Awalnya direncanakan rilis pada awal tahun 2020, KKN di Desa Penari adalah salah satu film yang terus tertunda penayangannya akibat keberadaan pandemi COVID-19. Padahal, film ini sempat digadang akan mampu mengundang jutaan penonton ke bioskop berkat kepopuleran masif materi sumber pengisahannya yaitu utasan cuitan kisah horor berdasarkan kisah nyata yang diberi judul serupa dan disampaikan via akun Twitter @SimpleMan. Versi film dari KKN di Desa Penari sendiri dibangun dengan naskah cerita yang ditulis oleh Lele Laila dan Gerald Mamahit serta arahan dari Awi Suryadi – Suryadi dan Laila sendiri telah bekerjasama di sejumlah film dari semesta pengisahan seri film Danur. Harus diakui, Suryadi mampu memberikan visual yang kuat akan deretan teror horor yang ingin dihadirkan oleh linimasa pengisahan film ini. Sayang, dengan pengembangan kisah dan karakter yang kurang matang, banyak potensi penceritaan KKN di Desa Penari berakhir dengan kesan gagal dituturkan secara utuh. Continue reading Review: KKN di Desa Penari (2022)
Tag Archives: Tissa Biani
Review: Anak Garuda (2020)
Meskipun sama-sama berkisah tentang kehidupan para pelajar dari sekolah Selamat Pagi Indonesia, sama-sama memiliki barisan karakter dengan nama serta potongan kisah yang serupa, serta sama-sama diarahkan oleh Faozan Rizal berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Alim Sudio, Anak Garuda bukanlah sebuah sekuel dan sama sekali tidak memiliki keterikatan penceritaan dengan Say I Love You yang dahulu sempat dirilis di penghujung tahun 2019. Sebuah reboot berusia dini? Mungkin saja. Jika Say I Love You memiliki konsentrasi cerita yang berada pada sosok karakter Sheren dan Robet, maka kedua karakter tersebut kini menjadi bagian dari tatanan pengisahan yang lebih luas dalam jalan cerita Anak Garuda. Sayangnya, menghadirkan skala cerita dalam ukuran lebih besar tidak serta merta menjadikan sebuah film menjadi lebih baik. Kehadiran banyak karakter yang coba mengisi linimasa penceritaan Anak Garuda justru membuat film ini tidak memiliki fokus cerita yang kuat sekaligus bangunan konflik yang benar-benar menarik. Continue reading Review: Anak Garuda (2020)
Review: Makmum (2019)
Dengan naskah cerita yang digarap oleh Alim Sudio (Kuntilanak 2, 2019) dan Vidya Talisa Ariestya berdasarkan film pendek berjudul sama karya Riza Pahlevi, Makmum berkisah tentang Rini (Titi Kamal) yang diminta oleh kepala asrama tempat dirinya dahulu menuntut ilmu, Kinanti (Jajang C. Noer), kembali dan membantunya di asrama tersebut. Sesampainya disana, Rini bertemu dengan kepala asrama baru, Rosa (Reny Yuliana), dan tiga siswi, Nurul (Tissa Biani), Nisa (Bianca Hello), dan Putri (Adila Fitri), yang tidak diperbolehkan keluar dari asrama selama masa liburan akibat nilai mereka yang rendah. Dari penuturan ketiga siswi tersebut, Rini mengetahui bahwa para penghuni asrama tersebut belakangan sering diganggu oleh sosok supranatural yang disebut sebagai Hantu Makmum karena keberadaannya muncul saat mereka sedang melaksanakan ibadah shalat. Setelah usahanya untuk menyampaikan masalah tersebut pada Rosa ditanggapi dengan dingin, Rini kini berusaha mencari solusi sendiri agar ketiga siswi tersebut tidak lagi mendapatkan gangguan. Continue reading Review: Makmum (2019)
Review: Laundry Show (2019)
