Setelah perilisan Gara-gara Warisan (2022) yang menjadi debut pengarahan film cerita panjangnya, Muhadkly Acho kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk Ghost Writer 2 – sekuel bagi Ghost Writer (2019) yang juga merupakan debut pengarahan film cerita panjang bagi Bene Dion Rajagukguk. Tidak hanya sebagai sutradara, Acho juga menggantikan posisi Rajagukguk sebagai penulis naskah film bersama dengan Nonny Boenawan. Rajagukguk – yang baru saja meraih sukses besar lewat film Ngeri-ngeri Sedap (2022) yang ia arahkan – hanya bertugas sebagai produser bagi film ini. Bukan sebuah masalah besar. Seperti halnya yang ditunjukkan Rajagukguk dalam Ghost Writer, Acho juga memiliki kemampuan yang mumpuni dalam menghidupkan paduan antara horor dan komedi yang dibawakan oleh Ghost Writer 2 – walaupun kemudian terasa terbata dalam pengembangan elemen pengisahan dramanya. Continue reading Review: Ghost Writer 2 (2022)
Tag Archives: Ernest Prakasa
Review: Gara-gara Warisan (2022)
Dengan naskah cerita yang ditulis dan diarahkan oleh aktor sekaligus komika, Muhadkly Acho – yang menjadikan film ini sebagai debut penyutradaraan film cerita panjangnya, Gara-gara Warisan memulai linimasa penceritaannya ketika seorang pemilik penginapan, Dahlan (Yayu Unru), berusaha untuk menemukan sosok yang tepat diantara ketiga anak-anaknya, Adam (Oka Antara), Laras (Indah Permatasari), dan Dicky (Ge Pamungkas), untuk menggantikan posisinya dalam mengelola penginapan ketika mengetahui dirinya mengidap penyakit yang sukar untuk disembuhkan. Dengan masalah perekonomian yang sedang menghimpit ketiganya, Adam, Laras, dan Dicky bersaing keras untuk memperebutkan warisan sang ayah yang jelas diharapkan dapat membantu kehidupan mereka. Di saat yang bersamaan, persaingan tersebut secara perlahan membuka kembali berbagai perseteruan, duka, hingga luka yang dirasakan setiap anggota keluarga tersebut semenjak lama. Continue reading Review: Gara-gara Warisan (2022)
Review: Pelukis Hantu (2020)
Setelah sebelumnya terlibat sebagai penulis naskah bagi film arahan Riri Riza, Kulari ke Pantai (2018), aktor yang juga dikenal sebagai seorang komika, Arie Kriting, melakukan debut pengarahan film layar lebarnya lewat Pelukis Hantu. Film bernuansa horor komedi yang naskah ceritanya juga dikerjakan oleh Kriting ini dibintangi oleh Ge Pamungkas yang berperan sebagai Tutur, seorang pelukis amatiran yang kemudian menerima tawaran untuk menjadi pelukis hantu di sebuah program televisi karena sedang membutuhkan uang untuk pengobatan sang ibu (Aida Nurmala). Siapa sangka, pekerjaan tersebut ternyata mampu memberikan pengaruh besar pada kehidupan personalnya. Sosok kuntilanak yang ia lihat sekaligus lukis dalam acara yang berjudul Arwah itu ternyata membawa sejumlah pesan dari masa lalu Tutur. Penasaran ingin berkomunikasi dengan makhluk supranatural tersebut, Tutur lantas menghubungi Amanda (Michelle Ziudith) yang gemar menulis dan meneliti tentang alam gaib dan meminta bantuannya. Continue reading Review: Pelukis Hantu (2020)
Review: Imperfect (2019)
