Rosadi

Review: Inang (2022)

Di tengah gempuran horor yang mengisi layar bioskop di tanah air, cukup menyenangkan untuk menyaksikan Inang. Menjadi presentasi horor pertama yang diarahkan oleh Fajar Nugros (Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama, 2022), Inang bukanlah sajian yang komposisi utama ceritanya hanya berniat untuk mengagetkan atau menakut-nakuti penontonnya. Adegan-adegan teror tersebut masih ada, namun kengerian yang ditonjolkan dalam film ini lebih banyak berasal dari paduan akan eksplorasi yang dilakukan Nugros serta penulis naskah Deo Mahameru terhadap tata pengisahan folk horror yang menggunakan kepercayaan atau mitos masyarakat dalam membangun ketegangan cerita dengan teror psikologis yang datang dari atmosfer kesunyian yang mampu diciptakan mencekam serta penampilan efektif para jajaran pemeran film. Kombinasi yang mampu menyokong Inang menjadi salah satu sajian horor terbaik tahun ini. Continue reading Review: Inang (2022)

Review: Pamali (2022)

Setelah DreadOut (2019) – yang posisinya hampir saja digantikan oleh Jailangkung: Sandekala (2022) sebagai film terburuk dalam filmografi sutradara Kimo Stamboel – kini Pamali menjadi film layar lebar teranyar yang alur pengisahannya diadaptasi dari permainan video berjudul sama. Masih membawakan warna horor, film arahan Bobby Prasetyo (Eyang Putri, 2021) ini memiliki alur pengisahan yang terasa begitu familiar bahkan jika Anda sama sekali belum pernah mendengar apapun tentang permainan videonya. Dikisahkan, pasangan muda, Jaka Sunarya (Marthino Lio) dan Rika (Putri Ayudya), mendatangi rumah peninggalan orangtua Jaka Sunarya yang sebenarnya telah cukup lama tidak dikunjungi dengan niatan untuk tinggal beberapa hari guna membersihkannya sebelum kemudian dijual. Seperti yang dapat diduga, sejak pertama kali Jaka Sunarya dan Rika menginjakkan kakinya, atmosfer kelam dan tidak menyenangkan dengan segera menyeruak dari rumah itu. Dengan kondisinya yang sedang hamil tua, Rika meminta kepada sang suami agar keduanya dapat segera meninggalkan lokasi menyeramkan tersebut. Continue reading Review: Pamali (2022)

Review: Miracle in Cell No. 7 (2022)

Berbeda dengan adaptasi asal Turki berjudul sama (Mehmet Ada Öztekin, 2019) yang menggunakan premis serupa namun dengan sejumlah perubahan signifikan pada elemen cerita guna lebih menonjolkan unsur pengisahan drama, versi buat ulang teranyar dari Miracle in Cell No. 7 (Lee Hwan-kyung, 2013) yang diarahkan oleh sutradara Hanung Bramantyo (Satria Dewa: Gatotkaca, 2022) berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Alim Sudio (Sayap Sayap Patah, 2022) lebih memilih untuk tetap setia pada garis besar alur pengisahan drama komedi yang sebelumnya telah diterapkan oleh Lee. Linimasa ceritanya dimulai dengan usaha seorang pengacara bernama Kartika (Mawar de Jongh) untuk membuka kembali kasus kejahatan yang dahulu dituduhkan kepada ayahnya, Dodo Rozak (Vino G. Bastian), dan lantas membuat sang ayah yang merupakan penyandang disabilitas mental menerima hukuman mati. Mengumpulkan kembali orang-orang yang dahulu sempat mengenal sang ayah ketika dirinya berada di dalam penjara, mulai dari rekan-rekan satu selnya, Japra (Indro Warkop), Jaki (Tora Sudiro), Bewok (Rigen Rakelna), Atmo (Indra Jegel), dan Bule (Bryan Domani), hingga kepala sipir yang dahulu bertugas, Hendro Sanusi (Denny Sumargo), Kartika bertekad untuk membersihkan nama ayahnya dari tuduhan kejahatan yang tidak pernah dilakukannya. Continue reading Review: Miracle in Cell No. 7 (2022)

Review: Pengabdi Setan 2: Communion (2022)

