Review: Sekala Niskala (2018)


Pada banyak bagiannya, Sekala Niskala terasa memiliki garisan genetik yang sama dengan The Mirror Never Lies (Laut Bercermin) (2011) – film yang menjadi debut pengarahan layar lebar bagi Kamila Andini. Struktur pengisahan kedua film tersebut dikendalikan dari perspektif seorang karakter anak-anak akan dunia di sekitarnya. Dan seperti halnya The Mirror Never Lies (Laut Bercermin) yang memiliki latar belakang lokasi di wilayah Wakatobi, Sulawesi Tenggara dan warna pengisahannya kental dengan kultur Suku Bajo yang mendiami wilayah tersebut, Andini membawa penontonnya untuk menyelami keindahan alam dan kultur budaya Bali lewat Sekala Niskala. Terlepas dari berbagai kemiripan tersebut, Sekala Niskala menawarkan struktur penceritaan yang mempertemukan antara dunia imaji dengan dunia nyata yang jelas jauh berbeda dengan The Mirror Never Lies (Laut Bercermin) yang lebih bernuansa realis.

Film yang juga ditayangkan dengan judul The Seen and Unseen pada perilisan internasionalnya ini memulai kisahnya dengan memperkenalkan sepasang anak kembar, Tantri (Thaly Titi Kasih) dan Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena). Layaknya pasangan anak kembar lainnya, Tantri dan Tantra tumbuh begitu dekat satu dengan yang lain. Tidak heran, ketika Tantra tiba-tiba mengalami gangguan kesehatan yang menyebabkan seluruh anggota tubuhnya melemah secara perlahan, Tantri mengalami masa-masa sulit untuk menerima keadaan saudara laki-lakinya tersebut. Rasa resah, sedih, hingga marah yang dirasakan Tantri ketika membayangkan dirinya akan kehilangan Tantra tersebut ternyata kemudian membawa gadis cilik tersebut ke sebuah dunia baru dimana ia dapat dengan leluasa melepaskan seluruh beban pemikiran yang dirasakannya.

Sesuai dengan judul yang diberikan untuk film ini – Sekala dan Niskala yang dalam Bahasa Bali berarti hal yang terlihat dan hal yang tak terlihat, pengisahan yang dihadirkan Andini dalam menceritakan pergolakan jiwa karakternya juga ditampilkan dalam dua pola narasi. Di pola pertama, karakter Tantri digambarkan sebagai sosok gadis cilik yang muram dan cenderung pendiam akibat kesedihan yang ia rasakan ketika mengetahui bahwa saudara kembarnya tidak akan berumur panjang. Pola pengisahan yang tergambar melalui deskripsi drama yang nyata. Di sisi lainnya, Andini menyandingkan drama mengenai rasa duka tersebut dengan sentuhan fantasi yang menggambarkan bagaimana petualangan karakter Tantri di alam mimpinya. Lewat budaya Bali yang kental, alam mimpi dari karakter Tantri tersebut dihadirkan dengan nyanyian dan tarian bernuansa mistis nan menghipnotis. Penuh dengan simbolisme yang mempertegas rasa duka yang dialami oleh karakter Tantri namun sekaligus mampu memberikan karakter tersebut ruang yang lebih luas untuk mengekspresikan berbagai gejolak emosinya.

Lewat kendali pengarahan Andini yang kuat, kedua elemen narasi tersebut mampu saling mendukung satu sama lain dalam mendorong penonton untuk memahami sekaligus merasakan perjalanan emosional dari karakter Tantri dalam menerima garisan takdir bagi saudara kembarnya. Memang, eksotisme tarian dan nyanyian yang disajikan Andini dari sisi fantasi pengisahan film kadang membuat sisi drama realis yang mendampinginya terasa lebih inferior. Namun, tetap saja, dua elemen tersebut saling melengkapi dan sulit untuk dipisahkan. Elemen emosional dari sisi pengisahan drama realis Sekala Niskala cukup berhasil terdorong ketika karakter Ibu (Ayu Laksmi) kemudian dipertegas arti kehadirannya dalam cerita. Sama seperti halnya karakter Tantri, karakter Ibu juga digambarkan mengalami perjuangannya sendiri dalam menerima kondisi puteranya. Walau di dua paruh awal porsi pengisahnnya terkesan minimalis namun peran karakter tersebut secara perlahan mulai menguat di paruh akhir sebagai sebuah pertanda bahwa karakter Ibu – juga seperti karakter Tantri – mulai menerima garisan nasib yang diterimanya.

Usaha Andini dalam menyampaikan perjalanan emosional karakter-karakternya – dan sekaligus usaha untuk dapat merengkuh sisi emosional penonton – tidak hanya dilakukan melalui penampilan akting para aktornya. Sentuhan teknikal film juga mendapatkan arahan Andini untuk dapat turut berpadu dalam penceritaan. Lihat saja bagaimana tata sinematografi film yang mampu memberikan atmosfer kegelisahan hati para karakter-karakter film. Begitu pula dengan kreasi suara dan musik garapan Yasuhiro Morinaga yang seringkali memperkuat unsur mistis dalam presentasi film. Andini juga mendapatkan kualitas penampilan yang solid dari para pengisi departemen akting filmnya. Dua pemeran muda film ini, Kasih dan Mahijasena, hadir dengan penampilan yang kuat – khususnya ketika keduanya diharuskan untuk menampilkan kemampuan tari mereka. Laksmi juga hadir memancing emosi dengan kehadirannya sebagai karakter Ibu. Sebuah penampilan yang singkat namun akan membekas lama di benak pemikiran para penonton film ini.

Sentuhan simbolisme yang kuat pada alur pengisahan film ini memang tidak akan lantas dapat meraih apresiasi dari banyak kalangan dalam skala yang lebih luas. Meskipun begitu, tidak akan ada seorangpun yang dapat membantah bahwa Andini telah berhasil untuk menyajikan sebuah prestasi pengarahan yang kuat melalui filmnya. Visinya mengenai perjalanan jiwa para karakter filmnya mampu dipresentasikan melalui akting, dialog, atau bahkan tarian dan nyanyian yang tergarap dengan sempurna. Sebuah pencapaian yang mengesankan. [B-]

sekala-niskala-the-seen-and-unseen-movie-posterSekala Niskala (2018)

Directed by Kamila Andini Produced by Kamila Andini, Gita Fara Written by Kamila Andini Starring Thaly Titi Kasih, Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena, Ayu Laksmi, I Ketut Rina, Happy Salma, Gusti Ayu Raka Music by Yasuhiro Morinaga Cinematography Anggi Frisca Dance Editing by Dinda Amanda, Dwi Agus Purwanto Studio fourcolours films/Tree Water Productions Running time 86 minutes Country Indonesia Language Indonesian

4 thoughts on “Review: Sekala Niskala (2018)”

Leave a Reply