Dengan naskah cerita yang diadaptasi oleh Ernest Prakasa bersama dengan Meira Anastasia dari buku karangan Anastasia sendiri yang berjudul Imperfect: A Journey to Self-Acceptance, Imperfect bertutur tentang rasa tidak percaya diri yang dimiliki oleh seorang gadis bernama Rara (Jessica Mila) akibat postur tubuhnya yang gemuk serta kulitnya yang berwarna gelap. Meskipun telah memiliki Dika (Reza Rahadian) yang dengan sesungguh hati telah begitu mencintainya, rasa rendah diri yang dimiliki Rara tidak pernah menghilang dan secara perlahan mulai mempengaruhi karir dan hubungan sosialnya. Sebuah tamparan keras bagi Rara datang ketika atasannya, Kelvin (Dion Wiyoko), mengungkapkan bahwa satu-satu halangan bagi Rara untuk mendapatkan kenaikan jabatan adalah penampilannya yang sering dianggap tidak pantas untuk menduduki posisi penting di kantornya. Tidak mau dirinya terus disudutkan, Rara akhirnya bertekad untuk mengubah penampilannya secara total. Continue reading Review: Imperfect (2019)
Review: Ghost Writer (2019)
Setelah menuliskan naskah cerita untuk beberapa film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang masa seperti Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! – Part 1 (Anggy Umbara, 2016) dan Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (Rocky Soraya, Umbara, 2018), Bene Dion Rajagukguk kini mengarahkan film layar lebar perdananya lewat Ghost Writer. Memadukan unsur horor dengan komedi, film yang naskah ceritanya digarap oleh Rajagukguk bersama dengan Nonny Boenawan ini bercerita mengenai seorang penulis novel, Naya (Tatjana Saphira), yang menemukan sebuah buku harian yang lantas dijadikannya inspirasi cerita bagi novel terbaru yang sedang digarapnya. Sial, buku harian tersebut ternyata pernah dimiliki oleh seorang pemuda bernama Galih (Ge Pamungkas) yang telah meninggal dunia akibat bunuh diri dan kini menghantui Naya karena tidak setuju isi buku hariannya dijadikan konsumsi publik. Ketakutan dengan teror yang dilakukan oleh Galih, Naya akhirnya mencoba berbicara dengan arwah penasaran tersebut yang kemudian ternyata menghasilkan sebuah kerjasama beda dunia antara mereka berdua. Continue reading Review: Ghost Writer (2019)
Review: Milly & Mamet (2018)
Jika Mira Lesmana dan Riri Riza membutuhkan waktu selama 16 tahun untuk membawa kembali Cinta dan teman-temannya untuk hadir dalam sekuel Ada Apa dengan Cinta? (Rudy Soedjarwo, 2002), Ada Apa dengan Cinta? 2 (Riza, 2016), maka tidak membutuhkan waktu begitu lama bagi Lesmana dan Riza untuk menyajikan film sempalan pertama dalam semesta pengisahan film Ada Apa dengan Cinta?, Milly & Mamet. Seperti yang dituturkan oleh judul film ini, daripada mengeksplorasi kembali kelanjutan kisah cinta antara karakter Cinta dan Rangga, film ini mengalihkan fokusnya pada hubungan asmara yang terjalin antara karakter Milly dan Mamet – yang sebelumnya telah dikenalkan pada Ada Apa dengan Cinta? 2. Milly & Mamet juga memilih nada pengisahan yang cukup berbeda dengan dua film Ada Apa Dengan Cinta? Jika kedua film tersebut hadir dengan atmosfer drama dan romansa yang kental, maka Milly & Mamet, yang diarahkan oleh Ernest Prakasa (Susah Sinyal, 2017), tampil dengan penuturan komedi yang lebih maksimal seperti yang selalu dihadirkan Prakasa dalam setiap film-filmnya. Sebuah penyegaran yang cukup menyenangkan meskipun sentuhan komedi Prakasa – seperti yang terjadi pada dua film terakhir yang ia tulis dan arahkan, Cek Toko Sebelah (2016) dan Susah Sinyal – acapkali membayangi unsur drama yang sebenarnya membutuhkan lebih banyak ruang untuk berkembang. Continue reading Review: Milly & Mamet (2018)
Review: Susah Sinyal (2017)