Pengabdi Setan (2017) jelas memiliki posisi tersendiri dalam filmografi seorang Joko Anwar. Bukan hanya merupakan film horor supranatural pertama yang diarahkan oleh Anwar, Pengabdi Setan juga menjadi film garapan pertamanya yang berhasil meraih sukses secara komersial semenjak karir penyutradaraannya dimulai lewat Janji Joni (2005). Di sepanjang masa perilisannya, Pengabdi Setan mengumpulkan lebih dari empat juta penonton, memberikannya gelar sebagai film dengan perolehan jumlah penonton terbanyak pada tahun tersebut sekaligus sebagai film horor dengan perolehan jumlah penonton terbanyak sepanjang masa – sebelum titel tersebut kemudian direbut oleh KKN di Desa Penari (Awi Suryadi, 2022). Kesuksesan masif Pengabdi Setan sepertinya juga memperkenalkan nama Anwar – yang sebelumnya lebih dikenal sebagai sutradara “kesayangan kritikus film dan sinefil” – pada kalangan penonton film yang lebih luas dan membuka jalan bagi dua film arahan Anwar selanjutnya, Gundala (2019) dan Perempuan Tanah Jahanam (2019), untuk meraih kesuksesan komersial yang berimbang dengan Pengabdi Setan. Continue reading Review: Pengabdi Setan 2: Communion (2022)

Review: Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama (2022)

Film terbaru arahan Fajar Nugros (Yowis Ben II, 2019), Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama, dibuka dengan barisan tulisan yang menarasikan bagaimana kelompok lawak Srimulat dibentuk pada tahun 1950 oleh sosok Teguh Slamet Rahardjo bersama dengan istrinya, Raden Ayu Srimulat – yang sekaligus menjadi inspirasi bagi nama kelompok lawak yang berasal dari Solo, Jawa Tengah tersebut. Jangan berharap narasi perkenalan tersebut lantas menjadi pembuka bagi runutan kisah jatuh bangun kelompok lawak Srimulat dalam usaha untuk bertahan sekaligus membesarkan namanya. Lewat naskah cerita yang ditulisnya sendiri, Nugros memilih untuk menjauh dari penggunaan formula familiar pengisahan biopik dengan menghantarkan sederetan “reka ulang” guyonan khas kelompok lawak Srimulat guna mendorong pergerakan cerita sekaligus memperkenalkan dan menggali karakterisasi dari setiap peran yang muncul dalam linimasa cerita film ini. Pilihan penceritaan yang berani… namun tidak tanpa masalah maupun dampak negatif tersendiri. Continue reading Review: Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama (2022)

Review: Yuni (2021)

Sejujurnya, cukup menggusarkan hati untuk menerima kenyataan bahwa film terbaru arahan Kamila Andini (Sekala Niskala, 2017), Yuni, didasarkan pada realita kehidupan keseharian yang masih harus dihadapi oleh kaum perempuan di sejumlah (banyak?) tempat di negara ini hingga saat ini. Meskipun jika Anda merupakan seorang laki-laki. Khususnya jika Anda adalah seorang laki-laki. Naskah cerita film yang ditulis Andini bersama dengan Prima Rusdi (Ada Apa dengan Cinta? 2, 2016) secara perlahan namun mendalam membuka berbagai luka dan duka kaum perempuan yang menjadi fokus utama linimasa pengisahan dan membuat setiap mata yang menyaksikan kisah mereka kembali diingatkan pada betapa buruknya perlakuan sistem sosial patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pusat dalam proses berkehidupan dan bermasyarakat terhadap mereka. We failed them. Continue reading Review: Yuni (2021)

Review: Anak Garuda (2020)

Meskipun sama-sama berkisah tentang kehidupan para pelajar dari sekolah Selamat Pagi Indonesia, sama-sama memiliki barisan karakter dengan nama serta potongan kisah yang serupa, serta sama-sama diarahkan oleh Faozan Rizal berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Alim Sudio, Anak Garuda bukanlah sebuah sekuel dan sama sekali tidak memiliki keterikatan penceritaan dengan Say I Love You yang dahulu sempat dirilis di penghujung tahun 2019. Sebuah reboot berusia dini? Mungkin saja. Jika Say I Love You memiliki konsentrasi cerita yang berada pada sosok karakter Sheren dan Robet, maka kedua karakter tersebut kini menjadi bagian dari tatanan pengisahan yang lebih luas dalam jalan cerita Anak Garuda. Sayangnya, menghadirkan skala cerita dalam ukuran lebih besar tidak serta merta menjadikan sebuah film menjadi lebih baik. Kehadiran banyak karakter yang coba mengisi linimasa penceritaan Anak Garuda justru membuat film ini tidak memiliki fokus cerita yang kuat sekaligus bangunan konflik yang benar-benar menarik. Continue reading Review: Anak Garuda (2020)

