Berbeda dengan adaptasi asal Turki berjudul sama (Mehmet Ada Öztekin, 2019) yang menggunakan premis serupa namun dengan sejumlah perubahan signifikan pada elemen cerita guna lebih menonjolkan unsur pengisahan drama, versi buat ulang teranyar dari Miracle in Cell No. 7 (Lee Hwan-kyung, 2013) yang diarahkan oleh sutradara Hanung Bramantyo (Satria Dewa: Gatotkaca, 2022) berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Alim Sudio (Sayap Sayap Patah, 2022) lebih memilih untuk tetap setia pada garis besar alur pengisahan drama komedi yang sebelumnya telah diterapkan oleh Lee. Linimasa ceritanya dimulai dengan usaha seorang pengacara bernama Kartika (Mawar de Jongh) untuk membuka kembali kasus kejahatan yang dahulu dituduhkan kepada ayahnya, Dodo Rozak (Vino G. Bastian), dan lantas membuat sang ayah yang merupakan penyandang disabilitas mental menerima hukuman mati. Mengumpulkan kembali orang-orang yang dahulu sempat mengenal sang ayah ketika dirinya berada di dalam penjara, mulai dari rekan-rekan satu selnya, Japra (Indro Warkop), Jaki (Tora Sudiro), Bewok (Rigen Rakelna), Atmo (Indra Jegel), dan Bule (Bryan Domani), hingga kepala sipir yang dahulu bertugas, Hendro Sanusi (Denny Sumargo), Kartika bertekad untuk membersihkan nama ayahnya dari tuduhan kejahatan yang tidak pernah dilakukannya. Continue reading Review: Miracle in Cell No. 7 (2022)
Tag Archives: Yati Surachman
Review: Ivanna (2022)
Dengan keberhasilan setiap film yang berada dalam semesta pengisahannya untuk mengumpulkan minimal 1,7 juta penonton – kecuali Asih 2 (Rizal Mantovani, 2020) yang entah mengapa dilepas ke layar bioskop ketika pandemi COVID-19 masih memuncak sehingga “hanya mampu” mendapatkan 300 ribuan penonton, MD Pictures kembali melanjutkan pengembangan teror dari semesta pengisahan Danur dengan Ivanna. Jika dua film Asih dikembangkan dari sosok karakter supranatural yang awalnya dikenalkan pada pengisahan Danur (Awi Suryadi, 2017), maka Ivanna menjadi film sempalan yang didasarkan pada sosok karakter supranatural bernama sama yang sebelumnya sempat muncul pada alur cerita Danur 2: Maddah (Suryadi, 2018). Menempatkan Kimo Stamboel (Ratu Ilmu Hitam, 2019) untuk duduk di kursi penyutradaraan, Ivanna juga menghadirkan unsur slasher yang kental bagi warna penceritaan horornya. Continue reading Review: Ivanna (2022)
Review: Satria Dewa: Gatotkaca (2022)
Membutuhkan cukup banyak kesabaran untuk dapat benar-benar mengikuti perjalanan Satria Dewa: Gatotkaca – cita rasa pertama bagi semesta pengisahan Jagad Satria Dewa yang berisi barisan cerita pahlawan super yang kisahnya diadaptasi dari kisah pewayangan Indonesia. Layaknya sebuah origin story, Satria Dewa: Gatotkaca berusaha untuk memperkenalkan asal usul maupun awal mula cerita dari sang karakter utama dengan beberapa plot penyerta yang memberikan akses kepada penonton untuk melihat kilasan gambaran akan semesta pengisahan lebih besar yang akan melibatkan sang karakter utama di masa yang akan datang. Penuturan yang cukup mendasar. Sial, naskah cerita yang ditulis oleh sutradara film ini, Hanung Bramantyo (Tersanjung the Movie, 2020), bersama dengan Rahabi Mandra (Guru-guru Gokil, 2020) tidak pernah mampu untuk bertutur secara lugas. Berusaha untuk menjabarkan tatanan cerita yang kompleks namun dengan runutan kisah yang seringkali kelewat dangkal. Continue reading Review: Satria Dewa: Gatotkaca (2022)
Review: Dilan 1990 (2018)
