Review: The Gift (2018)


Hanung Bramantyo jelas merupakan salah seorang sutradara paling aktif di industri film Indonesia. Lihat saja setahun belakangan. Tidak kurang dari lima film Indonesia yang berasal dari berbagai genre berhasil ia arahkan – mulai dari Kartini (2017) yang kembali memberikannya nominasi Sutradara Terbaik di ajang Festival Film Indonesia, Jomblo (2017) yang merupakan versi buat ulang dari salah satu film terbaiknya yang berjudul sama (2006), Seteru (2017) yang dirilis dan melintas begitu saja dari layar bioskop Indonesia, Surga yang Tak Dirindukan 2 (2017) yang kembali berhasil menarik banyak penonton namun mendapatkan banyak reaksi negatif dari para kritikus film, hingga Benyamin Biang Kerok (2018) yang tidak hanya kembali mendapatkan reaksi negatif dari para kritikus film namun juga gagal untuk mendapatkan jumlah penonton yang signifikan meskipun telah dipromosikan secara besar-besaran. Kini, Bramantyo kembali hadir dengan film teranyarnya yang berjudul The Gift. Berbeda dengan film-film arahan Bramantyo yang tadi telah disebutkan, The Gift memiliki citarasa pengarahan yang cenderung intim, personal, dan jauh dari kesan komersial. Jelas sebuah pilihan yang cukup menarik dari seorang Bramantyo.

Ditayangkan perdana pada ajang Jogja-NETPAC Asian Film Festival akhir tahun lalu, The Gift berkisah mengenai perkenalan antara seorang penulis novel bernama Tiana (Ayushita Nugraha) dengan seorang pemuda bernama Harun (Reza Rahadian) yang hidup menyendiri akibat rasa depresi yang dirasakannya setelah kehilangan penglihatannya. Kedatangan Tiana awalnya ditanggapi dingin oleh Harun. Namun, tentu saja, hubungan tersebut secara perlahan tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kisah romansa yang berhasil mengikat keduanya. Sayang, kisah romansa tersebut tidak berjalan manis dalam jangka waktu yang lama. Ketika seorang teman masa kecilnya, Arie (Dion Wiyoko), datang menghampiri dan menyatakan rasa cinta pada dirinya, Tiana merasakan kegundahan yang menyebabkan hubungannya dengan Harun lantas merenggang. Gadis tersebut kini terjebak antara pilihan untuk melangkah ke masa depan bersama dengan Harun atau merengkuh kenangan manis masa lalunya kembali bersama dengan Arie.

Berbeda dengan kebanyakan film arahan Bramantyo sebelumnya, The Gift terasa sebagai sebuah film yang bercerita dengan kapasitas sederhana – baik dari segi cerita maupun tampilan visualnya – dengan mengedepankan deretan gambar sebagai simbol untuk mempertegas visi utama penceritaan film. Sebuah pola pengarahan yang jelas cukup menyegarkan (bagi sebuah film hasil arahan Bramantyo) mengingat film-film karya sutradara pemenang dua Piala Citra tersebut biasanya hadir dengan tata penceritaan yang tampil gamblang. Sayangnya, naskah cerita yang digarap oleh Ifan Ismail – yang sebelumnya juga bertanggungjawab atas naskah-naskah film garapan Bramantyo lainnya seperti Habibie & Ainun (2012), Jomblo, dan Ayat-ayat Cinta 2 (2017) – gagal untuk menyediakan pengembangan cerita yang kuat dan akhirnya justru membuat The Gift terasa sebagai persembahan yang begitu membosankan.

Awal perkenalan penonton dengan karakter Tiana dan Harun sendiri sebenarnya mampu disajikan dengan cukup menarik. Walau terkesan cukup klise, perkembangan awal hubungan antara dua karakter yang memiliki sikap saling bertolakbelakang ini berhasil disajikan secara manis. Namun, ketika hubungan tersebut mulai mendapatkan eksplorasi yang lebih mendalam – dan disajikan dengan tambahan konflik kehadiran karakter ketiga yang memberikan pengaruh pada hubungan karakter Tiana dan Harun – The Gift mulai terasa kehilangan arah pengisahannya. Perseteruan yang timbul antara kedua karakter lebih sering terasa sebagai mengganggu daripada sebagai intrik sebuah drama romansa yang menarik. Beberapa sempilan akan kisah masa lalu dari kedua karakter tersebut juga tidak mampu memberikan tambahan warna pengisahan yang kuat. Alhasil, ditambah dengan pengarahan Bramantyo yang berjalan cukup lamban, The Gift kehilangan kemampuannya untuk mampu mengikat perhatian para penontonnya dengan baik.

Jalan cerita film ini sendiri tidak melulu berfokus pada hubungan antara karakter Tiana dan Harun. Di pertengahan film, The Gift mulai memberikan ruang yang lebih luas untuk pengisahan dari karakter Arie. Karakter yang diperankan Wiyoko tersebut harus diakui tersaji dengan gambaran emosional yang lebih stabil daripada karakter Tiana maupun Harun. Sayangnya, plot konflik yang tersusun tentang cinta segitiga yang terbentuk antara karakter Arie dengan karakter Tiana dan Harun sama sekali tidak pernah mampu terbangun dengan kuat – sebagian karena kurangnya chemistry yang muncul antara Nugraha dan Wiyoko dan sebagian lagi karena kualitas bangunan cerita yang cenderung mengecewakan. The Gift setidaknya masih terbantu dengan kualitas tata sinematografi film yang cukup memanjakan mata. Tidak sampai membuat penonton melupakan betapa medioker-nya pengisahan The Gift namun setidaknya mengurangi penderitaan mereka ketika menyaksikan film ini.

Kualitas departemen akting film ini jelas merupakan tampilan paling memuaskan dari presentasi keseluruhan dari The Gift. Rahadian, Nugraha, dan Wiyoko tampil dalam kapasitas akting yang memuaskan – meskipun Nugraha seringkali terasa terlalu berusaha untuk menyaingi penampilan yang sering-terasa-overthetop dari Rahadian. Walaupun hadir dalam kapasitas pengisahan yang begitu terbatas, Christine Hakim mampu mencuri perhatian dalam penampilannya yang begitu bersahaja. [C-]

the-gift-film-indonesia-reza-rahadian-ayushita-nugraha-movie-posterThe Gift (2018)

Directed by Hanung Bramantyo Produced by Anirudhya Mitra, Rodney L. Vincent Written by Ifan Ismail (screenplay), Anirudhya Mitra, Hanung Bramantyo (story) Starring Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Dion Wiyoko, Christine Hakim, Tuminten, Romaria Simbolon, Annisa Hertami, Rukman Rosadi, Rinaldy Zulkarnain Music by Charlie Meliala Cinematography Gilang Galih Edited by Wawan I. Wibowo Production company Seven Sunday Films Running time 116 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Leave a Reply