Tag Archives: Hannah Al Rashid

Review: Ratu Ilmu Hitam (2019)

Dalam film terbaru arahan Kimo Stamboel, Ratu Ilmu Hitam, seorang pria bernama Hanif (Ario Bayu) mengajak istri, Nadya (Hannah Al Rashid), serta ketiga anak mereka, Sandi (Ari Irham), Dina (Adhisty Zara), dan Haqi (Muzakki Ramdhan), berkunjung ke panti asuhan tempat dirinya dahulu dibesarkan untuk menjenguk pengasuh panti tersebut, Bandi (Yayu Unru), yang kini sedang berada dalam kondisi kritis akibat sakit yang ia derita. Hanif dan keluarganya tidak datang sendirian. Dua sahabat Hanif, Jefri (Miller Khan) dan Anton (Tanta Ginting), juga turut datang sembari membawa pasangan mereka masing-masing, Lina (Salvita Decorte) dan Eva (Imelda Therinne). Pertemuan Hanif dengan dua sahabatnya tersebut tentu saja membawa begitu banyak kenangan akan kehidupan mereka di masa lalu. Sial, kunjungan tersebut secara perlahan kemudian berubah menjadi sebuah teror mematikan ketika kepingan-kepingan misteri dari masa lalu Hanif, Jefri, dan Anton hadir kembali untuk menghantui mereka dan orang-orang yang mereka sayangi. Continue reading Review: Ratu Ilmu Hitam (2019)

Review: Gundala (2019)

We’ve all been here before. Kisah tentang seseorang yang awalnya merasa tertindas, lemah, atau tidak berguna lalu secara perlahan mulai menemukan kekuatan yang lantas digunakannya untuk membela dan/atau membantu orang-orang lain yang merasa tertindas, lemah, atau tidak berguna untuk keluar dari kesulitan mereka. Kali ini, kisah familiar tersebut dituturkan oleh Joko Anwar (Pengabdi Setan, 2017) lewat Gundala – sebuah film yang juga dicanangkan sebagai langkah awal bagi keberadaan jagat sinematik film-film bertemakan pahlawan super di industri film Indonesia. Layaknya sebuah origin story, Gundala memperkenalkan penonton pada sosok sang pahlawan super, kekuatan yang dimilikinya, hingga berbagai masalah yang menghampiri: mulai dari usaha untuk mengenal sekaligus mengendalikan kekuatan yang ia miliki serta orang-orang yang kemudian mulai merasa terganggu dengan keberadaan kekuatan tersebut. Pola pengisahan yang cukup mendasar bagi film-film sejenis namun jelas akan tetap mampu terasa menarik ketika diaplikasikan dalam ruang lingkup cerita yang memiliki latar belakang lokasi dan budaya yang lebih dekat dengan penonton lokal. Continue reading Review: Gundala (2019)

Review: DreadOut (2019)

Menyusul Timo Tjahjanto yang telah mengarahkan Sebelum Iblis Menjemput (2018) dan The Night Comes for Us (2018) secara solo, belahan jiwa Mo Brothers lainnya, Kimo Stamboel, kini memamerkan kemampuan penyutradaraannya lewat DreadOut. Diatas kertas, premis yang ditawarkan film ini jelas terdengar menarik. Bukan sebuah film horor biasa, jalan cerita DreadOut diadaptasi dari sebuah permainan video bertema horor buatan Indonesia yang telah cukup popular di kalangan para penikmat permainan video baik dalam skala lokal maupun dalam skala internasional – yang menjadikan DreadOut sebagai film adaptasi permainan video pertama di Indonesia. Begitu pula dengan deretan pengisi departemen aktingnya yang dipenuhi nama-nama aktor dan aktris muda Indonesia seperti Jefri Nichol, Caitlin Halderman, Marsha Aruan, hingga Susan Sameh yang jelas telah memiliki kredibilitas kemampuan akting yang cukup meyakinkan. Then what could go wrong? Banyak hal, ternyata… khususnya ketika penceritaan film tidak mendapatkan dukungan kualitas naskah cerita yang solid. Continue reading Review: DreadOut (2019)

The 20 Best Movie Performances of 2018

What makes an acting performance so remarkable and/or memorable? Kemampuan seorang aktor untuk menghidupkan karakternya dan sekaligus menghantarkan sentuhan-sentuhan emosional yang dirasakan sang karakter jelas membuat sebuah penampilan akan mudah melekat di benak para penontonnya. Kadang bahkan jauh seusai penonton menyaksikan penampilan tersebut. Penampilan tersebut, tentu saja, tidak selalu membutuhkan momen-momen emosional megah nan menggugah. Bahkan, pada beberapa kesempatan, tidak membutuhkan durasi penampilan yang terlalu lama.