Diadaptasi dari novel The Laundry Show karangan Uki Lukas, film terbaru arahan Rizki Balki (A: Aku, Benci & Cinta, 2017), Laundry Show, berkisah mengenai Uki (Boy William) yang karena telah merasa jenuh dengan perjalanan karirnya kemudian memilih untuk berhenti dari pekerjaannya. Dengan modal semangat yang diberikan oleh seorang motivator terkenal dan inspirasi dari sang ibu yang sempat bekerja sebagai seorang tukang cuci, Uki lantas mendirikan usaha layanan binatu. Membangun dan memulai usaha sendiri jelas bukanlah pekerjaan yang gampang. Bahkan setelah Uki berhasil menemukan lokasi usaha yang tepat, berbagai perlengkapan kerja, hingga para karyawan yang dapat mendukung usaha layanan binatunya tersebut, Uki masih harus memutar otak untuk dapat mencari cara agar usaha layanan binatunya mampu menarik perhatian banyak konsumen. Namun, tantangan terbesar bagi usaha layanan binatu milik Uki datang ketika sebuah usaha layanan binatu lain yang lebih besar, didukung teknologi yang lebih modern, serta mampu menawarkan banyak potongan harga kemudian dibuka tepat di hadapan lokasi usaha layanan binatu milik Uki. Perseteruan antara Uki dengan pemilik usaha layanan binatu baru tersebut, Agustina (Giselle Anastasia), kemudian mulai memanas. Continue reading Review: Laundry Show (2019)
Review: The Returning (2018)
Merupakan passion project dari film blogger–turned–filmmaker, Witra Asliga – yang bahkan telah mulai dikembangkan sebelum dirinya terlibat untuk mengarahkan salah satu segmen dalam omnibus 3 Sum (Asliga, William Chandra, Andri Cung, 2013), The Returning membuka perjalanan kisahnya dengan menggambarkan kehidupan Natalie (Laura Basuki) dan kedua anaknya, Maggie (Tissa Biani Azzahra) dan Dom (Muzakki Ramdhan), setelah suaminya, Colin (Ario Bayu), dinyatakan hilang saat panjat tebing. Tiga bulan setelah hilangnya Colin, semua orang mulai berusaha untuk meyakinkan Natalie agar dirinya merelakan kepergian sang suami dan segera melanjutkan hidup. Namun, rasa cintanya yang besar kepada Colin, dan jenazah Colin yang tak kunjung ditemukan, membuat Natalie masih yakin akan adanya peluang bahwa suaminya masih berada dalam keadaan hidup. Kejutan. Satu malam, Colin benar-benar kembali ke rumahnya untuk menemui Natalie dan kedua anak mereka. Sebuah reuni yang jelas menghadirkan lagi kebahagiaan bagi keluarga tersebut. Namun, secara perlahan, kembalinya Colin turut menghadirkan deretan teror bagi Natalie, Maggie, dan Dom. Apakah Colin benar-benar telah kembali pada keluarganya? Continue reading Review: The Returning (2018)
Review: Ayat-Ayat Adinda (2015)
Setelah Pengejar Angin (2011) dan Cinta Tapi Beda (2012), Hestu Saputra kembali berkolaborasi bersama dengan Hanung Bramantyo untuk film Ayat-Ayat Adinda. Seperti halnya Cinta Tapi Beda, Ayat-Ayat Adinda juga berusaha mengangkat isu sosial dalam jalan penceritannya. Jika Cinta Tapi Beda tampil mengisahkan mengenai kerumitan hubungan antara dua orang kekasih yang berasal dari latar belakang kepercayaan yang berbeda, maka Ayat-Ayat Adinda ingin menjabarkan kekisruhan yang sering terjadi pada satu kelompok agama akibat perbedaan cara atau aliran beberapa penganutnya dalam menunaikan ibadah mereka. Sebuah tema penceritaan yang rumit dan jelas cukup sensitif. Namun, tema-tema sosial bernuansa relijius seperti ini sendiri telah beberapa kali (dan cukup sukses) diangkat Hanung Bramantyo dalam film-filmnya seperti Doa Yang Mengancam (2008), Tanda Tanya (2011) ataupun Hijab yang baru saja tayang pada awal tahun ini. Apakah Ayat-Ayat Adinda mampu meraih keberhasilan yang sama?