Review: Love for Sale 2 (2019)

Masih ingat dengan sosok Arini (Della Dartyan) yang mampu meluluhlantakkan hati (dan kehidupan) seorang pria penyendiri bernama Richard (Gading Marten) dalam pengisahan Love for Sale (Andibachtiar Yusuf, 2018)? Well… kisah perjalanan sang “gadis penjaja cinta” yang bekerja di sebuah perusahaan aplikasi kencan daring bernama Love Inc. tersebut berlanjut lewat Love for Sale 2. Kali ini, Arini ditugaskan untuk “mendampingi” Ican (Adipati Dolken), seorang pria berusia 32 tahun yang mulai kewalahan untuk menghadapi permintaan sang ibu, Rosmaida (Ratna Riantiarno), agar dirinya segera menikah. Oleh Ican, Arini diperkenalkan kepada sang ibu sebagai mantan kekasih di saat menjalani masa kuliah dahulu yang kini sedang bertugas di Jakarta. Rosmaida jelas merasa senang melihat kedekatan putera keduanya tersebut dengan seorang perempuan yang dirasakannya sangat memenuhi kriteria sebagai seorang menantu idaman: taat beribadah, pintar memasak, dan masih kental pemahamannya akan adat istiadat. Seperti halnya karakter Richard dalam Love for Sale, Ican mulai melihat perubahan yang dibawa Arini dalam kehidupannya dan merasakan hal yang berbeda ketika dirinya sedang menatap atau sedang bersama gadis tersebut. Ya, seperti ibunya, Ican sudah jatuh cinta dengan sosok Arini. Continue reading Review: Love for Sale 2 (2019)

Review: Sultan Agung (2018)

Diarahkan bersama oleh Hanung Bramantyo (Kartini, 2017) dan x.Jo (Garuda: The New Indonesian Superhero, 2015), Sultan Agung memulai intrik ceritanya ketika Raden Mas Rangsang yang masih remaja (Marthino Lio) terpaksa harus menduduki posisi sebagai pemimpin bagi Kesultanan Mataram setelah meninggalnya sang ayah. Dengan gelar sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma, dirinya tidak lagi dapat lepas bermain dengan teman-teman sebayanya maupun memadu kasih dengan wanita pilihan hatinya, Lembayung (Putri Marino) – yang kebetulan berasal dari kelas sosial yang berbeda dengan dirinya. Meskipun begitu, dengan bantuan orang-orang kepercayaannya, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memiliki mimpi dan tekad untuk menyatukan seluruh pemimpin kerajaan di tanah Jawa mampu menjelma menjadi sosok yang kuat dan dicintai oleh rakyatnya. Namun, tantangan terbesar bagi kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma dewasa (Ario Bayu) hadir ketika tanah Jawa kedatangan para “pedagang” dari negeri Belanda yang menamakan diri mereka sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie pimpinan Jan Pieterszoon Coen (Hans de Kraker). Reputasi Vereenigde Oostindische Compagnie yang seringkali berlaku tidak adil dan memiliki sejarah kelam dengan para penduduk di Kepulauan Banda membuat Sultan Agung Hanyakrakusuma menjadi was-was dan memerintahkan pasukan Kesultanan Mataram untuk bersiap-siap jika Vereenigde Oostindische Compagnie datang untuk menyerang. Continue reading Review: Sultan Agung (2018)

Review: The Gift (2018)

Hanung Bramantyo jelas merupakan salah seorang sutradara paling aktif di industri film Indonesia. Lihat saja setahun belakangan. Tidak kurang dari lima film Indonesia yang berasal dari berbagai genre berhasil ia arahkan – mulai dari Kartini (2017) yang kembali memberikannya nominasi Sutradara Terbaik di ajang Festival Film Indonesia, Jomblo (2017) yang merupakan versi buat ulang dari salah satu film terbaiknya yang berjudul sama (2006), Seteru (2017) yang dirilis dan melintas begitu saja dari layar bioskop Indonesia, Surga yang Tak Dirindukan 2 (2017) yang kembali berhasil menarik banyak penonton namun mendapatkan banyak reaksi negatif dari para kritikus film, hingga Benyamin Biang Kerok (2018) yang tidak hanya kembali mendapatkan reaksi negatif dari para kritikus film namun juga gagal untuk mendapatkan jumlah penonton yang signifikan meskipun telah dipromosikan secara besar-besaran. Kini, Bramantyo kembali hadir dengan film teranyarnya yang berjudul The Gift. Berbeda dengan film-film arahan Bramantyo yang tadi telah disebutkan, The Gift memiliki citarasa pengarahan yang cenderung intim, personal, dan jauh dari kesan komersial. Jelas sebuah pilihan yang cukup menarik dari seorang Bramantyo. Continue reading Review: The Gift (2018)