Berikut adalah dua puluh penampilan akting yang paling berkesan dalam sebuah film yang dirilis di sepanjang tahun 2018, termasuk sebuah penampilan yang At the Movies pilih sebagai Performance of the Year. Disusun secara alfabetis.

Continue reading The 20 Best Movie Performances of 2018

Festival Film Indonesia 2018 Nominations List

Komite Festival Film Indonesia akhirnya mengumumkan daftar nominasi Festival Film Indonesia 2018and they’re pretty boldand spot on. Daripada berusaha memenuhi kuota sejumlah judul atau nama untuk mengisi satu kategori, Komite Festival Film Indonesia kali ini hanya memberikan nominasi pada deretan judul atau nama yang dinilai benar-benar telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Tidak mengherankan, mengingat minimnya penampilan kualitas film-film Indonesia yang tergolong mengesankan yang rilis di sepanjang tahun ini, beberapa kategori utama kemudian hanya memiliki tiga atau empat peraih nominasi. Dengan melakukan penilaian terhadap setiap film Indonesia yang rilis di layar bioskop pada jangka waktu 1 Oktober 2017 hingga 30 September 2018, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya, 2017) berhasil menjadi film dengan raihan nominasi terbesar pada ajang Festival Film Indonesia 2018. Film yang juga menjadi unggulan Indonesia untuk berkompetisi di kategori Best Foreign Languange Film di Academy Awards mendatang tersebut sukses mencatatkan dirinya pada 15 kategori yang tersedia – termasuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Surya), Pemeran Utama Wanita Terbaik (Marsha Timothy), dan Skenario Asli Terbaik (Surya, Rama Adi). Continue reading Festival Film Indonesia 2018 Nominations List

Review: Aruna & Lidahnya (2018)

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Titien Wattimena (Dilan 1990, 2018) berdasarkan novel berjudul sama yang ditulis oleh Laksmi Pamuntjak, Aruna & Lidahnya bercerita mengenai perjalanan dinas yang dilakukan oleh seorang ahli wabah bernama Aruna (Dian Sastrowardoyo) untuk meneliti kebenaran kabar tentang wabah flu burung yang mulai menjangkiti penduduk di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai seorang penikmat kuliner sejati, Aruna lantas memanfaatkan tugasnya tersebut sekaligus untuk melakukan wisata kuliner dengan menikmati berbagai makanan khas dari daerah-daerah yang ia kunjungi bersama dengan sahabatnya, seorang juru masak bernama Bono (Nicholas Saputra). Perjalanan tersebut semakin ramai setelah kehadiran Nadezhda (Hannah Al Rashid) – seorang penulis yang merupakan sahabat dari Aruna dan Bono yang diam-diam telah lama disukai oleh Bono – serta Farish (Oka Antara) – seorang dokter yang juga mantan rekan kerja Aruna dan dulu sempat disukainya namun kini kehadirannya membuat lidah Aruna terasa mati rasa. Perjalanan yang penuh intrik, bukan hanya karena adanya pergulatan perasaan yang sedang berlangsung di hati keempat karakter tersebut namun juga dikarenakan kehadiran sebuah misteri yang meliputi tugas yang sedang dijalani Aruna. Continue reading Review: Aruna & Lidahnya (2018)

Review: Buffalo Boys (2018)

Merupakan debut pengarahan Mike Wiluan setelah menjadi produser bagi film-film seperti Meraih Mimpi (Phillip Stamp, 2009), Dead Mine (Steven Sheil, 2013), dan Headshot (Mo Brothers, 2016), Buffalo Boys yang berlatar kisah di tahun 1860 ini berkisah mengenai seorang pria bernama Arana (Tio Pakusadewo) yang bersama dengan dua keponakannya, Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso), kembali ke Indonesia dari tempat pengasingan mereka di California, Amerika Serikat, untuk membalaskan dendam kematian keluarga mereka oleh pasukan kolonia Belanda yang dipimpin oleh Van Trach (Reinout Bussemaker). Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Kiona (Pevita Pearce), Sri (Mikha Tambayong), serta sejumlah penduduk desa yang seringkali harus menderita akibat kekejaman para penjajah yang merebut harga dan tidak segan untuk membunuh mereka. Pertemuan tersebut lantas membuka mata Arana, Jamar, dan Suwo: kedatangan mereka tidak hanya untuk membalaskan dendam keluarga mereka namun juga untuk membantu rakyat Indonesia terbebas dari jajahan pihak kolonial Belanda. Continue reading Review: Buffalo Boys (2018)