Seperti halnya Galih dan Ratna (Galih & Ratna, 2017), Nathan dan Salma (Dear Nathan, 2017), serta Yudhis dan Lala (Posesif, 2017), Dilan 1990 berkisah mengenai romansa remaja yang terbentuk antara seorang remaja pria, Dilan (Iqbaal Ramadhan), dengan seorang remaja wanita yang baru saja pindah ke sekolahnya, Milea (Vanesha Prescilla). Meskipun mengemban jabatan sebagai “panglima tempur” di sebuah geng motor, memiliki jiwa pemberontak, dan sanggup untuk bertarung secara fisik dengan orang-orang yang memusuhi dirinya, namun Dilan berubah menjadi sosok yang begitu romantis ketika berada di dekat Milea. Milea sendiri sebenarnya telah mengetahui reputasi kurang menyenangkan yang dimiliki Dilan. Meskipun begitu, dengan usaha Dilan yang teramat gigih, tembok pertahanan hati Milea secara perlahan mulai dapat diruntuhkan. Benih-benih cinta mulai tumbuh diantara keduanya. Continue reading Review: Dilan 1990 (2018)
Review: Stip & Pensil (2017)
Stip & Pensil arahan Ardy Octaviand (3 Dara, 2015) berkisah mengenai empat orang pelajar Sekolah Menengah Atas, Toni (Ernest Prakasa), Aghi (Ardit Erwandha), Bubu (Tatjana Saphira) dan Saras (Indah Permatasari), yang dimusuhi oleh seisi warga sekolah karena dianggap sebagai sekelompok anak-anak dari kelas berada yang sering bertindak seenaknya dalam keseharian mereka. Suatu hari, Toni, Aghi, Bubu, Saras, dan teman-teman sekelasnya mendapatkan tugas untuk menuliskan esai tentang masalah sosial dari guru mereka, Pak Adam (Pandji Pragiwaksono). Tugas tersebut ditanggapi sangat serius oleh Toni yang menilai bahwa melalui tugas tersebut ia dan ketiga temannya dapat membuktikan bahwa mereka bukanlah sekelompok anak-anak kaya yang manja dan menyebalkan seperti anggapan banyak orang. Setelah pertemuan yang tidak disengaja dengan seorang anak jalanan bernama Ucok (Iqbal Sinchan), Toni dan teman-temannya memutuskan untuk menulis esai tentang pendidikan bagi anak-anak jalanan. Tidak hanya itu, mereka bahkan memiliki ide untuk membangun sebuah sekolah independen sekaligus menjadi pengajar bagi anak-anak jalanan tersebut. Niat yang mulia, tentu saja, namun tidak lantas dapat dijalankan dengan mudah akibat banyaknya tantangan yang harus mereka hadapi. Continue reading Review: Stip & Pensil (2017)
Review: Cinta Laki-Laki Biasa (2016)
Setelah sebelumnya bekerjasama dalam Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (2016), sutradara Guntur Soeharjanto kembali bekerjasama dengan penulis Asma Nadia dan Alim Sudio untuk Cinta Laki-Laki Biasa. Well… Judul film ini mungkin akan membuat beberapa orang lantas memandang sebelah mata. Atau malah premis yang dijual tentang kisah cinta segitiga dalam balutan nuansa reliji yang, harus diakui, telah terlalu sering “dieksploitasi” oleh banyak pembuat film Indonesia. Namun, jika Anda mampu melepas segala prasangka dan memberikan film ini sebuah kesempatan, Cinta Laki-Laki Biasa adalah sebuah drama romansa yang tergarap dengan cukup baik, mulai dari penataan naskah dan ritme penceritaan hingga chemistry yang terasa begitu hangat dan meyakinkan antara dua bintang utamanya, Deva Mahenra dan Velove Vexia. Continue reading Review: Cinta Laki-Laki Biasa (2016)
Review: Danum Baputi: Penjaga Mata Air (2015)
Meskipun memiliki tampilan poster yang mungkin akan mengingatkan Anda pada kisah cinta segitiga antara seorang vampir dengan seorang gadis manusia biasa dengan seorang manusia serigala dalam sebuah seri film Hollywood – ataupun deretan tiruannya yang banyak tayang sebagai serial di berbagai saluran televisi Indonesia – Danum Baputi: Penjaga Mata Air sesungguhnya memiliki niat yang cukup mulia dalam garis penceritaannya. Namun, tentu saja, niat mulia tidak akan pernah cukup untuk menghasilkan sebuah sajian tontonan yang layak jika tidak dieksekusi dengan baik. Sayangnya, disanalah letak kelemahan terbesar dari film perdana arahan sutradara Gunawan Panggaru semenjak mengarahkan film Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji pada tahun 2009 lalu.
