Tag Archives: Arifin Putra

Review: Si Manis Jembatan Ancol (2019)

Merupakan kali ketiga legenda urban asal Betawi ini kisahnya diangkat sebagai sebuah presentasi film layar lebar – setelah film arahan Turino Djunaidy yang dirilis pada tahun 1973 dan film arahan Atok Suharto pada tahun 1994, Si Manis Jembatan Ancol kini kembali diperkenalkan kepada barisan penikmat film dari generasi baru melalui film yang disutradarai oleh Anggy Umbara (Suzzanna: Bernafas dalam Kubur, 2018) dan Bounty Umbara (Insya Allah Sah 2, 2018). Alur pengisahannya sendiri bercerita tentang kehidupan rumah tangga antara Maryam (Indah Permatasari) dan Roy (Arifin Putra) yang sedang berada diambang kehancuran. Cemburu melihat kedekatan istrinya dengan seorang pelukis muda bernama Yuda (Randy Pangalila), Roy secara gelap mata lantas meminta bantuan sekelompok penjahat yang dipimpin oleh Bang Ozi (Ozy Syahputra) untuk menculik sekaligus membunuh Maryam dan Yuda. Meskipun sempat berhasil melarikan diri, Bang Ozi dan kawanannya berhasil melaksanakan tugas yang diberikan Roy kepada mereka. Seperti yang dapat diduga, kematian tersebut lantas membuat Maryam menjadi sosok arwah penasaran yang lantas mulai menghantui setiap orang yang telah menjahatinya guna membalaskan dendamnya. Continue reading Review: Si Manis Jembatan Ancol (2019)

Review: Twivortiare (2019)

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh sutradara film ini, Benni Setiawan (Toba Dreams, 2015), bersama dengan penulis naskah Alim Sudio (Makmum, 2019) berdasarkan novel Divortiare dan Twivortiare karya Ika Natassa, Twivortiare adalah romansa yang berkisah tentang kehidupan percintaan dari pasangan Beno Wicaksono (Reza Rahadian) dan Alexandra Rhea (Raihaanun). Dua tahun setelah pernikahan mereka, Beno Wicaksono dan Alexandra Rhea memutuskan untuk bercerai setelah merasa lelah dengan berbagai konflik dan pertengkaran yang terus mewarnai keseharian mereka. Perceraian ternyata tidak lantas menghilangkan rasa cinta, sayang, maupun kekaguman yang terbentuk antara keduanya. Secara perlahan, Beno Wicaksono dan Alexandra Rhea berusaha belajar lagi tentang satu sama lain yang kemudian berlanjut dengan pernikahan kembali antara kedua pasangan muda tersebut. Mencoba menjadi dewasa dan berusaha untuk saling mengerti memang bukanlah sikap yang mudah dilakukan. Dalam pernikahan keduanya, Beno Wicaksono dan Alexandra Rhea masih saja menemukan berbagai konflik dan rintangan yang coba menghalangi perjalanan hubungan mereka. Continue reading Review: Twivortiare (2019)

Review: Mantan Manten (2019)

Diarahkan oleh Farishad Latjuba (Mantan Terindah, 2014), Mantan Manten berkisah mengenai kehidupan glamor seorang manajer investasi sukses, Yasnina (Atiqah Hasiholan), yang harus berakhir ketika dirinya dikhianati oleh pemimpin perusahaannya sendiri, Iskandar (Tio Pakusadewo). Dalam sekejap, harta Yasnina habis tak bersisa. Tidak hanya itu, rencana pernikahannya dengan sang tunangan, Surya (Arifin Putra), juga terancam batal. Sepenggal harapan muncul ketika asisten Yasnina, Ardy (Marthino Lio), mengingatkan dirinya bahwa ia masih memiliki sebuah villa yang terletak di Tawangmangu yang tidak disita karena akte kepemilikannya belum dituliskan atas nama Yasnina. Villa tersebut kini menjadi tumpuan harapan Yasnina untuk dapat bangkit kembali sekaligus mendukung usahanya untuk menyeret Iskandar ke pengadilan. Namun, usaha Yasnina untuk mengambil alih kepemilikan villa tersebut mendapatkan sebuah tantangan ketika pemilik lama villa, Koes Marjanti (Tutie Kirana), memiliki rencana lain kepada Yasnina. Sebuah rencana yang nantinya akan membuka mata sekaligus mengubah masa depan hidup dari Yasnina. Continue reading Review: Mantan Manten (2019)

Review: Foxtrot Six (2019)

