Review: Gundala (2019)


We’ve all been here before. Kisah tentang seseorang yang awalnya merasa tertindas, lemah, atau tidak berguna lalu secara perlahan mulai menemukan kekuatan yang lantas digunakannya untuk membela dan/atau membantu orang-orang lain yang merasa tertindas, lemah, atau tidak berguna untuk keluar dari kesulitan mereka. Kali ini, kisah familiar tersebut dituturkan oleh Joko Anwar (Pengabdi Setan, 2017) lewat Gundala – sebuah film yang juga dicanangkan sebagai langkah awal bagi keberadaan jagat sinematik film-film bertemakan pahlawan super di industri film Indonesia. Layaknya sebuah origin story, Gundala memperkenalkan penonton pada sosok sang pahlawan super, kekuatan yang dimilikinya, hingga berbagai masalah yang menghampiri: mulai dari usaha untuk mengenal sekaligus mengendalikan kekuatan yang ia miliki serta orang-orang yang kemudian mulai merasa terganggu dengan keberadaan kekuatan tersebut. Pola pengisahan yang cukup mendasar bagi film-film sejenis namun jelas akan tetap mampu terasa menarik ketika diaplikasikan dalam ruang lingkup cerita yang memiliki latar belakang lokasi dan budaya yang lebih dekat dengan penonton lokal.

Layaknya rekan-rekan sepantaran jagat sinematik film-film bertemakan pahlawan super seperti Marvel Cinematic Universe atau DC Extended Universe, naskah cerita Gundala yang digarap Anwar juga disarikan dari seri komik berjudul sama garapan Hasmi. Jalan ceritanya sendiri berfokus pada sosok karakter bernama Sancaka (Abimana Aryasatya) yang semenjak kecil telah hidup di jalanan semenjak ditinggal oleh kedua orangtuanya. Dari hidup di jalanan, Sancaka belajar bahwa satu-satunya sosok yang harus dipedulikannya adalah dirinya sendiri. Mencampuri kehidupan orang lain hanyalah akan membawa lebih banyak beban bagi kehidupan sendiri. Namun, pegangan hidup tersebut mulai goyah ketika ia bertemu dengan Wulan (Tara Basro), sosok wanita kuat yang bersama dengan rekan-rekannya membantu para pedagang di sebuah pasar tradisional menghadapi ancaman para preman yang berusaha untuk menyingkirkan keberadaan mereka. Melalui momen itulah, Sancaka secara perlahan mulai mengenali kekuatan yang ia miliki dan lantas berusaha untuk menggunakannya untuk kebaikan orang lain.

Momen-momen terbaik pengisahan Gundala muncul ketika film ini berkisah secara personal dan melekat pada para karakter utamanya. Latar belakang kehidupan karakter Sancaka di masa kecil – dimana karakter tersebut diperankan secara apik oleh Muzakki Ramdhan – berhasil dibangun Anwar dengan baik. Hubungan antara karakter Sancaka dengan kedua orangtuanya (Rio Dewanto dan Marissa Anita) juga tergarap cukup emosional meskipun dengan porsi pengisahan yang terbatas. Hal yang sama juga tercermin dari bangunan karakter Pengkor (Bront Palarae). Baik karakter Sancaka maupun Pengkor memiliki pengisahan masa lalu yang kelam yang secara perlahan membentuk karakter dan segala aksi maupun tindakan yang mereka ambil di babak pengisahan film selanjutnya. Setengah perjalanan awal Gundala juga memperkenalkan barisan karakter dan konflik dengan tuturan yang lancar. Selipan komedi sukses dieksekusi yang membuat perjalanan Gundala semakin menyenangkan untuk diikuti.

Fondasi yang kuat bagi pengisahan Gundala sebagai sebuah origin story sayangnya secara perlahan mulai tersingkir ketika film ini mengubah warna penceritaannya menjadi media perkenalan bagi Jagat Sinema BumiLangit – nama yang diberikan bagi semesta pengisahan film-film bertemakan pahlawan super yang juga melibatkan Gundala. Fokus yang tadinya diberikan pada karakter Sancaka dan karakter-karakter yang berada di sekitarnya kemudian berganti beralih pada puluhan karakter lain yang tiba-tiba mengisi linimasa penceritaan Gundala. Proses perkenalan terhadap Jagat Sinematik BumiLangit mungkin memang tidak dapat dihindari. Sayangnya, naskah cerita Gundala buatan Anwar hadir begitu minimalis dalam memberikan fasilitas cerita yang kuat pada karakter-karakter yang ingin diperkenalkan tersebut. Hasilnya, banyak karakter yang terkesan hadir secara tiba-tiba dalam alur pengisahan dengan tanpa alasan yang kuat. Membingungkan? Jelas.

