Tag Archives: Torro Margens

Review: Love for Sale (2018)

Siapa yang tidak akan terpesona dengan sosok Arini Kusuma (Della Dartyan)? Figur fisiknya jelas akan mampu menggoda setiap pecinta wanita yang mengenalnya. Tidak hanya itu, Arini adalah sosok yang memiliki kepribadian yang juga mampu tampil memikat – mulai dari pengetahuannya soal dunia sepakbola, keahlian memasak, hingga urusan ranjang. Namun, berbeda dengan gadis-gadis lainnya, Arini bukanlah sosok wanita yang dapat ditemukan di sembarang tempat. Oleh Richard Achmad (Gading Marten) – sesosok pria yang telah terlalu lama hidup menyendiri, Arini Kusuma ditemukan di sebuah aplikasi percintaan yang membiarkan penggunanya untuk bertemu dengan gadis impiannya setelah mereka membayar sejumlah uang. Richard Achmad sendiri awalnya hanya ingin Arini Kusuma menemaninya ke sebuah pesta pernikahan sahabatnya. Daya tarik Arini Kusuma-lah yang secara perlahan mengubah kehidupan Richard Achmad dan membuatnya mampu merasakan sebuah perasaan cinta yang sebenarnya telah sangat lama tidak pernah dirasakannya. Continue reading Review: Love for Sale (2018)

Review: Ruqyah: The Exorcism (2017)

Di tengah industri yang terus berjuang untuk dapat meraih kembali kepercayaan penonton, jelas tidaklah salah jika beberapa pembuat film memilih untuk “bermain aman” dengan memproduksi film-film yang memang terbukti mampu menarik perhatian penonton. Tahun ini, dengan keberhasilan besar yang diraih Danur (Awi Suryadi, 2017), Jailangkung (Rizal Mantovani, Jose Poernomo, 2017), dan Pengabdi Setan (Joko Anwar, 2017), horor jelas menjadi lahan emas yang ingin dirasakan oleh banyak orang. Ruqyah: The Exorcism sendiri menjadi film horor kedua arahan Poernomo yang dirilis tahun ini setelah Jailangkung yang ia arahkan bersama Mantovani dan Gasing Tengkorak yang direncanakan akan rilis November mendatang. Sayangnya, bahkan lebih buruk dari Jailangkung, Ruqyah: The Exorcism hadir dalam kualitas pengisahan yang cukup menyedihkan. Continue reading Review: Ruqyah: The Exorcism (2017)

Review: Night Bus (2017)

Film terbaru arahan Emil Heradi (Sagarmatha, 2013) adalah sebuah spesies langka pada industri perfilman Indonesia. Seperti halnya Get Out – debut pengarahan Jordan Peele yang dirilis di minggu yang sama di Indonesia – Night Bus adalah sebuah thriller yang naskah ceritanya digarap kental dengan sentuhan isu sosial dan politik yang jelas terinspirasi dari berbagai situasi yang pernah maupun tengah dihadapi oleh banyak lapisan masyarakat Indonesia. Tenang, tidak seperti kebanyakan film Indonesia bermuatan “pesan moral” yang sama dan lantas sering terasa sebagai presentasi yang menjemukan, Heradi mampu menggarap Night Bus menjadi sajian cerita penuh ketegangan yang sama sekali tidak pernah kehilangan pegangannya pada bangunan konflik yang menjadi perhatian utama bagi film ini. Sebuah eksekusi yang jelas terasa begitu menyegarkan. Continue reading Review: Night Bus (2017)

Review: Mencari Hilal (2015)

mencari-hilal-posterMerupakan film kedua setelah Ayat-Ayat Adinda (Hestu Saputra, 2015) dari lima film yang direncanakan akan diproduksi dalam Gerakan Islam Cinta dan Indonesia Tanpa Diskriminasi, Mencari Hilal arahan Ismail Basbeth (Another Trip to the Moon, 2015) mengisahkan tentang perjalanan Heli (Oka Antara) dalam menemani sang ayah, Mahmud (Deddy Sutomo), untuk mengulang kembali tradisi yang pernah ia lakukan dahulu semasa masih menuntut ilmu di pesantren dalam mencari hilal – sebuah fenomena alam akan penampakan bulan sabit baru yang juga menunjukkan masuknya bulan baru dalam sistem kalender Hijriah. Hubungan antara Heli dan Mahmud sendiri telah lama merenggang akibat banyaknya pertentangan antara keduanya, terlebih semenjak Heli memutuskan untuk meninggalkan rumah orangtuanya untuk menjadi seorang aktivis lingkungan. Jelas, perjalanan setengah hati yang dilakukan Heli untuk menemani sang ayah akhirnya diisi dengan begitu banyak konfrontasi. Namun, dalam konfrontasi yang terjadi dalam perjalanan itulah, Heli dan Mahmud secara perlahan mulai mempelajari lebih banyak tentang satu sama lain dan mulai memahami sekaligus membuka diri tentang berbagai perbedaan pola pemikiran antara keduanya.