Dengan departemen akting yang diisi oleh nama-nama popular di dunia seni peran tanah air seperti Oka Antara, Julie Estelle, Chicco Jerikho, Rio Dewanto, hingga Arifin Putra, premis cerita yang menjanjikan deretan adegan aksi dengan tingkat mematikan, bujet yang dikabarkan mencapai lebih dari Rp70,5 miliar, hingga keterlibatan Mario Kassar – yang popular berkat keterlibatannya sebagai produser bagi film-film aksi legendaris buatan Hollywood seperti Rambo: First Blood (Ted Kotcheff, 1982), Totall Recall (Paul Verhoeven, 1990), hingga Universal Soldier (Roland Emmerich, 1992), jelas cukup mudah untuk memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap Foxtrot Six. Sebuah film aksi yang berniat untuk menyaingi kedigdayaan dwilogi The Raid (Gareth Evans, 2012 – 2014) sebagai film aksi terbaik Indonesia sepanjang masa? Sure, why not. Sayang, film yang menjadi debut pengarahan bagi Randy Korompis ini terasa terlalu mengandalkan premis aksinya yang bombastis tanpa pernah sekalipun berusaha untuk menghidupkan kualitas barisan konflik dan ceritanya. Akhirnya, alih-alih menjadi sajian aksi yang mengikat dan menarik, Foxtrot Six berakhir menjadi sebuah tayangan yang monoton dan menjemukan. Continue reading Review: Foxtrot Six (2019)

Review: The Professionals (2016)

Setelah terakhir kali mengarahkan Negeri 5 Menara (2012) – dan kemudian lebih memilih untuk menghabiskan waktunya menjadi produser maupun produser eksekutif bagi film-film seperti 7/24 (Fajar Nugros, 2014), Di Balik 98 (Lukman Sardi, 2015) serta Surat Cinta untuk Kartini (Azhar Kinoi Lubis, 2016) dan Me vs Mami (Ody C. Harahap, 2016), Affandi Abdul Rachman kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk The Professionals. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Baskoro Adi (Kampung Zombie, 2015) dan Stella Gunawan (Ghost Diary, 2016), The Professionals adalah sebuah heist movie yang jelas bukanlah sebuah jenis film yang sering diproduksi oleh pembuat film Indonesia namun jelas akan mengingatkan banyak pecinta film akan film-film bertema sama buatan Hollywood seperti Entrapment (Jon Amiel, 1999), Inception (Christopher Nolan, 2010) dan, khususnya, Ocean’s Eleven (Steven Soderbergh, 2001). A challenging task for sure but can Rachman pull it off? Continue reading Review: The Professionals (2016)

Review: The Raid 2: Berandal (2014)

Terlepas dari kesuksesan megah yang berhasil diraih oleh The Raid (2012) – baik sebagai sebuah film Indonesia yang mampu mencuri perhatian dunia maupun sebagai sebuah film yang bahkan diklaim banyak kritikus film dunia sebagai salah satu film aksi terbaik yang pernah diproduksi dalam beberapa tahun terakhir – tidak ada yang dapat menyangkal bahwa film garapan sutradara Gareth Huw Evans tersebut memiliki kelemahan yang cukup besar dalam penataan ceritanya. Untuk seri kedua dari tiga seri yang telah direncanakan untuk The Raid, Evans sepertinya benar-benar mendengarkan berbagai kritikan yang telah ia terima mengenai kualitas penulisan naskahnya. Menggunakan referensi berbagai film aksi klasik seperti The Godfather (1972) dan Infernal Affairs (2002), Evans kemudian memberikan penggalian yang lebih mendalam terhadap deretan karakter maupun konflik penceritaan sekaligus menciptakan jalinan kisah berlapis yang tentu semakin menambah kompleks presentasi kisah The Raid 2: Berandal. Lalu bagaimana Evans mengemas pengisahan yang semakin rumit tersebut dengan sajian kekerasan nan brutal yang telah menjadi ciri khas dari The Raid?

Continue reading Review: The Raid 2: Berandal (2014)

Review: Badai di Ujung Negeri (2011)

Setelah menggarap film musikal Garasi pada enam tahun lalu, dan kemudian sempat ambil bagian dalam salah satu segmen film omnibus Belkibolang (2010), Agung Sentausa kembali duduk di kursi sutradara untuk mengarahkan Badai di Ujung Negeri. Berbeda dengan Garasi yang naskah cerita bernuansa musikalnya sangat dekat dengan akar penyutradaraan Agung yang terlebih dulu dikenal sebagai seorang sutradara video musik, Badai di Ujung Negeri menghadapkan Agung pada sebuah naskah film drama dengan baluran beberapa adegan aksi yang masih cukup jarang diangkat pada banyak film nasional saat ini. Agung sendiri memang cukup berhasil dalam mengarahkan tim produksinya untuk menghasilkan film dengan tampilan visual dan aliran penceritaan yang kuat. Sayangnya, naskah Badai di Ujung Negeri arahan Ari M Syarief (Maskot, 2006) terlalu lemah untuk mampu membuat film ini tampil lebih istimewa lagi.