Film yang naskah ceritanya digarap oleh Salman Aristo ini sendiri memulai kisahnya dengan memperkenalkan pasangan suami istri, Faisal (Surya Saputra) dan Amira (Cynthia Lamusu), bersama dengan kedua anaknya, Zulfikar (Muhammad Hasan Ainul) dan Adinda (Tissa Biani Azzahra), yang baru saja pindah rumah ke sebuah lingkungan baru di Yogyakarta. Kepindahan mereka sendiri bukannya tanpa sebab. Di lingkungan lama mereka, keluarga tersebut sering mendapatkan gangguan hingga akhirnya diusir akibat dianggap menganut aliran kepercayaan yang sesat. Karena hal itulah, Faisal seringkali mengingatkan kedua anaknya untuk tidak tampil menonjol dalam keseharian mereka. Nasib berkata lain. Bakat Adinda yang memiliki suara merdu dan mampu melagukan ayat-ayat suci Al-Qur’an membuatnya menjadi idola baru di sekolahnya. Perhatian yang secara perlahan datang pada Adinda mulai dirasakan kedua orangtuanya sebagai ancaman bagi kehidupan mereka di lingkungan baru tersebut.
Dengan tema sensitif yang dibawakan oleh jalan cerita Ayat-Ayat Adinda, jelas adalah sangat wajar untuk melihat para pembuat film ini begitu berhati-hati dalam menggarap seluruh aspek penceritaan film. Sayangnya, kehati-hatian tersebutlah yang justru kemudian memberikan kelemahan tersendiri bagi film ini. Dalam sepanjang penceritaannya, Ayat-Ayat Adinda hanya menjelaskan bahwa para karakter utama dalam film ini berasal dari satu daerah dimana mereka kemudian diusir karena dianggap menganut sebuah ajaran sesat tanpa pernah mampu (atau mau?) menjelaskan dengan sepenuhnya mengapa kepercayaan para karakter tersebut dianggap sesat oleh masyarakat. Jalan cerita film jelas hanya bertumpu pada pengetahuan penonton mengenai konflik yang sama yang terjadi di kehidupan nyata yang kemudian menginspirasi jalan cerita film. Namun tetap saja hal tersebut tidak cukup kuat untuk menjadikan jalan cerita Ayat-Ayat Adinda menjadi lebih lugas dan tegas dalam berkisah.
Permasalahan jalan cerita Ayat-Ayat Adinda tidak hanya datang dari eksplorasi tema besar yang ingin dibawakannya. Konflik-konflik pendukung yang hadir pada beberapa bagian cerita juga seringkali tampil dangkal dalam berkisah. Lihat saja pada konflik yang terjadi antara karakter Adinda dengan dua sahabatnya di sekolah bersama sekelompok pelajar lain yang terus mengganggunya tanpa pernah diberikan pengisahan pasti mengapa sekelompok pelajar tersebut terus mengganggu Adinda dan kedua sahabatnya. Atau konflik persaingan antara Adinda dengan sahabatnya dalam persaingan perlombaan pembacaan Al-Qur’an yang terbentuk, muncul dan menghilang antara keduanya beberapa kali begitu saja. Atau permasalahan dimana karakter Adinda digambarkan harus meminum obat untuk membantunya tenang dalam berkompetisi. Atau kisah perjodohan antara karakter Zulfikar dengan seorang anak ahli agama yang tidak pernah mampu diberikan pendalaman kuat mengenai fungsi plot cerita tersebut dalam jalan cerita keseluruhan film.
Beberapa karakter juga tergambar begitu sempit. Karakter ayah yang diperankan Surya Saputra tampil begitu dingin dalam hubungannya dengan anggota keluarganya sehingga terlalu sulit untuk memberikan simpati pada karakter tersebut atas permasalahan yang ia hadapi. Begitu pula dengan interaksi yang tidak begitu banyak terjalin antara karakter Faisal dan Amira dengan kedua anaknya yang seringkali membuat keduanya lebih cenderung terlihat sebagai orangtua yang buruk daripada orangtua yang sedang dirundung permasalahan dalam kehidupan mereka. Karakter-karakter pendukung lain juga tampil dengan porsi penceritaan yang terbatas. Karakter-karakter tersebut memang sepertinya hanya dijadikan sebagai karakter pelengkap bagi berbagai permasalahan yang digambarkan dalam kehidupan karakter Adinda. Tetap saja, harusnya karakter-karakter pendukung tersebut dapat disajikan dengan penceritaan yang lebih luas dan kuat.
