Setelah debut pengarahan film cerita panjangnya, Mekah, I’m Coming (2020), yang hangat dan menyenangkan, Jeihan Angga kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk film drama keluarga Just Mom. Diadaptasi dari buku berjudul Ibu, Doa yang Hilang yang ditulis oleh Bagas D. Bawono – yang sebelumnya juga menuliskan cerita pendek yang kemudian diadaptasi menjadi film Hasduk Berpola (Harris Nizam, 2013), Just Mom bercerita tentang perempuan bernama Siti (Christine Hakim) yang bertemu dengan dan kemudian memilih untuk merawat seorang gelandangan dengan gangguan jiwa yang tengah hamil tua, Murni (Ayushita Nugraha). Keputusan tersebut mendapatkan tentangan dari kedua anaknya, Damar (Ge Pamungkas) dan Pratiwi (Niken Anjani), yang menilai sang ibu telah mengambil sebuah keputusan yang ceroboh. Di saat yang bersamaan, usaha Siti untuk merawat Murni secara perlahan mulai menutup duka yang selama ini rasakan atas rasa kerinduan yang sering tidak berbalas kepada anak-anaknya yang kini telah dewasa dan tidak lagi tinggal bersama dengan dirinya. Continue reading Review: Just Mom (2021)
Tag Archives: Ayushita Nugraha
Review: Perburuan (2019)
Seperti halnya Bumi Manusia (Hanung Bramantyo, 2019), Perburuan adalah sebuah film yang naskah ceritanya diadaptasi dari novel yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Jika Bumi Manusia memuat kisah yang berlatarbelakang masa penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, Perburuan menghadirkan ceritanya pada momen-momen terakhir penjajahan Jepang di tanah Indonesia. Fokus penceritaannya sendiri berada pada karakter Hardo (Adipati Dolken), seorang mantan pemimpin peleton Pembela Tanah Air yang bersama dengan rekan-rekan yang sepemikiran dengannya kemudian melakukan pemberontakan demi menuntut kemerdekaan Indonesia dari Jepang. Sial, usaha pemberontakan tersebut mendapatkan pengkhianatan dan gagal terlaksana. Tentara Jepang jelas tidak tinggal diam. Hardo dan rekan-rekannya diburu dan terancam akan mendapatkan hukuman berat. Hardo berhasil melarikan diri. Selama beberapa waktu, Hardo terus berlari dan mengasingkan dirinya dari keramaian. Bukan perkara mudah. Kesendirian diri dan rasa rindu pada sosok orang-orang yang dicintai secara perlahan mulai membuat Hardo kehilangan akal sehatnya. Continue reading Review: Perburuan (2019)
Review: The Gift (2018)
Hanung Bramantyo jelas merupakan salah seorang sutradara paling aktif di industri film Indonesia. Lihat saja setahun belakangan. Tidak kurang dari lima film Indonesia yang berasal dari berbagai genre berhasil ia arahkan – mulai dari Kartini (2017) yang kembali memberikannya nominasi Sutradara Terbaik di ajang Festival Film Indonesia, Jomblo (2017) yang merupakan versi buat ulang dari salah satu film terbaiknya yang berjudul sama (2006), Seteru (2017) yang dirilis dan melintas begitu saja dari layar bioskop Indonesia, Surga yang Tak Dirindukan 2 (2017) yang kembali berhasil menarik banyak penonton namun mendapatkan banyak reaksi negatif dari para kritikus film, hingga Benyamin Biang Kerok (2018) yang tidak hanya kembali mendapatkan reaksi negatif dari para kritikus film namun juga gagal untuk mendapatkan jumlah penonton yang signifikan meskipun telah dipromosikan secara besar-besaran. Kini, Bramantyo kembali hadir dengan film teranyarnya yang berjudul The Gift. Berbeda dengan film-film arahan Bramantyo yang tadi telah disebutkan, The Gift memiliki citarasa pengarahan yang cenderung intim, personal, dan jauh dari kesan komersial. Jelas sebuah pilihan yang cukup menarik dari seorang Bramantyo. Continue reading Review: The Gift (2018)
Review: Satu Hari Nanti (2017)
Dengan naskah cerita yang ditulis dan diarahkan oleh Salman Aristo (Cinta dalam Kardus, 2013), Satu Hari Nanti berkisah mengenai dua pasang kekasih yang juga saling bersahabat, Bima (Deva Mahenra) dan Alya (Adinia Wirasti) serta Din (Ringgo Agus Rahman) dan Chorina (Ayushita Nugraha), yang sedang bekerja sekaligus mengejar mimpi mereka di negara Swiss. Hubungan kedua pasangan tersebut bukannya berjalan tanpa tantangan: karir bermusik Bima yang berjalan di tempat terasa menghalangi mimpi Alya untuk menjadi seorang chocolatier yang handal sementara Din tidak pernah berhenti untuk berselingkuh dengan wanita lain di belakang Chorina. Setelah terjadi sebuah pertengkaran besar antara Bima dan Alya, keduanya lantas menyadari bahwa mereka telah jatuh hati dengan sosok lain – sahabat mereka sendiri. Jalinan kisah cinta baru tersebut secara perlahan mulai mengubah hidup Bima, Alya, Din, dan Chorina sekaligus mimpi dan cara pandang mereka mengenai masa depan. Continue reading Review: Satu Hari Nanti (2017)