Review: Arini (2018)

Diadaptasi dari novel karya Mira W., Arini: Masih Ada Kereta yang Akan Lewat, Arini memulai pengisahannya dengan pertemuan antara seorang wanita bernama Arini (Aura Kasih) dengan seorang mahasiswa bernama Nick (Morgan Oey) dalam sebuah perjalanan kereta api di Jerman. Pertemuan tersebut begitu memberikan kesan mendalam bagi Nick yang lantas terus memburu Arini guna menyatakan rasa cintanya. Walau awalnya merasa perbedaan usia yang terpaut jauh antara dirinya dan Nick menjadi sebuah faktor penghalang namun secara perlahan Arini mulai membuka hatinya terhadap pemuda tampan tersebut. Di saat yang bersamaan, masa lalu Arini datang menghantui ketika ia bertemu dengan mantan suaminya, Helmi (Haydar Salishz), sekembalinya ia ke Indonesia. Luka mendalam akan percintaannya di masa lampau lantas menghalangi hubungan romansa yang sedang mekar antara Arini dan Nick. Continue reading Review: Arini (2018)

Review: Love for Sale (2018)

Siapa yang tidak akan terpesona dengan sosok Arini Kusuma (Della Dartyan)? Figur fisiknya jelas akan mampu menggoda setiap pecinta wanita yang mengenalnya. Tidak hanya itu, Arini adalah sosok yang memiliki kepribadian yang juga mampu tampil memikat – mulai dari pengetahuannya soal dunia sepakbola, keahlian memasak, hingga urusan ranjang. Namun, berbeda dengan gadis-gadis lainnya, Arini bukanlah sosok wanita yang dapat ditemukan di sembarang tempat. Oleh Richard Achmad (Gading Marten) – sesosok pria yang telah terlalu lama hidup menyendiri, Arini Kusuma ditemukan di sebuah aplikasi percintaan yang membiarkan penggunanya untuk bertemu dengan gadis impiannya setelah mereka membayar sejumlah uang. Richard Achmad sendiri awalnya hanya ingin Arini Kusuma menemaninya ke sebuah pesta pernikahan sahabatnya. Daya tarik Arini Kusuma-lah yang secara perlahan mengubah kehidupan Richard Achmad dan membuatnya mampu merasakan sebuah perasaan cinta yang sebenarnya telah sangat lama tidak pernah dirasakannya. Continue reading Review: Love for Sale (2018)

Review: Jokowi (2013)

jokowi-header

Selain film-film yang naskah ceritanya mengadaptasi sebuah novel, penonton Indonesia sepertinya saat ini sedang benar-benar menggemari film-film biopik yang jalan ceritanya menghadirkan kisah hidup para tokoh masyarakat populer. Tercatat, film-film seperti Sang Pencerah (2010), Soegija (2012), Habibie & Ainun (2012) hingga Sang Kiai (2013) mampu membujuk penonton Indonesia – yang dikenal sulit untuk datang ke bioskop dan menyaksikan film produksi negara mereka sendiri – untuk kemudian datang secara beramai-ramai dan menikmati kembali perjalanan hidup tokoh idola mereka. Tidak mengherankan bila kemudian KK Dheeraj – yang namanya akan selamanya terpaut pada film-film seperti Genderuwo (2007), Anda Puas Saya Loyo (2008) atau Mr. Bean Kesurupan Depe (2012) yang diproduksi oleh rumah produksi yang ia miliki, K2K Production – secara jeli mencoba untuk memanfaatkan peluang pasar tersebut. Tokoh yang coba ia angkat? Tidak lain adalah sosok Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang sedang menjabat, Joko Widodo atau yang lebih akrab dengan sebutan Jokowi, yang kepopuleran figurnya memang begitu menanjak di kalangan masyarakat Indonesia saat ini.

Continue reading Review: Jokowi (2013)