Sebagai sebuah road movie yang mendalami tentang hubungan antara sosok ayah dan anak – dan mungkin akan mengingatkan beberapa orang pada film asal Perancis arahan Ismaël Ferroukhi, Le Grand Voyage (2004) – Mencari Hilal jelas membutuhkan deretan dialog dan konflik yang kuat untuk dapat membuat penonton turut merasa terikat akan naik turunnya hubungan dua karakter yang bagian kisah hidupnya sedang mereka ikuti. Beruntung, naskah cerita garapan Salman Aristo, Bagus Bramanti dan Ismail Basbeth mampu menata pengisahan tersebut dengan sangat baik. Perjalanan yang dilakukan oleh karakter Heli dan Mahmud diisi dengan dialog-dialog yang dapat membuka kepribadian kedua karakter tersebut kepada para penonton sekaligus menjabarkan kondisi hubungan mereka. Naskah cerita film juga secara cerdas menyelipkan banyak isu-isu sosial yang berkenaan dengan “toleransi” dan “diskriminasi” – yang sepertinya memang akan kerap disajikan pada setiap film-film yang diproduksi dalam Gerakan Islam Cinta dan Indonesia Tanpa Diskriminasi – guna menjadikan jalan cerita Mencari Hilal semakin kuat dan seringkali terasa emosional.

Tidak sepenuhnya berjalan mulus. Mencari Hilal seringkali terasa menginvestasikan terlalu banyak porsi penceritaannya pada konflik eksternal yang dihadapi kedua karakter dalam perjalanan mereka. Bukan berarti buruk, namun hubungan ayah dan anak antara karakter Mahmud dan Heli jelas akan terasa lebih mengikat secara emosional jika keduanya diberikan lebih banyak kesempatan untuk berhadapan dengan konflik internal mereka. Latar belakang kisah yang dihadirkan untuk kedua karakter juga masih terasa minim untuk penonton dapat memberikan perhatian lebih besar pada keduanya. Namun, kelemahan-kelemahan tersebut untungnya mampu ditutupi dengan pengarahan Ismail Basbeth yang terasa begitu intim. Fokus personal yang diberikan Ismail Basbeth pada jalan ceritanya membuat Mencari Hilal seringkali mampu berbicara lebih besar dari apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh naskah cerita filmnya. Pilihannya untuk menghadirkan jalan cerita film dengan nada penceritaan yang sederhana juga berhasil memberikan ruang yang luas bagi penonton untuk dapat meresapi berbagai konflik yang berjalan di sepanjang durasi film.

Ismail Basbeth juga mendapatkan dukungan yang berkelas dari departemen produksi serta departemen akting filmnya. Gambar-gambar yang disajikan oleh Satria Kurnianto tampil begitu indah. Seperti jalan ceritanya, deretan gambar yang menghiasi Mencari Hilal seringkali tampil indah dalam artian puitis daripada bermaksud untuk sekedar menjadi ajang pameran keindahan tata sinematografi. Kualitas yang sama juga dapat dirasakan dari tampilan musik, artistik hingga penataan gambar yang mendukung kualitas film secara keseluruhan. Dari departemen akting, Deddy Sutomo dan Oka Antara berhasil menghidupkan karakter yang mereka perankan dengan baik. Meskipun penampilan Oka Antara kadang masih terasa berjalan dalam satu nada emosi yang sama di sepanjang film, namun chemistry yang ia bentuk bersama aktor senior Deddy Sutomo – yang tampil begitu brilian – mampu menjadi kunci bagi penampilan keduanya sebagai pasangan ayah dan anak untuk terlihat meyakinkan.

Terlepas dari beberapa kekurangannya, Mencari Hilal mampu muncul sebagai sebuah sajian yang berhasil berbicara secara personal kepada setiap penikmatnya tanpa pernah terasa menggurui atau menceramahi meskipun dengan tema penceritaan yang dibawakannya. Salah satu film yang jelas akan meninggalkan kesan begitu mendalam pada setiap penontonnya jauh seusai mereka menyaksikan film ini. [B]

Mencari Hilal (2015)

Directed by Ismail Basbeth Produced by Putut Widjanarko, Raam Punjabi, Salman Aristo Written by Salman Aristo, Bagus Bramanti, Ismail Basbeth Starring Deddy Sutomo, Oka Antara, Torro Margens, Erythrina Baskoro Music by Charlie Meliala Cinematography Satria Kurnianto Editing by Wawan I. Wibowo Studio Multivision Plus Pictures/Studio Denny JA/Mizan Productions/Dapur Film Production/Argi Film Running time 94 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Perempuan-Perempuan Liar (2011)

Mengikuti Cewek Gokil dan Cowok Bikin Pusing yang telah dirilis terlebih dahulu pada tahun ini, Perempuan-Perempuan Liar adalah produksi lama dari rumah produksi Multivision Plus yang entah mengapa terpendam begitu lama di gudang mereka – mungkin karena kualitasnya yang memang sangat menyedihkan – dan akhirnya dirilis ke pasaran sekian tahun kemudian. Berbeda dengan Cewek Gokil dan Cowok Bikin Pusing yang masih cukup dapat dinikmati, film komedi yang disutradarai oleh Rako Prijanto sama sekali tidak memiliki alasan apapun untuk dirilis ke khalayak ramai. Dengan naskah yang begitu dangkal dan bodoh serta penampilan para jajaran pemerannya yang sangat mengecewakan, rasanya sudah sangat menjawab pertanyaan mengapa film ini dirilis jauh setelah proses produksinya selesai bertahun-tahun lalu.

Continue reading Review: Perempuan-Perempuan Liar (2011)

Review: Bebek Belur (2010)

Dying is easy. Comedy is hard. Untuk membuat sekelompok orang tertawa ketika menyaksikan Anda melucu adalah lebih sulit daripada untuk membuat sekelompok orang bersedih ketika melihat Anda sengsara. Khususnya di Indonesia, dimana hampir seluruh film komedi yang ada, harus diasosikan dengan imej wanita-wanita berpakaian minim dan guyonan-guyonan (yang tidak lucu) kasar tentang seks.

Continue reading Review: Bebek Belur (2010)