Melalui dua film perdananya, Ngenest (2015) dan Cek Toko Sebelah (2016), Ernest Prakasa telah cukup berhasil membuktikan posisinya sebagai salah satu sutradara sekaligus penulis naskah yang patut diperhitungkan keberadaannya di industri film Indonesia. Jika Ngenest mampu memisahkan Prakasa dari segerombolan rekan komika sepantarannya yang juga mencoba peruntungannya dengan berperan atau mengarahkan atau menjadi penulis naskah dalam sebuah film Indonesia – dengan menghasilkan sebuah film drama komedi yang menyasar pasar yang lebih dewasa dari penonton muda maupun remaja, maka Cek Toko Sebelah bahkan berhasil melangkah lebih jauh lagi. Tidak hanya film tersebut mampu meraih kesuksesan komersial dengan mendapatkan lebih dari dua juta penonton selama masa tayangnya, Cek Toko Sebelah juga berhasil meraih pujian luas dari kalangan kritikus film nasional yang kemudian membawa film yang dibintangi Prakasa bersama Dion Wiyoko tersebut mendapatkan sembilan nominasi di ajang Festival Film Indonesia 2017 termasuk nominasi untuk Film Terbaik dan Sutradara Terbaik. Continue reading Review: Susah Sinyal (2017)
Festival Film Indonesia 2017 Nominations List
Setelah Fiksi (Mouly Surya, 2008) yang berhasil memenangkan beberapa kategori utama, termasuk kategori Film Bioskop Terbaik dan Sutradara Terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2008 dan Belenggu (Upi, 2013) yang berhasil meraih 13 nominasi di pada Festival Film Indonesia 2013, tahun ini panitia penyelenggara Festival Film Indonesia kembali menunjukkan rasa cinta mereka terhadap genre horor dengan memberikan 13 nominasi kepada film Pengabdi Setan arahan Joko Anwar. Pengabdi Setan berhasil mendapatkan nominasi di beberapa kategori utama seperti Penulis Skenario Adaptasi Terbaik dan Sutradara Terbaik untuk Joko Anwar, serta Film Terbaik dimana Pengabdi Setan akan bersaing dengan Cek Toko Sebelah (Ernest Prakasa, 2016), Kartini (Hanung Bramantyo, 2017), Night Bus (Emil Heradi, 2017), dan Posesif (Edwin, 2017). Continue reading Festival Film Indonesia 2017 Nominations List
Review: Filosofi Kopi the Movie 2: Ben & Jody (2017)
Sebagai sebuah sekuel, Filosofi Kopi the Movie 2: Ben & Jody memiliki perjalanan yang cukup sederhana sebelum akhirnya memasuki masa produksi. Diadaptasi dari sebuah cerita pendek berjudul sama karya Dee Lestari, Filosofi Kopi the Movie arahan Angga Dwimas Sasongko “hanya” mampu meraih sekitar dua ratus ribu penonton ketika dirilis pada tahun 2015 lalu. Namun, meskipun dengan raihan penonton yang tergolong minimalis tersebut, Sasongko berhasil meracik sebuah film yang mampu memberikan kesan yang begitu mendalam bagi banyak penontonnya – sekaligus memenangkan dua penghargaan di ajang Festival Film Indonesia. Sasongko dan para kreator Filosofi Kopi the Movie juga giat dan cerdas menjaga sekaligus meningkatkan minat publik pada film mereka dengan berbagai cara, mulai dari membuka sebuah coffee shop bernama Filosofi Kopi di Jakarta, pelaksanaan sayembara pembuatan cerita sekuel bagi Filosofi Kopi the Movie hingga membuat sebuah webseries berjudul Filosofi Kopi the Series: Ben & Jody yang diunggah di saluran YouTube milik Visinema Pictures dan hingga kini telah ditonton lebih dari satu juta kali. Continue reading Review: Filosofi Kopi the Movie 2: Ben & Jody (2017)
Review: Stip & Pensil (2017)
Stip & Pensil arahan Ardy Octaviand (3 Dara, 2015) berkisah mengenai empat orang pelajar Sekolah Menengah Atas, Toni (Ernest Prakasa), Aghi (Ardit Erwandha), Bubu (Tatjana Saphira) dan Saras (Indah Permatasari), yang dimusuhi oleh seisi warga sekolah karena dianggap sebagai sekelompok anak-anak dari kelas berada yang sering bertindak seenaknya dalam keseharian mereka. Suatu hari, Toni, Aghi, Bubu, Saras, dan teman-teman sekelasnya mendapatkan tugas untuk menuliskan esai tentang masalah sosial dari guru mereka, Pak Adam (Pandji Pragiwaksono). Tugas tersebut ditanggapi sangat serius oleh Toni yang menilai bahwa