Tag Archives: Gary Iskak

Review: Insya Allah Sah (2017)

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Benni Setiawan (Toba Dreams, 2015) berdasarkan buku yang berjudul sama karya Achi TM, Insya Allah Sah berkisah tentang pertemuan yang tidak disengaja antara Silvi (Titi Kamal) dengan Raka (Pandji Pragiwaksono) ketika mereka terjebak di dalam sebuah lift yang sedang bermasalah. Dalam kepanikannya, Silvi lantas bernazar bahwa jika ia dapat keluar dengan selamat maka ia akan berubah menjadi sosok muslimah yang lebih taat akan aturan dan perintah Tuhan. Tidak lama setelah ia mengucapkan nazar tersebut, pintu lift pun terbuka dan Silvi dapat bertemu kembali dengan kekasihnya, Dion (Richard Kyle). Kejadian tersebut bahkan mendorong Dion untuk segera melamar Silvi. Tanpa disangka-sangka, Raka, seorang sosok pemuda yang lugu dan religius, kemudian menghubungi Silvi dan terus mengingatkannya akan nazar yang telah ia ucapkan. Dorongan Raka agar Silvi segera menjalankan nazarnya secara perlahan mulai mengganggu kehidupan Silvi dan rencana pernikahannya dengan Dion. Continue reading Review: Insya Allah Sah (2017)

Review: Romeo + Rinjani (2015)

romeo-rinjani-posterLooks can be deceiving… Jika, dengan menilai penampilan poster film ini, Anda mengira bahwa Romeo + Rinjani akan hadir dengan kisah petualangan beberapa karakter yang berpetualang di liarnya alam Gunung Rinjani a la 5 cm (2012) atau Sagarmatha (2013), maka bersiaplah untuk kecewa. Sesungguhnya, cukup sulit untuk menilai apa yang sebenarnya diinginkan oleh Fajar Bustomi lewat film ini. Romeo + Rinjani menawarkan begitu banyak warna penceritaan dalam deretan konflik film ini – mulai dari drama, romansa, komedi hingga thriller – yang sayangnya kemudian gagal untuk dieksplorasi dan akhirnya membuat setiap konflik dalam film ini gagal untuk berkembang dan berkisah dengan baik. Bukan sebuah presentasi yang teramat buruk namun jelas masih jauh dari kesan memuaskan.

Romeo + Rinjani sendiri berkisah mengenai Romeo (Deva Mahenra), seorang fotografer tampan yang memiliki kemampuan untuk menarik perhatian setiap wanita yang didekatinya. Sial, salah satu wanita yang ia kencani, Raline (Kimberly Ryder), kemudian hamil dan menuntut pertanggungjawabannya. Walau merasa berat, Romeo menyetujui permintaan Raline untuk menikahinya seusai dirinya selesai melaksanakan tugasnya untuk mengambil gambar di wilayah Gunung Rinjani. Dalam perjalanan tugasnya tersebut, Romeo lantas bertemu dengan gadis cantik bernama Sharon (Alexa Key) yang jelas kemudian menggoda perhatian Romeo. Romeo dan Sharon, yang ternyata seorang pecinta kegiatan petualangan, kemudian memutuskan untuk berangkat menjelajahi Gunung Rinjani bersama. Sebuah keputusan yang mungkin akan disesali Romeo dalam seumur hidupnya kelak.

Kesalahan jelas tidak selayaknya dibebankan penuh di pundak Fajar Bustomi sebagai seorang sutradara. Naskah film yang ditulis oleh Angling Sagaran jelas memegang peranan penting bagi kedangkalan penampilan penceritaan film ini. Romeo + Rinjani sebenarnya memulai kisahnya dengan baik, menyentuh beberapa ide cerita yang tergolong segar bagi sebuah film Indonesia – sebuah film yang anti pernikahan? – hingga karakter utama dengan karakteristik yang jelas akan sulit disukai oleh banyak penontonnya. Namun, secara perlahan, awal yang menjanjikan tersebut kemudian berubah menjadi sajian yang sukar dinikmati dengan baik akibat pengembangan konflik-konfliknya yang kurang matang. Warna penceritaan film mulai hadir silih berganti dengan jalan cerita yang hadir tanpa konsistensi yang kuat. Membingungkan, khususnya ketika setiap konflik yang tersaji terasa hadir hanyalah sebagai deretan sketsa belaka tanpa pernah mampu digambarkan sebagai penceritaan yang kuat maupun utuh.

Kedangkalan penceritaan jelas juga memberikan pengaruh pada karakter-karakter yang tersaji dalam jalan cerita film. Banyak karakter yang akhirnya tampil tanpa adanya pendalaman yang jelas, termasuk dua karakter pendukung utama yang diperankan Kimberly Ryder dan Alexa Key. Kedua karakter tersebut nyaris hadir hanya sebagai plot device untuk memberikan permasalahan dalam kehidupan sang karakter utama. Lebih dari itu, penonton sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk mengenal lebih dalam siapa karakter tersebut meskipun keduanya memiliki peran yang cukup krusial dalam jalan cerita. Begitu pula dengan karakter-karakter lain yang terlihat hilir mudik di dalam jalan penceritaan film tanpa pernah mendapatkan ruang pengisahan yang tepat.