Review: Jailangkung 2 (2018)

Walau mendapatkan penilaian yang kurang begitu menyenangkan dari banyak kritikus dan penikmat film Indonesia, namun raihan jumlah penonton yang mencapai angka lebih dari 2.5 juta penonton dari Jailangkung (Jose Poernomo, Rizal Mantovani, 2018) jelas menjadi penentu bagi Screenplay Films – yang kini mendelegasikan tugas produksi ke divisi horor mereka, Sky Media – dan Legacy Pictures untuk memproduksi sekuel film tersebut. Jika dibandingkan dengan seri pendahulunya, tidak begitu banyak hal yang berubah pada Jailangkung 2. Poernomo dan Mantovani kembali duduk di kursi penyutradaraan. Jefri Nichol, Amanda Rawles, Lukman Sardi, dan Hannah Al Rashid juga masih memberikan penampilan akting mereka dengan Naufal Samudra, Ratna Riantiarno, dan Deddy Sutomo – dalam penampilan terakhirnya sebelum meninggal dunia pada April lalu – hadir memperkuat departemen akting film ini. Sementara itu, Baskoro Adi Wuryanto, sayangnya, kembali dipercaya untuk mengerjakan naskah film dengan bantuan dari Ve Handojo (Cewek Gokil, 2011). Because why would you mess with a winning formula, right? Continue reading Review: Jailangkung 2 (2018)

Tribe Hadirkan Miniseri Kolaborasi Tiga Negara dalam DO(S)A

Untuk semakin memperkuat barisan tayangan yang disediakan di aplikasinya, Tribe baru-baru ini meluncurkan program KolaboraSEA yang menghadirkan deretan serial orisinal yang diproduksi oleh Tribe bekerjasama dengan para sineas dari negara-negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Sebelumnya, KolaboraSEA berhasil meraih sukses besar dengan Gantung. Serial bernuansa horor tersebut mendasarkan penceritaannya pada novel berjudul sama yang ditulis oleh penulis asal Malaysia, Nadia Khan. Paduan kisah horor yang menarik dengan penampilan aktor dan aktris muda popular asal Indonesia dan Malaysia seperti Randy Pangalila, Brandon Salim, Mentari de Marelle, Ikmal Amry, dan Hafreez Adam mampu membuat Gantung mendapatkan banyak penggemar ceritanya. Continue reading Tribe Hadirkan Miniseri Kolaborasi Tiga Negara dalam DO(S)A

Review: Jailangkung (2017)

“Jelangkung. Jelangkung. Disini ada pesta kecil-kecilan. Datang tak dijemput. Pulang tak diantar.” Masih ingat dengan mantra tersebut? Mantra tersebut sempat menjadi barisan kalimat yang begitu popular di kalangan masyarakat Indonesia setelah kesuksesan fenonemal yang diraih oleh film horor arahan Rizal Mantovani dan Jose Poernomo, Jelangkung (2001). Tidak hanya berhasil untuk menarik perhatian penikmat film Indonesia untuk datang dan menyaksikannya di bioskop, kesuksesan Jelangkung bahkan mampu “menginspirasi” para produser film Indonesia lainnya untuk memproduksi puluhan (ratusan?) film horor lainnya untuk dirilis ke pasar film nasional – yang secara perlahan kemudian membuat layar bioskop Indonesia didominasi oleh judul-judul horor selama bertahun-tahun. Jelangkung sendiri kemudian diikuti oleh tiga film berikutnya yang berada dalam seri film tersebut: dua buah sekuel berjudul Tusuk Jelangkung (Dimas Djayadiningrat, 2003) dan Jelangkung 3 (Angga Dwimas Sasongko) serta sebuah subseri berjudul Angkerbatu (Poernomo, 2007). Continue reading Review: Jailangkung (2017)

