Review: Tully (2018)


Merupakan kali keempat sutradara Jason Reitman bekerjasama dengan penulis naskah Diablo Cody setelah Juno (2007) dan Young Adult (2011) – juga Jennifer’s Body (Karyn Kusama, 2009) dimana Reitman menjadi produser bagi film yang naskah ceritanya ditulis oleh Cody tersebut –  serta kali kedua Reitman dan Cody bekerjasama dengan aktris Charlize Theron untuk memerankan karakter sentral di film mereka setelah Young Adult, Tully adalah sebuah film emosional yang akan mengingatkan kembali para penontonnya tentang perjuangan banyak wanita ketika mereka telah menjadi seorang ibu. Terdengar terlalu serius? Jangan khawatir. Seperti halnya Juno dan Young Adult, Cody mampu menempatkan dialog-dialog komikal nan tajam plus deretan konflik yang begitu kompleks namun mampu disampaikan secara ringan dengan baik untuk menghasilkan sebuah rajutan cerita yang hangat, menghibur, sekaligus mengikat dan tidak akan mudah dilupakan begitu saja.

Filmnya sendiri berkisah mengenai Marlo (Theron), seorang ibu dari dua anak yang sedang mengandung anak ketiga – dan sebenarnya tidak direncanakan – dari suaminya, Drew (Ron Livingston). Berniat untuk mengurangi beban Marlo dalam merawat dan membesarkan anak-anaknya, sang kakak, Craig (Mark Duplass), lantas menawarkan bantuan untuk membiayai seorang pengasuh guna membantu Marlo dalam kesehariannya. Tawaran tersebut ditolak oleh Marlo dengan alasan bahwa dirinya tidak nyaman jika orang asing berdekatan dengan anak-anaknya. Namun, kenyataan berkata lain. Ketika anak ketiganya lahir, Marlo benar-benar merasa kewalahan dengan tanggungjawab yang harus ia hadapi. Marlo akhirnya menerima tawaran Craig dan kemudian menelepon Tully (Mackenzie Davis), seorang pengasuh yang direkomendasikan oleh Craig. Secara perlahan, kehadiran Tully memberikan pengaruh besar dalam kehidupan pernikahan Marlo dan Drew.

Jika ingin melihat struktur pengisahannya secara lebih dekat, Tully sebenarnya menawarkan penceritaan yang cukup sederhana – memiliki ritme dan tema yang hampir senada dengan Young Adult namun dengan plot cerita yang lebih minimalis. Reitman dan Cody sendiri sepertinya memang menginginkan agar penonton filmnya memberikan fokus yang penuh pada karakter Marlo dan perjuangannya dalam menghadapi dilema rasa kelelahan dalam menjadi seorang ibu. Cody menghadirkan pengisahan tersebut secara jujur dan blak-blakan: tentu, menjadi seorang ibu adalah anugerah dan penghargaan terbesar yang diberikan pada seorang wanita namun di saat yang bersamaan tidak dapat dipungkiri bahwa posisi tersebut juga merupakan sebuah tanggungjawab (baca: pekerjaan) yang sangat, sangat melelahkan. Cody menyelami perasaan dari karakter ceritanya secara mendalam yang mampu membuat karakter tersebut menjadi begitu humanis dan terasa emosional.

Sentuhan komedi Cody juga, sekali lagi, berhasil memberikan jalan yang luas bagi konflik maupun drama yang ditemban oleh Tully untuk berbicara secara lebih lugas. Jika dibandingkan dengan Juno, Tully terasa berbicara dengan lebih apa adanya tanpa pernah berusaha untuk mempermanis berbagai permasalahan yang dialami oleh sang karakter utama. Di saat yang bersamaan, Tully juga terasa lebih lembut dalam menyampaikan kisahnya jika dibandingkan dengan Young Adult yang hadir dengan nuansa sinisme yang kental. Pengarahan Reitman juga berhasil tampil memikat. Tully mengalir dengan lancar dalam memperkenalkan para karakternya, hubungan yang terbentuk antara karakter-karakter tersebut, hingga berkisah mengenai berbagai konflik yang menyelimuti mereka. Pilihan artistik Reitman dalam pemilihan warna gambar yang cenderung gloomy serta pilihan lagu-lagu yang mengisi setiap adegan cerita juga hadir sebagai salah satu elemen kekuatan dalam penceritaan film.

Dan, tentu saja, kekuatan lain dalam pengisahan Tully muncul dari performa gemilang seorang Theron. Tidak hanya melakukan beberapa perubahan fisik untuk menghidupkan karakternya yang merupakan sosok seorang ibu yang baru saja melahirkan anak ketiganya, Theron juga memberikan penghayatan lebih untuk dapat menjadikan Marlo sebagai sosok karakter yang dapat terkoneksi pada siapapun yang menyaksikan kisahnya. Penampilan Theron dalam film ini juga didampingi oleh penampilan yang sama mengesankannya dari Davis. Davis mampu membentuk chemistry yang luar biasa meyakinkan dengan Theron. Perjalanan hubungan kedua karakter mereka dari sosok ibu yang membutuhkan seorang pengasih menjadi dua sosok wanita yang sama-sama saling mengasihi dan menguatkan satu sama lain berhasil dihaadirkan dengan begitu baik. Karakter-karakter lain dalam film ini memang tidak diberikan porsi pengisahan yang lebih luas – yang jelas disebabkan pada pilihan untuk memberikan fokus tunggal pada sosok karakter Marlo. Namun, penampilan Livingston dan Duplass jelas tidak dapat dipandang sebelah mata berkat sajian akting mereka yang semakin memperkuat kualitas departemen akting film ini.

Setelah Labor Day (2013) dan Men, Women & Children (2014) yang lumayan mengecewakan, cukup menyenangkan untuk mengetahui bahwa Reitman masih mampu menghadirkan kualitas pengarahan terbaiknya untuk Tully. Bantuan penulisan naskah yang masih menggigit dari Cody dan penampilan akting Theron yang prima berhasil menjadikan Tully sebagai sebuah sajian cerita yang terasa begitu nyata tentang perjuangan seorang ibu dalam merawat anak-anak dan keluarganya namun tetap berhasil digarap sebagai sebuah film yang indah dan memberikan kesan yang menyenangkan pada penontonnya. [B]

tully-charlize-theron-movie-posterTully (2018)

Directed by Jason Reitman Produced by Aaron L. Gilbert, Jason Reitman, Helen Estabrook, Diablo Cody, Mason Novick, Charlize Theron, A.J. Dix, Beth Kono Written by Diablo Cody Starring Charlize Theron, Mackenzie Davis, Mark Duplass, Ron Livingston, Elaine Tan, Asher Miles Fallica, Lia Frankland Music by Rob Simonsen Cinematography Eric Steelberg Edited by Stefan Grube Production company Bron Studios/Right of Way Films/Denver and Delilah Productions Running time 96 minutes Country United States Language English

3 thoughts on “Review: Tully (2018)”

Leave a Reply