Departemen akting Romeo + Rinjani sendiri diisi deretan pemeran muda dengan penampilan yang tidak mengecewakan. Deva Mahenra, yang mendapatkan peran utama perdananya di film ini, mampu menunjukkan bahwa dirinya layak diperhitungkan sebagai aktor utama yang kuat bagi banyak film Indonesia di masa mendatang. Alexa Key dan Kimberly Ryder sendiri tampil dalam penampilan yang sesuai dengan kapasitas akting mereka. Tidak istimewa, namun jelas bukanlah dua penampilan yang buruk. Sayang, kedangkalan penulisan karakter dalam film ini menghalangi setiap aktor yang berperan di dalamnya untuk dapat tampil lebih lugas lagi dalam menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. [C-]

Romeo + Rinjani (2015)

Directed by Fajar Bustomi Produced by Chand Parwez Servia, Fiaz Servia Written by Angling Sagaran Starring Deva Mahenra, Kimberly Ryder, Alexa Key, Donna Harun, Fico Fachriza, Ryn Chibi, Novi Chibi, Gary Iskak, Ananda Faturrahman, Sam Brodie, Sammy Not a Slim Boy, Sandrinna Michelle Skornicki, Uus, Amel Alvie, Iranty Purnamasari, Gani Kurniawan, Jefan Nathanio, Adjis Doaibu Music by Tya Subiakto Satrio Cinematography Paps Bill Siregar Editing by Cesa David Luckmansyah Studio Starvision Running time 80 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Mentari dari Kurau (2014)

Mentari dari Kurau (F1 Pictures, 2014)
Mentari dari Kurau (F1 Pictures, 2014)

Here we go again. Meskipun fakta menunjukkan bahwa film-film dengan tema penceritaan sejenis tidak lagi begitu menarik perhatian penonton film Indonesia, namun kehadiran film-film drama keluarga yang disajikan dengan alur penceritaan yang begitu melodramatis ternyata masih menjadi pilihan untuk diproduksi bagi beberapa pembuat film Indonesia. Mentari dari Kurau yang diarahkan oleh Revo S. Rurut – yang juga bertindak sebagai produser dan penulis naskah bagi film ini, juga merupakan sebuah film yang menggunakan premis sama yang telah semakin familiar (dan melelahkan) di industri film Indonesia: perjuangan seorang karakter yang terlepas dari berbagai kesulitan yang dihadapinya berusaha untuk meraih kualitas hidup yang lebih baik bagi dirinya serta orang yang paling dicintainya. Terdengar klise? Memang. Dan sayangnya, lagi-lagi, premis tersebut dieksekusi demikian lemah sehingga menghasilkan sebuah presentasi yang sangat jauh dari kesan sebagai sebuah sajian yang berkelas.

Continue reading Review: Mentari dari Kurau (2014)

Review: 7 Misi Rahasia Sophie (2014)

Setelah The Legend of Trio Macan (2013), Billy Christian melanjutkan karir penyutradaraan film layar lebarnya dengan sebuah film drama romansa remaja berjudul 7 Misi Rahasia Sophie. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Anggoro Saronto (Sang Kiai, 2013), 7 Misi Rahasia Sophie mencoba untuk menelusuri kisah persahabatan antara dua remaja yang dibalut dengan satir mengenai kegemaran kaum muda modern untuk mendokumentasikan diri dan kegiatan mereka di dunia maya. Sebuah ide cerita yang sebenarnya begitu sederhana namun masih cukup menarik. Sayangnya, kesederhanaan ide cerita tersebut kemudian gagal untuk mendapatkan pengembangan yang kuat. Akhirnya, di sepanjang 98 menit durasi penceritaan filmnya, 7 Misi Rahasia Sophie seringkali terasa datar secara emosional dalam penyajian kisahnya.

Continue reading Review: 7 Misi Rahasia Sophie (2014)

Review: Kawin Kontrak 3 (2013)

kawin-kontrak-3-header

Do we need to watch another sequel to Kawin Kontrak? Well… dengan jumlah perolehan penonton yang diraih Kawin Kontrak (2008) dan Kawin Kontrak Lagi (2008) secara signifikan di masa perilisan kedua film tersebut – meskipun Kawin Kontrak Lagi hadir dalam kualitas penceritaan yang terasa begitu dipaksakan, rasanya sangatlah tidak mengherankan untuk melihat Multivision Plus Pictures kemudian memutuskan untuk merilis sekuel kedua bagi Kawin Kontrak. Tidak seperti dua seri sebelumnya yang disutradarai oleh Ody C. Harahap, Kawin Kontrak 3 digawangi oleh Awi Suryadi (Loe Gue End, 2012) yang bersama dengan Totos Rositi juga menuliskan naskah cerita untuk film ini. Sayangnya, keberadaan Awi dan Totos sama sekali tidak memberikan kontribusi baru yang berarti pada presentasi cerita Kawin Kontrak 3. Menggunakan tema cerita dan guyonan yang familiar dengan dua seri sebelumnya, Kawin Kontrak 3 terasa begitu melelahkan dan berakhir tidak lebih sebagai sebuah komedi seks yang dangkal.