Review: Kartini (2017)
Merayakan Hari Kartini tahun ini, sutradara Hanung Bramantyo bekerjasama dengan produser Robert Ronny merilis biopik dari Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan di Indonesia tersebut. Berlatarbelakang lokasi di Jepara, Jawa Tengah, di masa Indonesia masih berada dibawah jajahan Belanda dan dikenal dengan sebutan Hindia Belanda, Kartini (Dian Sastrowardoyo) yang berasal dari kalangan kelas bangsawan Jawa telah terbiasa hidup dalam tatanan adat Jawa yang seringkali dirasa mengekang kehidupan kaum perempuannya. Meskipun begitu, berkat arahan sang kakak, Kartono (Reza Rahadian), yang mengenalkannya pada banyak literatur Belanda, pemikiran Kartini menjadi jauh lebih maju dan terbuka dibandingkan dengan kebanyakan perempuan Jawa di era tersebut. Dengan pemikirannya tersebut, Kartini memulai usahanya untuk memperjuangkan kesetaraan hak kaum perempuan, khususnya hak untuk memperoleh pendidikan, agar kaum perempuan, khususnya perempuan Jawa, tidak lagi hanya berfungsi sebagai istri atau pendamping para suami dalam kehidupan mereka. Continue reading Review: Kartini (2017)
Review: Bid’ah Cinta (2017)
Art imitates life. Dan film, sebagai salah satu bentuk produk kesenian, seringkali merefleksikan kondisi politik, sosial maupun budaya yang pernah atau sedang dialami para pembuatnya. Film terbaru arahan Nurman Hakim, Bid’ah Cinta, sepertinya berusaha menjadi cermin mengenai kondisi sosial masyarakat Indonesia yang sedang menghangat belakangan ini, khususnya dari kalangan pemeluk agama Islam. Kondisi sosial dimana beberapa kelompok merasa bahwa ajaran Islam yang mereka peluk lebih “murni” dan “kuat” dibandingkan dengan ajaran Islam yang dipeluk dan dipraktekkan oleh beberapa kelompok lain sehingga membuat mereka berusaha keras agar kelompok yang berbeda tersebut mau untuk “bertobat” dan kemudian mengikuti ajaran Islam mereka yang lebih “murni” dan “kuat” tersebut. Tentu, sebuah bahasan yang cukup kompleks untuk dijabarkan dalam sebuah jalan pengisahan yang berdurasi 128 menit. Namun, dengan kelihaiannya bercerita, Hakim mampu menggarap Bid’ah Cinta dengan ritme yang tepat sehingga filmnya tetap tajam dalam berkisah dan tidak pernah terasa membosankan dalam pemaparannya. Continue reading Review: Bid’ah Cinta (2017)
Festival Film Indonesia 2013 Nominations List
Setelah Fiksi yang berhasil memenangkan beberapa kategori utama, termasuk Film Bioskop Terbaik dan Sutradara Terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2008, tahun ini panitia penyelenggara Festival Film Indonesia kembali menunjukkan rasa cinta mereka terhadap genre horor dengan memberikan 13 nominasi kepada film Belenggu arahan Upi. 13 dari 15 kategori yang tersedia dalam Festival Film Indonesia 2013! That’s huge! Belenggu berhasil mendapatkan nominasi di beberapa kategori utama seperti Naskah Asli Terbaik dan Sutradara Terbaik untuk Upi, Pemeran Utama Pria Terbaik untuk Abimana, Pemeran Utama Wanita Terbaik untuk dua pemerannya, Imelda Therinne dan Laudya Cinthya Bella, serta Film Terbaik dimana Belenggu akan bersaing dengan 5 cm, Habibie & Ainun, Laura & Marsha dan Sang Kiai.
Continue reading Festival Film Indonesia 2013 Nominations List
Review: What They Don’t Talk About When They Talk About Love (2013)
Bagaimana sesungguhnya rasa cinta itu bermula? Dari ketertarikan pandangan terhadap rupa seseorang? Deretan dialog puitis yang terdengar begitu romantis di telinga? Atau dari kemampuan mulut untuk mengolah dan memadukan kata yang ingin didengarkan oleh seseorang? Bagaimana jika mata, mulut atau telinga tidak lagi dapat berfungsi dengan sempurna untuk menghantarkan berbagai sensasi perasaan tersebut? Apakah manusia tetap mampu merasakan indahnya jatuh cinta? Problematika inilah yang ingin dijabarkan oleh Mouly Surya dalam film terbarunya, What They Don’t Talk About When They Talk About Love. Di tangan kebanyakan sutradara, premis tersebut mungkin akan berakhir sebagai sebuah kisah romansa yang manis atau menyentuh atau justru melelahkan – seperti kebanyakan kisah romansa yang hadir di industri film Indonesia belakangan ini. Namun Mouly Surya jelas bukanlah “kebanyakan sutradara”. Dengan pendekatan yang berani dan jauh dari kesan biasa – serta akan memberikan banyak ruang kepada setiap penonton untuk menginterpretasikan jalan cerita film ini, Mouly berhasil menyajikan sebuah presentasi yang tidak hanya sekedar manis atau menyentuh, namun juga kembali membuktikan bahwa dirinya adalah seorang sutradara dengan visi dan kemampuan bercerita yang begitu brilian.
Continue reading Review: What They Don’t Talk About When They Talk About Love (2013)