melalui tugas tersebut ia dan ketiga temannya dapat membuktikan bahwa mereka bukanlah sekelompok anak-anak kaya yang manja dan menyebalkan seperti anggapan banyak orang. Setelah pertemuan yang tidak disengaja dengan seorang anak jalanan bernama Ucok (Iqbal Sinchan), Toni dan teman-temannya memutuskan untuk menulis esai tentang pendidikan bagi anak-anak jalanan. Tidak hanya itu, mereka bahkan memiliki ide untuk membangun sebuah sekolah independen sekaligus menjadi pengajar bagi anak-anak jalanan tersebut. Niat yang mulia, tentu saja, namun tidak lantas dapat dijalankan dengan mudah akibat banyaknya tantangan yang harus mereka hadapi. Continue reading Review: Stip & Pensil (2017)
Review: Cek Toko Sebelah (2016)
Ernest Prakasa memang bukanlah komika pertama yang mencoba peruntungannya dalam menggali dan mengembangkan bakat mereka dalam mengarahkan sebuah film layar lebar ketika ia merilis Ngenest di tahun 2015 lalu. Namun, berbeda dengan film-film yang diarahkan rekan-rekan sepantarannya yang memiliki warna penceritaan yang lebih menyasar pada penonton muda dan remaja, Prakasa menggarap Ngenest sebagai sebuah drama komedi yang bertutur secara lebih dewasa. Film yang jalan ceritanya diadaptasi dari tiga buku yang juga ditulis oleh Prakasa tersebut kemudian berhasil meraih kesuksesan, baik mendapatkan tanggapan positif dari banyak kritikus sekaligus mampu menarik sejumlah besar penonton film Indonesia. Tak pelak lagi, kesuksesan Ngenest berhasil mendorong nama Prakasa menjadi salah satu sutradara muda baru dengan karya mendatangnya yang layak untuk dinantikan. Continue reading Review: Cek Toko Sebelah (2016)
Review: Comic 8: Casino Kings – Part 1 (2015)
Comic 8: Casino Kings – Part 1 adalah bagian pertama dari dua bagian film yang telah direncanakan sebagai sekuel dari film Comic 8 yang berhasil meraih predikat sebagai film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak ketika dirilis pada awal tahun 2014 lalu. Seperti layaknya sebuah sekuel, Anggy Umbara merancang Comic 8: Casino Kings – Part 1 sebagai sebuah sajian yang lebih mewah dan megah jika dibandingkan dengan pendahulunya. Berhasil? Well… Comic 8: Casino Kings – Part 1 memang mampu tampil dengan deretan guyonan yang beberapa kali berhasil mengundang tawa penonton. Jajaran pemerannya yang berisi (sangat) banyak wajah familiar di industri film Indonesia juga tampil menyenangkan dalam peran komikal mereka. Namun, terlepas dari penampilannya yang lebih mewah, Comic 8: Casino Kings – Part 1 masih gagal untuk menghindar dari kesalahan yang telah dibuat oleh film pendulunya. Hal ini masih ditambah dengan keberadaan sindrom film yang jalan ceritanya dibagi menjadi dua bagian yang kemudian membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 terasa berjalan begitu bertele-tele khususnya di bagian akhir pengisahannya.
Dengan naskah cerita yang masih digarap oleh Anggy Umbara bersama dengan Fajar Umbara, Comic 8: Casino Kings – Part 1 melanjutkan kisah seri pendahulunya ketika delapan agen rahasia yang berada dibawah pimpinan Indro Warkop untuk menyamar menjadi komika demi mencari seorang komika yang menjadi penghubung ke seorang pemilik kasino terbesar di Asia yang sering disebut dengan sebutan nama The King. Jelas bukan sebuah tugas yang mudah. Kedelapan agen rahasia tersebut masih harus dikejar-kejar pihak kepolisian akibat tindakan perampokan bank yang telah mereka lakukan di seri sebelumnya. Mereka juga harus menghadapi sederetan kelompok penjahat yang berusaha menghalangi agar tugas mereka gagal untuk terselesaikan.