Dikemas sebagai sebuah drama fantasi, Danum Baputi: Penjaga Mata Air berkisah mengenai sekelompok masyarakat di pedalaman Kalimantan yang begitu menghormati sekaligus menjunjung tinggi wilayah lingkungan hutan tempat mereka tinggal sekaligus mencari makan. Guna mencegah terjadinya satu ramalan nenek moyang mereka yang mengatakan bahwa wilayah hutan tersebut akan rusak akibat keserakahan umat manusia, kepala suku kelompok tersebut (Dolly Martin) kemudian mengangkat putrinya, Danum Baputi (Jovita Dwijayanti), sebagai Danum Pambelum atau penjaga mata air di lingkungan tersebut. Benar saja. Tak lama semenjak pemilihan Danum Baputi sebagai Danum Pambelum, sekelompok pengusaha asing kemudian datang dengan niat untuk melakukan pembukaan hutan guna dijadikan areal perkebunan kelapa sawit. Dan ketika masyarakat menentang keinginan tersebut, aksi brutal lantas dilayangkan oleh para pengusaha tersebut yang membuat warga mulai dihantui rasa ketakutan yang mendalam.
Danum Baputi: Penjaga Mata Air sebenarnya mencoba untuk menyinggung isu mengenai bagaimana manusia seringkali melupakan keseimbangan maupun kelestarian alam dalam usaha mereka untuk meraih keuntungan sendiri. Namun pesan sosial tersebut kemudian terasa tenggelam berkat ketidakmampuan para penulis naskah cerita film ini untuk mengemas kisahnya dalam balutan plot maupun penulisan karakter yang baik. Dengan durasi penceritaan yang berjalan hingga 120 menit, ada banyak momen dalam pengisahan film yang sebenarnya terasa monoton maupun tidak begitu berarti kehadirannya. Lihat saja plot tentang kepergian karakter Danum Baputi untuk melanjutkan pendidikannya di Pulau Jawa yang sama sekali tidak memiliki keterikatan apapun dengan jalan cerita utama. Atau bagian dimana karakter Penyang (Raditya Agung Yudistira) turut berangkat ke Jakarta dengan motivasi untuk menemui Danum Baputi – dan kemudian karakter tersebut tidak dikisahkan kegunaannya berangkat ke Jakarta dan juga gagal untuk bertemu Danum Bupati selama berada di Jakarta. Plot-plot kecil yang sama sekali tidak relevan dengan kisah utama yang kemudian hanya membuang-buang waktu penceritaan.
Naskah cerita yang dikemas oleh Gunawan Panggaru bersama dengan Azwar Sutan Malaka juga menyajikan terlalu banyak karakter yang terlibat dalam jalan cerita film. Dan, sayangnya, karakter-karakter dalam jumlah banyak tersebut kemudian tidak mampu dikendalikan kehadirannya di dalam cerita. Akhirnya, banyak karakter yang terasa datang dan menghilang di sepanjang penceritaan Danum Baputi: Penjaga Mata Air. Departemen akting film yang banyak diisi wajah-wajah baru sebenarnya tampil dalam kualitas yang tidak terlalu buruk. Meskipun masih diisi dengan beberapa kekakuan penampilan dalam beberapa adegan, namun secara keseluruhan, kualitas departemen akting Danum Baputi: Penjaga Mata Air tidaklah termasuk dalam bagian yang paling mengecewakan dari film ini.