Continue reading Review: Badai di Ujung Negeri (2011)

Review: Merah Putih III: Hati Merdeka (2011)

Bukan bermaksud untuk merendahkan niat dan hasil yang dicapai oleh para produser Trilogi Merdeka, namun semenjak kisah pertama dari seri tersebut dirilis pada tahun 2009, Merah Putih, dan kemudian dilanjutkan setahun kemudian dengan Darah Garuda, Trilogi Merdeka tidak pernah benar-benar mampu menghantarkan janji-janji para produsernya untuk menyajikan sebuah film epik a la film action Hollywood mengenai perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan para penjajahnya. Setelah Merah Putih mendapat begitu banyak kritikan karena kurang menghadirkan unsur aksi di dalam jalan ceritanya, Darah Garuda kemudian menunjukkan beberapa perbaikan. Walau masih diliputi dengan kisah drama yang panjang, Darah Garuda mampu menghadirkan sekelumit adegan aksi dan ledakan yang cukup mumpuni dan telah lama dinanti penonton untuk dihadirkan di trilogi ini.

Continue reading Review: Merah Putih III: Hati Merdeka (2011)

Review: Batas (2011)

Ketika Jaleswari (Marcella Zalianty) ditugaskan oleh pimpinan perusahaannya (Amroso Katamsi) untuk menyelidiki mengapa kegiatan Corporate Social Responsibility dalam bidang pendidikan perusahaan mereka tidak berjalan dengan lancar pada sebuah perkampungan di wilayah Entikong, Kabupaten Sangau, Kalimantan Barat, Jaleswari tentu saja tidak akan mengharapkan bahwa ia akan tertahan lama di wilayah tersebut. Jaleswari, seorang wanita yang terbiasa hidup dengan gaya hidup modern dan baru saja kehilangan suaminya sekaligus menyadari bahwa ia sedang hamil, hanya ingin agar masalah tersebut cepat selesai. Karenanya, walau sang ibu (Tetty Liz Indriati) dengan tegas meminta agar Jaleswari menolak penugasan tersebut, Jaleswari tetap bersikukuh untuk pergi ke wilayah terpencil itu selama dua minggu. Jauh dari peradaban dan keluarganya di Jakarta, Jaleswari akan segera mengenal sejauh mana batas ketahanan dirinya dalam mengenal dan bertahan dalam sebuah lingkungan baru.

Continue reading Review: Batas (2011)

Indonesian Movie Bloggers Choice Awards 2011 Nominations List

Inception, Alangkah Lucunya (Negeri Ini) dan Sang Pencerah memimpin daftar perolehan nominasi Indonesian Movie Bloggers Choice Awards 2011. Untuk di kategori film berbahasa asing, Inception berhasil meraih sebanyak 14 nominasi dari 18 kategori yang tersedia. Jumlah tersebut unggul satu kategori dari film karya David Fincher, The Social Network, yang membuntuti dengan perolehan sebanyak 13 nominasi. Inception dan The Social Network sendiri akan berhadapan di banyak kategori termasuk di kategori Film Jawara, Sutradara Jawara serta Naskah Jawara. Kedua film tersebut akan bersaing dengan The Ghost Writer, Toy Story 3 dan Uncle Boonme who can Recall His Past Lives untuk memperebutkan gelar sebagai Film Jawara.

Continue reading Indonesian Movie Bloggers Choice Awards 2011 Nominations List

Review: Rumah Dara (2010)

Rumah Dara mungkin adalah salah satu film thriller yang paling ditunggu masa rilisnya di sejarah perfilman Indonesia. Bukan bermaksud membesar-besarkan. Film yang pada awalnya berjudul Macabre ini telah terlebih dahulu singgah di berbagai festival film dunia, dan hebatnya, mendapat banyak review yang sangat memuaskan. Tidak heran, di tengah kekeringan ide di dunia perfilman Indonesia, khususnya di genre horror, Rumah Dara terdengar akan menjadi sebuah penyelamat film horror di Indonesia.

Continue reading Review: Rumah Dara (2010)