Review: Merah Putih II: Darah Garuda (2010)


Ketika pertama kali dirilis pada Agustus 2009, Merah Putih, yang merupakan bagian pertama dari  Trilogi Merdeka, trilogi fiksi kisah perjuangan rakyat Indonesia dalam usahanya merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, mendapatkan sambutan yang beragam dari para penonton Indonesia. Namun, secara keseluruhan, banyak penonton yang merasa bahwa Merah Putih terlalu banyak memfokuskan diri pada drama dengan dialog yang terdengar sedikit ‘terlalu resmi’ serta terlalu sedikit memberikan sajian action seperti yang sering dijanjikan para produser film ini ketika masa promosinya.

Menyusul Merah Putih, bagian kedua kisah trilogi tersebut, Darah Garuda, kemudian dirilis pada September 2010. Duo Connor Allyn dan Rob Allyn masih bertanggungjawab atas penulisan naskah film ini. Yadi Sugandi juga masih duduk di kursi sutradara, namun kali ini, ia juga turut dibantu oleh Connor Allyn dalam melaksanakan tugasnya. Sayangnya, hal tersebut sepertinya tidak terlalu memberikan banyak perubahan pada Darah Garuda. Pada beberapa titik, film ini masih dipenuhi oleh dialog-dialog yang tedengar terlalu ‘resmi’ untuk didengarkan dalam percakapan sehari-hari. Namun, Darah Garuda berhasil memberikan peningkatan dalam eksekusi dan penambahan adegan action yang kali ini benar-benar menjadi nyawa film ini.

Berlatar belakang di Pulau Jawa pada tahun 1947, Darah Garuda masih melanjutkan kisah perjalanan empat tentara yang memiliki latar belakang kebudayaan berbeda, Amir (Lukman Sardi), Marius (Darius Sinathrya), Tomas (Donny Alamsyah) dan Dayan (Teuku Rifku Wikana), yang masih terus melanjutkan perjuangan mereka dalam melawan penjajahan Belanda terhadap tanah Republik Indonesia. Kali ini, perjalanan mereka berhasil mencapai wilayah Jawa Barat, dimana mereka bertemu sekelompok pejuang yang merupakan bagian dari laskar perjuangan Jenderal Sudirman, dan dipimpin oleh Sersan Yanto (Ario Bayu).

Rasa fanatisme yang sedikit berlebihan terhadap suku dan agama sempat membuat Amir dan teman-temannya sedikit sulit membaur dengan rekan-rekan baru pejuang mereka. Namun, setelah beberapa saat, mereka akhirnya mampu menyatu dan langsung menjalankan rencana mereka dalam menyerang salah satu lapangan udara Belanda yang juga menjadi pusat pertahanan kaum penjajah tersebut. Tentu saja, langkah untuk menjalankan rencana yang telah disusun tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai rintangan hadir, termasuk adanya kecurigaan masuknya seorang mata-mata diantara laskar pejuang tersebut.

Setelah menyaksikan Darah Garuda secara keseluruhan, sulit rasanya untuk tidak membandingkan film ini dengan The Twilight Saga: Eclipse yang dirilis beberapa waktu yang lalu. Bukan, bukan berarti bahwa Darah Garuda berisi banyak dialog-dialog percintaan yang terdengar konyol bagi para penontonnya — walau harus diakui pada beberapa titik Darah Garuda juga memiliki momen tersebut. Perbandingan tersebut muncul dari cara penyampaian jalan cerita Darah Garuda yang menyerupai The Twilight Saga: Eclipse yang justru menyimpan momen-momen terbaiknya di penghujung film dan membiarkan penontonnya untuk melewati banyak momen-momen yang bertendensi membosankan sebelum mencapai masa keemasan tersebut.

Tentu saja, diantara perjalanan tersebut Yadi Sugandi dan Connor Allyn menyelipkan beberapa momen action, yang dihadirkan dalam skala kecil dan hampir tidak dapat disebut sebagai sebuah hal yang memuaskan. Sebaliknya, jika dibandingkan dengan Merah Putih, film ini berusaha untuk memberikan sebuah kisah yang lebih down to Earth, yang dilakukan dengan banyak memasukkan unsur drama, romansa dan beberapa kali dialog bernuansa komedi ke dalam jalan ceritanya. Berhasilkah? Seharusnya berhasil. Namun ketika hal-hal tersebut (lagi-lagi) dieksekusi dengan dialog super ‘resmi’, yang hadir justru banyak momen-momen ackward yang tercipta di antara jajaran pemerannya.

Momen-momen ackward ini jugalah yang membuat penonton akan sedikit merasa kesulitan untuk terhubung dengan setiap karakter yang dihadirkan di dalam jalan cerita. Jangan tanya soal chemistry antara karakter, karena setiap pemeran film ini sepertinya hanya hadir di Darah Garuda untuk melanjutkan peran mereka di film pertama tanpa berusaha untuk memperlihatkan bahwa hubungan antara karakter yang mereka perankan merupakan sebuah hubungan yang sangat erat dalam usaha untuk mencapai sebuah tujuan bersama yang sangat besar. Akting mereka tidak buruk, namun setiap pemeran sepertinya terlihat lebih mementingkan untuk menghidupkan karakter yang mereka perankan daripada untuk menghidupkan jalinan hubungan yang ada antara karakter dirinya dengan karakter lainnya.

