Ketika pertama kali dirilis pada tahun 2003, buku Jakarta Undercover karangan Moammar Emka berhasil menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan pecinta literatur Indonesia, khususnya karena buku tersebut berisi kumpulan cerita yang dengan berani mengangkat berbagai sisi kehidupan seksual warga Jakarta yang selama ini masih belum banyak diketahui atau malah dianggap tabu untuk dibicarakan. Emka kemudian melanjutkan kesuksesan bukunya dengan menerbitkan dua seri Jakarta Undercover lainnya, Jakarta Undercover 2: Karnaval Malam yang dirilis pada tahun 2006 serta Jakarta Undercover 3: Forbidden City yang hadir setahun setelahnya. Layaknya banyak novel sukses lainnya, Jakarta Undercover menarik perhatian produser Erwin Arnada yang berniat untuk mengadaptasi buku tersebut menjadi sebuah film layar lebar. Dengan bantuan penulis naskah Joko Anwar, versi film dari Jakarta Undercover yang diarahkan oleh Lance dan dibintangi Luna Maya, Lukman Sardi, Fachri Albar serta Christian Sugiono akhirnya dirilis pada awal tahun 2007. Sayang, terlepas dari banyaknya perhatian yang diberikan pada versi film dari Jakarta Undercover akibat deretan permasalahan yang harus dihadapi film tersebut ketika berhadapan dengan Lembaga Sensor Film, Jakarta Undercover mendapatkan reaksi yang tidak begitu menggembirakan, baik dari banyak kritikus film maupun para penonton film Indonesia. Continue reading Review: Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017)
Tag Archives: Edo Borne
Review: Sang Martir (2012)
Film terbaru Helfi Kardit (Brokenhearts, 2012) mencoba untuk berbicara mengenai banyak hal. Jalan ceritanya sendiri bermula dengan pengisahan mengenai kehidupan Rangga (Adipati Dolken) dan adiknya, Sarah (Ghina Salsabila), yang hidup dalam di sebuah panti asuhan yang dipimpin oleh pasangan Haji Rachman (Jamal Mirdad) dan istrinya, Hajjah Rosna (Henidar Amroe), bersama dengan puluhan anak-anak lainnya. Walau hidup dalam kondisi yang sangat sederhana, Rangga dan anak-anak penghuni panti asuhan tersebut hidup dalam suasana yang bahagia. Namun, ketika seorang preman bernama Jerink (Edo Borne) memperkosa Lili (Widy Vierra), yang merupakan salah seorang gadis penghuni panti asuhan tersebut, kehidupan Rangga mulai berbalik arah secara drastis. Rangga, yang kemudian mendatangi Jerink guna melampiaskan rasa amarahnya, secara tidak sengaja kemudian membunuh Jerink dan akhirnya menghantarkan dirinya masuk ke lembaga pemasyarakatan.
Review: Badai di Ujung Negeri (2011)
Setelah menggarap film musikal Garasi pada enam tahun lalu, dan kemudian sempat ambil bagian dalam salah satu segmen film omnibus Belkibolang (2010), Agung Sentausa kembali duduk di kursi sutradara untuk mengarahkan Badai di Ujung Negeri. Berbeda dengan Garasi yang naskah cerita bernuansa musikalnya sangat dekat dengan akar penyutradaraan Agung yang terlebih dulu dikenal sebagai seorang sutradara video musik, Badai di Ujung Negeri menghadapkan Agung pada sebuah naskah film drama dengan baluran beberapa adegan aksi yang masih cukup jarang diangkat pada banyak film nasional saat ini. Agung sendiri memang cukup berhasil dalam mengarahkan tim produksinya untuk menghasilkan film dengan tampilan visual dan aliran penceritaan yang kuat. Sayangnya, naskah Badai di Ujung Negeri arahan Ari M Syarief (Maskot, 2006) terlalu lemah untuk mampu membuat film ini tampil lebih istimewa lagi.