Selain hadir dengan kualitas penceritaan yang cukup berantakan, Danum Baputi: Penjaga Mata Air juga gagal untuk dikemas dalam tampilan teknis yang kuat. Hampir tidak ada kualitas teknikal film ini yang dapat dibanggakan kemunculannya. Penggunaan tata musik yang sama di berbagai adegan jelas akan terasa begitu mengganggu. Begitu pula dengan penataan gambar yang terlihat menyatukan satu adegan dengan adegan lain dengan begitu kasar. Namun kejahatan terbesar Danum Baputi: Penjaga Mata Air jelas adalah menggunakan potongan-potongan gambar yang entah berasal darimana untuk mengisi banyak adegan film – entah dengan menggunakan izin atau enggak. Parahnya, banyak potongan-potongan gambar tersebut hadir dengan kualitas buruk yang jelas tampil semakin buruk ketika disajikan di layar lebar bioskop. [D-]
Danum Baputi: Penjaga Mata Air (2015)
Directed by Gunawan Panggaru Produced by R. Yayank NN Written by Azwar Sutan Malaka, Gunawan Panggaru (screenplay), R. Yayank NN, Arifah Prihartini (story) Starring Jovita Dwijayanti, Raditya Agung Yudistira, Reiner Manopo, Yati Surachman, Dolly Martin, Billy Boedjanger, Arif Rahman, Hetty Soendjaya, Helmy Jagar, Putri Sabilah, E. F. Mahendra, Laras Sardipuri, Henky Hedo, Iid Nadjmoedin, Ferry Herawan, Yanti Wirawan, Andi Bersama, Hendra Conty, Khanza E. F., R. Yeyet Nadjmoedin, Marina Martin, Isnaldi Yahya, Yanthie I. Barakusuma, D. D. Yani, Ayi Suparti, Rita Arena Music by Titi Barce Van Houten Cinematography Capink VB Edited by Andi Shabrina Panggaru Production company Sa Villa Production/PT Vidi Vici Multimedia Running time 120 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: Kerasukan (2013)
Meskipun namanya akan selalu dikaitkan dengan film-film yang jalan ceritanya mengandung unsur mistis, Kerasukan sendiri menjadi film horor pertama arahan Chiska Doppert setelah sebelumnya mengarahkan Poconggg Juga Pocong (2011), Bila (2012), Love is Brondong (2012), Enak Sama Enak dan Udin Cari Alamat Palsu (2012). Yep. Chiska Doppert sepertinya telah kembali lagi ke genre film yang telah membesarkan namanya. Tidak berpengaruh banyak sebenarnya. Film-film arahan Chiska, baik yang berasal dari genre drama maupun horor, harus diakui masih belum pernah hadir dalam kualitas presentasi yang benar-benar memuaskan. Dan Kerasukan, sayangnya, juga sama sekali tidak akan mengubah pendapat banyak orang terhadap persepsi yang kurang baik tersebut.
Review: Gending Sriwijaya (2013)
In case you’ve been living under the rock lately, Hanung Bramantyo telah menguasai layar bioskop Indonesia semenjak bulan Agustus 2012 lalu. Dimulai dengan merilis Perahu Kertas – dan sekuelnya pada bulan Oktober, memproduseri Habibie & Ainun yang dirilis pada awal Desember dan menjadi film dengan pendapatan terbesar sepanjang tahun lalu serta bersama Hestu Saputra menyutradarai Cinta Tapi Beda yang dirilis pada akhir Desember dan menjadi perbincangan masyarakat luas akibat tema ceritanya yang dinilai kontroversial hingga saat ini. Tahun 2012 jelas adalah salah satu tahun keemasan Hanung. Di awal tahun 2013 ini, Hanung kembali merilis sebuah film baru, Gending Sriwijaya, yang kali ini berusaha untuk menampilkan kemampuannya dalam menggarap sebuah film kolosal. Akankah film ini mampu mencapai kesuksesan layaknya film-film drama yang diarahkan oleh Hanung Bramantyo sebelumnya?
