Membutuhkan cukup banyak kesabaran untuk dapat benar-benar mengikuti perjalanan Satria Dewa: Gatotkaca – cita rasa pertama bagi semesta pengisahan Jagad Satria Dewa yang berisi barisan cerita pahlawan super yang kisahnya diadaptasi dari kisah pewayangan Indonesia. Layaknya sebuah origin story, Satria Dewa: Gatotkaca berusaha untuk memperkenalkan asal usul maupun awal mula cerita dari sang karakter utama dengan beberapa plot penyerta yang memberikan akses kepada penonton untuk melihat kilasan gambaran akan semesta pengisahan lebih besar yang akan melibatkan sang karakter utama di masa yang akan datang. Penuturan yang cukup mendasar. Sial, naskah cerita yang ditulis oleh sutradara film ini, Hanung Bramantyo (Tersanjung the Movie, 2020), bersama dengan Rahabi Mandra (Guru-guru Gokil, 2020) tidak pernah mampu untuk bertutur secara lugas. Berusaha untuk menjabarkan tatanan cerita yang kompleks namun dengan runutan kisah yang seringkali kelewat dangkal.
Alur pengisahan Satria Dewa: Gatotkaca dimulai ketika seorang pemuda bernama Yuda (Rizky Nazar) kehilangan sahabatnya, Erlangga (Jerome Kurnia), yang menjadi salah satu korban dari rentetan pembunuhan misterius yang telah menghantui Kota Astina selama beberapa waktu terakhir. Berbekal informasi yang ia dapatkan dari Profesor Arya Laksana (Edward Akbar) bersama dengan puterinya, Agni (Yasmin Napper), Yuda mengetahui bahwa peristiwa terbunuhnya Erlangga berkaitan dengan usaha kaum Kurawa yang selama ini selalu berada di bawah bayang-bayang kaum Pandawa untuk bangkit dan kembali menguasai dunia. Perseteruan antara kaum Pandawa dengan Kurawa tersebut juga membuka kembali misteri yang telah lama dihadapi Yuda akan hilangnya ingatan sang ibu, Arimbi (Sigi Wimala), setelah ayahnya, Pandega (Cecep Arif Rahman), meninggalkan mereka dan sesosok misterius menyerang sang ibu beberapa tahun yang lalu.
Menyajikan tuturan tentang pahlawan super yang diadaptasi dari kisah pewayangan memberikan kekuatan sekaligus kelemahan terbesar bagi Satria Dewa: Gatotkaca. Dunia pewayangan yang kaya tentu memberikan opsi penceritaan konflik maupun karakter yang luas untuk dieksplorasi oleh film ini maupun semesta pengisahan Jagad Satria Dewa nantinya. Di saat yang bersamaan, luas dan kompleksitasnya tuturan cerita dunia pewayangan tentu membutuhkan garapan cerita yang runut sekaligus efektif untuk membuka setiap lapisan kisahnya. Naskah cerita yang dibentuk oleh Bramantyo bersama dengan Mandra untuk Satria Dewa: Gatotkaca tidak memiliki hal tersebut. Daripada berusaha untuk memperkenalkan latar, konflik, maupun karakternya dengan seksama agar dapat mendapatkan perhatian secara utuh dari penonton, naskah cerita film ini terasa lebih tertarik untuk meringkas pengisahannya menjadi sejumlah poin pengisahan. Ditambah dengan tata penyuntingan gambar yang berkesan melompat dari satu pengisahan ke pengisahan lain, Satria Dewa: Gatotkaca berakhir melelahkan untuk diikuti dan dimengerti penuturannya.
Merilis sebuah film bertema pahlawan super di tahun 2022 – dimana banyak rumah produksi lain, baik nasional maupun internasional, telah menghadirkan pengembangan semesta pengisahan kisah pahlawan super mereka sendiri – jelas menghadirkan tantangan dan perbandingan tersendiri. Daripada memberikan garapan yang lebih apik akan semesta pengisahannya, Satria Dewa: Gatotkaca entah mengapa terasa begitu terburu-buru bertutur dalam usaha untuk mengejar ketertinggalannya dengan semesta pengisahan pahlawan super lainnya. Satu konflik tiba-tiba hadir, satu karakter tiba-tiba memiliki pengetahuan akan suatu hal yang krusial, satu karakter tiba-tiba berada di satu tempat… begitu tergesa dalam penuturan sehingga acuh akan apakah penonton dapat mengikuti atau memahami semesta pengisahan yang sedang terbangun di hadapan mereka.