Review: True Love: Based on the Novel Cinta Sepanjang Amazon by Mira W (2011)
Well… sinema Indonesia meraih sebuah titik terendahnya kembali dalam sebuah film yang berjudul True Love: Based on the Novel Cinta Sepanjang Amazon by Mira W (Precious: Based on the Novel Push by Sapphire (2009), anyone?). Seseorang yang belum pernah membaca novel yang mendasari naskah cerita film ini dipastikan akan merasa penasaran mengapa sebuah novel yang memiliki jalan cerita berputar-putar dengan deretan karakter yang sangat tidak simpatik mampu meraih gelar sebagai best-selling novel – atau apapun yang dituliskan sang produser True Love pada kredit film ini. Dengan durasi yang mencapai dua jam penuh (!), True Love adalah sebuah film yang dipastikan akan mampu membuat siapapun merasa menyesal telah menghabiskan uang dan waktu mereka untuk sebuah karya yang tidak hanya dapat dikatakan sebagai sebuah karya yang tidak tergarap baik, namun juga karya yang seharusnya belum siap atau tidak pernah dirilis ke publik umum.
Continue reading Review: True Love: Based on the Novel Cinta Sepanjang Amazon by Mira W (2011)
Review: Lost in Papua (2011)
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis sutradara Lost in Papua, Irham Acho Bachtiar, tertulis bahwa tujuan sederhana dari pembuatan Lost in Papua adalah “untuk menunjukkan keunikan dan kekayaan wisata budaya di Papua Selatan serta segala misterinya yang belum pernah Anda lihat.” Sebuah tujuan yang sangat mulia, tentu saja, mengeksplorasi keindahan alam luas Papua yang selama ini jarang disentuh oleh banyak pembuat film Indonesia. Tujuan yang mulia tersebut dilakukan Irham lewat film cerita, dan bukan dokumenter, dengan “kemasan yang dibuat lebih ringan dan bersifat hiburan dengan genre komersil, sehingga budaya yang disampaikan akan masuk ke anak anak muda yang sebelumnya tidak tertarik melihat budaya Indonesia.” Ringan? Hiburan? Komersil? Dengan apa yang dipaparkan Irham lewat film ini — yang berjalan dengan kisah yang semakin absurd ke penghujung filmnya, Lost in Papua lebih tepat digambarkan sebagai sebuah bencana berbentuk film yang diselimuti dengan keindahan alam Papua.
Festival Film Indonesia 2010 Nominations List
Sebenarnya, di tengah persaingan antara banyak film-film berkualitas, adalah sangat wajar bila sebuah film yang dianggap sangat berpotensial untuk memenangkan banyak penghargaan ternyata tidak mendapatkan perhatian sedikitpun. Namun, tentu hal tersebut akan terdengar cukup mengherankan bila hal tersebut datang dari sebuah industri film yang kebanyakan film yang dihasilkannya adalah film-film berkualitas ‘buruk.’ Dan akan lebih sangat mengherankan lagi bila salah satu dari hanya beberapa film terbaik yang dihasilkan pada satu tahun di industri film tersebut malah sama sekali tidak mendapatkan perhatian dari sebuah penghargaan film terbesar di industri film tersebut.
Continue reading Festival Film Indonesia 2010 Nominations List
Review: Aku atau Dia? (2010)
Walau tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kesuksesan besar jika dilihat dari sisi komersial, film drama komedi yang menjadi debut penyutradaraan Affandi Abdul Rachman, Heart-Break.Com (2009), dapat dikatakan berhasil menarik perhatian banyak penikmat film Indonesia. Walau memiliki jalan cerita yang sederhana, sang sutradara dinilai mampu menjadikan Heart-Break.Com menjadi sebuah film drama segar yang juga diselingi dengan banyak kandungan komedi pintar yang sepertinya masih sangat jarang disentuh di industri film Indonesia.
Review: I Know What You Did On Facebook (2010)
Nama Awi Suryadi sebagai seorang sutradara sempat memperoleh ulasan hangat di beberapa media setelah filmnya Claudia/Jasmine (2008) berhasil mendapatkan pengakuan kualitas dari banyak penonton film Indonesia. Sayangnya, kesuksesan tersebut tidak bertahan lama setelah Awi justru memilih untuk menyutradarai sejumlah film ‘dangkal’ seperti Cintaku Selamanya (2008) dan Selendang Rocker (2009), yang selain gagal mendapatkan pujian secara kualitas, juga ternyata tidak begitu berhasil pada peredaran komersialnya. Kini, dengan membawa tema hubungan di dunia maya yang sedang banyak menjadi banyak perbincangan, Awi kembali merilis sebuah film drama berjudul I Know What You Did On Facebook.
Continue reading Review: I Know What You Did On Facebook (2010)