Meskipun tampil cukup lemah dalam penceritaannya, Hestu Saputra sendiri dapat dirasakan cukup mampu mengarahkan Ayat-Ayat Adinda dengan baik. Penceritaan film ini berhasil mengalir dengan ritme yang sederhana. Deretan pengisi departemen akting juga tampil dengan penampilan yang jelas tidak mengecewakan. Tissa Biani Azzahra yang tampil berperan sebagai karakter utama mampu menghadirkan karakternya dengan komitmen penuh yang memuaskan. Begitu pula dengan nama-nama pemeran lain seperti Surya Saputra, Chyntia Lamusu, Muhammad Hasan Ainul serta Deddy Soetomo. Ayat-Ayat Adinda tampil dengan tema penceritaan yang begitu kuat namun tersaji dalam balutan kisah yang terlalu halus yang sayangnya membuat penampilan film ini menjadi jauh dari berkesan – atau mampu menyampaikan apapun pesan sosial yang berusaha dihadirkan para pembuatnya ke para penonton filmnya. [C-]
Ayat-Ayat Adinda (2015)
Directed by Hestu Saputra Produced by Hanung Bramantyo, Putut Widjanarko, Raam Punjabi, Salman Aristo Written by Salman Aristo Starring Tissa Biani Azzahra, Surya Saputra, Cynthia Lamusu, Deddy Sutomo, Yati Pesek, Candra Malik, Badra Andhipani Jagat, Marwoto, Susilo Nugroho, Muhammad Hasan Ainul, Ray Sitoresmi, Alya Shakila Saffana Music by Krisna Purna Cinematography M. Fauzi Bausad Editing by Wawan I. Wibowo Studio Multivision Plus Pictures/Studio Denny JA/Mizan Productions/Dapur Film Production/Argi Film Running time 94 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: Cinta dalam Kardus (2013)
Setelah Rudi Soedjarwo (Kambing Jantan, 2009) dan Fajar Nugros (Cinta Brontosaurus, 2013), kini giliran Salman Aristo yang mencoba untuk mengeksekusi tatanan kisah komedi yang ditulis oleh Raditya Dika. Berbeda dengan kedua film sebelumnya, Cinta dalam Kardus bukanlah sebuah film yang diadaptasi dari buku karya Raditya Dika – meskipun masih tetap memperbincangkan deretan problematika cinta yang dihadapi oleh sang karakter utamanya. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Raditya Dika bersama dengan Salman Aristo – yang sebelumnya juga pernah bekerjasama dalam menuliskan naskah cerita Kambing Jantan, Cinta dalam Kardus berusaha menghadirkan sebuah sajian komedi eksperimental dimana sang karakter utamanya secara konstan berbicara kepada penonton melalui kamera sembari terus menggulirkan kisah-kisahnya. Jelas bukan sebuah penuturan komedi yang biasa untuk penonton Indonesia, namun harus diakui, mampu tergarap baik di tangan Salman Aristo dan Raditya Dika.
Review: Tanah Surga… Katanya (2012)
Deddy Mizwar sepertinya belum puas untuk bermain di sekitar wilayah drama satir. Setelah film-film semacam Kentut (2011) dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini) (2010), Deddy kembali hadir sebagai produser – sekaligus hadir sebagai pemeran dalam kapasitas terbatas – untuk film terbaru arahan Herwin Novianto (Jagad X Code, 2009) yang berjudul Tanah Surga… Katanya. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Danial Rifki, Tanah Surga… Katanya mencoba untuk membahas struktur kehidupan masyarakat yang berada di daerah perbatasan negara Indonesia – Malaysia, khususnya dari segi ekonomi. Sebuah sentuhan kritis yang jelas terasa begitu sensitif, namun Tanah Surga… Katanya mampu menyajikannya dengan penceritaan yang elegan.