Secara teknis, Bramantyo, yang mendapatkan sokongan x.Jo (Garuda: The New Indonesian Superhero, 2015) sebagai ko-sutradara film, juga tidak mampu memberikan kesan garapan yang megah bagi film pahlawan supernya. Selain penyuntingan gambar yang terasa “sibuk sendiri,” efek visual yang dihadirkan juga berkesan medioker – meskipun masih mampu terhindar dari kesan buruk. Pilihan untuk menghadirkan pewarnaan filmnya dalam atmosfer warna yang berkesan kelam (baca: remang) juga seringkali berakhir tidak memuaskan, khususnya ketika alur cerita film sedang berfokus pada adegan-adegan yang menampilkan koreografi aksi. Melibatkan dua alumni seri film The Raid (Gareth Huw Evans, 2012 – 2014), Rahman dan Yayan Ruhian, tatanan adegan baku hantam yang muncul dalam film ini juga jauh dari kesan istimewa dan tidak mampu untuk menghasilkan kesan mendebarkan. Belum lagi pengemasan produk-produk titipan sponsor yang… well… tidak akan dapat dilewatkan oleh setiap mata yang melihatnya.
Terlepas dari Zsazsa Utari yang tertimpa sial untuk memerankan sosok karakter Quinn yang begitu menyebalkan dan sangat, sangat menggangu kehadirannya, departemen akting Satria Dewa: Gatotkaca sebenarnya diisi dengan talenta-talenta akting yang mampu memberikan penampilan yang cukup memuaskan akan setiap karakter yang mereka perankan. Nazar memiliki penampilan – fisik serta daya tarik akting – yang mumpuni untuk berperan sebagai sesosok pahlawan super. Begitu pula dengan Omar Daniel yang sering mampu mencuri perhatian lewat kehadirannya. Rahman, Ruhian, Wimala, Kurnia, hingga Yati Surachman juga hadir dalam kapasitas solid. Sayang, penampilan-penampilan kuat tersebut seringkali disia-siakan oleh pengembangan karakter yang dangkal serta pengarahan cerita yang buruk. Entah bagaimana Jagad Satria Dewa akan dikembangkan di masa mendatang – yang hingga saat ini telah memiliki rencana setidaknya tujuh karakter untuk dibuatkan filmnya. Namun Satria Dewa: Gatotkaca jelas bukanlah awal yang menjanjikan. Gagal mengangkasa.
Satria Dewa: Gatotkaca (2022)
Directed by Hanung Bramantyo, x.Jo (co-director) Written by Rahabi Mandra, Hanung Bramantyo Produced by Celerina Judisari Starring Rizky Nazar, Yasmin Napper, Omar Daniel, Ali Fikry, Edward Akbar, Sigi Wimala, Yati Surachman, Yayan Ruhian, Cecep Arif Rahman, Jerome Kurnia, Zsazsa Utari, Axel Matthew Thomas, Aghniny Haque, Jordan Omar, Sekar Sari, Muchlis Mustafa, Fedi Nuril, Max Metino, Ismi Melinda, Luis Jocom, Elkie Kwee, Jenny Zhang, Bambang Paningron, Nizam Tazkia, Reza Levinus, Roweina Umboh, Martin Anugrah, Butet Kartaredjasa, Gilang Bhaskara, Indra Jegel, Rigen Rakelna, Anang Batas, Bondan Nusantara, Siti Fauziah, Cherry Panjaitan Cinematography Galang Galih Edited by Wawan I. Wibowo Music by Ricky Lionardi Production companies Satria Dewa Studio Running time 129 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Semua terinspirasi kesuksesan jagad sinema Marvel, tapi tidak ada yg terinspirasi kesabarannya
filmnya menarik makasih kak
Kartu Perdana