Review: Critical Eleven (2017)

Critical Eleven, yang menjadi buku ketujuh yang ditulis oleh novelis Ika Natassa, berhasil membuktikan posisi penulis kelahiran Medan tersebut sebagai salah satu penulis dengan karya yang paling dinantikan oleh banyak penikmat buku di Indonesia. Ketika pertama kali dirilis pada Agustus 2015, buku tersebut berhasil terjual dalam hitungan ribuan eksemplar hanya dalam beberapa menit. Hingga akhir tahun lalu, Critical Eleven bahkan tercatat telah mengalami cetak ulang sebanyak 14 kali. Tidak mengherankan bila novel tersebut kemudian menarik minat banyak produser film Indonesia untuk mengadaptasinya menjadi sebuah film layar lebar. Kini, hampir dua tahun semenjak perilisannya, dengan Chand Parwez Servia dan Robert Ronny bertanggungjawab sebagai produser serta Ronny turut mendampingi Monty Tiwa dalam bertugas sebagai sutradara, versi film Critical Eleven akhirnya dirilis. And ladies and gentlemenit’s easily one of the year’s finest pictures. Continue reading Review: Critical Eleven (2017)

Review: Comic 8: Casino Kings – Part 1 (2015)

comic-8-casino-kings-part-1-posterComic 8: Casino Kings – Part 1 adalah bagian pertama dari dua bagian film yang telah direncanakan sebagai sekuel dari film Comic 8 yang berhasil meraih predikat sebagai film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak ketika dirilis pada awal tahun 2014 lalu. Seperti layaknya sebuah sekuel, Anggy Umbara merancang Comic 8: Casino Kings – Part 1 sebagai sebuah sajian yang lebih mewah dan megah jika dibandingkan dengan pendahulunya. Berhasil? WellComic 8: Casino Kings – Part 1 memang mampu tampil dengan deretan guyonan yang beberapa kali berhasil mengundang tawa penonton. Jajaran pemerannya yang berisi (sangat) banyak wajah familiar di industri film Indonesia juga tampil menyenangkan dalam peran komikal mereka. Namun, terlepas dari penampilannya yang lebih mewah, Comic 8: Casino Kings – Part 1 masih gagal untuk menghindar dari kesalahan yang telah dibuat oleh film pendulunya. Hal ini masih ditambah dengan keberadaan sindrom film yang jalan ceritanya dibagi menjadi dua bagian yang kemudian membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 terasa berjalan begitu bertele-tele khususnya di bagian akhir pengisahannya.

Dengan naskah cerita yang masih digarap oleh Anggy Umbara bersama dengan Fajar Umbara, Comic 8: Casino Kings – Part 1 melanjutkan kisah seri pendahulunya ketika delapan agen rahasia yang berada dibawah pimpinan Indro Warkop untuk menyamar menjadi komika demi mencari seorang komika yang menjadi penghubung ke seorang pemilik kasino terbesar di Asia yang sering disebut dengan sebutan nama The King. Jelas bukan sebuah tugas yang mudah. Kedelapan agen rahasia tersebut masih harus dikejar-kejar pihak kepolisian akibat tindakan perampokan bank yang telah mereka lakukan di seri sebelumnya. Mereka juga harus menghadapi sederetan kelompok penjahat yang berusaha menghalangi agar tugas mereka gagal untuk terselesaikan.

Bagian awal penceritaan Comic 8: Casino Kings – Part 1 jelas merupakan bagian terbaik dari film ini. Anggy Umbara memulai filmnya dengan tampilan visual berteknologi tinggi yang akan mampu memuaskan setiap penonton yang menginginkan lebih banyak adegan aksi dari film ini. Para pemeran film, mulai dari delapan komika yang berperan sebagai agen rahasia hingga para pemeran pendukung lain seperti Boy William, Prisia Nasution, Dhea Ananda hingga Gita Bhebita, juga berhasil mengeksekusi dialog-dialog penuh komedi mereka dengan sangat baik. Anggy Umbara sendiri mengemas Comic 8: Casino Kings – Part 1 sebagai satuan potongan-potongan cerita dan kemudian seperti mengacak linimasa penceritaan sehingga tidak lantas berjalan linear. Sayang, pengacakan linimasa yang dihadirkan dalam film ini terkesan sebagai gimmick belaka tanpa pernah benar-benar terasa sebagai sebuah hal yang esensial maupun berpengaruh pada kualitas penceritaan secara keseluruhan.