Selain memberikan tambahan beberapa adegan action yang dihadirkan dengan porsi yang lebih mewah daripada film pendahulunya, Darah Garuda juga dipenuhi oleh beberapa karakter pendukung baru di sepanjang jalan ceritranya. Yang paling berkesan mungkin kehadiran Ario Bayu dan Atiqah Hasiholan. Walaupun sebenarnya terlihat kurang meyakinkan untuk terlihat sebagai seorang pejuang, Ario Bayu mampu membawakan karakternya dengan baik. Twist yang dilakukan terhadap karakternya juga cukup membuat karakternya terlihat lebih menarik dibandingkan dengan karakter-karakter utama. Sementara itu, walaupun hadir benar-benar dalam porsi yang minim, Atiqah Hasiholan kembali membuktikan talenta aktingnya. Pernah melihat satu karakter yang hadir sangat singkat namun mampu memberikan sebuah nafas baru dalam jalan cerita? Carey Mulligan pernah melakukannya baru-baru ini dalam Brothers dan kali ini penonton diberi kesempatan untuk melihat Atiqah dalam porsi peran yang sama singkat dan efektifnya.

Melihat apa yang telah disajikan pada Merah Putih dan Darah Garuda, tentu terbersit pertanyaan apakah para penonton akan kembali untuk menyaksikan kisah ini untuk kali ketiga? Trilogi ini tidak pernah hadir dalam kualitas yang menyedihkan, namun sebagai sebuah film perjuangan yang memang menjanjikan kehadiran kisah perjuangan langsung di medan perang — dan bukan hanya dalam bentuk wujud adu strategi — Trilogi Merdeka masih kelihatan sangat kurang memuaskan. Darah Garuda tentu saja merupakan sebuah peningkatan tersendiri jika dibandingkan dengan Merah Putih. Namun, apakah hal yang disebut peningkatan tersebut akan cukup berarti jika hanya dihadirkan dalam porsi yang minim dan itupun diraih setelah perjalanan yang cukup melelahkan dalam menyimak kisah drama yang ada di dalam cerita? Sebuah usaha yang sangat layak diberikan pujian khusus, namun butuh eksekusi yang lebih mendalam untuk dapat diberikan sebuah penghargaan yang lebih dari sekedar pujian tersebut.

Rating: 3 / 5

Merah Putih II: Darah Garuda (Media Desa Indonesia/Margate House, 2010)

Merah Putih II: Darah Garuda (2010)

Directed by Yadi Sugandi, Conor Allyn Produced by Conor Allyn, Jeremy Stewart, Gary L Hayes Written by Conor Allyn, Rob Allyn Starring Donny Alamsyah, Rahayu Saraswati, T. Rifnu Wikana, Atiqah Hasiholan, Lukman Sardi, Astri Nurdin, Darius Sinathrya, Rudy Wowor, Ario Bayu, Alex Komang, Aldy Zulfikar, Agastya Kandou Music by Thoersi Argeswara Cinematography Padri Nadeak Editing by Sastha Sunu Distributed by Media Desa Indonesia/Margate House Country Indonesia Language Indonesian

9 thoughts on “Review: Merah Putih II: Darah Garuda (2010)”

  1. “dialog-dialog yang tedengar terlalu ‘resmi’ ” >> apa ini karena diterjemahkan langsung dari bahasa Inggris ato emang karena jaman dulu orang2nya ngomong pake bahasa resmi yaa..? hihi

    agak setuju dengan “menyimpan momen-momen terbaiknya di penghujung film”.. tapi gak cocok ah kalau dibandingin ama Twilight Saga.. itu sampah banget! sedangkan Darah Garuda lebih baik dari Merah Putih, dan Merah Putih jauh lebih baik dari film Twilight manapun 🙂

    1. Eh… saya gak ngebandingin dengan keseluruhan The Twilight Saga loh. Cuma ngebandingin dengan bagian terakhir dari saga tersebut, Eclipse. Dan itu juga soal bagaimana keduanya sama-sama memberikan cerita yang cenderung membosankan sebelum akhirnya mengeluarkan senjata andalannya yang dapat membuat penonton merasa terpuaskan. Perbandingannya dalam hal itu aja loh! 😀

  2. penantian selama lebih dari satu tahun ( tepatnya sejak tanggal 13 Agustus 2009 atau setelah menonton Merah Putih ) akhirnya usai sudah. saya cukup puas menyaksikan Darah Garuda. Film tersebut secara keseluruhan sudah cukup menghibur. saya amat sangat menghargai kerja keras mereka dengan membuat film action dengan low budget, 64 miliar untuk tiga film.
    menurut saya pribadi, film ini telah membangkitkan rasa nasionalisme terhadap tanah air. kini saya akan menantikan film ketiganya yang berjudul Hati Merdeka tahun depan. semoga semakin banyak film indonesia yang mengangkat tema seperti ini. hidup perfilman indonesia!

  3. i think this film is quite remarkable. membandingkan film ini dengan twilight saga adalah suatu kesalahan, genrenya saja sudah berbeda. Memang penggunaan bahasa yang baku menghambat chemistry yang ada namun overall film ini tidak bisa dibilang kurang memuaskan karena film ini membawa fillm indonesia satu level lebih tinggi, bukan sekedar film semi-hantu-seks yang biasa memenuhi box office film indonesia. proficiat buat yadi sugandi dan conor allyn, ayng sukses menumbuhkan semangat nasionalisme kembali di indonesia dengan cara yang unik dan menarik.

  4. Maaf mau tanya buat adminnya
    emang ceritanya cuma tiga aja ta
    emang gak ada cerita lain ta
    mungkin pakek judul lain
    dan kenapa harus trilogi ?? di batas-batasin banget
    maaf soalnya saya suka sama filmnya
    menantang banget
    terimakasih

    1. Pertanyaan Anda sepertinya lebih wajar untuk diarahkan kepada para pembuat filmnya deh. Setahu saya memang film ini dijadikan sebagai rangkaian trilogi. Soal kenapa begitu… yah… para pembuatnya yang lebih tahu.

Leave a Reply