Membludaknya jumlah karakter yang hadir dalam paruh kedua pengisahan film juga membuat tempo pengisahan Gundala kemudian tampil terburu-buru dalam bercerita. Konflik yang hadir kemudian saling tumpang tindih tanpa pengembangan yang mumpuni sehingga sama sekali gagal untuk membuat penonton benar-benar merasa terikat dengan kisah yang dihadirkan. Perjalanan karakter Sancaka sebagai sosok pahlawan super juga terasa dihadirkan dalam penyajian yang kurang matang. Gundala tampil lamban dalam mengalirkan proses perkenalan sang karakter terhadap kekuatannya namun kemudian secara ceroboh memberikannya kekuatan penuh di paruh ketiga film hanya berdasarkan teriakan penyemangat yang diberikan oleh karakter lain – yang, sayangnya, juga seringkali hanya disajikan sebagai “sosok bijaksana” dalam cerita Gundala tanpa karakterisasi yang lebih mendalam. Jika tujuan Gundala hanyalah untuk memperkenalkan karakter tersebut – dan sekilas mengenai Jagat Sinema BumiLangit, film ini mungkin telah berhasil melakukannya. Namun Gundala jelas kurang berhasil dalam memberikan bangunan dasar kisah yang lebih kuat bagi perjalanan cerita seri film ini di masa yang akan datang.

Terlepas dari berbagai kelemahan yang masih ditemukan dalam penceritaan film, sukar untuk tidak merasa kagum pada pencapaian yang berhasil dilakukan Anwar melalui Gundala. Dengan durasi sepanjang 123 menit yang cukup terbatas bagi sebuah film yang berusaha untuk mengenalkan sebuah semesta pengisahan yang begitu luas, Anwar sukses memberikan bangunan kisah tentang dunia yang diisi oleh sosok-sosok pahlawan super – dengan kualitas teknis audio dan visual yang sangat memuaskan – namun tidak pernah lupa akan sentuhan personalnya yang kuat dalam menyinggung berbagai isu sosial yang sedang menghangat. Kejelian Anwar dalam memilih barisan pemeran yang unggul juga menjadi kunci mengapa Gundala tetap lancar dalam berkisah. Terlepas dari beberapa eksekusi dialog yang cenderung datar, Aryasatya tampil meyakinkan sebagai sosok Sancaka sang (calon) pahlawan. Ramdhan juga memberikan banyak momen kuat ketika dirinya memerankan karakter Sancaka di masa kecilnya. Begitu pula dengan Palarae yang sukses mencuri perhatian dalam setiap kehadirannya lewat karakter Pengkor. [C]

gundala-abimana-aryasatya-joko-anwar-movie-posterGundala (2019)

Directed by Joko Anwar Produced by Bismarka Kurniawan, Sukhdev Singh, Wicky V. Olindo Written by Joko Anwar (screenplay), Hasmi (comics, Gundala) Starring Abimana Aryasatya, Tara Basro, Bront Palarae, Ario Bayu, Cecep Arif Rahman, Marissa Anita, Muzakki Ramdhan, Rio Dewanto, Faris Fajar, Pritt Timothy, Zidni Hakim, Aqi Singgih, Kelly Tandiono, Hannah Al Rashid, Asmara Abigail, Putri Ayudya, Tanta Ginting, Indra Brasco, Dimas Danang, Lukman Sardi, Arswendy Bening Swara, Willem Bevers, Cornelio Sunny, Rendra Bagus Pamungkas, Andrew Suleiman, Donny Alamsyah, Daniel Adnan, Pevita Pearce, Zack Lee Music by Aghi Narottama, Bemby Gusti, Tony Merle Cinematography Ical Tanjung Edited by Dinda Amanda Production company Screenplay Films/Bumilangit Studios/Legacy Pictures/Ideosource Entertainment Running time 123 minutes Country Indonesia Language Indonesian

4 thoughts on “Review: Gundala (2019)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s