Review: Misteri Pasar Kaget (2012)
Pasti pernah mendengar ungkapan ‘Jangan pernah menilai satu hal berdasarkan penampilan luarnya’ bukan? Well… seandainya ungkapan yang sama dapat diterapkan pada Misteri Pasar Kaget yang merupakan salah satu film yang memiliki desain poster terburuk yang pernah ada di industri film Indonesia modern. Poster buruk film ini sepertinya mencerminkan apa yang hendak disampaikan oleh para pembuat film ini bahwa… yah… Anda akan menyaksikan sebuah film dengan sebuah cerita yang berisi deretan karakter yang banyak serta saling tumpang tindih namun sama sekali tidak pernah diberi kejelasan mengenai apa sebenarnya kegunaan mereka hadir dalam cerita tersebut. Bersiaplah untuk menyaksikan salah satu film terburuk yang pernah dibuat oleh para pembuat film Indonesia. Sepanjang masa.
Review: Fallin’ in Love (2012)
Jelas akan ada beberapa kekhawatiran bagi sebagian orang sebelum mereka menyaksikan Fallin’ in Love: film drama romansa ini diarahkan oleh Findo Purnomo HW – yang sebelumnya mengarahkan film-film seperti Love in Perth (2010), Lihat Boleh, Pegang Jangan (2010) dan Ayah, Mengapa Aku Berbeda (2011), naskah cerita yang ditulis oleh Alim Sudio – yang bertanggungjawab atas keberadaan jalan cerita film Air Terjun Pengantin (2009), Lihat Boleh, Pegang Jangan (2010) dan Pupus (2011), serta diproduseri oleh Firman Bintang – yang, sejujurnya, sama sekali belum pernah menjadi seorang produser bagi film yang dapat disebut berkualitas. Tiga kombinasi yang berbahaya dan… Anda dapat menebak bagaimana kualitas akhir Fallin’ in Love bahkan semenjak sepuluh menit pertama film ini dimulai.
Review: Cinta di Saku Celana (2012)
Berawal dari cerita pendek Cinta di Saku Belakang Celana karya Fajar Nugros yang terdapat dalam buku kumpulan cerita pendeknya yang berjudul I Didn’t Lose My Heart, I Sold it On eBay! (2010), Cinta di Saku Celana kemudian menjadi film kedua Fajar Nugros sebagai seorang sutradara setelah sebelumnya mengarahkan Queen Bee di tahun 2009. Berkisah mengenai perjuangan dan tantangan yang dihadapi oleh seorang pemuda untuk menyampaikan rasa sukanya kepada seorang gadis, cerita pendek karya Fajar Nugros tadi kemudian dikembangkan menjadi sebuah naskah cerita film layar lebar oleh Ben Sihombing (Pengejar Angin, 2011). Sayangnya, ekstensi ide yang dilakukan Ben Sihombing untuk cerita pendek Fajar Nugros tampil begitu lemah sehingga membuat Cinta di Saku Celana berjalan cenderung datar.
Review: Mother Keder: Emakku Ajaib Bener (2012)
Mengira bahwa keluarga yang Anda miliki merupakan susunan keluarga yang paling memalukan yang pernah ada di dunia? Tunggu sampai Anda melihat para anggota keluarga yang ditampilkan dalam Mother Keder: Emakku Ajaib Bener, sebuah film yang diangkat dari novel berjudul Mother Keder karya Viyanthi Silvana dan disutradarai oleh sutradara debutan bernama Eko Nobel. Mother Keder: Emakku Ajaib Bener memfokuskan kisahnya pada Vivi (Qory Sandioriva), seorang gadis berparas cantik yang setelah berhenti dari pekerjaannya dan mendapati kalau tunangannya telah berselingkuh darinya harus mencoba mengulang kembali kehidupannya sedari awal. Mengulang kehidupannya sedari awal tersebut berarti bahwa ia harus meninggalkan apartemennya dan kembali tinggal bersama keluarganya… dengan tingkah laku mereka yang kadang seperti orang-orang yang sama sekali tidak memiliki akal sehat.
Continue reading Review: Mother Keder: Emakku Ajaib Bener (2012)