Memasuki pertengahan penceritaan, seiring dengan semakin banyaknya karakter yang memenuhi garis pengisahan film, Comic 8: Casino Kings – Part 1 mulai terasa kehilangan arah. Banyak diantara karakter yang hadir tampil tanpa peran penceritaan yang kuat. Begitu juga dengan plot penceritaan yang hadir dengan konflik yang terkesan sengaja ditahan untuk disimpan dan disimpan pada bagian film berikutnya. Hasilnya jelas membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 terasa tidak maksimal dalam presentasinya. Setelah dimulai dengan berbagai keberhasilan untuk tampil menghibur, paruh kedua dan ketiga penceritaan film serasa berjalan melamban tanpa pernah sekalipun mampu menghasilkan kualitas hiburan yang sama seperti paruh penceritaan pendahulunya. Cukup disayangkan mengingat Comic 8: Casino Kings – Part 1 memiliki potensi yang sangat kuat untuk menjadi film aksi komedi yang cukup fantastis.

Adalah mudah untuk mengetahui bahwa Anggy Umbara memiliki konsep yang sangat megah untuk sekuel Comic 8. Sayangnya, sebagai sebuah film yang diniatkan untuk hadir dalam dua bagian film, Comic 8: Casino Kings – Part 1 jelas masih memiliki garis penceritaan yang cukup rapuh. Berbagai plot dan konflik yang sengaja ditampilkan setengah matang untuk kemudian diselesaikan pada bagian film selanjutnya justru membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 kehilangan banyak momen emasnya. Jajaran pemeran film ini memang masih sangat mampu memberikan banyak hiburan kepada para penonton. Namun, lebih dari itu, Comic 8: Casino Kings – Part 1 gagal untuk menjadi sebuah sajian yang kuat secara keseluruhan. Mudah-mudahan saja Comic 8: Casino Kings – Part 2 yang rencananya dirilis awal tahun mendatang dapat tampil lebih baik dari bagian pertamanya ini. [C]

Comic 8: Casino Kings – Part 1 (2015)

Directed by Anggy Umbara Produced by Frederica Written by Fajar Umbara Starring Mongol Stres, Ernest Prakasa, Kemal Palevi, Bintang Timur, Babe Cabiita, Fico Fachriza, Arie Kriting, Ge Pamungkas, Indro Warkop, Sophia Latjuba, Prisia Nasution, Nikita Mirzani, Pandji Pragiwaksono, Hannah Al Rashid, Yayan Ruhian, Cak Lontong, Joehana Sutisna, Boy William, Ence Bagus, Donny Alamsyah, Agung Hercules, Agus Kuncoro, Candil, Barry Prima, George Rudy, Willy Dozan, Lydia Kandou, Sacha Stevenson, Soleh Solihun, Dhea Ananda, Bagus Netral, Ray Sahetapy, Arief Didu, Adjis Doaibu, Isman HS, Gilang Bhaskara, Akbar Kobar, Asep Suaji, Awwe, Uus, Temon, Boris Bokir, Lolox, Bene Rajagukguk, Gita Bhebhita, Mo Sidik, Jovial da Lopez, Andovi da Lopez, DJ Karen Garrett Music by Indra Q Cinematography by Dicky R. Maland Editing by Andi Mamo Studio  Falcon Pictures Running time 104 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Melancholy is a Movement (2015)

melancholy-is-a-movement-posterSembilan tahun setelah merilis film layar lebar arahan perdananya, Koper (2006), Richard Oh kembali hadir dengan Melancholy is a Movement. Film yang menampilkan Joko Anwar serta sekumpulan pemain kunci dalam industri film Indonesia ini memang sepertinya dibuat sebagai ajang bermain bagi para orang-orang yang terlibat didalamnya. Bagaimana tidak? Masing-masing pengisi departemen akting film hadir memerankan versi lain dari diri mereka sendiri dalam jalinan cerita beraroma dark comedy yang kental berisi ironi mengenai kehidupan mereka sebagai orang-orang yang terjun langsung dalam dinamika industri film nasional. Lebih dari itu, Richard Oh juga menyajikan linimasa penceritaan Melancholy is a Movement dalam susunan eksperimental yang jelas akan membuat banyak penontonnya mengernyitkan dahi mereka selama 75 menit durasi perjalanan film ini.