Bagian awal penceritaan Comic 8: Casino Kings – Part 1 jelas merupakan bagian terbaik dari film ini. Anggy Umbara memulai filmnya dengan tampilan visual berteknologi tinggi yang akan mampu memuaskan setiap penonton yang menginginkan lebih banyak adegan aksi dari film ini. Para pemeran film, mulai dari delapan komika yang berperan sebagai agen rahasia hingga para pemeran pendukung lain seperti Boy William, Prisia Nasution, Dhea Ananda hingga Gita Bhebita, juga berhasil mengeksekusi dialog-dialog penuh komedi mereka dengan sangat baik. Anggy Umbara sendiri mengemas Comic 8: Casino Kings – Part 1 sebagai satuan potongan-potongan cerita dan kemudian seperti mengacak linimasa penceritaan sehingga tidak lantas berjalan linear. Sayang, pengacakan linimasa yang dihadirkan dalam film ini terkesan sebagai gimmick belaka tanpa pernah benar-benar terasa sebagai sebuah hal yang esensial maupun berpengaruh pada kualitas penceritaan secara keseluruhan.
Memasuki pertengahan penceritaan, seiring dengan semakin banyaknya karakter yang memenuhi garis pengisahan film, Comic 8: Casino Kings – Part 1 mulai terasa kehilangan arah. Banyak diantara karakter yang hadir tampil tanpa peran penceritaan yang kuat. Begitu juga dengan plot penceritaan yang hadir dengan konflik yang terkesan sengaja ditahan untuk disimpan dan disimpan pada bagian film berikutnya. Hasilnya jelas membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 terasa tidak maksimal dalam presentasinya. Setelah dimulai dengan berbagai keberhasilan untuk tampil menghibur, paruh kedua dan ketiga penceritaan film serasa berjalan melamban tanpa pernah sekalipun mampu menghasilkan kualitas hiburan yang sama seperti paruh penceritaan pendahulunya. Cukup disayangkan mengingat Comic 8: Casino Kings – Part 1 memiliki potensi yang sangat kuat untuk menjadi film aksi komedi yang cukup fantastis.
Adalah mudah untuk mengetahui bahwa Anggy Umbara memiliki konsep yang sangat megah untuk sekuel Comic 8. Sayangnya, sebagai sebuah film yang diniatkan untuk hadir dalam dua bagian film, Comic 8: Casino Kings – Part 1 jelas masih memiliki garis penceritaan yang cukup rapuh. Berbagai plot dan konflik yang sengaja ditampilkan setengah matang untuk kemudian diselesaikan pada bagian film selanjutnya justru membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 kehilangan banyak momen emasnya. Jajaran pemeran film ini memang masih sangat mampu memberikan banyak hiburan kepada para penonton. Namun, lebih dari itu, Comic 8: Casino Kings – Part 1 gagal untuk menjadi sebuah sajian yang kuat secara keseluruhan. Mudah-mudahan saja Comic 8: Casino Kings – Part 2 yang rencananya dirilis awal tahun mendatang dapat tampil lebih baik dari bagian pertamanya ini. [C]
Comic 8: Casino Kings – Part 1 (2015)
Directed by Anggy Umbara Produced by Frederica Written by Fajar Umbara Starring Mongol Stres, Ernest Prakasa, Kemal Palevi, Bintang Timur, Babe Cabiita, Fico Fachriza, Arie Kriting, Ge Pamungkas, Indro Warkop, Sophia Latjuba, Prisia Nasution, Nikita Mirzani, Pandji Pragiwaksono, Hannah Al Rashid, Yayan Ruhian, Cak Lontong, Joehana Sutisna, Boy William, Ence Bagus, Donny Alamsyah, Agung Hercules, Agus Kuncoro, Candil, Barry Prima, George Rudy, Willy Dozan, Lydia Kandou, Sacha Stevenson, Soleh Solihun, Dhea Ananda, Bagus Netral, Ray Sahetapy, Arief Didu, Adjis Doaibu, Isman HS, Gilang Bhaskara, Akbar Kobar, Asep Suaji, Awwe, Uus, Temon, Boris Bokir, Lolox, Bene Rajagukguk, Gita Bhebhita, Mo Sidik, Jovial da Lopez, Andovi da Lopez, DJ Karen Garrett Music by Indra Q Cinematography by Dicky R. Maland Editing by Andi Mamo Studio Falcon Pictures Running time 104 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Review: CJR The Movie (2015)
Jika Coboy Junior the Movie (2013) berkisah mengenai awal terbentuknya kelompok musik Coboy Junior dan bagaimana usaha mereka untuk memperkenalkan diri sekaligus menembus industri musik Indonesia, maka CJR the Movie justru berkisah bagaimana kelompok musik tersebut mencoba bertahan dan bangkit kembali setelah ditinggal oleh salah satu anggotanya, Bastian Simbolon. Diarahkan langsung oleh pendiri Coboy Junior, Patrick Effendy, CJR the Movie sebenarnya memiliki premis penceritaan yang lebih berisi dan dramatis jika dibandingkan dengan film pertama Coboy Junior yang diarahkan oleh Anggy Umbara. Sayangnya, potensi tersebut terasa disia-siakan oleh jalan cerita yang cenderung lemah dan seringkali terasa hanya sebagai variasi lain dari pengulangan jalan cerita yang telah dihadirkan dalam Coboy Junior the Movie.