Continue reading Review: Kawin Kontrak 3 (2013)

Review: Kisah 3 Titik (2013)

kisah-3-titik-header

Lola Amaria sepertinya memiliki rasa ketertarikan yang sangat mendalam untuk mengangkat karakter-karakter yang seringkali terasa terpinggirkan dalam kehidupan keseharian masyarakat. Setelah sebelumnya mengangkat seluk-beluk kehidupan para buruh migran Indonesia di Hong Kong lewat Minggu Pagi di Victoria Park (2010) dan berbagai sisi penceritaan kaum homoseksual lewat omnibus Sanubari Jakarta (2012), film terbaru yang ia produseri, Kisah 3 Titik, berusaha untuk memberikan gambaran mengenai kehidupan para kaum pekerja dan buruh di Indonesia. Sebuah tema penceritaan yang jelas cukup rumit sekaligus sulit untuk dijabarkan secara menyeluruh hanya dalam 104 menit durasi penceritaan, namun Kisah 3 Titik setidaknya mampu menghadirkan sisi nyata kehidupan para buruh yang tidak dapat dipungkiri akan memberikan rasa miris di hati banyak penontonnya.

Continue reading Review: Kisah 3 Titik (2013)

Review: KM 97 (2013)

km_97_header

Well just in case you desperately need a reminder: it’s 2013, folks! Tahun dimana dunia film horor telah melewati masa dimana salah satu perwakilannya berhasil memenangkan kategori Film Terbaik di ajang Festival Film Indonesia atau ketika penonton Indonesia dikejutkan oleh satu keluarga yang gemar memakan daging manusia atau ketika seorang sutradara kelahiran Medan terus menerus memberikan inovasi baru dalam mempresentasikan setiap kisah horornya. But thenthere’s Jose Poernomo. Seorang sutradara yang namanya mungkin akan terus dikenang sebagai salah satu otak pengarahan dari film horor Indonesia legendaris, Angkerb… maaf, Jelangkung (2001). Lebih dari satu dekade berlalu, Jose ternyata masih gemar untuk mengeksplorasi lokasi-lokasi yang dianggap mistis di berbagai belahan wilayah Indonesia sebagai tema penceritaan filmnya. Yang terbaru… Jose berusaha menghadirkan kisah mistis dari KM 97, sebuah titik di Jalan Tol Jakarta-Bandung yang dikenal juga dengan wilayah Cipularang dimana banyak terjadi kecelakaan di tempat tersebut.

Continue reading Review: KM 97 (2013)

Review: Bidadari-Bidadari Surga (2012)

Well… seperti yang dikatakan oleh banyak orang: You don’t mess with a winning formula! Karenanya, ketika Hafalan Shalat Delisa yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Tere Liye berhasil menjadi salah satu film Indonesia dengan raihan jumlah penonton terbesar di sepanjang masa rilisnya pada tahun 2011, tidak mengherankan jika kemudian produser film tersebut mencoba kembali mengulang sukses tersebut dalam rilisan mereka berikutnya. Hasilnya… sebuah film lain yang diadaptasi dari novel Tere Liye – yang kali ini berjudul Bidadari-Bidadari Surga, masih dengan kisah bernuansa reliji, masih dengan kisah yang akan berusaha (baca: memaksa) penontonnya untuk tersentuh dan meneteskan air mata, masih disutradarai oleh Sony Gaokasak, masih menempatkan Nirina Zubir di barisan terdepan jajaran pengisi departemen aktingnya dan… Mike Lewis yang nanti hadir di pertengahan cerita. Hasilnya? Masih sama seperti Hafalan Shalat Delisa. Namun kali ini hadir dengan perjalanan yang terasa lebih menyakitkan.

Continue reading Review: Bidadari-Bidadari Surga (2012)

Review: Perempuan-Perempuan Liar (2011)

Mengikuti Cewek Gokil dan Cowok Bikin Pusing yang telah dirilis terlebih dahulu pada tahun ini, Perempuan-Perempuan Liar adalah produksi lama dari rumah produksi Multivision Plus yang entah mengapa terpendam begitu lama di gudang mereka – mungkin karena kualitasnya yang memang sangat menyedihkan – dan akhirnya dirilis ke pasaran sekian tahun kemudian. Berbeda dengan Cewek Gokil dan Cowok Bikin Pusing yang masih cukup dapat dinikmati, film komedi yang disutradarai oleh Rako Prijanto sama sekali tidak memiliki alasan apapun untuk dirilis ke khalayak ramai. Dengan naskah yang begitu dangkal dan bodoh serta penampilan para jajaran pemerannya yang sangat mengecewakan, rasanya sudah sangat menjawab pertanyaan mengapa film ini dirilis jauh setelah proses produksinya selesai bertahun-tahun lalu.

Continue reading Review: Perempuan-Perempuan Liar (2011)