Melancholy is a Movement sendiri berkisah mengenai Joko Anwar yang ketika sedang dirundung kemuraman akibat kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagi dirinya kemudian mendapatkan tawaran untuk mengarahkan sebuah film reliji – sebuah jenis film yang selalu dianggap bertentangan dengan dirinya. Jawaban pribadi Joko terhadap tawaran tersebut jelas adalah menolak. Namun, akibat dorongan rekan kerja – sekaligus kondisi keuangan rumah produksinya yang sangat membutuhkan dana tambahan – Joko akhirnya memilih untuk mengarahkan film dengan jalinan kisah berpesan moral tersebut. Sebuah kejutan justru datang ketika film tersebut meraih sukses luar biasa secara komersial sekaligus dianggap kritikus sebagai film terbaik yang pernah diarahkan oleh dirinya.

Melancholy is a Movement sendiri jelas merupakan sebuah film yang berniat untuk memberikan sudut pandang lebih intim terhadap kondisi industri perfilman Indonesia sekaligus orang-orang yang berada di dalamnya. Bicara tentang idealisme, selera pasar, bujet produksi hingga proses pembuatan sebuah film, Richard Oh secara berani (baca: nekat) menghadirkan alur penceritaan filmnya secara acak – berkisah tentang satu cerita di adegan lain namun kemudian berpindah ke cerita lain yang sama sekali tidak berhubungan di adegan berikutnya. Menantang? Sangat. Namun Richard Oh jelas mengerti apa yang sedang ia kerjakan. Setiap adegan cerita acak tersebut mampu secara perlahan mempertegas bagaimana jalan pemikiran sekaligus kondisi emosional sang karakter utama. Penyajian kisah dalam balutan komedi juga mampu dimanfaatkan untuk menjadikan jalan cerita film menjadi lebih tajam penyampaiannya.

Harus diakui, eksperimen Richard Oh yang berlangsung dalam Melancholy is a Movement juga tidak selamanya berjalan mulus. Kehadiran adegan-adegan diam yang diambil dalam jangka waktu tertentu dalam film ini seringkali terasa sebagai style over substance. Terasa bagaikan sebuah kumpulan mimpi namun lama-kelamaan mengganggu karena terkesan hadir secara acak tanpa adanya tujuan penceritaan yang kuat. Hal yang sama juga terasa dalam beberapa adegan film. Acak. Mungkin Richard Oh memiliki pemaknaan lain terhadap berbagai adegan yang dihadirkannya dalam film ini – dan penonton jelas akan memiliki banyak interpretasi lain terhadap deretan adegan maupun gambar tersebut, namun deretan adegan yang tidak memiliki substansi esensial terhadap kekuatan penceritaan film jelas memberikan titik lemah tersendiri terhadap presentasi film secara keseluruhan.

Sebagai aktor utama, Joko Anawar sendiri memiliki kharisma yang kuat dalam mengikat perhatian para penonton Melancholy is a Movement secara utuh. Film dengan presentasi cerita eksperimental seperti film ini jelas membutuhkan satu karakter dengan pesona kuat yang mampu membuat penonton tetap tertarik untuk merangkai setiap detil penceritaanya. Joko Anwar jelas memiliki kelebihan tersebut. Deretan pemeran pendukung lain seperti Nazyra C. Noer, Ario Bayu, Karina Salim, Fachri Albar, Renata Kusmanto hingga sutradara film Indonesia lainnya, Upi, juga memberikan kesan yang cukup berarti lewat kehadiran terbatas mereka dalam film ini. [C]

Melancholy is a Movement (2015)

Directed by Richard Oh Produced by Bernice Helena Written by Richard Oh Starring Joko Anwar, Ario Bayu, Amink, Fachri Albar, Renata Kusmanto, Karina Salim, HB Naveen, Alex Abbad, Verdi Solaiman, Upi, Aimee Saras, Hannah Al Rashid, Nazyra C. Noer, Ardy Oktavian, Lance, Michael Turangan, Tony Setiaji, Wilza Lubis, Tengku Ryo, Aghi Narottama, Farishad Latjuba Music by Rooftop Sound Cinematography Yunus Pasolang Editing by Cuunk Studio Metafor Pictures Production Running time 75 minutes Country Indonesia Language Indonesian