Salah satu kelemahan utama dari naskah cerita CJR the Movie yang ditulis oleh Hilman Mutasi, Yanto Prawoto dan Arif Rahman adalah jalan cerita film ini seperti menghindar dari masa lalu yang dimiliki Coboy Junior dengan mantan anggotanya. Padahal, selain menjadi pemicu bagi bergeraknya konflik lain dalam jalan cerita film, konflik tersebutlah yang seharusnya menjadi alasan kuat mengapa film kedua ini dibuat. Daripada berdamai dengan masa lalu tersebut, CJR the Movie justru menyajikan permasalahan tersebut secara dangkal: penonton sama sekali tidak pernah diberikan penjelasan dari penyebab keluarnya Bastian Simbolon dari kelompok musik tersebut dan bahkan, pada beberapa bagian, gambar-gambar Bastian Simbolon justru dikaburkan begitu saja.
CJR the Movie kemudian memfokuskan penceritaannya pada kisah bagaimana tiga anggota kelompok musik tersebut yang tersisa berusaha bangkit kembali – dengan alur cerita yang terasa sebagai pengulangan plot dari film pertama mereka. Sayangnya, penceritaan di bagian tersbeut juga hadir dalam kualitas yang tidak terlalu memuaskan. Bagian kisah dimana tiga anggota Coboy Junior digambarkan berlatih keras demi mimpi mereka gagal mendapatkan eksplorasi cerita yang mendalam. Terasa terlalu instan dalam penyajian kisahnya. Deretan karakter pendukung yang awalnya menjadi elemen pendukung yang kuat di film pertama, seperti karakter-karakter keluarga, sama sekali tidak diberikan porsi penceritaan yang luas. Bahkan terasa hanya menjadi tempelan di awal dan akhir penceritaan. Beberapa kelemahan inilah, terlepas dari hadirnya beberapa lagu catchy di beberapa bagian film, yang membuat CJR the Movie terasa hambar dalam pengisahannya.
Hadir dalam kualitas cerita yang cukup medioker, CJR the Movie setidaknya mampu diolah dengan cukup baik oleh sutradara film ini, Patrick Effendy. Menggantikan posisi Anggy Umbara, Patrick harus diakui mampu mengolah jalan penceritaan dengan baik. Arahan yang ia berikan pada alur penceritaan film ini terasa mampu mengakomodasi materi penceritaan dengan layak. Tidak hadir dalam ritme yang terlalu cepat maupun terlalu lamban. Meskipun tidak istimewa, Iqbaal Dhiafakhri, Alvaro Maldini dan Teuku Ryzqi juga terasa semakin nyaman dalam penampilan akting mereka. Abimana Aryasatya juga hadir dalam kapasitas yang tidak mengecewakan. Sama halnya seperti Rio Dewanto – meskipun aksen Austalia yang ia gunakan kadang terasa sedikit berlebihan dan mengganggu. [C-]
CJR the Movie (2015)
Directed by Patrick Effendy Produced by Frederica Written by Hilman Mutasi, Yanto Prawoto, Arif Rahman Starring Teuku Ryzki, Alvaro Maldini, Iqbaal Dhiafakhri, Abimana Aryasatya, Arie Kriting, Rio Dewanto, Ernest Prakasa, Emmanuel Kelly, Surya Saputra, Brittany Rose Scrivner, Fico Fachriza, Astri Nurdin, Irgi Fahrezi, Joehana Sutisna, Ersa Mayori, Hera Helmy, Jono Bule, Adiba Khanza, Salshabilla Elovii Music by Indra Q Cinematography Dicky R. Maland Edited by Cesa David Luckmansyah Production company Falcon Pictures Running time 90 minutes Country Indonesia Language Indonesian